enjoy reading ...
“Udah malam. Jangan banyak tanya,” ucap Lois sekenanya dengan memelukku dalam posisi miring. Sontak aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu duduk dan menjauh. Bagaimanapun, aku tidak mau seintim itu dengannya meski kami ini suami istri sah. Aku tidak mencintainya! “Ngapain sih kamu pakai acara peluk-peluk segala, Lois! Modus!” Lois tersenyum tipis lalu kembali berbaring miring dengan memeluk guling. “Ya udah. Aku meluk guling aja karena istriku belum mau dipeluk.” Heh?! Apa maksudnya bilang seperti itu? Apa dia mengharap pelukan dariku? Apa dia nyaman dengan pernikahan kami ini? Tapi, jika dia dia nyaman dengan pernikahan ini lalu bagaimana dengan Rily, mantan kekasihnya yang dekat dengannya? Apa dia mau poligami? *** Hatiku riang tiada terkira saat bangun pagi hari ini. Sangat bahagia. Apalagi jika bukan karena mengingat hancurnya rencana pertunangan Vela dan Ishak semalam. Lois sukses membuka kedok adikku itu dihadapan seluruh keluarga besar kami dan Ishak. Tentang bet
Dengan hati gamang dan dipenuhi ledakan di dada, aku memberanikan diri menggeser tombol hijau di layar ponsel. Lalu tangan kananku mengangkat ponsel dengan gerakan sedikit lambat hingga menyentuhkannya ke telinga kanan. "Halo?" ucapku lirih dengan hati tidak karuan lagi. Bagaimana tidak karuan jika yang sedang menghubungiku adalah lelaki yang pernah dan sampai saat ini masih menjadi raja di hati ini. Meski aku sendiri telah bersuamikan Lois. Lelaki yang tidak pernah kuinginkan dan terpaksa menikah dengannya demi sebuah penyelamatan nama baik. "Halo, Ly." Mendengar suara Ishak, tetiba saja hatiku seakan disiram air keras hingga terasa mengering. Namun detik berikutnya aku justru takut jika ia mengucapkan kata-kata atau kalimat yang menghunus jantung. Kata-kata yang menyiratkan kekesalan karena aku memporak-porandakan acara pertunangannya dengan adikku. Membongkar semua kebusukan adikku dihdapannya dan keluarga besar. "Ya? Ini ... siapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. "Ishak. Ka
“Gimana kabarnya, Ly?” Ishak memulai pertanyaan sambil mengemudi. Aku masih setia duduk di bangku penumpang yang ada di sebelahnya sambil memangku tas kerja. “Baik, Shak,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Takut jika hatiku tidak baik-baik saja karena cinta lama bersemi kembali. Sedang aku sudah ada yang memiliki. “Kenapa kamu pindah kerja?” Haruskah aku menjawab alasan kepindahanku padanya? Alasan yang membuat harga diriku kembali jatuh dan tersungkur. Dan akhirnya bibir ini memilih bungkam daripada mengorek luka lama. Karena tidak ada jawaban dariku, Ishak menoleh sekilas. Terlihat dari ekor mataku. “Ly?” “Ya?” jawabku kembali tanpa menoleh ke arahnya. “Oh … maaf.” Akhirnya, Ishak tahu jika aku enggan menjawab pertanyaannya. “Nggak apa-apa, Shak. Itu cuma kenangan yang perlu dikubur dalam-dalam.” Selanjutnya, tidak ada percakapan apapun diantara kami hingga mobil gagah dan nyamannya tiba di sebuah café and restaurant yang kukenal. ‘Bukankah ini …. ‘ batinku meningkahi d
“Gimana? Kamu mau lagi? Kalau mau biar aku --- “ Tanganku segera menahan tangan Ishak begitu tubuhnya bersiap berdiri dari duduknya. Kedua matanya menatap tangan kiriku yang menahan tangan kanannya. Sekelebat ada perasaan salah karena aku mulai berani memulai kontak fisik dengannya. Seketika aku segera menarik tangan ini darinya dengan perasaan tidak karuan. Aku khawatir dia merasa jijik karena disentuh perempuan kotor sepertiku. Seperti ucapannya dulu. “S … sorry, Shak. Aku … nggak maksud begitu,” ucapku lirih dengan bahasa tubuh penuh salah tingkah. Bukannya marah karena bersentuhan dengan perempuan kotor sepertiku, Ishak justru tersenyum dengan gurat meneduhkan sambil menatap kedua bola mataku lalu ia duduk kembali. Tangannya bergerak pelan menjauhkan menu milikku yang tidak habis karena terlalu pedas dan menaruh botol berisi air mineral tepat dihadapanku. “It’s okay, Ly. Aku nggak masalah kok sama yang barusan.” Fiuh … mengapa wajahku terasa seperti berdekatan dengan bara a
"Aku mohon, Ly. Jangan nolak tawaranku." "Shak, aku --- " Tanpa mendengar jawabanku terlebih dulu, Ishak bergegas berdiri dari duduknya. "Aku ke kasir dulu. Tunggu disini." Dengan langkah lebarnya, Ishak segera menuju meja kasir dan menyelesaikan tagihan makan malam ini. Aku bisa apa jika Ishak sudah begini? Bila aku menolak ajakannya, hati ini tidak sekuat itu melakukan penolakan. Tanganku kembali mengambil tisyu di meja untuk menyusut air mata akibat sedih yang terjadi setelah menceritakan kepiluanku karena ulah Vela. "Ly? Kenapa?" Dengan cepat aku menggeleng lalu mengusap lelehan air mata ini. "Maafin aku. Kamu jadi keinget lagi." "Nggak apa-apa, Shak," jawabku dengan suara parau. "Ayo, aku antar pulang." Kepalaku mengangguk lalu berjalan mendahului Ishak hingga langkah kami tiba di parkiran mobilnya yang gagah ini. Lalu tangannya bergerak cepat membukakan pintu untukku. Usai Ishak menutupnya, aku segera memasang set belt lalu ia menaiki kursi kemudi dan menyalakan mesin
Lois marah! Itulah yang terjadi. Entah mengapa tetiba dia marah padaku? Ataukah sebelumnya dia sudah marah dengan Rily namun hal itu terbawa hingga kontrakan dan berimbas padaku? Aku hanya bisa menghela nafas sabar ketika dia bersikap cuek padaku. Bahkan saat dia mengantarku menuju kos Nathasya, betapa ugal-ugalannya Lois ini. Dia mengemudikan motor dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata padahal jalanan sedang ramai. "Lois! Aku belum mau mati!" Bentakanku akhirnya membuat Lois memelankan laju motor hingga sampai di kos Nathasya. Bila biasanya dia akan mengucap salam berpamitan, maka tidak dengan kali ini. Dia langsung melajukan motornya menuju cafe and restaurant tempatnya bekerja dengan gitar andalan. "Kenapa, Ly? Cemberut amat?" tanya Nathasya ketika aku baru membuka pintu kamarnya lalu duduk di sebelahnya. "Lois, entah kerasukan setan apa tuh anak ngebut banget di jalanan! Kalau ada masalah sama Rily kenapa pelampiasannya ke gue?!" gerutuku. "Kak Lois lagi berantem sa
Perang dingin antara aku dan Lois masih berlanjut hingga esok pagi saat aku sudah bersiap akan berangkat bekerja. Biasanya, Lois akan menyiapkan sarapan kecil untukku, tapi tidak dengan kali ini. Dia acuh dan lebih suka memetik senar gitarnya berulang kali dengan memperhatikan cord yang terpampang di ponsel. Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang. “Marah sama siapa? Dilampiasin ke siapa?” gerutuku sambil memperhatikan penampilan di depan kaca cermin rias. “Bodoh amat lah!” Kemudian aku menyambar tas kerja lalu keluar dari kamar. Benar saja, dia masih asyik memetik senar gitar dari kunci salah satu lagu yang tidak kuketahui dengan melakukan sambungan video call. Senyumnya ketika diajak berbicara dengan lawan bicara pun terkembang lembut. Rily kah yang menghubungi? Begitu aku memasuki ruang tamu sambil menenteng tas kerja, dia mendongak menatapku sekilas lalu kembali tersenyum pada layar ponselnya. “Nanti aku telfon lagi. Bye.” Kemudian Lois mengambil headset nirkabel yang te
“Nunggu lama?” Kepalaku menggeleng pelan, “Barusan aja.” Ishak kemudian membukakan pintu mobilnya untukku kemudian kembali ke kursi kemudi. Tidak lupa memberi seulas senyum hingga jantungku berdetak lebih kencang. “Mau makan siang dimana?” tanyanya lagi dengan fokus mengemudi. “Ehm … terserah kamu aja, Shak.” Ya, tadi Ishak menghubungi jika ingin mengajakku makan siang bersama untuk melanjutkan obrolan kami kemarin yang belum usai. Alhasil, acara makan siangku bersama rekan-rekan staff customer service terbatalkan. Ishak menawarkan makan siang dan aku tidak bisa menolak ajakannya. Apalagi kalau bukan karena masih ada cinta dan hati ini terasa berbunga. Bahkan aku tidak lagi fokus dengan ucapan rekan-rekan yang sedang membahas pesona putra Pak Presdir yang kami jumpai di lobby. Lalu mobil Ishak berhenti di café and restaurant tempat kami pertama kali bertemu. Kepalaku langsung menoleh ke arahnya yang lagi-lagi hanya menguarkan senyum indah lalu keluar dari mobil dan membukakan p