Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini.
Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana.
Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi sepertinya, aku selalu sial jika berurusan dengan pria, jadi aku akan menikmati kesendirianku saja.
Butuh waktu sekitar satu jam sampai aku tiba di Kuta, seperti biasa, Kuta selalu ramai. Aku mengenakan kacamata hitam untuk menutupi bengkak di mataku. Aku sangat benci menangis, tapi hal terakhir yang terjadi padaku ketika banyak pikiran seperti ini adalah menangis. Kapan hidupku akan lepas dari permasalahan seperti ini?
Tadinya aku ingin tetap di rumahku lalu menelpon Lucas atau Ina untuk menceritakan masalah yang sedang ku hadapi, tapi aku mengurungkan niat itu. Kupikir mereka sudah sangat terbebani dengan apa yang terjadi padaku, aku hanya ingin menjadi sahabat mereka tanpa membebankan masalah yang kutanggung sendiri.
Hanya pantai satu-satunya tempat yang mampu menenangkanku, mungkin aku akan berada di sini seharian. Aku bahkan sudah mengenakan pakaian renang terbaikku, berenang juga cukup untukku, atau mungkin ketika aku tenggelam nanti akan menjadi akhir dari segalanya, lalu seluruh masalahku akan menghilang begitu saja. Pikiran konyol seperti itu kadang selalu mampir di benakku, terkadang juga menghiburku.
“Aku tak tahu bagaimana untuk memulainya, aku benar-benar payah untuk hal seperti ini. Kamu tahu, kita sudah dekat selama ini, dan kupikir aku sangat nyaman bersamamu. Maukah kamu menjadi kekasihku?” Ritchie mengatakan kalimat itu dengan senyum malu-malu.
Aku menatap Ritchie tak percaya, dia adalah pria tampan yang ada di hotel—salah satunya—menurutku, dan baru saja menyatakan cinta padaku. Ya, kami sudah cukup akrab, aneh saja ketika mendengar ia mengatakan semua ini. Seluruh hotel juga tahu kalau Ritchie hanya menyukai Tsania.
“Kenapa?”
Ritchie terlihat semakin gugup di hadapanku, aku sama sekali tak memiliki perasaan apapun padanya—belum. Kami juga baru saja akrab selama satu bulan, untukku yang sangat awam dengan dunia percintaan, itu adalah waktu yang sangat singkat untuk menyatakan cinta. Atau memang seperti itu?
“Apakah harus memiliki alasan untuk menyukai seseorang?”
“Tapi aku—“
“Kita bisa mencoba dahulu, tak perlu terburu-buru, cinta itu akan datang ketika sudah saling terbiasa dengan kehadiran satu sama lain.”
Semua kenangan itu terputar seperti kaset rusak di kepalaku, tanpa bisa kucegah, aku bahkan tak menginginkan kenangan itu untuk muncul lagi. Aku semakin menjauh dari pinggiran pantai dan berenang hingga hampir ke tengah laut, kenangan itu membawaku sejauh ini. Aku melemaskan seluruh otot di tubuhku, dan mulai mengapung di tengah laut ini, rasanya sangat bebas seperti ini.
Aku tak tahu sudah berapa lama terapung di tengah laut seperti ini, matahari juga rasanya semakin menyengat tepat di atas kepalaku. Mendadak kakiku terasa keram, dan aku tak bisa mengendalikan tubuhku, rasanya seperti ada yang menarikku ke dalam laut. Apa ini akhir dari hidupku? Aku bahkan sama sekali tak berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Kelopak mataku tertutup dengan sendirinya, akan lebih baik jika menikmati semua ini saja, akan lebih baik jika nanti aku sudah terbangun di surga.
**
Apa surga memang rasanya senyaman ini? Aku bahkan tak ingin membuka kelopak mataku, semua ini terlalu nyaman, ingin rasanya seperti ini saja sampai nanti. Bagaimana jika aku membuka mata, lalu semua ini hanya mimpi?
Entah dari mana asalnya, tapi aku mencium aroma kopi yang sangat nikmat, ternyata aku memang berada di surga. Perlahan aku membuka mataku untuk mencari sumber aroma tersebut. Hal pertama yang aku tangkap adalah, ruangan ini sangat putih, mataku dengan perlahan mengitari ruangan yang sangat putih ini, tapi kenapa rasanya seperti kamar hotel?
“Sudah sadar?” tanya sebuah suara. Itu suara pria.
Tebak siapa yang kutemukan? Erlangga. Ia tersenyum tipis menatapku dari sofa yang ia duduki, dengan cangkir kopi di genggamannya. Kenapa aku bisa bersamanya? Terakhir kali yang kuingat, aku ada di tengah laut. Jadi, apa aku belum mati?
“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku.
“Apa hanya itu yang terlintas di pikiranmu sejak tadi? Aku sudah menolongmu, seharusnya kamu mengucapkan terima kasih.”
Perlahan aku bangkit untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. Pakaianku sudah di ganti, dan aku tak tahu ini milik siapa, kepalaku juga sangat pusing ketika aku sudah bersandar di kepala ranjang. Ternyata aku belum mati, masih hidup di sini dan bersama pria yang ingin kuhindari. Aku selalu bertemu Erlangga, secara sengaja dan tak sengaja. Entah mana yang benar-benar terjadi, bisa saja dia mengikutiku hingga saat ini. Pria ini lebih gila dari yang terlihat.
Pandangan mata Erlangga sangat menusukku, ia memperhatikanku sejak tadi. Aku menyadari hal itu, hanya tak ingin peduli. Jika hal-hal seperti ini terjadi di novel fiksi yang sering kubaca, kenapa rasanya sangat manis, sedangkan saat ini rasanya aku terintimidasi. Aura pria ini benar-benar sesuatu, dan aku ingin memberinya acungan jempol. Akan berguna karena ia seorang pemimpin, kurasa untuk hubungan romantis, itu sedikit berlebihan.
“Pukul berapa sekarang?” tanyaku.
“Hampir pukul delapan pagi. Kamu akan bekerja?”
Aku mencoba untuk turun dari ranjang. Sudah cukup drama pagi ini, aku semalaman terjebak pada pria ini, tak mengetahui apa yang sudah kulakukan atau yang ia lakukan padaku. Aku juga tak berminat untuk bertanya.
“Dimana barang-barangku?” tanyaku lagi. Tubuhku masih sedikit limbung, mungkin karena efek terlalu lama tidur dan karena aku terlalu banyak meminum air laut. Kombinasi keduanya sangat keras dan mungkin berefek seperti pada tubuhku saat ini.
Erlangga juga bangkit dari sofa yang ia duduki. Ia sudah rapi dengan kemeja putih dan celana kain yang membentuk tubuhnya dengan sempurna. Ia pasti sudah bersiap-siap untuk pergi bekerja. Pria itu berjalan menghampiriku, tapi tak mendekat, ada jarak yang ia ciptakan sekitar satu meter dengan menatapku. Bukannya aku kecewa, apa mungkin dia sudah mengerti dengan semuanya dan memutuskan kembali pada tunangannya?
“Kamu bisa istirahat di sini dulu, aku juga akan pergi bekerja jadi kamu tak perlu khawatir harus melihatku,” ucapnya.
“Aku—“
“Tunanganku tak akan kemari, tak perlu khawatir dan istirahat saja. Nanti aku akan mengantarmu pulang,” potong Erlangga.
Kenapa jadi terlihat seperti aku sedang berselingkuh dengannya? Aku tak pernah mengkhawatirkan apapun, bertemu tunangannya sekalipun, karena aku tak bersalah dan aku sama sekali tak memiliki niat untuk mendekati Erlangga. Hanya pria ini yang selalu menyeretku ke dalam drama itu. Apa semua pria memang seperti itu saat ini?
“Aku bisa pulang sendiri, kamu hanya perlu memberikan barang-barangku saja.”
Erlangga yang sudah menuju pintu kamar ini, langsung membalikkan tubuhnya lagi. Hal yang paling kubenci adalah ketika menjadi lemah dan takluk di bawah intimidasi orang lain. Dalam keadaan yang masih sakit kepala seperti ini, aku tak bisa melakukan banyak hal, dan kuyakin tatapan dinginku tak memiliki pengaruh apapun pada Erlangga.
Justru pria itu yang saat ini sedang menatapku dengan dingin, kupikir, aku akan terserang demam karena dinginnya tatapan pria itu.
“Turuti perkataanku kali ini saja. Setelah ini akan kupastikan kita tak akan pernah bertemu lagi.”
Setelah mengucapkan kalimat pendek itu, Erlangga segera keluar dari kamar ini. Aku belum bisa memproses semua ini dengan baik. Benarkah kalimat Erlangga itu? Ada rasa lega dan juga kosong. Tapi, kenapa aku harus merasakan kosong? Di antara banyaknya perasaan yang bisa kutunjukkan, dan aku malah memilih kosong. Anggap saja aku sudah gila.
Berniat menenggelamkan diri ke laut saja sudah termasuk hal ekstrem yang terjadi. Jika Lucas mengetahuinya, ia akan sangat marah besar. Tapi, aku juga tak bisa mengelak jika Ritchie masih memiliki pengaruh sebesar itu terhadap diriku dan juga hatiku. Tak semudah itu untuk bisa benar-benar melupakan sakit hati itu, ini adalah yang terburuk. Andai saja Erlangga tak ada di sana, semuanya akan lebih mudah.
Ada alasan lain kenapa aku memilih Bali sebagai tempat pelarianku. Selain banyak pantai, dan juga pemandangan yang indah, di sini tak ada satupun yang mengenaliku. Aku benar-benar tak mengenal tempat ini dengan baik dan tak memiliki satupun teman yang mengenalku. Jadi, jika suatu hari aku akan memutuskan untuk bunuh diri dan semacamnya, tak akan ada yang mengenaliku. Jika hanya Lucas dan Ina yang menangisiku, itu bukan masalah besar, mereka bisa melewatinya.
**
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Aku menatap keadaan restoran didepanku. Ramai dan padat. Siang ini memang ada buffet lunch dari perusahaan yang sedang mengadakan rapat. Aku memastikan semua timku mengerjakan setiap tugasnya masing-masing. Terkadang aku ikut melayani tamu-tamu itu seperti yang lainnya, hanya saja hari ini aku terlalu lelah."Wi, aku makan dulu dikantin ya. Nanti kita gantian." Ucapku pada Dwi, orang kepercayaanku yang in charge di bar siang ini."Okay, take your time. Kamu udah pucet banget itu."Aku berjalan kekantin dengan gontai. Aku butuh makan. Malam ini sepertinya akan lembur karna masih ada buffet dinner yang menanti. Pekerjaan ini menyenangkan tapi juga melelahkan untukku. Dan ini bukan pengalaman baruku bekerja di bidang ini, setidaknya sudah lebih dari tiga tahun aku menjadi waitress, dan karena kinerjaku yang cukup bagus jabatanku mulai naik menjadi supervisor.Bisa di bilang itu merupakan waktu yang singkat untuk naik jabatan, tapi toh aku bangga. Aku mendapatkannya karena kerja kerasku s
Aku menatap keadaan restoran pagi ini, tamu sangat ramai hari ini karena akhir pekan. Dan aku sekali lagi merelakan akhir minggu ini dengan bekerja. Harusnya hari ini aku akan berkumpul bersama-sama teman kuliahku dulu.Aku juga sebenarnya lebih memilih bekerja di banding harus berkumpul, apalagi tidak ada Ina di sana. Aku kenal mereka melalui Ina, dan aku juga tidak terlalu akrab dengan mereka. Well, sangat mampu di bayangkan bagaimana suasana yang tercipta nantinya. Padahal Ina sudah memaksaku mati-matian untuk berkumpul bersama mereka, tapi dengan alasan Pak Robert—Manajerku—memintaku menggantikannya, ia bisa menerimanya.Aku bukan orang yang anti sosial, aku lebih ke penyendiri. Dan itu adalah dua keadaan yang berbeda. Aku sudah menghabiskan waktuku hampir seharian bekerja yang menuntutku untuk berinteraksi dengan orang lain, dan aku bertemu berbagai macam karakter yang kebanyakan menyebalkan. Jadi aku sangat membatasi pergaulanku, dan itu terbukti hanya Ina sahabatku, tempat aku
Aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi my garden, salah satu kafe yang baru melakukan soft opening. Suasananya sangat menenangkan, dan ini lumayan untuk menghabiskan hari liburku. Aku menyesal menolak tawaran Tio kemarin. Aku sudah di khianati sebegitu rupa dan masih memikirkan kesetiaan dalam hubungan yang sudah sangat tak sehat. Mungkin aku harus memenangkan piala sebagai wanita yang memiliki hati sekuat baja.Minumanku datang, sore yang indah sambil menikmati secangkir Americano, rasanya pahit tapi tak sepahit kenyataan yang sedang kujalani. Tapi aku tetap menyukai kopi. Ia menunjukkan rasa aslinya walaupun masih ada yang membencinya. Dan sangat tak sinkron untuk di bandingkan dengan kisahku, aku hanya ingin memikirkan hal selain hubunganku dengan Ritchie.Ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.Dwi : Mbak, anak magang baru udah dateng dan dia sepupunya Tsania.Aku mengernyit membaca pesan dari Dwi. Minggu ini memang hotel kami kedatangan anak magang lagi, untuk menggantikan anak
Aku duduk di teras menunggu Tio yang akan menjemputku. Well, kurasa aku tak melakukan kesalahan besar kali ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan juga pikiranku yang sudah tak sanggup memikirkan hal lain, kemarin terlalu intens menurutku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi Ritchie yang dengan tersirat mengatakan bahwa rasa cintanya pada Tsania lebih besar daripada mencintaiku. Aku tidak ingin menambahi drama untuk diriku sendiri, hanya saja semua itu adalah kenyataannya. Lamunanku terganggu karena deringan dari ponsel yang kugenggam.Ritchie calling... Aku membiarkan ponsel itu bergetar hingga getaran itu berhenti dengan sendirinya. Dulu aku akan sangat senang ketika ia meneleponku terlebih dahulu, bahkan aku rela tidak tidur hanya untuk menunggu telepon darinya. Sekarang semuanya sudah berubah, kan? Aku sudah mengakhirinya bagaimanapun juga.Ponselku bergetar lagi, kali ini satu pesan yang masuk.Ritchie Irawan : Lucas bilang kamu sakit, gimana keadaan kamu sekarang?Ak
Akhirnya karena aku bersikeras melihat sunset, Tio mengajakku melihat sunset dari jembatan Barelang. Not bad, tapi pasti akan lebih indah jika bisa melihatnya langsung di pantai. Dan setelah itu kami segera pulang karena memang sudah hampir malam. "Happy?" Tio bertanya setelah kami dalam perjalanan pulang, dia tidak banyak bertanya sejak tadi kami sampai di pantai dan juga makan malam. Aku juga tak ingin mengungkit masalahku dan hanya menikmati liburan singkat ku dan berbagai cerita lucu yang Tio ceritakan. Jika bisa mungkin aku akan membuang semua masalahku di pantai tadi, sehingga aku tak perlu membawanya bersamaku lagi. "Ya, aku gak tahu apa jadinya kalau aku gak ngajakin kamu pergi tadi." Itu saja, aku belum sanggup menambah cerita kepada orang lain. "Ini ada hubungannya sama Ritchie, ya?" Ini dia. Things I wouldn't tell anyone, but he knows. "Kami putus." Tio tiba-tiba mengerem mendadak mobilnya. "Kamu serius? Tapi kenapa?" "Gak perlu kaget gitu kali, kamu pasti udah nyangk
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk
Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k
Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan
Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda