Sebulan telah berlalu. Setelah kejadian itu, aku tak pernah mendengar kabar apapun lagi darinya. Sampai aku melihat sebuah acara Weekly Idol di TV tentang mereka, tentang SNine yang sempat menjadi bunga tidurku sepanjang malam.
"Kau tidak ingin duduk bersamaku di sini?" tanya Mi Hee dan melemparkan sebuah bantal kursi padaku. Dia tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Aku menggeleng. Perasaanku sudah berubah sejak Lee Sin tak lagi pernah menghubungiku.
"Kenapa?" Dahi Mi Hee mengerut.
"Aku sedang tidak enak badan," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
"Kau tidak ingin melihat SNine? Kau yakin?" tanyanya lagi seakan tidak percaya dengan jawabanku.
Aku menggeleng lagi dengan cepat.
"Kau aneh! Biasanya kau paling rajin menatap mereka seharian di sini. Ya sudah, kalau begitu." Mi Hee memalingkan wajahnya dariku.
Aku duduk di meja makan sambil mengupas sebuah apel merah yang ada di atasnya.
"Kara, lihatlah! Itu
Eodiyeo?Aku meraih ponselku sambil meregangkan tangan yang terasa sakit karena sedari pagi aku terus bergelut dengan tugas dari Profesor Hyuna. Aku tidak tahu bahwa ternyata Pshycology itu merumitkan. Hampir saja aku merasa putus asa saat mulai mengerjakan tugas itu satu persatu. Antara sadar atau tidak, aku melotot memandang layar ponselku. Lee Sin? Benarkah ini pesan darinya? Sontak saja aku melompat dari kasur dan terduduk manis di depan meja rias. Senyumku mengembang seketika. Aku masih terus memandang namanya yang terpampang di layar. Entahlah, aku sudah seperti orang gila setiap berhadapan dengan pria Korea yang tampan ini. Sambil tersenyum lebar, aku mulai mengetik balasan pesan untuknya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Rasa rindu sudah memuncah dalam jiwaku, seperti meronta-ronta menginginkan kehadiran Lee Sin secepatnya. Aneh memang, tetapi itulah yang ku rasakan.Aku di rumah. Memangnya ada apa?
Tempat ini ramai sekali. Banyak remaja Korea yang sedang hilir mudik di hadapanku sekarang. Mungkin mereka juga sedang menunggu kedatangan sang idola tepat di pintu masuk gedung, sama sepertiku dan Mi Hee. Suara lengkingan yang tak henti-hentinya terdengar dari setiap sudut gedung membuatku ingin mundur saja dan pulang ke rumah. Mereka sangat histeris menyambut SNine. Mungkin lebih baik aku tidur manis di atas kasur sambil membayangkan Lee Sin dengan indah. Ah, dalam keadaan seperti ini masih sempatnya aku melamunkan yang tidak-tidak. Kehisterisan merekapun mulai menjadi-jadi. Berkali-kali nama Lee Sin mendayu syahdu di telingaku. Rasanya cemburu di dalam hati begitu kuat saat gadis-gadis centil ini memanggil namanya. Apa yang ku pikirkan sekarang? Lee Sin bukan hanya milikku. Dia adalah milik para penggemarnya karena dengan adanya dukungan dari mereka untuk Sin, itu akan membuat Sin meraih kesuksesannya dengan mudah.Tak berapa lama, pintu masuk gedung pun terbuka. Semua pen
Aku masih bingung dengan semua yang sedang terjadi di sini.Mi Hee juga menatapku dengan tajam sembari berbisik pelan, “Ini ada apa?”“Aku juga tidak mengerti…” bisikku sambil menggeleng ke arahnya."Tetapi tidak apa-apa juga. Aku senang bisa melihat mereka dari dekat. Kau juga, kan?” tanya Mi Hee membalas bisikanku sambil tertawa kecil.Akhirnya satu persatu dari member SNine keluar dari sebuah ruangan. Mereka menghampiriku dan Mi Hee sambil tersenyum. Kelima superstar itu berjalan menuju kami yang masih saja tak percaya dengan semua ini. Aku mencari wajah Lee Sin diantara wajah pria-pria tampan ini. Dia berada di belakang seorang. Entahlah, aku tak mengenalnya.Tiba-tiba Ahn Jae langsung mendekati Mi Hee. Pria itu membawa seikat bunga dan memberikannya pada Mi Hee. “Apakah kau yang bernama Mi Hee?” tanyanya dengan suara yang amat lembut.“N-Nae…” Suara Mi Hee terdengar ber
Hari ini aku dan Mi Hee akan pergi ke Supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Cuaca sudah memasuki musim dingin. Ku putuskan untuk memakai coat berwarna pink pemberian Lee Sin di hari ulang tahunku. Setelah memakai jas itu, rasanya kepercayaan diriku kembali lagi. Aku berputar-putar di cermin sambil sesekali tersenyum bahagia menatap diriku yang terlihat manis memakai coat ini. Ini memang sudah lama ku idam-idamkan."Waeyo?" tanya Mi Hee yang tiba-tiba saja masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintunya terlebih dulu."YAA, kenapa kau tidak mengetuk pintunya dulu?""Aku sudah mengetuk pintunya, tetapi kau sama sekali tidak menyahut. Ya sudah, aku masuk saja!" seru Mi Hee sembari merebahkan tubuhnya ke atas kasur.Aku meliriknya tanpa berkata apa-apa."Kau baru membelinya?" tanya Mi Hee sambil menunjuk coat yang sedang ku pakai.Aku menggeleng. "Aniyo! Ini kado dari L
Jujur saja, aku sangat gugup sekali dengan suasana ini. Ini adalah pertama kalinya Sin mengajakku ke dormnya, dimana para idol yang sedang popular di seluruh negera menetap dengan karakter mereka masing-masing. Ada rasa ketidaksiapan saat bertemu dengan mereka secara langsung seperti ini.Setelah menyapa Alan, aku melihat pria itu lagi. Pria tampan dan mempesona yang rasanya tak asing bagiku. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya sebelum ini, tetapi apakah ini sebuah dejavu? Lee Sin memanggilnya dengan sebutan Hyung. Apakah itu berarti dia adalah leader dari grup ini?Saat melihatku masuk, pria itu bangkit dari sofa dan menyapaku dengan sangat ramah. "Kau sudah datang?" tanyanya. Mata sipitnya tampak jelas, mungkin karena dia tidak memakai make up seperti di atas panggung.Aku mengangguk dengan gugup. Ada sesuatu yang berbeda setiap aku berhadapan dengan pria ini. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?"Anggap saja seperti di rumahmu sendiri, arasso?" uj
Kami sampai di sebuah Mall, tempat dimana mereka sering berkunjung untuk membeli sesuatu. Lee Sin berjalan di depanku. Sore ini, dia mengenakan sweater besar dengan aksen bunga sakura di bagian dadanya dan memakai kacamata hitam. Sepertinya ini adalah sebuah penyamaran yang sudah dirancang serapi mungkin agar para penggemar tidak mengetahui keberadaan mereka di sini. Sementara, aku hanya menggunakan syal untuk menutupi wajahku. Rasa khawatir juga sedang berkecamuk di dalam dada. Aku takut para penggemar fanatic itu akan menyerbuku dengan tiba-tiba dan.... Ah, aku tidak ingin membayangkannya lagi. Pasti akan sulit untuk keluar dari masalah besar seperti itu."Ayo!!!!" seru Alan mengajakku masuk ke dalam sebuah butik dengan baju-baju bermerek yang sudah pasti sangat mahal harganya.Aku menelan ludah. Mungkin biaya kuliahku setahun di kota ini belum tentu dapat membeli satu baju saja dari butik ini. Aku berjalan menuju sebuah kursi tunggu yan
Setelah 2 jam di dalam perjalanan menuju suatu tempat yang aku sendiri tidak mengetahuinya, akhirnya membuatku merasa segar sekarang. Sambil sedikit menguap, ku rentangkan kedua tangan dan menggerakkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Setelah ku sadari, ternyata aku sedang bersama Lee Sin. Aku menoleh ke arahnya.Pria itu tersenyum sembari memperhatikanku. "Kau sudah bangun?" tanyanya.Aku tersenyum malu membalasnya. Dia pasti sudah melihatku menguap tadi. Aku hanya mengangguk.Tiba-tiba, Lee Sin membuka bagian atap mobilnya dengan lebar. Udara segarpun masuk ke dalam dan membuatku menarik nafas panjang."Wah, segarnya! Aku ingin terbang sekarang juga!" teriakku dengan penuh rasa bahagia sambil berdiri di atas jok dan merentangkan kedua tangan.Anginnya seperti menampar-nampar wajahku. Pemandangan yang sangat luar biasa indahnya. Belum pernah aku merasakan udara dan suasana sesegar ini. Benar-benar suasana yang menawarkan sejuta kebahagiaan. Ak
Pagi ini, kami bersiap-siap untuk pulang ke Seoul. Aku mengikat rambutku dan masuk ke dalam mobil. Lee Sin sudah menungguku di dalam dengan kacamata hitam dan topinya. Dia tersenyum memandangku yang saat itu sedang berjalan keluar dari penginapan. Mudah-mudahan pagi ini saluran TV Korea dalam keadaan baik-baik saja. Aku melangkah lebih cepat lagi menuju mobil agar tidak ada yang melihat keberadaan kami. Kalau sampai itu terjadi, akan menjadi sebuah berita besar di Korea."Gwenchana?" tanyanya saat aku membuka pintu mobil."Nae..." jawabku tersenyum.Dia membalas senyumanku.Sepanjang perjalanan menuju Seoul, Sin bercerita banyak tentang keluarga dan kehidupannya. Dia juga berkisah tak pernah bermimpi menjadi seorang idol seperti sekarang. Impiannya adalah menjadi seorang dokter anak. Aku tersenyum mendengar kisahnya itu."Apa kau mengenal Professor Lee Hyuna?" tanyanya saat aku membuka layar handphoneku yang sudah mati semalaman.Beberapa pe
Aku masih menangis. Ku pandangi foto diriku dan Lee Sin bergandengan saat di Jeju. Dia begitu ceria. Dia begitu menawan. Sampai aku tak menyangka ini terjadi padanya. Kenangan itu kembali terngiang di ingatanku. Saat Lee Sin mengungkapkan semua perasaannya yang begitu kuat untukku.“Sebenarnya apa yang membuatmu begitu mencintaiku, Lee Sin?” tanyaku padanya.“Hm, apakah kau harus tahu?” jawabnya menggodaku.“Nae… Aku masih tidak percaya seorang idol Korea menyukaiku. Ini sebuah keajaiban, kan?” jawabku sambil tertawa kecil.Dia mengencangkan pelukannya di pinggangku. “Aku juga tidak tahu. Mungkin ini yang disebut cinta. Aku tidak punya alasan apapun untuk mencintaimu,” jawab Lee Sin.“Oya?”“Nae. Aku benar-benar mencintaimu…”“Kau yakin?” ulangku lagi.“Kalau aku sudah mengatakan ya, berarti itu adalah kejujuran. Selama ini j
Aku berjalan perlahan menuju gerbang kampus. Suasana hatiku masih kacau walaupun sudah tak ada lagi yang terjadi. Bullyan yang ku terima beberapa bulan yang lalu sudah memudar perlahan-lahan. Mereka tak lagi melihatku dengan sinis. Mi Hee benar, ini hanya sementara saja dan akan segera berakhir. Ku harap tak akan terulang lagi di dalam hidupku. Di saat bersamaan, telepon genggamku berdering.“Nae…” jawabku dengan pelan.“Oediyeo?” tanyanya dengan nada yang tidak biasa.“Aku di kampus. Ada apa??”“Aku pikir kau harus bolos hari ini.”“Waeyo?”“Kau pulang saja. Aku tunggu di rumah sekarang…”Klik. Telepon terputus.Suara Mi Hee terdengar berbeda dari biasanya. Dia juga tiba-tiba menyuruhku pulang di saat seperti ini? Ku pandang gerbang kampus yang sedikit lagi ku jangkau. Apakah a
Kembali aku menguak cerita lama yang masih bersemi indah di dalam hatiku. Malam ulang tahun Lee Sin yang sangat berarti untukku. Saat itu, Professor Hyuna menyarankanku untuk memberikan sebuah syal pada Lee Sin di hari ulang tahunnya. Menurut Hyuna, Sin pasti akan selalu memakai syal ini kemanapun dia pergi. Dengan begitu, syal pemberianku akan selalu menjadi pendamping dimana pun dia berada."Bagaimana? Kau tertarik??" tanyanya dan mendekatiku yang masih memilah-milah syal yang pantas untuk Lee Sin.Aku masih bingung. "Semua syal yang ada di sini benar-benar bagus, Unnie," jawabku.Professor Hyuna tertawa kecil melihat wajahku yang kebingungan. Dia juga ikut membantuku memilih kado ulang tahun Lee Sin."Apakah kau tahu warna kesukaannya?" tanyaku dengan wajah memelas pada Hyuna. Aku memutar kedua bola mataku."Hitam, putih, dan abu-abu. Ku pikir seperti itu warna kesukaannya," jawab Hyuna lagi."Hitam, putih, dan abu-abu? Dia benar-benar ti
Lagi-lagi aku melamun tentang Lee Sin. Aku sama sekali tak menyangka hubungan kami akan berakhir secepat ini. Sudah lebih dari sebulan, Sin tak pernah lagi menghubungiku. Sebenarnya tak ada siapapun yang mengharapkan ini terjadi. Dimana dia dan apa yang terjadi dengannya, aku sama sekali tak tahu. Setiap aku mencoba menghubungi Sin, teleponnya selalu tidak aktif. Satupun pesan singkat yang ku kirim tak pernah dibaca dan dibalas. Ada apa sebenarnya??Aku mulai mengenang kembali semua kebersamaan kami sebelum Sin benar-benar menghilang dariku.Kami sampai di Jeju. Tepat sebulan setelah makan malam itu, kami menjalin hubungan yang aku sendiri tak tahu harus mendeskripsikannya seperti apa. Aku hanya menikmati hubungan itu dengan seorang idola Korea, Lee Sin. Mungkin akan banyak pro dan kontra dalam hubungan kami, tetapi kami tak perduli. Belum lagi, Lee Sin juga tak ingin siapapun mengetahui hubungan kami. Masalah pekerjaan adalah nomor satu baginya dan aku tak bisa memung
Langkahku ini terasa berat pada akhirnya. Ini adalah tahun ketiga, dimana kehidupanku semakin rumit selama berada di Korea. Padahal, selangkah lagi pendidikanku akan selesai, tetapi kekhawatiran semakin menggebu di dalam hati. Perasaan yang tak bisa ku ungkapkan dengan apapun itu sebenarnya. Sudah sebulan lamanya, Sin juga tidak menghubungiku. Apakah dia benar-benar sibuk dengan pekerjaannya atau dia sedang melupakanku sementara waktu? Ah, seharusnya aku memyadari sesuatu diantara kami. Seorang superstar pasti tidak akan memiliki banyak waktu luang sepertiku, gumamku selalu di dalam hati. Terakhir pertemuanku dengannya adalah pada saat malam itu, malam ulang tahun Lee Sin."Saengilchukka habnida... Saengilchukka habnida... Saranghae uri Lee Sin, Saengilchukka habnida."Nyanyian ini terdengar lebih syahdu di telingaku. Aku pun ikut bernyanyi dengan wajah berseri-seri. Sin juga terlihat sangat bahagia. Dia mengenakan kemeja biru muda, jas hitam, dan celana panjang hitam
Pagi ini, kami bersiap-siap untuk pulang ke Seoul. Aku mengikat rambutku dan masuk ke dalam mobil. Lee Sin sudah menungguku di dalam dengan kacamata hitam dan topinya. Dia tersenyum memandangku yang saat itu sedang berjalan keluar dari penginapan. Mudah-mudahan pagi ini saluran TV Korea dalam keadaan baik-baik saja. Aku melangkah lebih cepat lagi menuju mobil agar tidak ada yang melihat keberadaan kami. Kalau sampai itu terjadi, akan menjadi sebuah berita besar di Korea."Gwenchana?" tanyanya saat aku membuka pintu mobil."Nae..." jawabku tersenyum.Dia membalas senyumanku.Sepanjang perjalanan menuju Seoul, Sin bercerita banyak tentang keluarga dan kehidupannya. Dia juga berkisah tak pernah bermimpi menjadi seorang idol seperti sekarang. Impiannya adalah menjadi seorang dokter anak. Aku tersenyum mendengar kisahnya itu."Apa kau mengenal Professor Lee Hyuna?" tanyanya saat aku membuka layar handphoneku yang sudah mati semalaman.Beberapa pe
Setelah 2 jam di dalam perjalanan menuju suatu tempat yang aku sendiri tidak mengetahuinya, akhirnya membuatku merasa segar sekarang. Sambil sedikit menguap, ku rentangkan kedua tangan dan menggerakkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Setelah ku sadari, ternyata aku sedang bersama Lee Sin. Aku menoleh ke arahnya.Pria itu tersenyum sembari memperhatikanku. "Kau sudah bangun?" tanyanya.Aku tersenyum malu membalasnya. Dia pasti sudah melihatku menguap tadi. Aku hanya mengangguk.Tiba-tiba, Lee Sin membuka bagian atap mobilnya dengan lebar. Udara segarpun masuk ke dalam dan membuatku menarik nafas panjang."Wah, segarnya! Aku ingin terbang sekarang juga!" teriakku dengan penuh rasa bahagia sambil berdiri di atas jok dan merentangkan kedua tangan.Anginnya seperti menampar-nampar wajahku. Pemandangan yang sangat luar biasa indahnya. Belum pernah aku merasakan udara dan suasana sesegar ini. Benar-benar suasana yang menawarkan sejuta kebahagiaan. Ak
Kami sampai di sebuah Mall, tempat dimana mereka sering berkunjung untuk membeli sesuatu. Lee Sin berjalan di depanku. Sore ini, dia mengenakan sweater besar dengan aksen bunga sakura di bagian dadanya dan memakai kacamata hitam. Sepertinya ini adalah sebuah penyamaran yang sudah dirancang serapi mungkin agar para penggemar tidak mengetahui keberadaan mereka di sini. Sementara, aku hanya menggunakan syal untuk menutupi wajahku. Rasa khawatir juga sedang berkecamuk di dalam dada. Aku takut para penggemar fanatic itu akan menyerbuku dengan tiba-tiba dan.... Ah, aku tidak ingin membayangkannya lagi. Pasti akan sulit untuk keluar dari masalah besar seperti itu."Ayo!!!!" seru Alan mengajakku masuk ke dalam sebuah butik dengan baju-baju bermerek yang sudah pasti sangat mahal harganya.Aku menelan ludah. Mungkin biaya kuliahku setahun di kota ini belum tentu dapat membeli satu baju saja dari butik ini. Aku berjalan menuju sebuah kursi tunggu yan
Jujur saja, aku sangat gugup sekali dengan suasana ini. Ini adalah pertama kalinya Sin mengajakku ke dormnya, dimana para idol yang sedang popular di seluruh negera menetap dengan karakter mereka masing-masing. Ada rasa ketidaksiapan saat bertemu dengan mereka secara langsung seperti ini.Setelah menyapa Alan, aku melihat pria itu lagi. Pria tampan dan mempesona yang rasanya tak asing bagiku. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya sebelum ini, tetapi apakah ini sebuah dejavu? Lee Sin memanggilnya dengan sebutan Hyung. Apakah itu berarti dia adalah leader dari grup ini?Saat melihatku masuk, pria itu bangkit dari sofa dan menyapaku dengan sangat ramah. "Kau sudah datang?" tanyanya. Mata sipitnya tampak jelas, mungkin karena dia tidak memakai make up seperti di atas panggung.Aku mengangguk dengan gugup. Ada sesuatu yang berbeda setiap aku berhadapan dengan pria ini. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?"Anggap saja seperti di rumahmu sendiri, arasso?" uj