''Itu, koleksi kakek. Dia bilang itu mainan. Sekarang kamu lihat sendiri kan, bagaimana mungkin Saya membawa orang lain masuk ke ruangan ini? Apalagi perempuan panggilan? Yang benar saja," Ujar Arsan menggelengkan kepalanya seraya menghela napas dengan berat dan menatap wajah Marren yang menunduk menghindari tatapan mata suaminya. Marren terlihat salah tingkah, malu dan gugup bercampur menjadi satu. Entah apa pun itu perasaannya semakin tidak karuan dan ia merasakan debaran dalam jantungnya semakin kencang. "Maafkan saya, saya... Harusnya saya tidak percaya ucapannya, tapi, sebenarnya saya tidak percaya, hanya saja aku selalu menemukanmu dengan perempuan lain. Ya sudah Saya bisa apa. Jadi Saya hanya akan bekerja sesuai porsi saya saja. Dan kalau kamu tidak mengatakannya pada saya, bagi Saya, saya tidak berhak tahu. Ya sudah..." sahut Marren terbata-bata seraya beranjak meninggalkan ruangan itu.Namun baru selangkah ia hendak pergi, Arsan segera menarik Marren dan memeluknya dari be
"Hentikan, Arsan. Kalau kamu terus berpikir seperti itu di saat Saya ingin melupakan semuanya, bagaimana saya bisa melakukannya?" Protes Marren menahan kesal. ''Baiklah, maafkan Saya. Maafkan saya. Saya akan membuatmu melupakan semua kenangan buruk yang pernah kamu alami sebelumnya, Saya janji," hibur Arsan memeluk erat pinggang Marren dan mencium pundak Marren dengan gemas dan Marren membalasnya dengan sebuah gumaman kecil. "Ya sudah, sekarang lihat ini," lanjutnya seraya memencet satu tombol dalam papan ketik itu dan muncullah sebuah video yang kini diperbesar oleh Arsan hingga sebesar layar televisi berukuran sedang. Dengan tegang dan takut takut, Marren menatap layar itu. Bahkan tanpa bergerak sedikit pun. ''Rayu bos kecil itu, dan kamu cari tahu tentang lantai 11, gunakan tubuhmu, Sayang, maka kamu akan dapatkan bukan hanya bayaran yang banyak tapi juga cintaku!" rayu Arthur dengan nada mesra. "Apa itu benar, Arthur? Jadi saya tidak perlu bekerja mencari sampingan lagi tiap
Keesokan nya Marren telah selesai merias diri dengan sempurna dan menatap dirinya dalam pantulan cermin yang ada di hadapannya, lalu mengernyit menatap kantung mata yang terlihat walau samar. Dengan gugup ia menyapukan bedak tipis-tipis di bagian itu, lalu meletakkan kembali henda padat itu ke dalam tas kecilnya. Sekali lagi menatap dirinya dan memutar dirinya untuk memastikan penampilannya sempurna. 'Oh, Saya merasa Saya mulai gendut Lingkaran mata saya juga mulai terlihat. Gara-gara Arsan... Huuuh!' Keluh Marren membatin mendekap wajahnya yang merona malu karena teringat apa yang sudah Arsan lakukan setiap malamnya yang hampir membuatnya jarang tertidur sejak peristiwa di kantor malam itu.Lamunan Marren buyar seketika, karena mendengar suara kekehan di sudut kamar. Marren menoleh ke sumber suara dengan terkejut. Arsan sedang berdiri menahan tawanya menatap ke arah Marren."lya, kamu sangat cantik dan sempurna, Sayang," puji Arsan dengan tulus dan tatapan penuh cinta.''Sejak ka
"Arsan lihat apa yang dilakukan orang-orang itu?" sahut Marren menunjuk ke sebuah rekaman kecil di sudut layar Arsan segera memperbesar ukuran layar tersebut. Beberapa orang terlihat menyelipkan sesuatu di antara pot-pot bunga yang berisi berbagai macam tanaman. Taidk berapa lama Hasan datang dengan membawa buku tamu dan salah seorang resepsionis yang bertugas saat sang Tamu yang di curigai datang berkunjung. Pembicaraan berlangsung panjang lebar ternyata sang Tamu memesan kamar hotel untuk orang-orang yang berbeda untuk beberapa waktu yang singkat namun berurutan.Setelah Arsan menunjukkan rekaman tersebut akhirnya Arsan memerintahkan beberapa orang untuk mencari benda-benda yang sengaja diletakkan di sana. "Ini jelas sekali mereka sedang melakukan sesuatu untuk hotel ini. Bisa jadi mereka ingin menghancurkan nama baik hotel ini," ujar Arsan seraya kembali menatap layar CCTV lebih teliti lagi. ''Apakah mereka berusaha menja
"Selamat malam, Kak, boleh kami gabung?" Marren mendongakkan kepalanya menatap seorang pria yang cukup tampan memakai setelan kemeja dan celana pantalon bersama seorang wanita yang terlihat lebih muda darinya. Wanita yang tampak manis dan lemah, 'Oh, silakan," sahut Marren tersenyum ramah yang mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan besar itu yang terlihat penuh oleh pengunjung."Tempatnya penuh, ya?" lanjutnya seraya berdir menyambut sepasang orang asing itu dan lalu duduk bersama.''Kakak tahu tidak? Kakak tadi hebat sekali, lah! Aku merekam aksi Kakak!" Ujar sang gadis itu dengan suara penuh semangat hingga membuat Marren sedikit terkejut dan memusatkan perhatiannya pada gadis yang baru ia kenal. Bahkan dengan cerianya gadis itu mendekatkan dirinya pada Marren untuk menunjukkan layar ponselnya pada Marren. Bertepatan sang Pria duduk mengapit Marren. Marren terdiam untuk sesaat setelah menatap layar punse
Marren mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali untuk memastikan apa yang dilihat di hadapannya adalah benar. Wanita cantik itu mengernyit bingung menatap ke sekeliling ruangan yang tidak asing baginya. 'Ini? Bukankah ini rumah? Rumah masa kecilku?' pikir Marren terheran-heran.''Sayang? Kamu di mana? Hei, kamu di sini rupanya!" Marren menoleh ke arah sumber suara dengan terburu-buru, ia sangat mengenali suara yang berat dan dalam milik seseorang yang sangat ia kenal. "Daddy? Dan... Oh, itu Saya?" ''Ren, kenapa diam saja? Ayo bergegaslah! Kita jemput Mommy dari butik. Kita beli kue ulang tahun untuk memberi kejutan pada Mommy!" "lya, Daddy. Marren sudah tidak sabar ingin melihat wajah Mommy yang tersipu-sipu, nanti Marren akan rekam semuanya!" sahut Marren dengan nada suara ceria dan membuat sang Daddy ikut tertawa ceria. Marren menatap ponsel Daddy nya yang bergetar dan bergerak-gerak di atas meja deng
"Apa? " Marren balik bertanya dengan kedua mata membulat. "Saya mengigau pembunuh?" ulangnya dengan wajah tidak percaya. "Ya! Kamu bilang dasar pembunuh! Dan kamu terus menanggil manggil Daddy. Apa sebenarnya yang kamu lihat?" tanya Arsan menatap Marren lekat lekat. Marren mengerjap-kerjapkan matanya dengan gugup, "Arsan, sungguh saya tidak tahu. Yang Saya ingat, dalam mimpi Saya tadi seperti putaran ingatan masa lalu saja," ujar Marren tidak berbohong."Daddy sebelum akhirnya pergi naik pesawat itu adalah hari ulang tahun Mommy. Dan semua terjadi begitu cepat tahu-tahu semua datang ke rumah dan mengucapkan turut herbelasungkawa," lirih Marren berkaca kaca. Arsan menghapus air mata yang hampir meleleh di kedua pipi Marren dan mengecup keningnya dengan penuh cinta. "Maafkan Saya, seharusnya Saya tidak menanyakan hal itu, tetapi Saya merasa kamu bermimpi sesuatu yang sangat buruk, dan Saya takut akan mengganggu pikiranmu, Sa
Marren mendesah perlahan menyaksikan Arsan yang terlihat uring-uringan sejak satu jam yang lalu saat mereka menerima pesan dari Laura yang mengabarkan kedatangannya ke vila kecil mereka. Apalagi kini gadis itu telah berdiri di hadapan keduanya dan mulai menunjukkan sikap manjanya yang menuntut. "Apa-apaan sih? Kenapa kamu harus datang kemari? Siapa yang memberitahumu alamat vila ini?" tanya Arsan seraya menahan tekanan suaranya agar tidak terlihat emosi, namun rahangnya yang mengeras sangat jelas terlihat. "liihh! Kak Arsan yang apa-apaan! Bukankah waktu itu Kakak sendiri yang janji pada Laura kalau Kakak akan membantu segala usaha Laura agar bisa bersatu dengan pacar Laura? Sekarang Lau butuh tempat tinggal, Kak! Laura kabur dari rumah! Dan Lau sudah tidak ada tempat lagi untuk pergi! Lau menelepon Kak Arland dan dia sangat baik untuk memberiku alamat vila ini, dan Lau...." "Oh, jadi Arland yang memberitahumu?" Sela Arsan