Share

Bab 2

Author: Elien Prita
last update Last Updated: 2022-09-14 17:46:15

Aku menatap keadaan restoran pagi ini, tamu sangat ramai hari ini karena akhir pekan. Dan aku sekali lagi merelakan akhir minggu ini dengan bekerja. Harusnya hari ini aku akan berkumpul bersama-sama teman kuliahku dulu.

Aku juga sebenarnya lebih memilih bekerja di banding harus berkumpul, apalagi tidak ada Ina di sana. Aku kenal mereka melalui Ina, dan aku juga tidak terlalu akrab dengan mereka. Well, sangat mampu di bayangkan bagaimana suasana yang tercipta nantinya. Padahal Ina sudah memaksaku mati-matian untuk berkumpul bersama mereka, tapi dengan alasan Pak Robert—Manajerku—memintaku menggantikannya, ia bisa menerimanya.

Aku bukan orang yang anti sosial, aku lebih ke penyendiri. Dan itu adalah dua keadaan yang berbeda. Aku sudah menghabiskan waktuku hampir seharian bekerja yang menuntutku untuk berinteraksi dengan orang lain, dan aku bertemu berbagai macam karakter yang kebanyakan menyebalkan. Jadi aku sangat membatasi pergaulanku, dan itu terbukti hanya Ina sahabatku, tempat aku menuangkan segala keluh kesahku.

Tentang pekerjaanku ini, aku bukan tak menyukainya, lagipula ini pilihanku jadi sangat tak mungkin aku membencinya. Tapi terkadang kalian pasti pernah mengalami ketika kalian benar-benar lelah, tanpa sebab, hanya lelah. Itulah yang saat ini aku alami. Sebenarnya semua berawal ketika aku mulai meragukan hubunganku dengan Ritchie.

"Capek, mbak?" Tanya Dwi yang sedari tadi memperhatikan gerak gerikku. Dia merupakan juniorku dikampus dulu dan kami dipertemukan pada satu pekerjaan yang sama lagi.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Yah, harusnya libur hari ini, tapi Pak Robert lagi gak ditempat."

Sebenarnya pekerjaanku tidak terlalu sulit, hanya perlu memonitor para teman-temanku lalu memutuskan langkah selanjutnya bagaimana serta tanggung jawabnya. Hanya bagian tanggung jawabnya saja yang sulit.

Dwi tidak membalas jawabanku, akupun segera beranjak menghampiri tamu yang memanggilku.

"Mbak saya mau order menu ala carte-nya, dong." Ucap tamu tadi ramah, untung tamu Indonesia.

Aku segera mengambilkan menu dan menyerahkannya kepada sang tamu. "Silahkan, Bu."

Tamu tadi melihat-lihat menu yang ada dan aku harus menunggu dengan sabar. Sebenarnya dari sinilah aku belajar tentang kesabaran, sabar menghadapi tamu yang memiliki kepribadian yang unik dan sifatnya yang beragam.

"Pan seared tuna with Greek salad aja deh." Ucap tamu itu akhirnya. Aku segera mencatatnya dan mengulang pesanannya untuk memastikan bahwa aku tidak salah catat.

Aku segera membawa pesanan tersebut menuju dapur. "Pan seared tuna with Greek salad satu porsi." Aku berteriak dengan lantang. Ini salah satu kelebihanku juga. Suara nyaring.

Tio yang muncul dan memperhatikanku. "Kusut aja mukanya, Van. Laper, ya?"

"Berisik. Aku tungguin, buruan dibikin." Aku menampilkan wajah garangku.

Aku selalu sensitif dengan hal-hal kecil saat ini, mungkin karena efek kelelahan. Dan aku harus menunggu lagi? Bless my life, God!

Tiba-tiba pintu ruangan executive chef terbuka dan muncul wajah Ritchie, bersama Tsania. Aku sedikit terkejut tentu saja, apa yang mereka lakukan di ruangan itu ketika pemilik ruangannya tak ada di sana?

"Hai Van, tumben weekend gini masuk?" Sapa Tsania dengan polos.

Note that! Dia bertanya dengan wajah polos seolah tak ada kejadian apapun, padahal dia keluar dari ruangan eksekutif yang sudah pasti kosong hanya berdua dengan Ritchie. Dan semua orang juga tahu kalau Ritchie sudah memiliki pacar, begitu pun dengan Tsania. Dan ini semakin memperkuat keputusanku untuk mengakhiri hubungan ini.

Tsania adalah Pastry Chef de Partie. Dia yang bertanggung jawab atas semua dessert yang ada di restoran. Dan dia juga yang bertanggung jawab atas hubunganku dengan Ritchie yang semakin tak berujung.

Ritchie menyukai Tsania sejak dulu, dan semua karyawan hotel ini juga tahu mengenai itu. Lalu aku? Sedikit lucu ketika memikirkan hubungan kami yang tak memiliki kejelasan seperti ini. Hubungan ini jelas, hanya pria yang nyatanya pacarku tak memiliki kejelasan.

Ingat, kan? Ketika aku mengatakan bahwa aku sama sekali tak tahu bagaimana aku bisa berpacaran dengan Ritchie? Ya. Hal itu juga yang selalu membuat hatiku ragu. Maksudku, dia menyukai Tsania dan justru berpacaran denganku. Mereka sudah sangat akrab, dan aku lebih seperti orang ketiga dalam hubungan mereka.

"Gantiin pak Robert..." Ucapku acuh.

Tingg...

Tio membunyikan bel kecil menandakan makanan sudah selesai.

"Buruuan di bawa, nanti rasa makanannya gak enak." Tio menampilkan senyum manisnya yang sangat menggoda menurutnya.

"Great!" Aku tersenyum simpul kearah Ritchie dan Tsania dan segera berlalu dengan makanan pesanan tamu itu.

**

Aku duduk melamun dikantin mengaduk-aduk makanan yang sama sekali tak aku cicipi. Aku berpikir tentang Ritchie dan Tsania tadi. Mereka terlihat dekat dan aku cemburu. Wajar, kan? Dan aku sudah merasakan kecemburuan itu sejak awal hubungan kami. Itu benar-benar terjadi padaku dan Ritchie pelakunya.

Tahu apa yang aku lakukan atas perbuatannya?

Aku terus memaafkannya dan berlagak kuat, seolah tak terganggu sama sekali dengan kelakuannya. Ritchie memiliki wajah oriental yang tampan, kalian tahu idola Korea yang banyak di gandrungi remaja saat ini? Penggambaran fisiknya kurang lebih seperti itu. Tipe-tipe flower boy. Dan dia selalu menikmati saat-saat para wanita memujanya.

Dan dari cerita yang ia ceritakan padaku, ia dan Tsania lulus dari kampus yang sama. Mereka sudah bersahabat sejak awal perkuliahan dan bahkan sampai mereka lulus kuliah, lalu mereka juga memutuskan melamar pekerjaan di tempat yang sama, dan kelanjutannya adalah yang aku ceritakan ini.

Ritchie bahkan pernah mengatakan padaku bahwa dulu ia sempat menyukai Tsania. Tapi saat itu aku berpikiran positif, dan tetap mempercayai ucapan cinta yang selalu ia ulang-ulang itu. Bodoh, kan?

Ya. Kalian boleh memakiku, tapi yang perlu kalian tahu, itulah yang akan kalian lakukan ketika sudah mempercayakan hati kalian pada satu orang dan meletakkan harapan tertinggi padanya. Aku yakin kalian pernah melakukan hal itu setidaknya sekali dalam hidup kalian, atau mungkin lebih dari sekali.

"Van..."

“Vania!”

Aku tersadar dari lamunanku dan menemukan Tio yang berdiri di samping meja tempatku makan.

 "Aku boleh gabung?"

Aku hanya menganggukkan kepala, masih terlalu tenggelam dalam lamunanku untuk sekedar membalas Tio dan tanpa di minta dua kali ia segera duduk di hadapanku..

"Perasaan mukamu makin kusut aja, balik aja sana kalo emang capek banget." Tio memberikan wajah khawatirnya dan aku lagi-lagi tersenyum. Apa semenyedihkan itu wajahku ini?

"I'm fine. Cuma kepikiran sesuatu aja."

"Kepikiran Ritchie sama Tsania, ya?"

Well, Tio sangat mengerti aku lebih dari Ritchie, dan terkadang aku sangat menyukai perhatian kecil seperti ini. Sepertinya aku sangat kekurangan kasih sayang, hingga dengan perhatian sekecil itu membuat hatiku menghangat.

"Kamu kerja sampingan jadi paranormal, ya?" Aku terkekeh melihatnya.

"Muka kamu itu nunjukin segalanya dan gampang banget ketebaknya."Aku mencibirnya.

Tio ini sebenarnya tak kalah tampan dari Ritchie, yang membedakan adalah warna kulit Tio lebih gelap. Tapi garis rahangnya lebih tajam di banding Ritchie sehingga wajahnya lebih terlihat jantan di banding Ritchie yang lebih lembut. Dan Tio juga lebih humoris dan mampu menanggapi lelucon apapun yang di berikan padanya.

"Bulan depan Chef Marti resign dan katanya kandidat yang paling meyakinkan buat penggantinya ya Ritchie, jadi itu kenapa tadi mereka ngobrol berdua diruangannya Chef Marti."

Aku mengernyit mendengar jawaban Tio, seperti ada yang aneh. "Dan?"

"Well, mereka sama-sama chef de partie, mungkin mereka bahas siapa yang lebih cocok di posisi eksekutif, maybe. Not really sure, actually." Tio hanya menampilkan cengirannya setelah ucapannya.

“Kalo kamu gak yakin, ngapain ngomongin ini. Gak perlu bela mereka di depan aku, Yo.”

“Aku gak belain mereka, kalo-kalo kamu cemburu aja. Tapi aku juga pengen tahu sih, mereka ngapain aja di dalem sana berdua. Dan kamu tahu? Ruangan itu kedap suara.” Tio menaik turunkan alisnya dan menatapku penuh arti.

Aku mendelik melihat tatapan Tio. Aku tahu maksudnya, ia mencoba membuatku semakin cemburu. “Gak ada efeknya semua yang kamu omongin—“

“Ada kalo kamu mau dengerin semua ucapanku dan mulai sadar kalo Ritchie sama sekali gak seberharga itu buat di perjuangin apalagi selalu kamu maafin.”

**

Aku kembali dari makan siangku yang sangat melelahkan, harusnya itu bisa membuatku lebih santai tapi sepertinya istirahat hanya menambah beban hidupku, ditambah aku selalu memikirkan segala hal dengan keras yang hanya menambah beban pikiranku.

Aku segera menyuruh Dwi untuk bergantian makan siang, dia sebenarnya bekerja lebih keras dibadingkan aku tetapi ia terlihat tanpa beban. Sepertinya hanya aku yang memiliki beban berat seperti ini. Ini juga salahku, jika saja aku tak terlibat percintaan rumit seperti ini, mungkin aku akan lebih ceria dan bisa melakukan apapun yang aku mau.

Pekerjaan hari ini cukup santai walau restoran hari ini terlihat ramai, mungkin karena weekend dan aku bersyukur karenanya, setidaknya ada pengalih pikiran untuk saat ini. Ada satu hal yang sangat aku sukai ketika melayani tamu, sebenarnya ini hanya hal sederhana tetapi akan sangat spesial ketika yang aku layani adalah tamu luar negeri. Aku sangat suka melayani mereka, berbincang dengan mereka, terkadang bertukar sosial media. Aku juga sama seperti perempuan lainnya yang akan bersorak kegirangan ketika melihat tamu bule, apalagi yang wajahnya hampir menyerupai Bradd Pitt, tapi tidak semua bule seperti itu, hanya satu dari sekian yang seperti itu.

Ketika aku baru memasuki restoran, Sinta sudah menyambutku dengan senyuman penuh arti. "Mbak, your guest is waiting!" Ucapnya riang lalu berlalu dari hadapanku.

Aku sangat mengenal 'your guest' yang dimaksud sinta ini. Dia bukan tamu di hotel, tapi setiap weekend selalu menyempatkan dirinya makan direstoran ini. Yang aku tahu dia bekerja disalah satu perusahaan di Singapur, tapi aslinya dia adalah orang Filipina. Wajahnya sangat khas Asia, rautnya selalu datar dan sangat irit bicara, dan hanya aku yang selalu menyapa ketika karyawan lain yang sedang incharge enggan mendekatinya dan itu berlangsung hingga sekarang. Hanya aku yang akan melayani ketika ia makan di restoran ini. Karyawan lain selalu mengatakan ia makan disini hanya untuk bertemu denganku, dan ketika aku bertanya hal tersebut ia hanya mengiyakan saja.

"Hey Mister, mencariku?" Sapaku padanya.

Dan yang menguntungkan adalah, ia bisa mengerti omonganku, hanya saja ia tak ingin berbicara bahasa. Menguntungkan dan menyebalkan disaat bersamaan.

"Yes and no." Ucapnya sambil mengangkat bahu.

Kami sudah berteman, semenjak pertama aku menyapanya—enam bulan yang lalu—hingga sekarang. Dan setelah berteman dengannya aku baru mengerti apa maksud dari pepatah 'don't judge book by it's cover', karena dia sangat humoris dibalik wajah dinginnya itu.

"Pesanan seperti biasa?"

"Yeah, and for you too. I want you stay with me while I enjoy my food." Dia memandangku cukup lama sebelum mengeluarkan senyuman manisnya. Manis? Ya karena senyumnya memang manis, di tambah dengan wajah dingin tampan itu. Aku menyukai perpaduan wajah seperti itu.

"David, I've told you before, right? I'm not talking, sit, and eating while in my shift..."

"Do I care?" Tanyanya datar. Jika seperti ini, pasti ada hal mendesak yang ingin diceritakannya.

"I won't..."

"Please, just today. I'm not sure next weekend I could come here,"

"Any problem?"

"Yes, that's why I ask you. Okay?" Dan David mengeluarkan senyuman itu lagi. Seandainya statusku tidak berpacaran mungkin aku akan mengejarnya.

"Okay, just today, tapi lebih baik kalau kita pindah ke pool area biar lebih santai."

Aku memilih kursi yang ada di pool area karena suasana di sana lebih santai dan karyawan lain yang standby di sana juga hanya satu orang, jadi hanya sedikit orang yang melihat. Padahal aku akan tetap mendapat gosip di manapun aku duduk. Karyawan hotel ini sangat mudah mendapatkan gosip apapun walau hanya satu orang yang melihatnya.

David pun segera bangkit dari duduknya dan mencari tempat yang nyaman dipinggir kolam renang, dan aku segera pergi kedapur.

Aku memasuki dapur ketika Tio baru menyelesaikan pesanan sebelumnya dan menyerahkan kertas pesanan David.

"Your fans, huh?" Tanyanya.

David ini selalu memesan makanan yang sama ketika makan di sini, dan selalu aku yang menyampaikan pesanan itu ke dapur, selama enam bulan kami mulai kenal. Jadi wajar saja ketika karyawan dapur pun tahu pesanan siapa yang sedang aku bawa ini.

Aku hanya mengangkat bahuku. "Chocolate cake? Terakhir kali dia pesan kayaknya gak ada chocolate cake deh, dia sama pacarnya?"

"Ya, dan pacarnya yang lagi kamu ajak ngomong ini." Aku tertawa sendiri dengan ucapanku, sedikit bercanda sepertinya tak masalah, kan? Anggap saja untuk melonggarkan urat-urat di tubuhku yang sudah sangat kaku.

Tio hanya mencibir mendengar jawabannku, "Chocolate cake kamu mending langsung ke pastry gih sana biar aku bikinin salmonnya."

Aku langsung mengerucutkan bibirku mendengar perintah Tio, tapi tetap menuju ruangan khusus dessert itu.

"Tsan, choco..." Ucapanku terhenti melihat Ritchie juga berada disana, bersama dengan Tsania. Hanya berdua. Dan mereka baru saja tertawa. Tolong garis bawahi hal itu.

Aku sama sekali tak berpikir akan bertemu Ritchie di ruangan ini, sedang berdua dengan Tsania, setelah tadi aku bertemu mereka sedang keluar dari ruangan yang sama juga. Aku berusaha menguasai diriku dan mengabaikan kenyataan ini lagi sejenak.

"Emm... Van, ada apa?" Tsania terlihat salah tingkah, dan Ritchie hanya memandangku tapi aku tak ingin memandangnya.

"Oh itu, chocolate cake satu porsi ya dikeluarin bareng salmonnya Tio." Hanya itu dan aku langsung keluar tanpa menunggu jawaban Tsania.

"Yo, bunyiin belnya kalo udah ready sekalian sama chocolate cake." Ucapku ketika melewati Tio yang sedang memasak salmonnya.

"Ini udah mau selesai, gak mau nungguin?" Aku hanya terus berjalan tanpa menggubris ucapan Tio.

Suasana hatiku mendadak suram melihat Ritchie dan Tsania mengobrol berdua. Mungkin mereka hanya mengobrol tapi perasaanku mengatakan ada hal lainnya antara mereka berdua, dan perasaanku tak pernah salah.

Ini yang kedua kalinya aku memergoki mereka, aku bahkan tak tahu sudah berapa kali mereka berduaan seperti itu tanpa aku pergoki. Seharusnya aku meliburkan diri saja jika aku hanya akan mendapatkan kenyataan pahit seperti ini.

**

Shiftku yang harusnya selesai jam tiga sore harus molor sampai jam lima karena mengobrol dengan David. Ia sedang dijodohkan oleh orang tuanya dan harus kembali ke Filipina secepatnya. Permasalahannya hanyalah ia tak ingin jika tiap akhir minggunya nanti tidak bertemu denganku, bahkan ia memintaku untuk menjadi pacarnya yang mana aku tolak mentah-mentah. Aku menyukainya, tapi hanya sebagai teman dan setelah lama membujuknya akhirnya ia akan menerima perjodohan itu dan kembali ke Filipina.

Dalam satu hari ini banyak sekali yang terjadi padaku, hingga rasanya tak sanggup untuk dipikirkan. Dan saat ini aku sangat malas untuk beranjak keluar dari basement untuk mencari angkutan umum. Kalau bisa malah aku ingin tidur di gazebo ini saja sampai besok, tapi sepertinya itu tidak mungkin.

Setelah kejadian tadi, aku memang tak bertemu dengan Ritchie lagi. Ia juga tak berusaha mencariku untuk sekedar menjelaskan apa yang sedang ia lakukan sehingga harus berduaan terus dengan Tsania. Aku sepertinya sudah tak bisa lagi menerima semua ini. Hatiku sudah tak bisa lagi menahan semua rasa sakit yang ia berikan.

"Vania..." Aku mengalihkan pandanganku dan menemukan Ritchie berada di damping gazebo yang aku duduki.

"Oh hai Ritch, mau pulang?" Tanyaku sedatar mungkin padanya.

Well, aku bertemu dengannya di saat aku sedang tak memiliki mood untuk bertemu dengannya. Aku bahkan sudah tak memiliki emosi sama sekali untuk menghadapinya, bahkan untuk tersenyum rasanya sudah muak.

"Kamu belum pulang?" Tanyanya tanpa rasa bersalah di wajah dan di tambah dengan senyuman.

Apa ia bahkan tak mengerti apa yang dilakukannya dengan Tsania tadi dan sekarang ia tersenyum padaku? Aku rasa ia sudah sering melakukan ini pada gadis lain, dan aku hanya korban kesekiannya.

"Lagi nungguin Tio." Jawabku asal. Aku bahkan tak tahu apa Tio masih digedung ini.

Aku melirik Ritchie untuk memastikan ekspresinya, dan wajahnya berubah dingin tanpa ekspresi. Apa ia cemburu? Dia bahkan mungkin tak memikirkanku ketika berbicara dengan Tsania. Lalu dia cemburu? Ingin rasanya aku menonjok wajah tampannya itu.

Dan tepat setelah itu Tio berjalan melewati aku dan Ritchie, ia hampir duduk di gazebo ketika aku cepat-cepat menahannya.

"Yo, ayo buruan balik tadi katanya mau nyobain ayam cabe ijo di gang deket kos ku itu?"

"Hah?" Tio menatapku bingung. Aku segera menyeret lengannya tanpa persetujuan darinya menuju motor yang menjadi kendaraan setiap ia berangkat kerja.

**

“Jujur deh, Van sama aku. Sebenernya kamu sama Ritchie kenapa? Apa ini gara-gara Tsania?" Tanya Tio lagi untuk kesekian kalinya.

Kami sedang menikmati ayam cabe ijo yang tak jauh dari kos tempatku tinggal. Hitung-hitung ongkos Tio karena mau mengantarku pulang, dengan paksaan sebenarnya.

"Udah makan aja sih, ditraktir juga." Ucapku dengan kesal.

"Well, aku cuman gak mau aja besok ada perang pisaunya aku sama Ritchie gara-gara kamu."

Aku menyipitkan mataku, tingkat kepedean Tio sangat luar biasa. "Kamu pikir Ritchie bakal cemburu gitu sama kamu? Pede banget sih."

"Ya jaga-jaga aja sih, lagian kamu kenapa, sih? Kayak bukan kamu yang biasanya.”

"Aku ngerasa Ritchie lebih cocok sama Tsania daripada sama aku." Dan aku mulai membayangkan mereka berdua lagi.

Yah, sepertinya mereka memang lebih cocok. Aku semakin merasa seperti orang ketiga dalam hubungan mereka. Dan semakin di pikirkan, aku merasa semakin kesal. Pada diriku sendiri yang sangat bodoh dan mempercayai semua ini. Jika saja saat itu aku tak luluh pada perlakuan Ritchie yang jika kubayangkan saat ini, aku bahkan tak ingin membayangkan. Harusnya aku sudah tahu dari awal, dan mendengarkan semua ucapan sahabatku tentang akibat yang akan aku terima jika berpacaran dengan Ritchie.

"Setelah hampir dua tahun ini kamu pacaran sama Ritchie dan baru nyadar?"

Aku menatap tajam Tio, omongannya sangat benar dan itu sangat menggangguku. Setidaknya aku butuh di hibur setelah aku melewati hari yang buruk ini.

"Becanda Van," Tio nyengir. "Aku bukannya mau ikut campur, tapi kenapa gak diobrolin aja dulu. Mungkin mereka ngobrolin kerjaan."

"Aku juga tau, Yo mana yg ngobrolin kerjaan sama yg bukan kerjaan. Dan kamu juga tadi yang bilang kalau kemungkinan mereka gak cuman ngobrolin kerjaan."

Aku membenamkan kepalaku dilipatan tanganku diatas meja. Aku semakin lelah rasanya. Sepertinya memang tak ada harapan antara aku dan Ritchie lagi.

"Besok aku libur, mau jalan bareng?" Tio sepertinya merasa sangat bersalah telah mengatakan hal itu padaku tadi, terdengar dari helaan nafasnya.

Aku langsung menegakkan badanku mendengar kata libur. Aku menatap Tio seksama. Ide yang bagus untuk meringankan beban pikiranku, lagipula jatah liburku masih banyak dan aku bisa mengambilnya kapan saja.

"Aku bukannya nolak sih, tapi aku masih pacar Ritchie. Prinsipku gak akan jalan sama cowok lain kalo aku masih pacar orang, apalagi berdua aja."

Tio menatapku, “Setelah semua yang terjadi dan apa yang kamu lihat secara langsung, kamu masih bisa bilang kayak gitu? Kamu bahkan gak tau, kan apa yang mungkin Ritchie lakuin tanpa sepengetahuan kamu?”

"Aku tahu, bodoh, kan?”

“ Kamu lebih dari bodoh, Van. Dan Ritchie gak pantes dapetin semua itu dari kamu.”

**

Related chapters

  • Pilihan Kedua   Bab 3

    Aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi my garden, salah satu kafe yang baru melakukan soft opening. Suasananya sangat menenangkan, dan ini lumayan untuk menghabiskan hari liburku. Aku menyesal menolak tawaran Tio kemarin. Aku sudah di khianati sebegitu rupa dan masih memikirkan kesetiaan dalam hubungan yang sudah sangat tak sehat. Mungkin aku harus memenangkan piala sebagai wanita yang memiliki hati sekuat baja.Minumanku datang, sore yang indah sambil menikmati secangkir Americano, rasanya pahit tapi tak sepahit kenyataan yang sedang kujalani. Tapi aku tetap menyukai kopi. Ia menunjukkan rasa aslinya walaupun masih ada yang membencinya. Dan sangat tak sinkron untuk di bandingkan dengan kisahku, aku hanya ingin memikirkan hal selain hubunganku dengan Ritchie.Ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.Dwi : Mbak, anak magang baru udah dateng dan dia sepupunya Tsania.Aku mengernyit membaca pesan dari Dwi. Minggu ini memang hotel kami kedatangan anak magang lagi, untuk menggantikan anak

    Last Updated : 2022-09-14
  • Pilihan Kedua   Bab 4

    Aku duduk di teras menunggu Tio yang akan menjemputku. Well, kurasa aku tak melakukan kesalahan besar kali ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan juga pikiranku yang sudah tak sanggup memikirkan hal lain, kemarin terlalu intens menurutku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi Ritchie yang dengan tersirat mengatakan bahwa rasa cintanya pada Tsania lebih besar daripada mencintaiku. Aku tidak ingin menambahi drama untuk diriku sendiri, hanya saja semua itu adalah kenyataannya. Lamunanku terganggu karena deringan dari ponsel yang kugenggam.Ritchie calling... Aku membiarkan ponsel itu bergetar hingga getaran itu berhenti dengan sendirinya. Dulu aku akan sangat senang ketika ia meneleponku terlebih dahulu, bahkan aku rela tidak tidur hanya untuk menunggu telepon darinya. Sekarang semuanya sudah berubah, kan? Aku sudah mengakhirinya bagaimanapun juga.Ponselku bergetar lagi, kali ini satu pesan yang masuk.Ritchie Irawan : Lucas bilang kamu sakit, gimana keadaan kamu sekarang?Ak

    Last Updated : 2022-10-20
  • Pilihan Kedua   Bab 5

    Akhirnya karena aku bersikeras melihat sunset, Tio mengajakku melihat sunset dari jembatan Barelang. Not bad, tapi pasti akan lebih indah jika bisa melihatnya langsung di pantai. Dan setelah itu kami segera pulang karena memang sudah hampir malam. "Happy?" Tio bertanya setelah kami dalam perjalanan pulang, dia tidak banyak bertanya sejak tadi kami sampai di pantai dan juga makan malam. Aku juga tak ingin mengungkit masalahku dan hanya menikmati liburan singkat ku dan berbagai cerita lucu yang Tio ceritakan. Jika bisa mungkin aku akan membuang semua masalahku di pantai tadi, sehingga aku tak perlu membawanya bersamaku lagi. "Ya, aku gak tahu apa jadinya kalau aku gak ngajakin kamu pergi tadi." Itu saja, aku belum sanggup menambah cerita kepada orang lain. "Ini ada hubungannya sama Ritchie, ya?" Ini dia. Things I wouldn't tell anyone, but he knows. "Kami putus." Tio tiba-tiba mengerem mendadak mobilnya. "Kamu serius? Tapi kenapa?" "Gak perlu kaget gitu kali, kamu pasti udah nyangk

    Last Updated : 2022-10-21
  • Pilihan Kedua   Bab 6

    Pagi ini aku terlihat segar dan ceria. Aku bahkan menyapa seluruh karyawan yang aku temui di koridor dan di restoran. Tapi ini tidak berarti mood ku telah kembali, aku tidak ingin terlihat lemah dan aku ingin membuktikan bahwa aku baik-baik saja walau sudah putus dari Ritchie. Dia tak sepenting itu sehingga bisa terus mempengaruhiku. "Jadi kayaknya kalo diliat dari gelagat kamu, semalam kamu itu gak beneran sakit, kan?" Lucas menyapaku di area bar dengan senyuman yang mampu melelehkan hati para tamu dan karyawan wanita di sini. Aku menaikkan alisku pura-pura tak mengerti. "Kamu gak percaya sama aku, Luke? Jadi arti pertemanan kita selama ini apa?" Aku mengatakannya dengan helaan nafas yang kubuat sedemikian rupa. "Kali ini aku percaya kalo kamu sakit." Lucas menatapku seolah-olah aku adalah hal yang paling menjijikkan di dunia ini. Satu hal yang tak bisa di terima Lucas, aku yang menunjukkan aktingku dengan pura-pura lelah dan pura-pura imut. Aku hanya tertawa mendengar kalimatnya.

    Last Updated : 2022-10-21
  • Pilihan Kedua   Bab 7

    Aku menjalani sisa hariku dengan tenang, Ritchie belum terlihat dimanapun, dan aku mensyukuri hal itu. Mungkin ia masuk di shift sore. Aku juga sempat berpapasan dengan Tsania, dan kami hanya melemparkan senyum seadanya tanpa tegur sapa. Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Ritchie sekarang. Kalau bisa sebenarnya ingin sekali mutasi dari hotel ini, tapi sayang sekali belum ada kesempatan untuk itu. Mungkin ya, aku harus dituntut untuk menjadi lebih profesional menghadapi mereka. Briefing soreku sudah selesai, beruntung hari ini aku tak perlu pulang malam karena hari ini juga sedang tidak ada event. Mungkin itu adalah bagian keberuntunganku. Aku masih melayani tamu terakhirku, karena sebenarnya aku tak terbiasa pulang tepat waktu. Katakan saja aku orang yang kesepian, teman terdekatku hanyalah Ina. Dia bekerja di departemen finance, jadi tentu saja jam pulang kami berbeda. Jika hari biasa ia akan pulang jam lima, dan ketika mendekati akhir bulan ia akan sedikit lembur. Resiko p

    Last Updated : 2022-10-21
  • Pilihan Kedua   Bab 8

    Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi. Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf? Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini. Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan. ** Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak

    Last Updated : 2022-10-25
  • Pilihan Kedua   Bab 9

    Aku kembali ke rutinitasku seperti biasa, hari ini aku terlihat lebih ceria dari biasanya bahkan terlalu ceria menurut ukuranku. Sesama temanku di restoran ini bahkan sampai heran dengan sifatku hari ini, aku tak pernah seceria ini sebelumnya, bisa dibilang aku satu-satunya senior yang pelit senyum. Tapi itu akan berbeda ketika berhadapan dengan tamu, aku harus menampilkan senyumku apapun masalahku saat ini. "Kamu lebih banyak senyum kayaknya, ya, hari ini?" Tanya pak Robert yang menemaniku berjaga di bar. Pak Robert ini merupakan Manajer yang sangat humble dan selalu membaur dengan kami-kami ini yang merupakan bawahannya. "Aneh ya, pak?" Tanyaku ringan. "Itu malah bagus jadi terlihat fresh dan saya gak perlu sering-sering negur kamu, kan?" Aku tertawa mendengar ucapan Pak Robert. Ya aku memang sering mendapat teguran karena sifatku yang satu itu. Aku tak pernah tahu seperti apa wajahku yang sering aku tampilkan. Mereka selalu bilang kalau aku harus sering-sering tersenyum, dan ket

    Last Updated : 2022-10-26
  • Pilihan Kedua   Bab 10

    Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang sudah penuh dengan meja bundar beserta kursinya. Kami harus bersiap untuk acara besok, walaupun hanya untuk lima puluh tamu. Aku melihat ke sekelilingku, aku tak percaya akan meninggalkan tempat yang sudah membesarkanku selama ini. Pemandangan ini akan sangat kurindukan nantinya. Hal yang sangat aneh kurasakan saat ini adalah, aku sangat jarang bertemu Ritchie. Bahkan hampir tak pernah. Aku bukan dengan sengaja menghindarinya, aku bekerja seperti biasanya. Tapi itu hal bagus sebenarnya, jadi aku tak perlu berpura-pura menghindarinya. Pintu di hadapanku terbuka, dan Bella muncul dengan wajah sinisnya. Hanya ini masalahku yang tersisa saat ini. Aku bahkan tak mengerti atas alasan apa ia membenciku, kami juga tak pernah saling sapa. Aku sangat menjunjung tinggi senioritas, apalagi jika itu menyangkut karyawan baru ataupun anak magang. Terdengar sombong, tapi itu prinsipku. Tapi masih di batas wajar, aku juga tak terlalu mengekang bawahanku. Ak

    Last Updated : 2022-10-26

Latest chapter

  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

  • Pilihan Kedua   Bab 30

    “Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny

  • Pilihan Kedua   Bab 29

    “Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk

  • Pilihan Kedua   Bab 28

    Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k

  • Pilihan Kedua   Bab 27

    Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan

  • Pilihan Kedua   Bab 26

    Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda

DMCA.com Protection Status