Flashback
Rose sedang berjalan bersama Siska, sahabat kuliahnya yang juga sama-sama dari Indonesia. Mereka bersahabat sejak masa orientasi mahasiswa hingga saat ini.
Rose menemani Siska yang tiba-tiba ingin berlibur ke Belgia, mengusir penat katanya.
Sementara disisi lain, ada juga Davin yang sedang menemani Alan, sahabat kuliahnya yang berlibur ke Belgia.
Rose memeriksa ponselnya ketika mendengar benda pipih buatan oppa-oppa korea itu berdering. Sebuah panggilan dari Alex, salah satu sahabatnya yang sebenarnya sedang dia abaikan. Namun, Rose mengenal Alex, pria itu akan terus menerornya jika ia tidak mengangkat telepon itu.
"Sis, aku angkat telpon dulu," pamit Rose pada Siska.
"Okay, aku tunggu di toko ujung jalan ya."
"Siap."
Rose menjauh dari Siska. Bukan apa, sahabatnya itu sering menjodoh-jodohkan dirinya dengan Alex. Dan Rose tidak menyukainya. Ketika Rose menggeser tombol hijau di layarnya, menempelkannya di telinganya, tiba-tiba ponsel itu jatuh karena tabrakan yang terjadi.
Davin, yang saat itu mendahului Alan karena rasa lapar yang menyerangnya, tidak sengaja menabrak Rose ketika sahabatnya itu memanggilnya.
"Eh." Davin segera berjongkok kemudian mengambil sebuah ponsel yang sudah tidak berbentuk itu. Layarnya pecah, bahkan ujung dari ponsel itu patah. Davin merasa menyesal, ia berdiri untuk menyerahkan ponsel yang tidak berbentuk itu pada pemiliknya dengan persiapan penuh akan emosi yang akan dilontarkan gadis itu.
"Sorry," kata Davin dengan tulus.
"It's okay, I can buy the new one," jawab Rose, dia mengambil ponsel itu dari tangan pria di depannya.
"I'm really sorry about that, I will.."
Davin tidak lagi melanjutkan ucapannya begitu melihat wanita di depannya sedang melambaikan tangan entah pada siapa.
"It's okay, I'm leaving," ucap Rose meninggalkan pria yang sebenarnya adalah Davin, calon suami yang dia nantikan selama ini karena Siska sudah memanggilnya dari toko di ujung jalan sana.
Davin hanya bengong, ia terpaku menatap punggung wanita berhati emas yang baru dia temui.
"Heh, ngelihatin apa sih?" tanya Alan begitu tiba di samping Davin.
"Bidadari."
"Mana?" Alan melihat ke arah pandangan Davin, namun tidak melihat apa yang sedang dilihat pria itu.
"Barusan."
"Udah kenalan belum?"
"Bodoh," kata Davin yang baru menyadari kebodohannya.
"Yah, situ baru sadar," ucap Alan.
"Sialan. Udah ah, yuk, keburu laper." Davin merangkul pundak Alan, menuju salah satu restoran bernuansa outdoor di depan sana.
Flashback off
***
"Wanita ini?" Davin terkejut melihat wanita berhati emas yang dia temui di Belgia. "Jadi, dia adalah Rose."
Davin tidak langsung mengangkat Rose, ia diam sejenak, menatap kecantikan Rose yang paripurna. Wanita cantik bukan hanya dari paras, namun juga hati. Davin segera menggelengkan kepala, menyadarkan dirinya sendiri bahwa ia sudah memiliki Kayla, kekasihnya yang sudah menemaninya selama satu tahun ini. Meskipun tidak ada yang mengetahui hubungan mereka.
"Aku harap kamu bisa mendapatkan laki-laki lain yang lebih baik dari aku Ros, maaf karena aku nggak bisa menikahimu," bisik Davin di depan wajah Rose yang masih tidur.
Davin mengangkat tubuh Rose dengan pelan supaya ia tidak terbangun dari tidurnya. Sementara Rose yang memang sudah lelah sama sekali tidak terganggu dengan gerakan kecil yang ditimbulkan Davin. Wanita itu bahkan mengalungkan tangannya pada leher Davin, mencari posisi ternyaman untuk dirinya sendiri.
Bagas dan Dina yang melihat putranya menggendong Rose menuju kamarnya hanya bisa tersenyum bahagia. Dina yakin bahwa putranya bisa mencintai Rose. Mungkin sedikit terlambat, Tapi kisah cinta mereka akan dimulai dari hari ini.
"Aku seneng deh Pi, semoga mereka bisa segera nikah."
"Kita harus tegas pada Davin Mi. Dan jangan sampai Rose tahu perdebatan kita kemarin.
Dina menganguk kemudian memanggil asisten rumah tangganya.
"Bi Idha.”
"Iya Bu," jawab Idha sambil berlari menghampiri majikannya.
"Tolong dibersihkan kamar tamu, calon mantu saya mau nginep."
"Baik Bu."
Dina akan meminta Davin untuk tidur di rumah, namun tidak mungkin Davin dan Rose tidur dalam satu kamar sebelum pernikahan mereka, jadi kamar tamu harus dibersihkan supaya bisa ditempati Rose.
"Astaga, aku lupa ngasih tahu Rika."
Dina baru mengingat tentang Rika setelah sekian lama obrolan mereka. Khawatir Rika akan mengkhawatirkan Rose, Dina segera mencari ponselnya kemudian menghubungi wanita itu. Mengatakan pada Rika supaya tidak mengkhawatirkan Rose karena anaknya itu sudah ada di dalam rumahnya.
Sementara Dina mengobrol bersama Rika, Bagas yang melihat putranya menuruni tangga langsung mengajaknya menuju ruang keluarga. Dia ingin bicara serius dengan Davin.
"Duduk Dav!" perintah Bagas yang mendahului duduk di salah satu sofa di sana.
"Pi..."
"Dengerin papi dulu sebelum kamu mengeluarkan pendapatmu!" kata Bagas tidak bisa dibantah. "Orang tua Rose berjasa besar pada keluarga kita. Papi bisa mendirikan perusahaan kita sekarang juga berkat mereka. Jadi papi mohon, sebelum mengambil keputusan, pertimbangan dulu apa yang papi sampaikan barusan."
"Pi, tanpa aku dan Rose menikah pun, kita bisa membantu keluarga Om Ivan."
"Tapi Rose ingin menikah denganmu. Lagipula, dulu kamu juga pernah berjanji akan menikahi Rose."
"Kapan?" Davin merasa tidak pernah mengatakannya, dia lupa akan janjinya pada wanita itu.
"Saat kamu masih berusia tujuh tahun."
"Pi, aku bahkan masih sangat kecil saat itu. Aku belum ngerti arti pernikahan," jawab Davin.
"Ya papi tahu, tapi karena janji kamu saat itu, Rose hanya mencintai kamu. Meskipun dia nggak pernah lihat kamu. Nggak ada yang bisa menandingi ketulusan Rose, Dav. Percaya papi."
"Tapi aku udah punya Kayla, Pi. Aku nggak mungkin ninggalin dia gitu aja."
"Kamu tetap harus meninggalkan dia," sela Bagas. "Mulailah mengenal Rose, papi yakin kamu akan jatuh cinta padanya."
Davin diam, mempertimbangkan perintah ayahnya. Ya, Davin yakin bisa mencintai Rose, karena dia pernah mengagumi wanita itu. Tetapi, dia juga tidak bisa meninggalkan Kayla yang sudah lebih dulu menemaninya.
"Kalau gitu, biar aku ngomong sama Rose. Aku akan bicarakan sama dia..."
"Nggak! Kamu nggak boleh ngomong sama Rose mengenai Kayla. Rose nggak boleh tahu."
"PI!" Davin jadi serba salah. Padahal dia ingin jujur pada Rose mengenai Kayla. Dia ingin tahu bagaimana reaksi wanita itu. Melihat dari kebaikan hati Rose, Davin yakin wanita itu akan melepaskannya. Namun, Bagas menolak usulnya. Membuatnya menjadi serba salah.
"Cari tahu informasi apapun mengenai Davin,” perintah Rose pada orang suruhannya.Rose yang sudah bangun sejak tadi tidak sengaja mendengar pembicaraan Bagas dan Davin di ruang keluarga. Rose terkejut dan juga marah disaat bersamaan. Terkejut karena ternyata dia sudah pernah bertemu Davin sebelumnya. Marah karena ternyata apa yang dikatakan ibunya mengenai Davin benar. Pria itu tidak ingin menikah dengannya karena telah memiliki kekasih. Tega sekali Davin melakukannya, sementara ia terus menunggu kedatangannya. Setidaknya, jika memang Davin tidak mau menikah dengannya. Dia bisa mendatangi Rose sejak dulu sehingga dia tidak berharap dan memupuk perasaannya sendiri. Rose tidak terima."Kayla?" bisik Rose. "Aku harus mencaritahu mengenai wanita itu."Rose menatap beberapa foto Davin di atas meja panjang. Foto ketika pria itu masih mengenakan seragam SMP hingga sekarang. Rose berjalan mendekat, ia sedikit tersenyum melihat perubahan Davin dari waktu ke waktu. Rose menyadari sesuatu ketika
"Ros, aku angkat telpon sebentar," kata Davin sebelum meninggalkannya. Rose mengangguk meskipun terlihat marah. Dia yakin itu adalah telpon dari Kayla. Ia semakin penasaran pada gadis itu. Rose menatap Davin yang menjauh darinya. Kesal diabaikan, Rose memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa Davin. Ia menyusuri bangunan museum kemudian keluar. Sementara disisi lain, Davin yang baru selesai dengan obrolannya bersama Kayla kebingungan begitu melihat Rose yang tidak ada di tempat semula. Matanya menatap kesana-kemari, namun tidak juga menemukannya. "Ya ampun, pergi kemana tuh anak," bisik Davin. Davin yang tidak melihat batang hidung Rose langsung menghubungi wanita itu. Nahasnya, ponsel Rose ada padanya. Tadi Rose sempat menitipkan barangnya ketika pergi ke toilet. Davin memutuskan keluar gedung untuk mencari keberadaan Rose. Tidak sengaja matanya melihat sekelebat bayangan Rose berjalan menuju halte. Davin yang tidak sabaran langsung berlari untuk mengejarnya. "Ros?" Dengan sedik
Rose pulang bersama Davin yang langsung pergi setelah menurunkannya. "Aku ada urusan bentar," kata Davin setelah mengantarnya pulang. Rose hanya mengangguk kemudian masuk rumah, dia melihat Dina sedang duduk di sofa ruang tamu. "Udah pulang Ros?" tanya Dina begitu melihat calon menantunya memasuki rumah. "Loh, dimana Davin?" "Ada urusan bentar Tan," jawab Rose. Rose menghampiri Dina untuk menyalami wanita itu, tadi dia belum mengucapkan salam dengan benar. Bahkan Rose langsung pergi bersama Davin. Dia belum sempat berbincang dengan Dina. "Makasih ya Tan, udah bantu aku tadi pagi." "Loh, itu udah jadi tanggung jawab Tante. Kan yang tante bantu calon mantu sendiri bukan orang lain." Rose tersenyum mendengar ucapan Dina. Ia senang, setidaknya orang tua Davin mendukungnya. Meskipun tidak dengan pria itu. Rose tahu, Davin tidak mungkin meninggalkan Kayla. "Tan..." "Iya Ros, kenapa?" Rose yang duduk di sebelah Dina langsung menggeser posisi duduknya supaya bisa berhadapan dengan w
Davin yang baru pulang dari kos Kayla terkejut begitu melihat Rose keluar kamar mandi hanya menggunakan handuknya. Rambut wanita itu masih basah hingga menetes ke lantai. Davin tidak menampik bahwa saat itu ada bagian dirinya yang berdesir melihat tubuh indah Rose. Dia pria normal.Davin yang semula akan pergi ke apartemennya, mendapat perintah dari ibunya untuk menginap di rumah selama Rose di Indonesia. Dia tidak bisa membantah. Meskipun kesal, Davin tetap melakukan perintah orang tuanya.Dan di sinilah dia sekarang, berhadap-hadapan dengan Rose yang masih memegangi handuknya_ sama-sama terkejut.“Sorry.” Davin memalingkan pandangannya, malu jika sampai Rose melihatnya meneteskan air liur hanya karena menatapnya.“Harusnya aku yang minta maaf, aku belum mindahin barangku, jadi tadi sekalian pinjem kamar mandi.” Rose berusaha menahan senyum melihat ekspresi Davin.Sebenarnya tadi dia sudah membawa kimono. Hanya saja, kakiny
Davin sedang menelpon Alan, dia ingin mengajak pria itu nongkrong daripada di rumah yang akan membuat emosinya diaduk-aduk.“Okay Al, nanti malam aku tunggu di tempat biasa ya.”“Kenapa lagi sih bro, ada masalah lagi?” tanya Alan di seberang.“Ya, biasa lagi berantem sama mami,” jawab Davin.Davin yang sedang mengobrol bersama Alan hanya menoleh sekilas ketika mendengar suara pintu terbuka, dia melihat Rose yang memasuki kamarnya kemudian duduk di sisi ranjang. Davin tetap melanjutkan obrolannya."Ya udah Al gitu aja, jangan lupa nanti malam ya.” Davin mengakhiri obrolannya bersama Alan.Melihat Rose yang tetap diam di tempatnya, Davin berinisiatif menghampiri wanita itu. Dia duduk di sebelah Rose."Ada apa Ros?""Nelpon siapa?"Davin dan Rose bertanya pada satu sama lain dengan waktu yang bersamaan, kemudian tertawa garing."Alan.""Emmm, Alan… sahabat kamu
"Kamu bilang akan liburan selama satu bulan, kenapa berubah jadi satu minggu?" tanya Davin di ambang pintu.Davin mengikuti Rose menuju ruang tamu setelah membereskan hair dryer miliknya, dia mendengar sedikit percakapan antara Rose dan Rika.Penasaran dengan jawaban Rose, ia masuk lebih dalam ke ruang tamu dan berhadapan langsung dengan wanita itu.“Nggak pa-pa Dav, lagian aku juga nunggu wisudaku,” jawab Rose.Rose yang terkejut melihat kehadiran Davin di kamarnya langsung merubah mimik wajahnya, Davin tidak boleh tahu apalagi menaruh curiga padanya.“Lagian Dav, ngapain aku lama-lama di sini, kan kamu juga harus ngurus wisuda kamu kan. Tar aku sendiri lagi di sini,” tambah Rose.“Yakin karena itu?”“Ya.”Padahal Davin masih ingin menahan Rose lebih lama lagi, dia ingin mengenalkannya pada Alan. Ia memiliki rencana untuk menjodohkan mereka berdua. Menurutnya, Alan lah pria yang tepat untuk mendampingi Rose.Rose berjalan mengitari Davin menuju posisi kopernya yang sudah dipindahkan
Dalam perjalanan menuju club malam Rose sama sekali tidak mengatakan apa-apa, ia masih marah dan terkejut dengan sifat Davin. Tidak seharusnya mereka membohongi Dina yang begitu berharap pada mereka. Bukankah pernikahan mereka tidak mungkin terjadi, seharusnya Davin mempersiapkan semuanya dari sekarang bukan justru membuat harapan yang tinggi untuk mereka.“Ros, kenapa diem aja?” tanya Davin sambil sesekali menoleh pada Rose yang hanya diam memperhatikan jalanan.“Dav.” Rose memposisikan duduknya menyamping, sedikit menghadap Davin yang fokus menyetir.“Hemm.”“Kenapa kamu bohong sama tante Dina?”Davin menghentikan mobilnya karena bertepatan dengan lampu merah kemudian menatap mata Rose. Dia menangkap ketidak sukaan dari tatapan mata Rose.“Aku bingung aja mau izin gimana sama mami,” jawab Davin.“Kamu tinggal bilang yang sebenarnya.”“Itu nggak mung
"Kok diem sendirian di sini? Gabung sama yang lain yuk!" ajak Davin. Melihat Rose sendirian di meja bartender membuat Davin merasa tidak enak. Pasalnya, dia yang mengajak wanita itu pergi. "Iya bentar lagi aku kesana," jawab Rose masih menikmati minumannya. "Kalau di London kamu ngapain jam segini?" "Di rumah, paling ngobrol sama mama kalau nggak gitu keluar sama Siska." "Siska itu..." "Sahabat baikku, orang Indonesia juga, anak Malang," jawab Rose. Rose melirik Kayla dan Alan yang duduk berdua di tempat yang sama saat mereka bertemu tadi. Dia merasa geram, mereka tidak bisa dibiarkan. "Dav, kenapa kamu nggak nemenin Kayla aja di sana?" "Udah ada Alan," jawab Davin sambil menerima minuman pesanannya. "Tapi kan kamu pacarnya Dav, jangan terlalu dibiarkan mereka dekat." "Alan itu sahabatku Ros, kita sering keluar bertiga. Jadi biasa aja," terang Davin. "Justru itu masalahnya Dav. Kamu sendiri yang membuka ruang untuk mereka mengkhianatimu," batin Rose. Baru sehari bersama D
Rose pulang dengan perasaan tenang, dia sama sekali tidak menyadari kelicikan Kayla. Agaknya, wanita itu juga mahir bersandiwara. Sebut saja licik. "Darimana Ros?" tanya Davin yang sudah lebih dulu tiba di rumah."Aku pingin jalan-jalan sebentar," jawab Rose dengan sumringah."Kamu nggak tahu kalau kakimu nggak boleh banyak gerak dulu.?""Cuma sebentar, lagian bentar lagi aku balik ke London," kata Rose."Tapi kamu bisa ngomong dulu sama aku, aku bakal nganterin kamu. Kemana aja kamu mau." Davin yang langsung pulang setelah meeting karena mengkhawatirkan Rose yang di rumah sendiri justru terkejut begitu melihat wanita itu tidak ada di kamarnya. Davin berusaha menghubungi ponselnya, namun tidak ada jawaban. Dan sekarang, Rose justru berdiri dengan perasaaan tidak bersalahnya."Iya udah, maaf ya. Lain kali aku ngomong sama kamu kalau aku mau pergi-pergi," sesal Rose."Sudahlah, sini biar aku kompres kakimu!" perintah DavinDavin menuntun Rose yang sedikit pincang menuju sofa tengah, me
"Aaak." Rose menjatuhkan dirinya sendiri, mencari cara agar Kayla atau Alan melihat kehadirannya di tempat itu. Sepertinya mereka tidak menyadari jika di sana juga ada dia dan Davin."Ros, kamu kenapa?" Davin berjongkok untuk membantu Rose.Sambil memegangi kakinya yang benar-benar sakit, Rose menyempatkan diri melirik ke arah Kayla dan Alan di seberang jalan. Bersyukur mereka memutar arah hingga Davin tidak dapat melihat mereka.Sial, bagaimana bisa Rose menutupi perselingkuhan mereka. Jika bukan karena Davin Rose tidak akan mau melakukannya. Pasalnya dia benar-benar kesakitan sekarang, sepertinya kakinya terkilir."Kamu ngapain sih, bisa-bisanya," kata Davin."Aku tadi mau... ngambil... Hp-ku di mobil, kayaknya jatuh di sana." Rose membuat alasan."Hati-hati Ros, sekarang bisa bangun nggak?"Rose meringis dengan wajah tidak bersalahnya. "Kayaknya nggak bisa," jawabnya."Kamu ini, belum juga makan nasi goreng. Kita bungkus aja kalau gitu." Davin berbalik hanya untuk berteriak pada pe
Davin mencari keberadaan Rose di kamar tamu, namun tidak dia temui batang hidung wanita itu. Tadi Davin langsung pergi tanpa berpamitan padanya bahkan ibunya."Darimana Dav?" tanya Dina dari arah dapur dengan membawa jus mangga di tangan kanannya."Mi, lihat Rose nggak?" tanya Davin tanpa menjawab pertanyaan ibunya."Ada tuh di kolam renang," jawab Dina kemudian duduk di sofa ruang tengah.Davin menuju kolam renang yang dimaksud ibunya dengan membawa paket milik Rose. Sebuah map coklat yang entah apa isinya.Tiba di kolam renang belakang rumah, Davin tidak langsung memanggil Rose yang masih asyik berenang dengan bikininya. Sudah dua kali Davin melihat keindahan tubuh Rose, wanita itu memang menawan."Hai Dav, udah pulang?" tanya Rose basa-basi."Iya, ini baru sampek.""Tolong ambilkan kimonoku!"Davin berjalan menuju kursi panjang yang memang dikhususkan untuk bersantai di area kolam renang, mengambil kimono yang dimaksu
"Maaf untuk omongan Kayla tadi, dia nggak bermaksud ngomong kayak gitu," kata Davin begitu mereka tiba di rumah.Rose menoleh sekilas pada Davin, bagaimana bisa pria itu mengerti maksud kekasihnya tanpa bertanya. Jelas-jelas ucapan Kayla mengisyaratkan ketidak sukaan padanya. Dan wanita itu menyalahkannya atas peristiwa yang terjadi."Aku mau langsung tidur Dav, aku capek." Rose tidak memberi tanggapan atas ucapan Davin, ia pergi meninggalkan pria itu yang masih duduk di bangku kemudi.Rose mengunci kamar kemudian mencari ponselnya. Dia tidak tidur melainkan menghubungi orang suruhannya. Rose harus bertindak cepat, muak sekali jika harus terus berhubungan dengan Kayla atau Alan."Halo," ucap Rose begitu sambungan teleponnya terjawab."Ya.""Dengarkan aku baik-baik!" perintah Rose tanpa tedeng aling-aling."Ikuti orang dalam foto yang kamu kirimkan. Sepertinya dia dekat dengan pria bernama Alan. Aku butuh foto romantis tentang mereka b
"Kok diem sendirian di sini? Gabung sama yang lain yuk!" ajak Davin. Melihat Rose sendirian di meja bartender membuat Davin merasa tidak enak. Pasalnya, dia yang mengajak wanita itu pergi. "Iya bentar lagi aku kesana," jawab Rose masih menikmati minumannya. "Kalau di London kamu ngapain jam segini?" "Di rumah, paling ngobrol sama mama kalau nggak gitu keluar sama Siska." "Siska itu..." "Sahabat baikku, orang Indonesia juga, anak Malang," jawab Rose. Rose melirik Kayla dan Alan yang duduk berdua di tempat yang sama saat mereka bertemu tadi. Dia merasa geram, mereka tidak bisa dibiarkan. "Dav, kenapa kamu nggak nemenin Kayla aja di sana?" "Udah ada Alan," jawab Davin sambil menerima minuman pesanannya. "Tapi kan kamu pacarnya Dav, jangan terlalu dibiarkan mereka dekat." "Alan itu sahabatku Ros, kita sering keluar bertiga. Jadi biasa aja," terang Davin. "Justru itu masalahnya Dav. Kamu sendiri yang membuka ruang untuk mereka mengkhianatimu," batin Rose. Baru sehari bersama D
Dalam perjalanan menuju club malam Rose sama sekali tidak mengatakan apa-apa, ia masih marah dan terkejut dengan sifat Davin. Tidak seharusnya mereka membohongi Dina yang begitu berharap pada mereka. Bukankah pernikahan mereka tidak mungkin terjadi, seharusnya Davin mempersiapkan semuanya dari sekarang bukan justru membuat harapan yang tinggi untuk mereka.“Ros, kenapa diem aja?” tanya Davin sambil sesekali menoleh pada Rose yang hanya diam memperhatikan jalanan.“Dav.” Rose memposisikan duduknya menyamping, sedikit menghadap Davin yang fokus menyetir.“Hemm.”“Kenapa kamu bohong sama tante Dina?”Davin menghentikan mobilnya karena bertepatan dengan lampu merah kemudian menatap mata Rose. Dia menangkap ketidak sukaan dari tatapan mata Rose.“Aku bingung aja mau izin gimana sama mami,” jawab Davin.“Kamu tinggal bilang yang sebenarnya.”“Itu nggak mung
"Kamu bilang akan liburan selama satu bulan, kenapa berubah jadi satu minggu?" tanya Davin di ambang pintu.Davin mengikuti Rose menuju ruang tamu setelah membereskan hair dryer miliknya, dia mendengar sedikit percakapan antara Rose dan Rika.Penasaran dengan jawaban Rose, ia masuk lebih dalam ke ruang tamu dan berhadapan langsung dengan wanita itu.“Nggak pa-pa Dav, lagian aku juga nunggu wisudaku,” jawab Rose.Rose yang terkejut melihat kehadiran Davin di kamarnya langsung merubah mimik wajahnya, Davin tidak boleh tahu apalagi menaruh curiga padanya.“Lagian Dav, ngapain aku lama-lama di sini, kan kamu juga harus ngurus wisuda kamu kan. Tar aku sendiri lagi di sini,” tambah Rose.“Yakin karena itu?”“Ya.”Padahal Davin masih ingin menahan Rose lebih lama lagi, dia ingin mengenalkannya pada Alan. Ia memiliki rencana untuk menjodohkan mereka berdua. Menurutnya, Alan lah pria yang tepat untuk mendampingi Rose.Rose berjalan mengitari Davin menuju posisi kopernya yang sudah dipindahkan
Davin sedang menelpon Alan, dia ingin mengajak pria itu nongkrong daripada di rumah yang akan membuat emosinya diaduk-aduk.“Okay Al, nanti malam aku tunggu di tempat biasa ya.”“Kenapa lagi sih bro, ada masalah lagi?” tanya Alan di seberang.“Ya, biasa lagi berantem sama mami,” jawab Davin.Davin yang sedang mengobrol bersama Alan hanya menoleh sekilas ketika mendengar suara pintu terbuka, dia melihat Rose yang memasuki kamarnya kemudian duduk di sisi ranjang. Davin tetap melanjutkan obrolannya."Ya udah Al gitu aja, jangan lupa nanti malam ya.” Davin mengakhiri obrolannya bersama Alan.Melihat Rose yang tetap diam di tempatnya, Davin berinisiatif menghampiri wanita itu. Dia duduk di sebelah Rose."Ada apa Ros?""Nelpon siapa?"Davin dan Rose bertanya pada satu sama lain dengan waktu yang bersamaan, kemudian tertawa garing."Alan.""Emmm, Alan… sahabat kamu
Davin yang baru pulang dari kos Kayla terkejut begitu melihat Rose keluar kamar mandi hanya menggunakan handuknya. Rambut wanita itu masih basah hingga menetes ke lantai. Davin tidak menampik bahwa saat itu ada bagian dirinya yang berdesir melihat tubuh indah Rose. Dia pria normal.Davin yang semula akan pergi ke apartemennya, mendapat perintah dari ibunya untuk menginap di rumah selama Rose di Indonesia. Dia tidak bisa membantah. Meskipun kesal, Davin tetap melakukan perintah orang tuanya.Dan di sinilah dia sekarang, berhadap-hadapan dengan Rose yang masih memegangi handuknya_ sama-sama terkejut.“Sorry.” Davin memalingkan pandangannya, malu jika sampai Rose melihatnya meneteskan air liur hanya karena menatapnya.“Harusnya aku yang minta maaf, aku belum mindahin barangku, jadi tadi sekalian pinjem kamar mandi.” Rose berusaha menahan senyum melihat ekspresi Davin.Sebenarnya tadi dia sudah membawa kimono. Hanya saja, kakiny