"Emang kita mau kemana setelah ini?" tanya Ririn dingin setelah ada di dalam mobil.
"Oh, aku tau sekarang. Kamu sudah berubah jadi orang bisu dan tuli?" Ucap Ririn lagi setelah Beryl tidak menanggapi pertanyaannya.
Setelah tiba di depan sebuah hotel mewah, Ririn segera keluar dari mobil. Pintu mobil dia banting dengan keras penuh kekesalan.
Beryl hanya tersenyum kecil penuh kemenangan melihat tingkah gadis yang ada di depannya. Gadis yang sudah ia renggut kesuciannya ketika keduanya mulai dekat dalam kegiatan senat. Beryl melangkah mendekati resepsionis hotel setelah memarkir mobilnya.
"Selamat siang, Mbak," sapa Beryl kepada resepsionis hotel.
"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis dengan penuh hormat.
Beryl tersenyum kecil pada resepsionis itu. Bagi Beryl diperlakukan dengan penuh hormat sudah hal biasa.
Beryl bertanya pada resepsionis hotel tentang kamar kosong. Namun tak segera dijawab oleh sang resepsionis.
"Ada masalah, Mbak?" tanya Beryl ingin memperoleh kepastian.
"Iya..., sebentar Mas. Saya cek dulu," jawab resepsionis itu masih dengan sikap sopan.
"Bagaimana, Mbak?" tanya Beryl yang tak sabaran.
"Ada, Mas. Tapi tunggu sekitar lima belas menit lagi, karena masih dibersihkan. Orang yang tadi menempatinya baru saja chek out."
"Yups. Saya siap menunggu lima belas menit lagi mbak. Tapi mohon kamarnya dibersihkan sebersih mungkin ya? Soalnya kami pengantin baru mbak yang sengaja bulan madu dan selalu ingin memberikan surprise buat istriku. Agar dia betah jadi istriku mbak," Ucap Beryl panjang lebar di depan resepsionis.
Sementara resepsionis yang ramah itu mendengarkan semua cerita Beryl yang terkesan sungguh-sungguh.
Ririn terkejut mendengar semua cerita Beryl yang begitu penuh kebohongan di depan resepsionis. Ririn tidak menyangka, Beryl mampu menjadi pembohong besar seperti itu. Tapi Ririn sebisa mungkin berusaha menahan diri di depan resepsionis, karena tidak ingin wibawa mereka berdua jatuh begitu saja di depan resepsionis.
"Apa maksudmu ngomong seperti itu?" tanya Ririn berbisik di telinga Beryl.
"Aku sudah menduga kamu pasti akan protes ketika aku ngomong seperti itu," ledek Beryl.
Wajah Ririn memerah karena menahan rasa marah dan kekesalan. Namun Beryl tak kalah cerdik. Untuk meredam amarah Ririn, segera digenggamnya jemari tangan Ririn.
Ririn merasa heran dengan semua tingkah Beryl. Dan benar saja seketika mimik muka Ririn berubah tampak lebih tenang. Ternyata sebuah sentuhan hangat mampu menjadi senjata tajam untuk meluluhkan hati seorang perempuan.
Bagi Ririn, Beryl ibarat menggunakan tenaga mistiknya hingga kekuatan tertinggi manusia. Dengan genggaman tangan Beryl yang begitu hangat menyentuh jemarinya. Ririn selalu merasa hangat sentuhan Beryl dengan santainya selalu mampu meluluhkan amarah dan kekesalannya.
Setelah menunggu kamar hotel dibersihkan, Beryl melepaskan tangan Ririn yang sedari tadi digenggamnya. Kini dengan santainya Beryl membawa Ririn masuk ke dalam kamar hotel yang tadi dipesannya.
"Bedebah kamu, Beryl! Punyalah sedikit moral!" bentak Ririn kasar.
"Bukankah semua sudah kita lakukan dari dulu? Kenapa baru sekarang kamu protes?" jawab Beryl sambil menatap Ririn.
Mendapatkan tatapan Beryl, lagi-lagi Ririn hanya bisa menunduk. Semua keangkuhannya selalu luluh.
"Kalau saja aku tidak sedikit menghargai kamu, pasti kamu sudah aku penjarakan!" gertak Ririn.
Dasar Beryl, hanya mengacuhkan begitu saja semua gertakan Ririn. Gertakan cewe itu seperti tak berpengaruh sama sekali buatnya.
"Penjarakan saja sekarang! Yang ada kamu hanya memenjarakan aku di hatimu," ledek Beryl pada Ririn.
"Silakan, Mas dan Mbak! Kamarnya sudah siap," kata cleaning service yang baru saja selesai membersihkan kamar yang dipesan Beryl.
"Kenapa sih, kamu selalu nantang aku terus?" tanya Ririn yang menatap Beryl dengan penuh kesenduan.
Tangan Ririn mencoba meraih baju Beryl, namun dengan cepat tangan kanan Beryl menangkap tangan Ririn. Kecepatan gerakan tangan Beryl selalu tak mampu terdeteksi oleh Ririn. Ririn sedikit melotot menatap mata Beryl.
"Kenapa? Mau bilang aku selalu tak tahu diri? Mau bilang aku tak bisa menghargai wanita?" goda Beryl dengan senyum penuh kemenangan.
"Setidaknya laki-laki yang menghormati perempuan tidak seperti cara yang kamu lakukan,"
"Memang ada peraturan tertuliskah yang bisa aku pelajari untuk mampu menghormati perempuan dengan baik?"
Jauh di dalam hatinya Ririn memang merasakan bahwa makhluk yang bernama perempuan selama ini sering dideskriminasikan. Ririn memang merasa sering diperlakukan seperti itu oleh Beryl. Namun Ririn selalu tak mampu menolaknya dengan tegas.
" Kalau ditanya itu coba dengar!" bentak Beryl sambil mempererat genggaman tangannya.
Ririn seperti merasakan aliran listrik menyengat tubuhnya begitu merasakan cengkeraman tangan Beryl yang kian erat.
Ririn diam tak menjawab pertanyaan Beryl. Beryl pun menatap tajam mata Ririn. Dan seketika itu pula tubuh Ririn merasa kena sengatan aliran listrik tegangan super tinggi. Hatinya kembali tak berdaya, perasaannya runtuh ketika menerima tatapan mata Beryl yang selalu punya magnet tersendiri. Wajah muramnya Ririn kembali hilang.
Merasa cleaning service sudah selesai membersihkan kamar yang dipesannya, Beryl segera membawa Ririn masuk ke dalam kamar. Ririn mencoba menenangkan diri.
"Menurutmu bagaimana dengan kamar yang sudah aku pesan, Rin?" tanya Beryl ingin tahu tanggapan Ririn.
"Lebih baik aku tak pernah di kamar sejenis ini lagi. Neraka!" seru Ririn.
"Husss! Jangan ngomong seperti itu. Memang kamu mau tidur di penjara?" tanya Beryl yang kembali menggoda Ririn.
"Begini aja, kamu tidur sendiri di kamar ini. Sementara biarkan aku pulang biar dijemput sopir pribadi papa," pinta Ririn.
Beryl hanya menggeleng mendengar semua kalimat Ririn yang dirasa begitu konyol.
Handphone Ririn berdering ketika dia masih duduk sambil bertopang dagu di Tepi ranjang dari kamar yang dipesan Beryl. Rupanya sang mama kirim pesan menanyakan tentang keberadaannya.
*****
"Ada apa, Rin?" tanya Beryl merasa ingin tahu siapa orang yang sudah menghubungi Ririn.
"Aku baru saja mendapat chat dari mama. Mama memintaku segera pulang," jawab Ririn.
"Lah.... Kenapa memang?"
"Entahlah! Nggak biasanya juga segera nyuruh aku pulang. Kali aja mama merasa anak gadisnya mau kamu perkosa."
"Hemmm...., aku mau memperkosa atau kamu yang sebenarnya ingin diperkosa,"
"What? Kamu jangan suka bersilat lidah!"
"Udahlah! Nggak perlu pusing dengan segalanya kayak gini, Rin!"
"Siapa juga yang pusing. Aku mah, tenang,"
"Rin, aku tahu kalau bermain di atas ranjang hotel kamu benar - benar-benar bisa diandalkan," kata Beryl sambil menggenggam jemari tangan Ririn.
"No! Aku gak mau lagi, Beryl!" jawab Ririn berusaha mengibaskan tangan Beryl.
Sesaat Beryl sedikit bingung dengan sikap Ririn. Seperti ada kejanggalan pada sikap Ririn. Beryl tidak menyangka Ririn yang biasanya pasrah dan penurut, kali ini sanggup bilang tidak tanpa memberikan sebuah alasan.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga belas. Apa pun alasan Ririn, Beryl bertekad untuk menyelesaikan misinya siang itu. Mereguk kenikmatan ranjang hotel bersama Ririn Widyastuti sang sekretaris senat di kampus.
Bagaimana pun bukan Beryl sang bajingan Kampus kalau tidak bisa meluluhkan hati wanita. Dan Beryl akan selalu tak memberi kesempatan kepada Ririn buat menolak semua keinginannya.
Dalam hati Beryl bertekad semua rencananya siang itu dapat berjalan dengan lancar. Apalah yang terbaik yang mesti dia lakukan kala materi kuliah di kampus kosong, selain bergulat di atas ranjang. Dan ini akan menjadi surga yang begitu penting bagi Beryl. Semuanya tidak boleh gagal. Harus meluluhkan hati Ririn, bukan dengan cara memaksa.
Di kamar hotel itu, Beryl tengah duduk berhadapan dengan Ririn. Beryl berusaha menatap dengan tajam mata Ririn, mata indah yang jujur selama ini telah mampu membius hati Beryl.
Kenyataan di kampus hanya Beryl yang telah berhasil menggaet hati Ririn, bahkan Beryl juga laki-laki pertama yang sudah berhasil merenggut dan menodai kesucian Ririn.
Tangan kekar Beryl kini berusaha meraih kembali jari-jemari Ririn. Matanya menatap dengan lembut cewe yang ada di depannya.
Sedang Ririn, meski bibirnya bilang tidak, namun setiap kali mendapat tatapan lembut Beryl, ia selalu tak kuasa menolaknya.
Pikirannya selalu bilang tidak peduli dengan Beryl, namun hatinya berkata beda. Ririn selalu butuh sentuhan hangat dari Beryl.
"Rin, kamu sudah siap bukan? Kita melakukannya seperti kemarin - kemarin," suara Beryl terdengar begitu lembut di telinga Beryl.
"Kenapa kita tidak mengakhiri perbuatan dosa ini?" tanya Ririn berusaha menatap Beryl.
Mampukah Ririn mempertahankan pendiriannya dengan teguh? Ataukah justru harus tunduk pada Playboy Kampus? Apakah yang akan terjadi di kamar hotel itu selanjutnya? Kita tunggu tunggu kisah seru selanjutnya...."Maaf Rin, aku tau ini dosa. Tapi aku sangat mencintaimu dan juga sangat menyayangimu. Aku sangat membutuhkan semua ini, Rin," rayuan gombalnya Beryl yang pura pura memohon pada Ririn."Tidak, Beryl! Kita harus menghentikan semua ini," balas Ririn.Ririn sejak tadi secara halus berusaha menolak kemauan Beryl. Tapi bagi Beryl, cewe seperti Ririn adalah salah satu cewe yang sangat penting buatnya."Rin, kita harus melakukannya siang ini. Please, jangan tolak sayang!" pinta Beryl kembali.Sebenarnya Beryl juga merasa heran di dalam hati, karena sejak tadi Ririn selalu berusaha menolak."Jangan pernah lagi, Beryl. Kamu bisa memuaskan nafsumu bersama cewe lain yang tergila-gila sama kamu,""Bagaimana kalau cewe yang sanggup membuatku tergila-gila hanya kamu,""Sorry, Beryl. Perlakukanlah aku dengan sedikit hormat."Ini barang kali yang menjadi alasan Ririn, kenapa ia saat ini berusaha menolak kemauannya. Sepertinya Ririn meras
Beryl dan Ririn saling tatap tanpa ada pembicaraan. Hanya mata mereka yang seperti berbicara dan bercerita tentang lagu cinta yang siang itu mereka nyanyikan di kamar 404. Lagu cinta dari dua insan yang sudah sulit untuk menahan diri dari gelora api cinta yang sepertinya siang itu kian membara, sepanas bara matahari yang siang itu panas memanggang.Sejurus kemudian, tak ingin menyia-nyiakan sebuah kesempatan, Beryl mendaratkan kecupan lembut namun garang ke wajah Ririn. Dengan mata dan jiwa yang pasrah, Ririn hanya bisa menikmati kecupan itu. Karena kenyataan selama ini dirinya selalu tak punya daya untuk melawan Beryl. Atau karena juga Ririn yang tak mampu menahan diri atas hasrat dan keinginan yang ditawarkan Beryl?"Kenapa lama, Beryl," suara manja Ririn sambil melingkarkan tangannya ke leher Beryl.Selama ini liarnya permainan Beryl sangat diakui oleh Ririn. Menyadari kegelisahan Ririn yang telah menunggu dengan tatapan yang sendu, Beryl yang
"Beryl memang bangsat," suara itu yang kini tengah berputaran di kepala Ririn."Dia memang lihai untuk menebar daya pikat pada wanita. Dia tak pernah puas dengan satu perempuan. Bajingan Kampus itu selalu mengoleksi banyak cewe. Berapa banyak lagi cewe-cewe yang menjadi sasaran barunya? Oke, Beryl, aku akan menyelidiki dunia yang selalu membuatmu terlena. Jangan kira aku akan kalah terus. Kamu kira memang, kamu bisa seenaknya menebar rayuan gombalmu padaku terus. Lalu kamu campakkan begitu saja setelah kamu bosan. Wanita lain bisa kamu perlakukan sebiadab itu. Tapi tidak terus - terusan dengan aku! "Di bawah terik mentari yang panas memijar di dalam avanza metalic milik Beryl kalimat kutukan itu terus menerus dilontarkan Ririn di dalam hati. Meski di sampingnya sambil memegang kendali mobil, Beryl sesekali masih bisa mencium wajah lembut Ririn. Wajah Ririn yang tirus, dengan mata yang bening, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang ranum.&n
"Ya Tuhan....., terima kasih telah Engkau pertemukan aku dengan jelita hati ini," kata Beryl mencoba merayu gadis itu."Aku gak cantik, Mas. Rupaku biasa saja." Gadis berbaju pink itu tersipu malu mendengar pujian Beryl.Beryl terpaku menatap wajah cantik yang tengah berdiri di depannya."Dunia belum terbalik rupanya. Gadis secantik kamu dengan malu-malu bilang gak cantik. Rupanya kamu memang gadis antik yang tengah aku cari. Semakin menggoda."Gadis itu masih berdiri di sudut ruang perpustakaan."Ngomong apa, Mas? Ah, terlalu berlebihan. Sudah beberapa jam aku di ruangan ini. Bagaimana kalau aku permisi duluan, Mas?" ujar gadis itu dengan sopan di depan Beryl.Beryl mengeluarkan sebuah kartu nama. Lalu diberikan pada gadis berbaju pink itu."Siapa tau besok berte
Di tempat parkir kendaraan, gadis berbaju pink itu memandang Beryl berkali-kali. Gadis itu tampak gelisah. Entah apa yang membuatnya gundah. Sedangkan matahari mulai condong ke barat. Langit tampak mulai kelam. Mereka para pengendara bermotor mulai menyalakan lampu kendaraan. Bukan itu saja, tapi lampu - lampu di jalan juga mulai menyala.Gadis berbaju pink itu kembali memandang Beryl. Dia seperti sedang menunggu sesuatu, namun Beryl pura-pura tidak menghiraukannya. Jahat! Padahal gadis itu tidak ada yang menjemput, sementara hari sudah mulai gelap.Kenapa Beryl tak menawari buat ngantar gadis itu ya? Gadis berbaju pink itu mulai menarik nafas dalam - dalam, berusaha meredam kejengkelannya. Suasana kampus juga mulai remang dan sepi."Kenapa masih bengong di situ?" tanya Beryl."Belum ada yang jemput," kata gadis berbaju pink.
“Ayok kita pulang.” Beryl membukakan pintu mobil lalu menyuruh Lidya masuk.“Terima kasih. Ternyata kamu sangat baik.” Puji Lidya pada Beryl.“Masama,” kata Beryl pelan.“Aku harus mengantarmu pulang kemana? Rumahmu di mana?” Tanya Beryl.Gadis berbaju pink itu tak segera menjawab. Tetapi ketika sampai di perempatan lampu merah, ia memberikan isyarat untuk menyuruh Beryl berbelok ke arah kiri.“Melewati jalur itu menuju rumahmu?” Lidya tak menjawab. Ia hanya mengangguk.“Di sebelah mana?”“Tak jauh dari sini.”“Aku tinggal di seputaran Bungur Asih.”Beryl pura-pura tak mendengar. Mereka tiba di depan terminal. Lampu-lampu di sudut terminal sudah mulai menerangi. Lidya menatap ke arah Beryl. Dalam hati gadis itu memuji. Ternyata Beryl cowo yang ganteng, mirip artis Korea. Lampu-lampu yang m
Beryl masih menatap mengawasi perempuan yang duduk di depannya. Namun, Bu Liana tetap tak acuh, sama sekali tak menghiraukan Beryl. Ruangan Bu Liana begitu sepi. Yang ada hanya deretan meja-meja kaca yang mengkilat kehitaman. Dosen perempuan itu terkesan angker. Kesan angker akan jelas terlihat jika dosen itu tengah menghadapi mahasiswa yang akan ujian.Dosen perempuan itu tampak membuka-buka buku yang ada di depannya. Tak tahu teori apa yang sedang dicarinya di buku itu untuk menjatuhkan mahasiswanya. Semua hal yang dilakukan dosen itu memang tepat untuk menambah wibawanya di depan mahasiswa agar tambah disegani.Hampir seperempat jam Beryl dibiarkan seperti patung di seberang meja Bu Liana. Dosen perempuan itu masih sibuk dengan pulpennya, menulis. Entah catatan kekurangan apa lagi yang dibuatnya. Rasanya Beryl kepo juga untuk tahu apa yang ditulis dosen perempuan itu. Namun, etika mahasiswanya mencegahnya buat usil pada sang dosen.
Beryl menuruni tangga dengan perasaan tak karuan. Perpaduan dari rasa gundah, khawatir, dan mungkin juga marah. Sepanjang kakinya menuruni tangga empat tingkat itu taka da sesuatu pun yang membuatnya menarik. Dia juga sama sekali tak tertarik untuk mengamati wajah-wajah sumringah penuh pupur dan make up yang begitu tebalnya daric ewe-cewe yang berjalan berpapasan dengannya. Dia juga tak tertarik untuk menikmati pinggul cewe-cewe yang bergoyang dan berlenggok di depannya. Menghadapi pemandangan seperti itu biasanya Beryl selalu menelan saliva karena merasa tergoda. Tapi kali ini semua seperti kelabu. Salivanya kini terasa pahit.Matahari senja masih menyisakan sinar hangatnya di atas atap kampus Universitas Airlangga. Hanya sisa hangat yang samar berbaur dengan sejuk angin kemarau. Tapi hatinya masih seperti digodok yang panasnya jauh lebih panas dari panasnya matahari karena sekian kali tak lulus ujian pada mata kuliah Bu Liana. Ya, tak lulus ujian. Persoalan terb
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu
Rumah sakit itu terlihat hening. Mereka berpapasan dengan perawat bermatabening dan berpakaian serba putih. Salah seorang perawat itu tadi membantu dokter yang merawat anak Widya.Perawat itu tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Perawat itu mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Perawat itu agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh.Perawat itu mengarahkan ucapannya kepada Anton“Apakah ada yang berdarah golongan A?”Antonio menggeleng.“Saya golongan O,” katanya sambil menoleh ke arah dua perempuan yang ada di sampingnya.Widya dan Istri Antonio hanya menggeleng.“Anak Tuan memerlukan transfusi darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalauTuan menyediakan donor.”“Apakah parah keadaannya?” tanya Widya terbata-bata.Perawat itu tersenyum lembut.“Dia perlu banyak tam
Dan, tiba-tiba, suara jeritan anak Widya dari luar rumah mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat bersamaan dari duduk mereka.Ketiganya berlarian ke halaman. Anak Widya tak kelihatan lagi. Kemanakah anak itu?Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggalkan dan lenyap di mulut gang.Kerumunan itu tersibak oleh tangan Antonio. Dan, jantung Antonio seperti mau copot. Di gang itu terbaring anak Widya. Anak itu berlumuran darah. Saliva Antonio terasa pahit. Anak Widya mengalami kecelakaan.“Angga!” jerit Widya bersamaan dengan jerit istri Antonio.Kemudian, entah berapa kali Widya mendesahkan nama anaknya. Dan tidak lama kemudian Widya pingsan. Beberapa orang yangberkerumun menolong Widya, membawa tubuh Widya masuk ke kontrakannya.Antonio mengangkat tubuh anak Wid
Begitu tiba di kontrakannya, Widya langsung membenamkan tangisnya ke bantal. Tangis yang sebenarnya berusaha untuk ditahannya, tapi akhirnya pecah juga. Siang yang terik membuat kamarnya terasa bertambah pengap. Bukan hanya pengap, tapi juga terasa panas. Sedang dari luar terdengar suara anak nya yang begitu riang gembira dicandai oleh pembantunya. Maka, tangis Widya semakin tersekap. Widya tidak ingin tangis itu terdengar oleh anaknya.Widya merasakan semakin sempurnalah nestapa yang kini melandanya. Sempurnalah sudah semuanya. Widya mengeluh diam-diam. Ibaratnya dia terjerumus ke dalamjurang yang sangat terjal, seperti itulah rasa sakit yang kini diderita Widya. Setelah semua disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang yang menjerumuskannya itu teramat dalam. Lalu, terasa betapa sepi, Widya sendirian menanggunghempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Yang tak menyimpan harapan seperti yang