Marren mendesah perlahan menyaksikan Arsan yang terlihat uring-uringan sejak satu jam yang lalu saat mereka menerima pesan dari Laura yang mengabarkan kedatangannya ke vila kecil mereka.
Apalagi kini gadis itu telah berdiri di hadapan keduanya dan mulai menunjukkan sikap manjanya yang menuntut."Apa-apaan sih? Kenapa kamu harus datang kemari? Siapa yang memberitahumu alamat vila ini?" tanya Arsan seraya menahan tekanan suaranya agar tidak terlihat emosi, namun rahangnya yang mengeras sangat jelas terlihat."liihh! Kak Arsan yang apa-apaan! Bukankah waktu itu Kakak sendiri yang janji pada Laura kalau Kakak akan membantu segala usaha Laura agar bisa bersatu dengan pacar Laura? Sekarang Lau butuh tempat tinggal, Kak! Laura kabur dari rumah! Dan Lau sudah tidak ada tempat lagi untuk pergi!Lau menelepon Kak Arland dan dia sangat baik untuk memberiku alamat vila ini, dan Lau...." "Oh, jadi Arland yang memberitahumu?" Sela ArsanEntah sihir apa yang menyelubunginya, Marren yang awalnya hanya diam menatap mata Arsan, tiba-tiba mendekat dan meraup wajah Arsan lalu memagut bibirnya. Arsan pun membalas ciuman Marren dengan lumatan yang dalam dan menuntut. Dan, tak butuh waktu lama untuk Arsan menjelajahi isi mulut Marren, seolah ingin mengabsen deretan gigi Marren satu per satu. Dengan terburu-buru Arsan membalikkan tubuh Marren membelakanginya seraya mengecup leher hingga ke punggung Marren. "Sejak kapan gaun saya terbukaaa? Oh...Tuan" pekik Marren menggeliat di dalam dekapan Arsan dan kini bibir Arsan kembali terpaut pada bibir Marren yang kini rebah di lengan Arsan. Bibir mereka saling melumat, menghisap dan memilin lidah, Marren memekik dalam tenggorokannya saat merasakan tangan Arsan yang menyelusup masuk di dalam gaun tidurnya telah berada di balik celana dalamnya. Marren makin menggeliat tidak karuan dan membalas lumatan bibir Arsan dengan liar
"Apa? Oke, baik!" "Ada apa? Kenapa John menelepon?" "Kita kembali, target sudah ditemukan!" "Tapi bagaimana dengan si laki-laki yang tidak di temukan? Seharusnya kita membawa keduanya, 'kan?" ''Tidak masalah, yang penting kita sudah menemukan target utama! Ayo!" "Awas saja jika ternyata kita harus bekerja dua kali! Mestinya sekaranglah saatnya, karena mereka sedang tidak dalam pengawalan seperti biasanya." "Tutup mulutmu! Ikuti saja perintah John!" Arsan dan Marren menunggu dengan tegang di balik semak dan pepohonan. Bahkan Marren seolah menahan napas dalam pelukan Arsan setelah mendengar percakapan beberapa pria yang semakin lama menjauh dari tempat persembunyian mereka. Setelah beberapa lama mereka memastikan tidak ada suara apa pun lagi yang terdengar, Arsan keluar dari persembunyian diikuti oleh Marren, "Sebenarnya siapa mereka, Arsan? Sepertinya mereka sedang mencari seseorang," ucap Marren dengan n
"Kau yakin mereka tidak menjebakmu?" tanya Arland setelah mereka sampai di alamat yang tertera pada sobekan kertas di tangan Arsan. Arsan mendengus untuk ke sekian kalinya karena ia harus bekerja sama dengan Arland demi membebaskan Laura. "Mau hagaimana lagi? Tidak ada petunjuk apa pun selain alamat ini, mau tidak mau kan kita harus datang ke tempat ini," sahut Arsan menatap tajam Arland."Kalau kau memang merasa semua ini tidak masuk akal, lalu apa rencanamu?" imbuhnya mencoba mengalahkan egonya. Arsan mencoba meredam segala perseteruan yang masih mengganjal di antara mereka seperti pesan Marren sebelum akhirnya istrinya rela melepaskan kepergiannya demi misi malam itu."Sayang, fokuslah pada penyelamatan ini, jangan memikirkan masalah kalian, Anggap itu bukan Arland, karena jika kamu emosi kamu akan hilang kendali, Arsan," ucap Marren mengingatkan dan memasangkan jaket pada Arsan."Sayang, kamu lupa, ya. Hanya kamu yang bisa
Arland menatap Arsan yang berjalan perlahan menuju gudang tua yang ada di tepian dermaga yang menjorak ke laut. pria itu mengikuti langkah Arsan melalui teropong kecil di tangannya. Kegiatannya terganggu oleh getaran ponsel dari saku jasnya yang terus menerus berbunyi. Seraya mengernyit ia membuka saluran telepon yang ada di tangannya yang hanya memperlihatkan deretan angka asing. ''Siapa ini?" tanya Arland tanpa basa basi.''Tuan Arland! Ini Jack bodyguard yang menjaga rumah Tuan Muda Arsan. Tuan, tolong segera mundur! Ini perangkap! Ini perangkap, Tuan!" pekik Jack dari seberang saluran. ''Apa maksudmu?" tanya Arland terkejut. ''Baru saja sang pelaku menelepon melalui ponsel Tuan Muda Arsan yang tertinggal di rumah, dan memberitahukan di gudang itu ada peledak yang aktif dan sewaktu-waktu akan di ledakkan!" papar Jack dengan suara panik. ''APA?" sahut Arland kembali memasang teropongnya dan mendapati Arsan telah
Jantung Marren berdebar sangat kencang ketika tiba-tiba deru mobil yang membawa dirinya memperlambat kecepatannya tanda mereka akan segera sampai pada tempat yang di tuju. Marren menunggu dengan gelisah karena ia tidak bisa mencari tahu di mana ia berada akibat kaca mobil yang sengaja di tutup oleh kain hitam dan terdapat penyekat tertutup dalam mobil yang menghalangi pandangan Marren pada kaca depan mobil. Marren duduk dengan tegak, karena dua laki-laki yang mengapitnya terlihat mulai bersiap-siap untuk turun. Marren memandang kedua pergelangan tangannya yang terikat. Walau tisak sekuat ikatan tangan Laura yang tampak olehnya, namun Marren berpikir untuk tidak melawan demi menyelamatkan Arsan dan menemukan dalang penculikan tersebut. "Mari Nyonya, kita sudah sampai," ucap salah satu orang yang duduk mengapitnya seraya membuka pintu mobil yang telah berhenti dengan aman. Tanpa menjawab Marren mengikuti langkah kaki Pria berbadan ting
"Bukankah sudah jelas siapa menantang siapa?" sahut Marren berdiri bersedekap.Kedua pengawal yang berdiri di belakang Marren bergerak maju, namun di tahan oleh gerakan tangan James. "Kau sungguh herani, Nona. Ya, kau memang benar-benar keturunan si Mahendra itu," sindir James terkekeh memuji sikap Marren seraya bertepuk tangan. ''Saya bukan Nona. Saya adalah Nyonya Arsan Ryzardr !" ucap Marren meralat ucapan James sekaligus menegaskan. "Aaa... Ya, ya, hari ini, detik ini kau masih menyandang status itu. Tapi lihat saja nanti bagaimana kau akan sangat membenci statusmu setelah kau mengetahui semua tentang pria itu, suamimu!" sela James sebelum ia kembali melahap sepotong besar daging dengan nikmatnya. ''Apa maksud Anda? Tolong jangan berbelit-belit," sahut Marren dengan tidak sabar. James menggerakkan tangannya kepada salah satu pengawal yang ada di belakangnya, lalu pria berbadan kekar itu membawa sebuah laptop dan meletakkannya di atas meja. James mengetik pada benda kotak ters
Jantung Marren seolah berhenti berdetak menatap apa yang ada di hadapannya. Sebuah poster besar yang berasal dari foto Arsan dan seorang wanita cantik mengenakan pakaian serba putih selayaknya mereka sedang foto pranikah. Dan yang paling membuatnya begitu terkejut hingga membeku, ia menatap. sosok seorang perempuan itu kini terbaring lemah di sebuah ranjang dengan mata tertutup dan berselimut tebal. Wajah pucat perempuan itu terlihat tirus dan sangat menyedihkan. "Dia....?" ucap Marren begitu tercekat. "Ya, dia putri Saya. Azel. Sejak bajingan itu mencampakkannya dia melewati hari-harinya hanya seperti ini. Apa kau pikir Saya akan diam saja melihat putri Saya melewati hari-harinya terbaring lemah seperti ini? KAU PIKIR AKU HARUS DIAM SAJA!'' James meninggikan suaranya seolah terlepas ucapan hingga mengejutkan Azel dan membuat gadis itu membuka matanya dengan sayu. 'Sayang, Sayang, maafkan Daddy, Nak? Maafkan Daddy... Daddy tidak berm
James terkekeh, "Oh, maaf, Saya sudah terbiasa dengan sebutan itu untuk Si Tua Ryzardr," ia kembali terkekeh. ''Jadi aku pun terbiasa menyebut para orang tua itu seperti itu. Dan... ya, dalam surat wasiat kakekmu, pewarisnya harus tetap dalam keadaan hidup. Jika tidak ada satu pun pewaris Mahendra dalam keadaan hidup maka semua kekayaan milik Mahendra akan di serahkan kepada pemerintah untuk di kelola untuk badan amal. Tentu saja kami tak rela!" "Kami?" sela Marren yang membuat James tampak gelagapan karena terlepas bicara. "Ah, maksudku Si Tua Ryzardr dan mereka itu," sahut James terbatuk batuk dan membuatnya melemparkan rokoknya dengansembarangan di atas asbak alam. Pria itu menggerutu dan menggeram kesal karena batuknya, namun Marren mengetahui bahwa Pria itu hanya sedang mengalihkan perhatian Marren."Bagaimana Anda tahu isi surat wasiat itu?" lanjut Marren menelisik. ''Pengacara kakekmu membacakannya dalam sidang dewan
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau