Mi Hee. Gadis Korea yang berambisi memiliki kekasih seorang idol. Tak disangka banyak yang telah dikorbankannya untuk sekedar melihat idol yang sangat dikaguminya. Hampir seluruh teman-teman di sekolahnya dulu mengejek dan meremehkan impiannya itu. Mereka tak sadar bahwa dengan ejekan itu membuat Mi Hee semakin berpacu untuk menggapai mimpi-mimpinya. Ah, Mi Hee memang seorang gadis yang luar biasa. Sungguh bahagia memiliki sahabat baru sepertinya. Dia juga sering mengajakku mengunjungi beberapa tempat terhebat di Seoul. Mulai dari tempat syutingnya Boys Before Flower, Full House, dan masih banyak lagi. Aku benar-benar sangat bahagia. Setahun berlalu, sudah melekat dalam benakku wangi aroma alamnya, musim dinginnya yang menusuk tulang, dan hidung-hidung mancung dengan wajah tirus yang berseliweran di sekelilingku. Aku sudah sangat hafal dengan itu semua. Mi Hee membuatku lupa akan Indonesia, kampung halamanku.
"Memangnya apa yang sedang kau kejar di sini?" Mi Hee memandangku dengan sangat lama sambil menyantap ramen yang baru saja kami pesan.
"Cinta. Aku melihat banyak cinta di negara ini."
"Oya? Aku baru tahu, kalau Korea ini penuh dengan cinta. Apa kau tersihir dengan drama-dramanya?" Mi Hee mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Aniyo. Sejak pertama kali aku melihatnya dalam TV, aku tertarik dan semakin tertarik setiap membayangkan seandainya aku berada di sini. Akhirnya, impianku tercapai..." ulasku dengan datar.
"Wah, aku sangat senang kalau ada orang asing begitu mencintai negaraku ini. Kau tenang saja aku akan selalu menjadi pemandumu yang paling setia, tetapi kau harus bisa mempertemukanku dengan Ahn Jae. Bagaimana?" tukasnya sambil berteriak padaku.
"YAAAAAA, Mi Hee!!! Bagaimana mungkin? Aku saja tidak kenal dengannya!" jeritku begitu mendengar dia menyebutkan nama idol yang sangat disukainya itu.
"Hahaha... Makanya, kau harus ikut denganku ke acara Fan Meeting mereka. Okay????" jawabnya lagi sambil menyentil hidungku dengan kuat.
"Aaauuuwwwww!!!" jeritku sekali lagi.
"Percayalah, Kara... Kau akan jatuh cinta saat melihat mereka tampil di atas panggung. Mungkin juga kau akan pingsan saat melihat Ahn Jae menari di sana. Oh... Ahn Jae." Mi Hee menganga sambil memeluk bantal kursi yang sedari tadi dipegangnya.
"Kau pikir setiap gadis akan berpikiran yang sama sepertimu?" ujarku sambil menyentil dahinya dengan kuat lalu berlari masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Sayup-sayup ku dengar Mi Hee berteriak memanggilku. Rasakan! Itu adalah pembalasan karena dia sudah menyentil hidung mancungku tadi. Aku tertawa kecil sendiri.
Pagi ini, Mi Hee mengerucutkan mulutnya padaku. Sambil meraih semangkuk sereal yang baru saja ku siapkan, dia memandangku dengan tatapan tajam.
"Wae?" tanyaku saat melihat keadaannya yang tak beraturan.
"Kau masih tidak ingin ikut?"
Aku menggeleng.
"YAAA, Kara!!!! Ku mohon!"
"Tidak bisa!" sahutku dengan keras.
"Kenapa? Kau tidak punya uang? Kau bisa memakai uangku!"
"Aniyo!" elakku lagi dan kali ini meraih sebotol air mineral dari dalam kulkas.
"Ayolah, Kara! Help me!!!" Mi Hee terus merayuku sembari bergelendotan manja di bahuku.
Aku memandang gadis bermata sipit ini. Iba juga sebenarnya, tetapi....
"Aku janji akan mentraktirmu Kue Beras!"
Aku kaget. Ya, Kue beras adalah makanan favoritku selama di Korea. Mungkin karena aku sangat merindukan Indonesia dan bunda. Ah, Mi Hee tahu saja kelemahanku.
"Okay???" serunya lagi.
Aku masih memandangnya.
"Kara!!!"
Aku tersenyum sambil mengangguk.
Mi Hee tertawa dengan bahagianya. Baiklah, mungkin sudah saatnya aku menyetujui ajakannya. Semoga saja apa yang ada di benaknya sama persis dengan apa yang ada di benakku.
Ku gelangkan jam tangan berbentuk hati di tangan kananku. Jam ini baru saja ku beli di Myoengdoeng bersama Mi Hee pekan lalu. Warna bunga sakura yang melekat di rantainya, membuat jiwaku terasa tenang. Aku selalu berpikir, sampai kapan aku akan mencintai negara ini dengan sangat dan teramat? Sepertinya seluruh nuansa alam, humaniti, dan pesonanya melekat kuat dalam relung hatiku yang paling dalam. Untuk sebagian orang, memang tak terlalu menarik dan terlalu berlebihan jika aku memujinya seperti ini. Hum... Beginilah rasanya jika cinta itu sudah tertanam kuat. Beginilah rasanya jika cinta itu tulus dari dasar jiwa. Beginilah rasanya.
"Kau sudah selesai?" Suara Mi Hee membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk. "Ayo!"
"Ayo!!"
Aku memandang Mi Hee dengan penasaran. "Kenapa?"
"Kau cantik sekali, Kara...."
Aku melotot padanya. "Tidak usah banyak bicara! Aku tidak percaya padamu. Ayo pergi!" ujarku sambil menyeretnya keluar dari dalam kamar.
Mi Hee tertawa lebar. Sekarang dia sudah mulai tahu kelemahanku. Sedikit saja dipuji seperti tadi, aku merasa terbang ke awan.
Ramai. Suasana ini sangat ramai sampai kepalaku terasa pusing dan ingin pecah. Ku tutup kedua telingaku dengan tangan sambil menunduk. Seharusnya aku menolak saja waktu Mi Hee mengajakku menonton boyband kesayangannya ini. Ini bukan styleku, tetapi karena rasa penasaran yang begitu besar terhadap idolanya ini membuatku harus terkurung di antara para remaja dan teriakan mereka. Baiklah, aku harus menghadapi kericuhan ini. Tidak boleh kalah!
"SNine!!! SNine!!!!!!" Mereka berteriak dengan sangat kencang, termasuk Mi Hee.
"Ahn Jae!!!" Mi Hee berteriak sekeras mungkin.
Ku pandangi sahabat Koreaku itu. Badannya meliuk-liuk mengikuti irama musik yang sedikit hiphop. Kedua tangannya terangkat ke atas, rambut panjangnya terurai, dan terkibas ke udara. Apa yang ada di dalam pikirannya sampai segila ini dengan mereka? Untuk para idol di depan sana, di atas panggung, yang tak mengerti betapa perjuangan penggemar mereka sampai sejauh ini. Seperti Mi Hee, dia harus merelakan sebagian uang kuliahnya untuk membeli tiket, meninggalkan mata kuliah yang terpenting sekalipun, dan tak perduli apapun itu yang penting hati bahagia hanya dengan memandang para idol ini. Termasuk aku? Oh, tidak!!!! Aku hanya ikut saja, bukan penggemar. Tolonggg!!!!!!! Aku tidak ingin menjadi bagian dari para wanita-wanita ini. Namun, kalau dipikir-pikir, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Para remaja maupun gadis dewasa di sana juga sama histerisnya dengan para gadis di negara ini. Aku memamg sangat menyukai Korea dan juga dramanya, tetapi aku masih bisa berpikir logika untuk menyebut mereka sebagai Dewa. Ah, sudahlah. Setidaknya aku sudah menuruti keinginan Mi Hee untuk melihat idol kesayangannya itu. Walaupun sebenarnya aku tidak nyaman dalam kerumunan ini.
"Gyo Joon!!!!"
"Lee Sin!!!"
"Ahn Jae!"
"Alan!"
"Sang Yoen!!"
Siapapun mereka di atas panggung sana, aku tak perduli. Aku ingin secepatnya keluar dari sini. Bising!!
"Kara!!!" teriak Mi Hee memanggilku.
Ku angkat kepalaku dan melihatnya.
"Ayo, bersenang-senang!" serunya sambil terus berteriak dan bergoyang.
Aku hanya tersenyum.
"Kau akan jatuh cinta pada mereka. Percayalah padaku!" seru Mi Hee dalam suasana riuh seperti ini.
"Tidak akan! Aku tidak percaya padamu!" balasku sambil tertawa kecil.
"Mari bertaruh!" teriak Mi Hee.
Aku meronta kesakitan. Jari kelingkingku terpijak seseorang saat keluar dari dalam ruangan yang bising itu. Berdarah. Air mengucur deras dari ujung kuku kakiku. Aku bersandar pada sebuah bangku taman yang sedikit basah karena embun malam ini. Ku regangkan tanganku dan menekuknya satu persatu. Dalam waktu kurang lebih 2 jam di dalam sana sudah membuatku kuyup keringat, lelah, dan terluka. Ditambah lagi, aku harus kehilangan Mi Hee. Dia berlari dengan sangat cepat. Itu membuatku terpisah darinya. Aaarrghhh... Aku ingin mengutuk diriku sekarang. Kenapa sampai seceroboh ini??? Saat sedang asyik memijat bagian belakang kaki, aku melihat sebuah bayangan di bawah lampu taman yang berada tak jauh dariku. Sesegera mungkin aku beranjak dari bangku dan...."Ayo... Ayooo!!!" Seseorang kembali menarik tanganku dengan kuat sambil berlari ke arah yang berlawanan dari rumahku.Aku tersontak kaget dan tak bisa berkata apa-apa selain ikut berlari dengannya. Siapa orang ini? Kenapa dia s
Hari ini aku merasa tidak enak badan. Terasa seperti remuk redam. Mungkin karena aku berdesak-desakan di acara Konser kemarin bersama Mi Hee. Punggungku ngilu seperti ditusuk-tusuk. Bagian betisku juga agak kram karena banyak berlari dan… ya, jempolku juga tak kalah perihnya dari betis dan punggung ini. Entah berapa lama lagi aku harus membalutnya dengan kain kasa. Aku sudah tak sabar ingin memakai sepatu."Kau akan ke supermarket hari ini?” tanya Mi Hee padaku saat kami sedang berada di kantin siang ini.Aku mengangguk sambil menyuapkan buah pisang ke dalam mulut.“Apa aku perlu ikut?”Aku menggeleng. “Tidak usah! Kau masuk kelas saja. Aku tidak masalah, kalaupun pergi sendiri!”“Jeongmal?”“Nae!”“Erm, jangan lupa membeli lobak!”“Iya, aku sudah tahu itu!”“Dan…” Dia berhenti dan mulai tersenyum aneh padaku.A
Sebulan berlalu, setelah kali kedua aku bertemu dengan lelaki itu. Lee Sin. Entah apa kabarnya sekarang? Aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Yang dapat ku lakukan hanya melihatnya di layar kaca tanpa bisa bertemu langsung seperti yang sudah-sudah. Ada rindu di dalam hatiku sebenarnya. Aku ingin memandangnya secara langsung seperti waktu itu. Apakah dia sudah melupakanku? Atau ini hanya perasaanku saja. Mungkin ya. Kalau dipikir-pikir, Lee Sin adalah seorang idol sementara aku hanyalah gadis biasa yang tak mungkin sebanding dengannya. Seharusnya aku tak berkhayal seperti gadis yang ada di drama Korea yang sering ku tonton. Namun, inilah keajaiban itu. Masih jelas di ingatanku saat dia meminta nomor teleponku siang itu di taman."Ku harap kita akan bertemu kembali, Kara!" ujarnya sambil menyimpan telepon genggamnya ke dalam saku celana siang itu.Aku hanya tersenyum memandang wajah oriental sang idol. Matanya yang sipit dan akan menghilang saat tertawa membuatku tak d
Taman ini membeku. Kursi yang ku duduki juga terasa seperti es. Aku mulai menggigil. Ku lirik jam tanganku, sudah jam 8 lewat 10 menit. Aku mulai cemas. Apakah Lee Sin lupa dengan janjinya atau dia sedang sibuk sekarang? Atau… Ah... Aku bisa mati kedinginan di sini, kalau dalam waktu 5 menit lagi dia tidak datang juga. Coat yang ku pakai sepertinya tak bisa menghangatkan badanku karena dinginnya semakin menembus tulang. Ini memang sedang musim dingin di Korea. Kenapa aku percaya saja pada pria Korea itu? Kenapa aku mengikuti ajakannya? Kenapa aku sampai segila ini menembus dinginnya malam Korea hanya untuk bertemu dengannya? Ah, sepertinya aku sama gilanya seperti Mi Hee sekarang. Ini semua karena Lee Sin.“Mianhae…” Sebuah suara datang dari arah belakang.Aku membalikkan tubuh ke belakang. Dia memakai jaket bertopi berwarna biru tua dan kacamata hitam yang legam.Sambil tersenyum, Lee Sin meletakkan coatnya ke tubuhku. “Kau sudah
"Hyung..." Suara Lee Sin terasa berat.Gyo Joon memandangnya sebentar dan fokus kembali pada layar yang berada di hadapannya."Menurutmu, apakah mungkin kita bisa menjalin hubungan dengan seseorang?" tanya Lee Sin dan mendekati Joon yang sedang bermain game di ruang tamu malam itu."Kau menyukai seseorang? Siapa? Gae Na? Gyu Won?" Joon terkejut m3ndengar pertanyaan juniornya itu"Aniyo! Bukan mereka." Lee Sin menggeleng dengan cepat."Lalu siapa?""Hanya seorang gadis biasa.""Memangnya kau bukan orang biasa?" balas Joon tanpa melihat Sin sedikitpun. Dia masih sibuk dengan game online di laptopnya. Ya, hidup Joon hanya ditemani dengan game yang dapat membuatnya lebih tenang setelah mengadakan beberapa music tour bersama SNine.Lee Sin menggaruk kepalanya sambil menunjukkan wajah yang sedikit bingung dengan jawaban Joon. Sepertinya in
Sebulan telah berlalu. Setelah kejadian itu, aku tak pernah mendengar kabar apapun lagi darinya. Sampai aku melihat sebuah acara Weekly Idol di TV tentang mereka, tentang SNine yang sempat menjadi bunga tidurku sepanjang malam."Kau tidak ingin duduk bersamaku di sini?" tanya Mi Hee dan melemparkan sebuah bantal kursi padaku. Dia tersenyum sambil melambaikan tangannya.Aku menggeleng. Perasaanku sudah berubah sejak Lee Sin tak lagi pernah menghubungiku."Kenapa?" Dahi Mi Hee mengerut."Aku sedang tidak enak badan," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya."Kau tidak ingin melihat SNine? Kau yakin?" tanyanya lagi seakan tidak percaya dengan jawabanku.Aku menggeleng lagi dengan cepat."Kau aneh! Biasanya kau paling rajin menatap mereka seharian di sini. Ya sudah, kalau begitu." Mi Hee memalingkan wajahnya dariku.Aku duduk di meja makan sambil mengupas sebuah apel merah yang ada di atasnya."Kara, lihatlah! Itu
Eodiyeo?Aku meraih ponselku sambil meregangkan tangan yang terasa sakit karena sedari pagi aku terus bergelut dengan tugas dari Profesor Hyuna. Aku tidak tahu bahwa ternyata Pshycology itu merumitkan. Hampir saja aku merasa putus asa saat mulai mengerjakan tugas itu satu persatu. Antara sadar atau tidak, aku melotot memandang layar ponselku. Lee Sin? Benarkah ini pesan darinya? Sontak saja aku melompat dari kasur dan terduduk manis di depan meja rias. Senyumku mengembang seketika. Aku masih terus memandang namanya yang terpampang di layar. Entahlah, aku sudah seperti orang gila setiap berhadapan dengan pria Korea yang tampan ini. Sambil tersenyum lebar, aku mulai mengetik balasan pesan untuknya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Rasa rindu sudah memuncah dalam jiwaku, seperti meronta-ronta menginginkan kehadiran Lee Sin secepatnya. Aneh memang, tetapi itulah yang ku rasakan.Aku di rumah. Memangnya ada apa?
Tempat ini ramai sekali. Banyak remaja Korea yang sedang hilir mudik di hadapanku sekarang. Mungkin mereka juga sedang menunggu kedatangan sang idola tepat di pintu masuk gedung, sama sepertiku dan Mi Hee. Suara lengkingan yang tak henti-hentinya terdengar dari setiap sudut gedung membuatku ingin mundur saja dan pulang ke rumah. Mereka sangat histeris menyambut SNine. Mungkin lebih baik aku tidur manis di atas kasur sambil membayangkan Lee Sin dengan indah. Ah, dalam keadaan seperti ini masih sempatnya aku melamunkan yang tidak-tidak. Kehisterisan merekapun mulai menjadi-jadi. Berkali-kali nama Lee Sin mendayu syahdu di telingaku. Rasanya cemburu di dalam hati begitu kuat saat gadis-gadis centil ini memanggil namanya. Apa yang ku pikirkan sekarang? Lee Sin bukan hanya milikku. Dia adalah milik para penggemarnya karena dengan adanya dukungan dari mereka untuk Sin, itu akan membuat Sin meraih kesuksesannya dengan mudah.Tak berapa lama, pintu masuk gedung pun terbuka. Semua pen
Aku masih menangis. Ku pandangi foto diriku dan Lee Sin bergandengan saat di Jeju. Dia begitu ceria. Dia begitu menawan. Sampai aku tak menyangka ini terjadi padanya. Kenangan itu kembali terngiang di ingatanku. Saat Lee Sin mengungkapkan semua perasaannya yang begitu kuat untukku.“Sebenarnya apa yang membuatmu begitu mencintaiku, Lee Sin?” tanyaku padanya.“Hm, apakah kau harus tahu?” jawabnya menggodaku.“Nae… Aku masih tidak percaya seorang idol Korea menyukaiku. Ini sebuah keajaiban, kan?” jawabku sambil tertawa kecil.Dia mengencangkan pelukannya di pinggangku. “Aku juga tidak tahu. Mungkin ini yang disebut cinta. Aku tidak punya alasan apapun untuk mencintaimu,” jawab Lee Sin.“Oya?”“Nae. Aku benar-benar mencintaimu…”“Kau yakin?” ulangku lagi.“Kalau aku sudah mengatakan ya, berarti itu adalah kejujuran. Selama ini j
Aku berjalan perlahan menuju gerbang kampus. Suasana hatiku masih kacau walaupun sudah tak ada lagi yang terjadi. Bullyan yang ku terima beberapa bulan yang lalu sudah memudar perlahan-lahan. Mereka tak lagi melihatku dengan sinis. Mi Hee benar, ini hanya sementara saja dan akan segera berakhir. Ku harap tak akan terulang lagi di dalam hidupku. Di saat bersamaan, telepon genggamku berdering.“Nae…” jawabku dengan pelan.“Oediyeo?” tanyanya dengan nada yang tidak biasa.“Aku di kampus. Ada apa??”“Aku pikir kau harus bolos hari ini.”“Waeyo?”“Kau pulang saja. Aku tunggu di rumah sekarang…”Klik. Telepon terputus.Suara Mi Hee terdengar berbeda dari biasanya. Dia juga tiba-tiba menyuruhku pulang di saat seperti ini? Ku pandang gerbang kampus yang sedikit lagi ku jangkau. Apakah a
Kembali aku menguak cerita lama yang masih bersemi indah di dalam hatiku. Malam ulang tahun Lee Sin yang sangat berarti untukku. Saat itu, Professor Hyuna menyarankanku untuk memberikan sebuah syal pada Lee Sin di hari ulang tahunnya. Menurut Hyuna, Sin pasti akan selalu memakai syal ini kemanapun dia pergi. Dengan begitu, syal pemberianku akan selalu menjadi pendamping dimana pun dia berada."Bagaimana? Kau tertarik??" tanyanya dan mendekatiku yang masih memilah-milah syal yang pantas untuk Lee Sin.Aku masih bingung. "Semua syal yang ada di sini benar-benar bagus, Unnie," jawabku.Professor Hyuna tertawa kecil melihat wajahku yang kebingungan. Dia juga ikut membantuku memilih kado ulang tahun Lee Sin."Apakah kau tahu warna kesukaannya?" tanyaku dengan wajah memelas pada Hyuna. Aku memutar kedua bola mataku."Hitam, putih, dan abu-abu. Ku pikir seperti itu warna kesukaannya," jawab Hyuna lagi."Hitam, putih, dan abu-abu? Dia benar-benar ti
Lagi-lagi aku melamun tentang Lee Sin. Aku sama sekali tak menyangka hubungan kami akan berakhir secepat ini. Sudah lebih dari sebulan, Sin tak pernah lagi menghubungiku. Sebenarnya tak ada siapapun yang mengharapkan ini terjadi. Dimana dia dan apa yang terjadi dengannya, aku sama sekali tak tahu. Setiap aku mencoba menghubungi Sin, teleponnya selalu tidak aktif. Satupun pesan singkat yang ku kirim tak pernah dibaca dan dibalas. Ada apa sebenarnya??Aku mulai mengenang kembali semua kebersamaan kami sebelum Sin benar-benar menghilang dariku.Kami sampai di Jeju. Tepat sebulan setelah makan malam itu, kami menjalin hubungan yang aku sendiri tak tahu harus mendeskripsikannya seperti apa. Aku hanya menikmati hubungan itu dengan seorang idola Korea, Lee Sin. Mungkin akan banyak pro dan kontra dalam hubungan kami, tetapi kami tak perduli. Belum lagi, Lee Sin juga tak ingin siapapun mengetahui hubungan kami. Masalah pekerjaan adalah nomor satu baginya dan aku tak bisa memung
Langkahku ini terasa berat pada akhirnya. Ini adalah tahun ketiga, dimana kehidupanku semakin rumit selama berada di Korea. Padahal, selangkah lagi pendidikanku akan selesai, tetapi kekhawatiran semakin menggebu di dalam hati. Perasaan yang tak bisa ku ungkapkan dengan apapun itu sebenarnya. Sudah sebulan lamanya, Sin juga tidak menghubungiku. Apakah dia benar-benar sibuk dengan pekerjaannya atau dia sedang melupakanku sementara waktu? Ah, seharusnya aku memyadari sesuatu diantara kami. Seorang superstar pasti tidak akan memiliki banyak waktu luang sepertiku, gumamku selalu di dalam hati. Terakhir pertemuanku dengannya adalah pada saat malam itu, malam ulang tahun Lee Sin."Saengilchukka habnida... Saengilchukka habnida... Saranghae uri Lee Sin, Saengilchukka habnida."Nyanyian ini terdengar lebih syahdu di telingaku. Aku pun ikut bernyanyi dengan wajah berseri-seri. Sin juga terlihat sangat bahagia. Dia mengenakan kemeja biru muda, jas hitam, dan celana panjang hitam
Pagi ini, kami bersiap-siap untuk pulang ke Seoul. Aku mengikat rambutku dan masuk ke dalam mobil. Lee Sin sudah menungguku di dalam dengan kacamata hitam dan topinya. Dia tersenyum memandangku yang saat itu sedang berjalan keluar dari penginapan. Mudah-mudahan pagi ini saluran TV Korea dalam keadaan baik-baik saja. Aku melangkah lebih cepat lagi menuju mobil agar tidak ada yang melihat keberadaan kami. Kalau sampai itu terjadi, akan menjadi sebuah berita besar di Korea."Gwenchana?" tanyanya saat aku membuka pintu mobil."Nae..." jawabku tersenyum.Dia membalas senyumanku.Sepanjang perjalanan menuju Seoul, Sin bercerita banyak tentang keluarga dan kehidupannya. Dia juga berkisah tak pernah bermimpi menjadi seorang idol seperti sekarang. Impiannya adalah menjadi seorang dokter anak. Aku tersenyum mendengar kisahnya itu."Apa kau mengenal Professor Lee Hyuna?" tanyanya saat aku membuka layar handphoneku yang sudah mati semalaman.Beberapa pe
Setelah 2 jam di dalam perjalanan menuju suatu tempat yang aku sendiri tidak mengetahuinya, akhirnya membuatku merasa segar sekarang. Sambil sedikit menguap, ku rentangkan kedua tangan dan menggerakkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Setelah ku sadari, ternyata aku sedang bersama Lee Sin. Aku menoleh ke arahnya.Pria itu tersenyum sembari memperhatikanku. "Kau sudah bangun?" tanyanya.Aku tersenyum malu membalasnya. Dia pasti sudah melihatku menguap tadi. Aku hanya mengangguk.Tiba-tiba, Lee Sin membuka bagian atap mobilnya dengan lebar. Udara segarpun masuk ke dalam dan membuatku menarik nafas panjang."Wah, segarnya! Aku ingin terbang sekarang juga!" teriakku dengan penuh rasa bahagia sambil berdiri di atas jok dan merentangkan kedua tangan.Anginnya seperti menampar-nampar wajahku. Pemandangan yang sangat luar biasa indahnya. Belum pernah aku merasakan udara dan suasana sesegar ini. Benar-benar suasana yang menawarkan sejuta kebahagiaan. Ak
Kami sampai di sebuah Mall, tempat dimana mereka sering berkunjung untuk membeli sesuatu. Lee Sin berjalan di depanku. Sore ini, dia mengenakan sweater besar dengan aksen bunga sakura di bagian dadanya dan memakai kacamata hitam. Sepertinya ini adalah sebuah penyamaran yang sudah dirancang serapi mungkin agar para penggemar tidak mengetahui keberadaan mereka di sini. Sementara, aku hanya menggunakan syal untuk menutupi wajahku. Rasa khawatir juga sedang berkecamuk di dalam dada. Aku takut para penggemar fanatic itu akan menyerbuku dengan tiba-tiba dan.... Ah, aku tidak ingin membayangkannya lagi. Pasti akan sulit untuk keluar dari masalah besar seperti itu."Ayo!!!!" seru Alan mengajakku masuk ke dalam sebuah butik dengan baju-baju bermerek yang sudah pasti sangat mahal harganya.Aku menelan ludah. Mungkin biaya kuliahku setahun di kota ini belum tentu dapat membeli satu baju saja dari butik ini. Aku berjalan menuju sebuah kursi tunggu yan
Jujur saja, aku sangat gugup sekali dengan suasana ini. Ini adalah pertama kalinya Sin mengajakku ke dormnya, dimana para idol yang sedang popular di seluruh negera menetap dengan karakter mereka masing-masing. Ada rasa ketidaksiapan saat bertemu dengan mereka secara langsung seperti ini.Setelah menyapa Alan, aku melihat pria itu lagi. Pria tampan dan mempesona yang rasanya tak asing bagiku. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya sebelum ini, tetapi apakah ini sebuah dejavu? Lee Sin memanggilnya dengan sebutan Hyung. Apakah itu berarti dia adalah leader dari grup ini?Saat melihatku masuk, pria itu bangkit dari sofa dan menyapaku dengan sangat ramah. "Kau sudah datang?" tanyanya. Mata sipitnya tampak jelas, mungkin karena dia tidak memakai make up seperti di atas panggung.Aku mengangguk dengan gugup. Ada sesuatu yang berbeda setiap aku berhadapan dengan pria ini. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?"Anggap saja seperti di rumahmu sendiri, arasso?" uj