Di tempat parkir kendaraan, gadis berbaju pink itu memandang Beryl berkali-kali. Gadis itu tampak gelisah. Entah apa yang membuatnya gundah. Sedangkan matahari mulai condong ke barat. Langit tampak mulai kelam. Mereka para pengendara bermotor mulai menyalakan lampu kendaraan. Bukan itu saja, tapi lampu - lampu di jalan juga mulai menyala.Gadis berbaju pink itu kembali memandang Beryl. Dia seperti sedang menunggu sesuatu, namun Beryl pura-pura tidak menghiraukannya. Jahat! Padahal gadis itu tidak ada yang menjemput, sementara hari sudah mulai gelap.Kenapa Beryl tak menawari buat ngantar gadis itu ya? Gadis berbaju pink itu mulai menarik nafas dalam - dalam, berusaha meredam kejengkelannya. Suasana kampus juga mulai remang dan sepi."Kenapa masih bengong di situ?" tanya Beryl."Belum ada yang jemput," kata gadis berbaju pink.
“Ayok kita pulang.” Beryl membukakan pintu mobil lalu menyuruh Lidya masuk.“Terima kasih. Ternyata kamu sangat baik.” Puji Lidya pada Beryl.“Masama,” kata Beryl pelan.“Aku harus mengantarmu pulang kemana? Rumahmu di mana?” Tanya Beryl.Gadis berbaju pink itu tak segera menjawab. Tetapi ketika sampai di perempatan lampu merah, ia memberikan isyarat untuk menyuruh Beryl berbelok ke arah kiri.“Melewati jalur itu menuju rumahmu?” Lidya tak menjawab. Ia hanya mengangguk.“Di sebelah mana?”“Tak jauh dari sini.”“Aku tinggal di seputaran Bungur Asih.”Beryl pura-pura tak mendengar. Mereka tiba di depan terminal. Lampu-lampu di sudut terminal sudah mulai menerangi. Lidya menatap ke arah Beryl. Dalam hati gadis itu memuji. Ternyata Beryl cowo yang ganteng, mirip artis Korea. Lampu-lampu yang m
Beryl masih menatap mengawasi perempuan yang duduk di depannya. Namun, Bu Liana tetap tak acuh, sama sekali tak menghiraukan Beryl. Ruangan Bu Liana begitu sepi. Yang ada hanya deretan meja-meja kaca yang mengkilat kehitaman. Dosen perempuan itu terkesan angker. Kesan angker akan jelas terlihat jika dosen itu tengah menghadapi mahasiswa yang akan ujian.Dosen perempuan itu tampak membuka-buka buku yang ada di depannya. Tak tahu teori apa yang sedang dicarinya di buku itu untuk menjatuhkan mahasiswanya. Semua hal yang dilakukan dosen itu memang tepat untuk menambah wibawanya di depan mahasiswa agar tambah disegani.Hampir seperempat jam Beryl dibiarkan seperti patung di seberang meja Bu Liana. Dosen perempuan itu masih sibuk dengan pulpennya, menulis. Entah catatan kekurangan apa lagi yang dibuatnya. Rasanya Beryl kepo juga untuk tahu apa yang ditulis dosen perempuan itu. Namun, etika mahasiswanya mencegahnya buat usil pada sang dosen.
Beryl menuruni tangga dengan perasaan tak karuan. Perpaduan dari rasa gundah, khawatir, dan mungkin juga marah. Sepanjang kakinya menuruni tangga empat tingkat itu taka da sesuatu pun yang membuatnya menarik. Dia juga sama sekali tak tertarik untuk mengamati wajah-wajah sumringah penuh pupur dan make up yang begitu tebalnya daric ewe-cewe yang berjalan berpapasan dengannya. Dia juga tak tertarik untuk menikmati pinggul cewe-cewe yang bergoyang dan berlenggok di depannya. Menghadapi pemandangan seperti itu biasanya Beryl selalu menelan saliva karena merasa tergoda. Tapi kali ini semua seperti kelabu. Salivanya kini terasa pahit.Matahari senja masih menyisakan sinar hangatnya di atas atap kampus Universitas Airlangga. Hanya sisa hangat yang samar berbaur dengan sejuk angin kemarau. Tapi hatinya masih seperti digodok yang panasnya jauh lebih panas dari panasnya matahari karena sekian kali tak lulus ujian pada mata kuliah Bu Liana. Ya, tak lulus ujian. Persoalan terb
“Begini, Beryl. Tadi Bu Liana meminta dewan dosen untuk bersidang membahas persoalanmu. Menurut Bu Liana, kamu telah menghina dan meremehkannya. Apa betul seperti itu? Saya ingin mendengar keterangan langsung darimu.”Mendengar semua penjelasan ketua jurusan, Beryl jadi terperanjat di atas kursi tamu yang tengah dia duduki di rumah ketua jurusan. Mata Beryl tak berkedip menatap ketua jurusan fakultasnya. Sementara ketua jurusan juga mengawasinya.“Sampai sebegitunya, Pak?” kata Beryl dengan gugup.“Iya, Beryl. Bu Liana menginginkan semua persoalan ini masuk dalam agenda sidang dosen. Sepertinya dia sangat marah dan tersinggung. Yang aku pahami dari penjelasannya, dia mengajukan opsi, kamu dikeluarkan atau dia yang keluar.”“Sampai sebegitunya, Pak?” Tanya Beryl kembali.“Iya, begitulah Beryl. Dan dalam kasus seperti ini belum ada sejarah dosen yang harus keluar. Kamu menger
Di dalam hati Beryl merasa takut ketika dia harus memikirkan Ririn dan ancaman-ancamannya. Maka sebisa mungkin Beryl berusaha menghindari pertemuan dengan Ririn. Juga berusaha sebisa mungkin tidak menghubungi Ririn lewat media sosial. Membayangkan Ririn seperti membayangkan seorang polisi yang siap menyeretnya ke sel penjara. Itulah yang kini selalu membayangi pikiran Beryl. Entahlah! Apakah ini semua berlebihan. Namun, begitulah yang kini tengah dirasakannya.Beryl tak bisa memastikan apakah semua sikap Ririn bisa berubah lagi. Dulu, di mata Beryl tak pernah ada cewe lain yang mampu melebihi Ririn, begitu lembut, perasa, pengertian, dan pintar. Tapi sekarang, kenapa Ririn berubah menjadi penjajah bagi dirinya? Penjajah kemerdekaannya. Kesetiaan jenis apa yang sebenarnya dimiliki oleh Ririn. Begitu mengikatkah? Seseuatu yang indah dan romantis dalam percintaan dengan Ririn seperti sudah lenyap. Apakah cinta hanya sebuah sarana untuk mencapai sebuah ikatan yang namanya p
Beryl masih berdiri di depan rumah yang berpagar mewah itu. Ia meneliti keadaan di sekitarnya. Bunga-bunga yang begitu indah sore itu bermekaran dengan aroma yang begitu wangi. Pintu pagar rumah itu tak terkunci. Menunjukkan rumah itu ada penghuninya. Dengan pelan, Beryl mencoba mendorong pintu pagar itu. Bunyi keras terdengar dari pagar yang di dorong Beryl. Apa yang dilakukan Beryl begitu mengejutkan bagi perempuan setengah baya yang tengah menyiram bunga di taman samping rumah. Sejenak perempuan itu menghentikan aktivitasnya. Dia menatap ke arah rambut gondrong Beryl yang dari beberapa waktu lalu belum sempat di potong. Perempuan itu mengeryitkan dahinya, merasa heran dengan sikap Beryl yang dinilainya kurang memiliki tata karma.Beryl mencoba tersenyum pada perempuan setengah baya itu. Namun, perempuan itu bersikap lain. Terlihat merasa kurang suka dengan kedatangan Beryl. Beryl menjadi salah tingkah.“Selamat sore, Bu. Saya teman Lidya.”
Kerumunan mahasiswa Universitas Airlangga itu kian bertambah banyak. Mereka berkumpul di hamparan rumput yang dinaungi pepohonan yang rindang. Lingkaran besar telah terbentuk. Mereka akan mengadakan kegiatan Gelar Sastra yang dimotori oleh mahasiswa jurusan sastra dari Fakultas Ilmu Budaya. Pada kegiatan gelar sastra itu mereka akan mengadakan acara pembacaan puisi.Mata Beryl berkeliling di antara sekian banyak mahasiswa. Dia berusaha mencari tempat yang yang luang. Beberapa penyair kenamaaan Jawa Timur dan sekitarnya sudah hadir dan siap untuk membacakan lembar-lembar puisinya.Mata Beryl masih berkeliling. Kali ini pandangan matanya jatuh pada Lidya yang tangah duduk di bawah pohon cemara. Dengan hati-hati dan pelan-pelan, Beryl berusaha mencari jalan agar bisa duduk di dekat Lidya.“Hai?” sapa Beryl pada Koko yang tengah duduk di samping Lidya.“Hai, Lidya,” lanjut Beryl menoleh ke arah Lidya.&ldqu
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu
Rumah sakit itu terlihat hening. Mereka berpapasan dengan perawat bermatabening dan berpakaian serba putih. Salah seorang perawat itu tadi membantu dokter yang merawat anak Widya.Perawat itu tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Perawat itu mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Perawat itu agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh.Perawat itu mengarahkan ucapannya kepada Anton“Apakah ada yang berdarah golongan A?”Antonio menggeleng.“Saya golongan O,” katanya sambil menoleh ke arah dua perempuan yang ada di sampingnya.Widya dan Istri Antonio hanya menggeleng.“Anak Tuan memerlukan transfusi darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalauTuan menyediakan donor.”“Apakah parah keadaannya?” tanya Widya terbata-bata.Perawat itu tersenyum lembut.“Dia perlu banyak tam
Dan, tiba-tiba, suara jeritan anak Widya dari luar rumah mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat bersamaan dari duduk mereka.Ketiganya berlarian ke halaman. Anak Widya tak kelihatan lagi. Kemanakah anak itu?Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggalkan dan lenyap di mulut gang.Kerumunan itu tersibak oleh tangan Antonio. Dan, jantung Antonio seperti mau copot. Di gang itu terbaring anak Widya. Anak itu berlumuran darah. Saliva Antonio terasa pahit. Anak Widya mengalami kecelakaan.“Angga!” jerit Widya bersamaan dengan jerit istri Antonio.Kemudian, entah berapa kali Widya mendesahkan nama anaknya. Dan tidak lama kemudian Widya pingsan. Beberapa orang yangberkerumun menolong Widya, membawa tubuh Widya masuk ke kontrakannya.Antonio mengangkat tubuh anak Wid
Begitu tiba di kontrakannya, Widya langsung membenamkan tangisnya ke bantal. Tangis yang sebenarnya berusaha untuk ditahannya, tapi akhirnya pecah juga. Siang yang terik membuat kamarnya terasa bertambah pengap. Bukan hanya pengap, tapi juga terasa panas. Sedang dari luar terdengar suara anak nya yang begitu riang gembira dicandai oleh pembantunya. Maka, tangis Widya semakin tersekap. Widya tidak ingin tangis itu terdengar oleh anaknya.Widya merasakan semakin sempurnalah nestapa yang kini melandanya. Sempurnalah sudah semuanya. Widya mengeluh diam-diam. Ibaratnya dia terjerumus ke dalamjurang yang sangat terjal, seperti itulah rasa sakit yang kini diderita Widya. Setelah semua disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang yang menjerumuskannya itu teramat dalam. Lalu, terasa betapa sepi, Widya sendirian menanggunghempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Yang tak menyimpan harapan seperti yang