Avanza berwarna metalic yang dikemudikan Beryl meluncur di sepanjang jembatan Suramadu.
Beryl hanya tersenyum sekilas, senyum buas dan benar-benar menunjukkan pribadinya yang memang terkesan playboy di mata Ririn. Beryl hanya memandang Ririn yang kini tengah duduk di samping kemudinya.
“Maaf, cantik kalau aku selalu salah di matamu.”
“Kamu memang bejat. Selalu pakai trik hidung belang kamu!” seru Ririn sambil membanting pintu mobil ketika Baryl menepi menghentikan laju mobilnya.
Tanpa menghiraukan omelan Ririn, Beryl menghentikan begitu saja mobilnya di tepi jalan. Beryl dengan cekatan segera turun dari mobil.
“Percuma selama ini aku menjalin hubungan sama kamu,” Ririn kembali melampiaskan kejengkelannya. “Kamu hanya mempermainkan aku!”
Sementara Ririn ngomel sendiri, Beryl memeriksa ban mobilnya tanpa menoleh ke arah Ririn lagi. Beryl berjalan mondar- mandir mengitari mobilnya yang kini begitu manis terparkir di tepi jalan di sepanjang lintasan Suramadu.
Tanpa menghirakan segalanya…, dengan santai Beryl bersiul. Kini dengan senyum plaboy-nya Beryl memandang Ririn yang begitu tampak kesal.
“Cantik, tapi suka sadis,” ucap Beryl dengan senyum simpulnya.
Ririn memang cantik. Bintang di kampus. Juga jenius. Tak heran jika Beryl yang bertampang playboy itu mampu menggaetnya. Karena di samping punya wajah yang oke banget, Beryl juga dikenal sebagai mahasiswa yang pintar, ketua senat di kampus. Sebenarnya begitu beruntung Beryl bisa mendapatkan Ririn, karena cowo lain akan sulit mendekatinya. Lagi pula siapa pun orangnya akan segan mendekati cewek di kampusnya Beryl, jika cewe itu terlihat memiliki hubungan spesial dengan sang ketua senat yang lumayan ganteng dan pinter.
Beryl memeriksa kondisi mobilnya. Ia masih berjalan mondar-mandir di sekitaran mobil yang diparkirnya. Ia memeriksa kondisi ban mobil. Entah apa yang terjadi. Sepertinya ada masalah dengan kondisi avanza itu.Beryl melihat ada yang tidak beres dengan ban mobil. Di balik sikapnya yang saat ini acuh pada Ririn, cowok itu menyembunyikan sebuah kekhawatiran dengan kondisi mobilnya.
Hati kecil Beryl sebenarnya menggerutu dengan keadaan ban mobilnya. Tapi ia tak ingin menunjukkan sikap bodohnya di depan Ririn.
Beryl mengusap wajahnya yang tiba-tiba seperti merasa kusut. Rasa kesal menjalar ke seluruh jiwanya.
“Ban motor jadi bikin ribet, aja,” gumamnya.
“Kenapa harus kempes segala? Aku paling benci berhubungan dengan kerusakan mobil,” teriak batinnya.
Pikiran Beryl membayangkan bahwa mobil itu mesti dibawa ke bengkel. Dengan jelas ia membayangkan betapa bosannya harus menunggu ban mobil itu diganti. Beryl cowo yang tak suka menunggu sesuatu.
Dalam ingatan Beryl bagaimana semua keinginan dan obsesi-obsesinya segera terwujud. Bukan untuk mengurusi mobil yang mesti ganti ban. Wajah playboy-nya sedikit memerah karena terpanggang wajah matahari siang itu. Wajah matahari yang juga memanggang seluruh jembatan Suramadu. Rambutnya yang lurus dan sedikit menutup dahi makin menambah ketampanan Beryl. Cewe mana yang tidak akan jatuh cinta jika sudah mengenalnya. Ketua senat di kampus yang memiliki prestasi yang cemerlang. Banyak penghargaan, tropi, piala, piagam, maupun sertifikat dari berbagai kegiatan yang telah dikantonginya.Beryl beringsut sedikit, agak menjauh dari mobilnya. Ia mengambil handphone-nya. Mau tidak mau ia harus menghubungi orang bengkel kalau ingin kondisi mobilnya bisa baik lagi seperti sebelumnya.
Tapi Beryl merasa bersyukur juga dengan keadaan mobilnya saat ini. Ia ingin melihat Ririn tambah ngomel-ngomel marah. Cewe itu akan tambah cantik jika marah-marah. Sudah berulang kali, cewe itu marah-marah padanya. Sesudah selesai ngomel-ngomel tadi, kini Ririn hanya diam. Diam yang tampak kesal. Tanpa juga menanyakan ada apa dengan mobilnya. Beryl bisa memastikan jika Ririn tahu ban mobil kempes, pasti dia akan tambah marah.
Samar-samar Beryl melirik Ririn yang tengah asyik memainkan handpone-nya. Begitu cuek, kali ini cewe itu tak memperhatikan Beryl sedikit pun. Dengan sikap cuek juga Beryl tak ingin memberitahukan keadaan mobilnya yang sebenarnya.
“Kamu ada tujuan apa dari tadi berhenti?” suara Ririn yang bertanya dengan tiba-tiba begitu mengagetkan Beryl.
Beryl tersenyum. “Eh, ini…., mumpung kita sampai di tempat sepi aku berniat memperkosa kamu,” ujar Beryl sekenanya tanpa berpikir panjang.
“Enak aja. Ayo kita segera jalan,” kata Ririn dengan sedikit nyengir.
Beryl masih tetap dengan bersikap santai tanpa menanggapi kata-kata Ririn. Perhatiannya masih terfokus pada mobilnya. Sedangkan Ririn merasa bertambah gusar melihat sikap Beryl. Sejujurnya dalam hati Ririn merasa khawatir, kalau ucapan Beryl tadi bukan hanya sekadar bergurau. Ririn paham banget siapa sesungguhnya Beryl si bajingan kampus. Berapa kali sudah Beryl menidurinya di kamar hotel. Belum lagi di tempat-tempat yang lain.
“Kok, kamu malah santai gitu sih? Ayo, cepat kita jalan. Panas, nih!” seru Ririn yang mulai tak sabar.
“Eh, tunggu…., tunggu…, barusan kamu bilang panas. Aku baru ingat, sudah waktunya aku mesti niduri kamu lagi,” ucap Beryl masih sambil mengelus-elus lengan Ririn.
Beryl memang selalu bisa mencari celah buat meluluhkan hati Ririn dan cewe-cewe lain di kampusnya. Bermodal wajah playboy-nya yang memang ganteng dan juga otaknya yang bisa dibilang encer.
“Memangnya kenapa, Bajingan? Kalau ngomong dijaga!”
“Apanya yang harus dijaga Ririn, santik? Berapa kali coba kita tidur bersama, mereguk kebahagiaan bersama. Entah itu di kamar hotel atau….di kasur hijau. Adakah selama ini kamu menolaknya? Enggak bukan? Yang ada kamu selalu ketagihan..!”
“Oh, itu kemarin…., karena aku khilaf dan selalu tertipu oleh rayuan gombal kamu,” jawab Ririn dengan wajah cemberut.
“Oh begitu…, tapi tampaknya siang ini kamu ketagihan lagi. Bolehkah aku memelukmu? Kebetulan aku juga lagi pengin, Rin….,”
“Eh? Enak aja….,” jawab Ririn yang mencoba mengibaskan tangannya, namun justru tangannya yang mungil dan manis jatuh dalam genggaman Beryl.
“Rin, jari-jemari kamu memang indah….,” puji Beryl sambil memegang tangan Ririn.
“Cukup, playboy…,” bantah Ririn.
“Sejak aku bertemu kamu di kampus dan kita sering bersama dengan kegiatan kemahasiswaan, aku memang telah jatuh cinta sama kamu…,”
“Kamu mau membual lagi? Itu Cuma gurauan yang saat ini kuanggap sudah tidak mempan lagi,” kata Ririn sambil tersenyum sinis.
“Dari awal aku memang suka sama kamu, Rin. Makanya aku selalu memberikan yang terbaik buat kamu.”
“Apa kamu bilang?”
“Kamu begitu indah, Rin. Sama indahnya dengan matahari yang tengah bersinar itu. Hangat…, ah begitu menyengat. Kamu benar-benar seperti aliran listrik yang setiap saat siap menyengatku. Panas yang kamu tawarkan begitu membakar jiwaku,”
“Kamu ngomong gombal apaan lagi sih? Kayak orang gila aja,”
“Sama indahnya dengan matahari, Rin.”
“Ih, rupanya kamu tambah gila…” seru Ririn yang kian cuek.
Beryl masih memegang lengan Ririn dan kembali mengelus-elusnya dengan lembut. Kali ini Beryl melakukannya dengan lebih mesra dan begitu romantic. Entah siapa yang mulai terbakar lebih dulu. Beryl ataukah Ririn?”
Maunya Ririn tidak ingin memperhatikan apa yang tengah dilakukan oleh Beryl. Belaian lembutnya, rayuan gombalnya, atau apa pun ucapan yang berhubungan dengan meluluhkan hati seseorang. Namun entah kenapa dalam sekejap bahkan seluruh tubuh Ririn kini sudah seutuhnya jatuh di dekapan Beryl.
Rupanya dari kejauhan seorang mekanik bengkel yang tadi di telepon Beryl untuk mengganti ban mobilnya menyaksikan apa yang sedang dilakukan oleh dua remaja ini. Mekanik bengkel itu mencoba berpikir untuk mengalihkan fokus perhatian Beryl dan Ririn. Mekanik bengkel itu khawatir kalau keduanya bisa kebablasan melakukan yang tidak manusiawi di tepi jalan.
Beryl berhenti memeluk Ririn ketika tiba-tiba handphone-nya bordering. Beryl menerima panggilan telepon dari mekanik bengkel. Bersamaan dengan itu Beryl menoleh, mencari-cari keberadaan mekanik bengkel. Untuk kemudian Beryl menunjukkan keberadaannya kepada mekanik bengkel.
Mekanik bengkel melangkah mendekati Beryl dan Ririn.
“Oh, jadi di sini mas Beryl berada. Tadi saya agak bingung mencari-cari tempatnya.” Ucap mekanik bengkel itu basa-basi. Wajah dan kulitnya yang sawo matang sangat tepat menunjukkan profesinya sebagai mekanik. Namun demikian sorot matanya tajam seperti ingin menguliti segala hal yang tadi sudah dilakukan Beryl dan Ririn.
“Betul, mas. Lakukan yang terbaik buat mobilku…,” kata Beryl dengan santai.
“Baik, Mas. Saat ini juga ban mobil saya ganti. Tidak membutuhkan waktu terlalu lama.”
“Terima kasih. Aku tunggu,” kata Beryl.
“Bangsat! Kenapa dari tadi kamu gak ngomong kalau ban mobil minta ganti,”
Dengan tatapan tajam Beryl memandang Ririn yang mencoba protes karena dari awal oleh Beryl tidak dikasih tahu tentang keadaan mobil.“Tidak usah marah kenapa sih? Dikit-dikit marah, dikit-dikit minta dirayu. Dasar ratu hatiku!” Beryl berbisik pelan ke telinga Ririn.
Mata Ririn tampak mulai luluh, sedikit terpejam karena aura bisikan Beryl yang senantiasa membuatnya tersanjung.
Mekanik bengkel menyaksikan segala hal yang dilakukan Beryl dan Ririn. Ia merasa ada kejanggalan. Begitu beraninya Beryl pada Ririn. Pada hal mereka berdua sepertinya bukan suami istri.Ririn terlihat makin tampak tak berdaya. Namun situasi yang ada siang itu harus mampu menahan dirinya untuk menyerahkan seluruh tubuhnya pada Beryl. Ia hanya mampu mendesah dan sedikit menggerutu dalam hati, karena belakangan ia ingin lepas dari cengkeraman Beryl, namun selalu gagal.
Ririn beringsut menjauhi Beryl. Ia memalingkan mukanya dari Beryl. Beryl dengan santai menyaksikan ulah Ririn yang selama ini cukup dipahaminya. Keberadaan mekanik bengkel itu membuat Ririn merasa tidak nyaman. Dari tempat yang kini berjarak Ririn memandangi Beryl.Dalam hati Ririn tak habis pikir, kenapa selama ini dirinya begitu pasrah dengan apa yang dilakukan Beryl. Dia sebenarnya menyadari apa yang dilkukannya kurang baik. Namun , tak punya kuasa buat menolak apa yang dilakukan Beryl.
Samar-samar juga Beryl masih memperhatikan Ririn yang terlihat sangat tidak nyaman. Beryl mendekati Ririn mencoba untuk menenangkannya.“Jadi, siang ini kamu pengin kita meeting di hotel mana?” Tanya Beryl sambil berbisik di telinga Ririn. Hembusan nafas Beryl menyisakan hangat yang menyusup ke jiwa Ririn.
“Gak perlu. Aku mau pulang,” timpal Ririn.
Beryl hanya tersenyum mendengarkan jawaban itu. Beryl hanya berucap,”Memangnya cowok mana yang mampu menenangkan jiwa dan nafsumu, Ratuku?”
Mekanik bengkel sepertinya sudah selesai mengganti ban mobil Beryl. Mekanik tadi sekilas sempat menangkap percakapan keduanya, Beryl dan Ririn.
“Aku gak mau lagi sama kamu,” “What, betulkah?Pembaca, selamat menikmati, semoga suka."Emang kita mau kemana setelah ini?" tanya Ririn dingin setelah ada di dalam mobil."Oh, aku tau sekarang. Kamu sudah berubah jadi orang bisu dan tuli?" Ucap Ririn lagi setelah Beryl tidak menanggapi pertanyaannya.Setelah tiba di depan sebuah hotel mewah, Ririn segera keluar dari mobil. Pintu mobil dia banting dengan keras penuh kekesalan.Beryl hanya tersenyum kecil penuh kemenangan melihat tingkah gadis yang ada di depannya. Gadis yang sudah ia renggut kesuciannya ketika keduanya mulai dekat dalam kegiatan senat. Beryl melangkah mendekati resepsionis hotel setelah memarkir mobilnya."Selamat siang, Mbak," sapa Beryl kepada resepsionis hotel."Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis dengan penuh hormat.Beryl tersenyum kecil pada resepsionis itu. Bagi Beryl diperlakukan dengan penuh hormat sudah hal biasa.Beryl bertanya pada resepsionis hotel tentang kamar kosong. Namun tak segera dijawab oleh sang resepsionis.
"Maaf Rin, aku tau ini dosa. Tapi aku sangat mencintaimu dan juga sangat menyayangimu. Aku sangat membutuhkan semua ini, Rin," rayuan gombalnya Beryl yang pura pura memohon pada Ririn."Tidak, Beryl! Kita harus menghentikan semua ini," balas Ririn.Ririn sejak tadi secara halus berusaha menolak kemauan Beryl. Tapi bagi Beryl, cewe seperti Ririn adalah salah satu cewe yang sangat penting buatnya."Rin, kita harus melakukannya siang ini. Please, jangan tolak sayang!" pinta Beryl kembali.Sebenarnya Beryl juga merasa heran di dalam hati, karena sejak tadi Ririn selalu berusaha menolak."Jangan pernah lagi, Beryl. Kamu bisa memuaskan nafsumu bersama cewe lain yang tergila-gila sama kamu,""Bagaimana kalau cewe yang sanggup membuatku tergila-gila hanya kamu,""Sorry, Beryl. Perlakukanlah aku dengan sedikit hormat."Ini barang kali yang menjadi alasan Ririn, kenapa ia saat ini berusaha menolak kemauannya. Sepertinya Ririn meras
Beryl dan Ririn saling tatap tanpa ada pembicaraan. Hanya mata mereka yang seperti berbicara dan bercerita tentang lagu cinta yang siang itu mereka nyanyikan di kamar 404. Lagu cinta dari dua insan yang sudah sulit untuk menahan diri dari gelora api cinta yang sepertinya siang itu kian membara, sepanas bara matahari yang siang itu panas memanggang.Sejurus kemudian, tak ingin menyia-nyiakan sebuah kesempatan, Beryl mendaratkan kecupan lembut namun garang ke wajah Ririn. Dengan mata dan jiwa yang pasrah, Ririn hanya bisa menikmati kecupan itu. Karena kenyataan selama ini dirinya selalu tak punya daya untuk melawan Beryl. Atau karena juga Ririn yang tak mampu menahan diri atas hasrat dan keinginan yang ditawarkan Beryl?"Kenapa lama, Beryl," suara manja Ririn sambil melingkarkan tangannya ke leher Beryl.Selama ini liarnya permainan Beryl sangat diakui oleh Ririn. Menyadari kegelisahan Ririn yang telah menunggu dengan tatapan yang sendu, Beryl yang
"Beryl memang bangsat," suara itu yang kini tengah berputaran di kepala Ririn."Dia memang lihai untuk menebar daya pikat pada wanita. Dia tak pernah puas dengan satu perempuan. Bajingan Kampus itu selalu mengoleksi banyak cewe. Berapa banyak lagi cewe-cewe yang menjadi sasaran barunya? Oke, Beryl, aku akan menyelidiki dunia yang selalu membuatmu terlena. Jangan kira aku akan kalah terus. Kamu kira memang, kamu bisa seenaknya menebar rayuan gombalmu padaku terus. Lalu kamu campakkan begitu saja setelah kamu bosan. Wanita lain bisa kamu perlakukan sebiadab itu. Tapi tidak terus - terusan dengan aku! "Di bawah terik mentari yang panas memijar di dalam avanza metalic milik Beryl kalimat kutukan itu terus menerus dilontarkan Ririn di dalam hati. Meski di sampingnya sambil memegang kendali mobil, Beryl sesekali masih bisa mencium wajah lembut Ririn. Wajah Ririn yang tirus, dengan mata yang bening, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang ranum.&n
"Ya Tuhan....., terima kasih telah Engkau pertemukan aku dengan jelita hati ini," kata Beryl mencoba merayu gadis itu."Aku gak cantik, Mas. Rupaku biasa saja." Gadis berbaju pink itu tersipu malu mendengar pujian Beryl.Beryl terpaku menatap wajah cantik yang tengah berdiri di depannya."Dunia belum terbalik rupanya. Gadis secantik kamu dengan malu-malu bilang gak cantik. Rupanya kamu memang gadis antik yang tengah aku cari. Semakin menggoda."Gadis itu masih berdiri di sudut ruang perpustakaan."Ngomong apa, Mas? Ah, terlalu berlebihan. Sudah beberapa jam aku di ruangan ini. Bagaimana kalau aku permisi duluan, Mas?" ujar gadis itu dengan sopan di depan Beryl.Beryl mengeluarkan sebuah kartu nama. Lalu diberikan pada gadis berbaju pink itu."Siapa tau besok berte
Di tempat parkir kendaraan, gadis berbaju pink itu memandang Beryl berkali-kali. Gadis itu tampak gelisah. Entah apa yang membuatnya gundah. Sedangkan matahari mulai condong ke barat. Langit tampak mulai kelam. Mereka para pengendara bermotor mulai menyalakan lampu kendaraan. Bukan itu saja, tapi lampu - lampu di jalan juga mulai menyala.Gadis berbaju pink itu kembali memandang Beryl. Dia seperti sedang menunggu sesuatu, namun Beryl pura-pura tidak menghiraukannya. Jahat! Padahal gadis itu tidak ada yang menjemput, sementara hari sudah mulai gelap.Kenapa Beryl tak menawari buat ngantar gadis itu ya? Gadis berbaju pink itu mulai menarik nafas dalam - dalam, berusaha meredam kejengkelannya. Suasana kampus juga mulai remang dan sepi."Kenapa masih bengong di situ?" tanya Beryl."Belum ada yang jemput," kata gadis berbaju pink.
“Ayok kita pulang.” Beryl membukakan pintu mobil lalu menyuruh Lidya masuk.“Terima kasih. Ternyata kamu sangat baik.” Puji Lidya pada Beryl.“Masama,” kata Beryl pelan.“Aku harus mengantarmu pulang kemana? Rumahmu di mana?” Tanya Beryl.Gadis berbaju pink itu tak segera menjawab. Tetapi ketika sampai di perempatan lampu merah, ia memberikan isyarat untuk menyuruh Beryl berbelok ke arah kiri.“Melewati jalur itu menuju rumahmu?” Lidya tak menjawab. Ia hanya mengangguk.“Di sebelah mana?”“Tak jauh dari sini.”“Aku tinggal di seputaran Bungur Asih.”Beryl pura-pura tak mendengar. Mereka tiba di depan terminal. Lampu-lampu di sudut terminal sudah mulai menerangi. Lidya menatap ke arah Beryl. Dalam hati gadis itu memuji. Ternyata Beryl cowo yang ganteng, mirip artis Korea. Lampu-lampu yang m
Beryl masih menatap mengawasi perempuan yang duduk di depannya. Namun, Bu Liana tetap tak acuh, sama sekali tak menghiraukan Beryl. Ruangan Bu Liana begitu sepi. Yang ada hanya deretan meja-meja kaca yang mengkilat kehitaman. Dosen perempuan itu terkesan angker. Kesan angker akan jelas terlihat jika dosen itu tengah menghadapi mahasiswa yang akan ujian.Dosen perempuan itu tampak membuka-buka buku yang ada di depannya. Tak tahu teori apa yang sedang dicarinya di buku itu untuk menjatuhkan mahasiswanya. Semua hal yang dilakukan dosen itu memang tepat untuk menambah wibawanya di depan mahasiswa agar tambah disegani.Hampir seperempat jam Beryl dibiarkan seperti patung di seberang meja Bu Liana. Dosen perempuan itu masih sibuk dengan pulpennya, menulis. Entah catatan kekurangan apa lagi yang dibuatnya. Rasanya Beryl kepo juga untuk tahu apa yang ditulis dosen perempuan itu. Namun, etika mahasiswanya mencegahnya buat usil pada sang dosen.
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu
Rumah sakit itu terlihat hening. Mereka berpapasan dengan perawat bermatabening dan berpakaian serba putih. Salah seorang perawat itu tadi membantu dokter yang merawat anak Widya.Perawat itu tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Perawat itu mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Perawat itu agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh.Perawat itu mengarahkan ucapannya kepada Anton“Apakah ada yang berdarah golongan A?”Antonio menggeleng.“Saya golongan O,” katanya sambil menoleh ke arah dua perempuan yang ada di sampingnya.Widya dan Istri Antonio hanya menggeleng.“Anak Tuan memerlukan transfusi darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalauTuan menyediakan donor.”“Apakah parah keadaannya?” tanya Widya terbata-bata.Perawat itu tersenyum lembut.“Dia perlu banyak tam
Dan, tiba-tiba, suara jeritan anak Widya dari luar rumah mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat bersamaan dari duduk mereka.Ketiganya berlarian ke halaman. Anak Widya tak kelihatan lagi. Kemanakah anak itu?Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggalkan dan lenyap di mulut gang.Kerumunan itu tersibak oleh tangan Antonio. Dan, jantung Antonio seperti mau copot. Di gang itu terbaring anak Widya. Anak itu berlumuran darah. Saliva Antonio terasa pahit. Anak Widya mengalami kecelakaan.“Angga!” jerit Widya bersamaan dengan jerit istri Antonio.Kemudian, entah berapa kali Widya mendesahkan nama anaknya. Dan tidak lama kemudian Widya pingsan. Beberapa orang yangberkerumun menolong Widya, membawa tubuh Widya masuk ke kontrakannya.Antonio mengangkat tubuh anak Wid
Begitu tiba di kontrakannya, Widya langsung membenamkan tangisnya ke bantal. Tangis yang sebenarnya berusaha untuk ditahannya, tapi akhirnya pecah juga. Siang yang terik membuat kamarnya terasa bertambah pengap. Bukan hanya pengap, tapi juga terasa panas. Sedang dari luar terdengar suara anak nya yang begitu riang gembira dicandai oleh pembantunya. Maka, tangis Widya semakin tersekap. Widya tidak ingin tangis itu terdengar oleh anaknya.Widya merasakan semakin sempurnalah nestapa yang kini melandanya. Sempurnalah sudah semuanya. Widya mengeluh diam-diam. Ibaratnya dia terjerumus ke dalamjurang yang sangat terjal, seperti itulah rasa sakit yang kini diderita Widya. Setelah semua disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang yang menjerumuskannya itu teramat dalam. Lalu, terasa betapa sepi, Widya sendirian menanggunghempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Yang tak menyimpan harapan seperti yang