Share

Bab 30

Author: Elien Prita
last update Last Updated: 2022-11-28 11:00:53

“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa.

“Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.”

Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya.

“Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana.

“Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas.

Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunangannya, dan aku masih berharap Erlangga menghubungiku? Aku harusnya mandi air dingin sekarang untuk menyadarkan diriku.

“Kamu tetep harus bersiap dalam kondisi apapun, Van. Walaupun tamu gak komplain, kamu tetep harus ketemu Mister Benjamin,” ucap Dewa tertawa.

“Ah, aku bener-bener gak suka jadi manajer.”

Dewa kembali tertawa di seberang sana sebelum menutup telepon. Aku menghela napas lalu kembali membaringkan tubuhku di kasur. Mungkin ini adalah awal dari ujianku setelah mendapat jabatan manajer, sama sekali bukan awal yang baik dan yang ingin kulakukan sekarang adalah tidur dan kembali bangun berharap aku tak pernah memiliki masalah ini.

Tiga puluh menit kemudian aku sudah siap untuk kembali bekerja. Seharusnya ini baik-baik saja karena aku tak harus bertemu Erlangga lagi, tapi pikiranku tak bisa bekerja dengan benar. Alasan Erlangga yang melakukan early checkout, pikiran tentang tunangannya, apa jangan-jangan mereka kembali menyambung hubungan mereka? Dan kenapa aku harus peduli?

Jika ini adalah bagian rencana Erlangga untuk membuat perasaanku bingung, maka ia berhasil. Aku bahkan ragu ia benar-benar menyukaiku, dan aku di sini memikirkan semua alasan kepergiannya. Bodoh sekali aku ini, aku sepertinya sangat menyukai rasa sakit sehingga sangat mudah terpedaya oleh pria.

Harusnya aku memikirkan satu masalah besar yang akan terjadi sebentar lagi. Mister Benjamin. Percayalah walaupun Mister Benjamin sangat cerewet, aku masih bisa menoleransinya. Dia juga atasanku, aku tak bisa melakukan hal lain selain mengiyakan segala permintaannya, kan?

Aku bahkan tanpa sadar sudah sampai di kawasan Kayon, jadi aku dari tadi berjalan kemari sambil memikirkan Erlangga? Aku harus mengapresiasi kehadiran Erlangga yang mampu menginvasi pikiranku sedemikian rupa. Jika saja ia mendekatiku dengan cara yang normal, aku mungkin akan menerimanya.

Ponselku bergetar, dan ada sebuah tanda pesan masuk, dari nomor tak di kenal. Entah kenapa aku sedikit berharap kalau itu Erlangga.

Apa kabar, Vania? Apa kamu punya waktu sore ini? Ada yang harus kusampaikan padamu.

Ritchie.

Pikiranku mendadak kosong ketika membaca nama yang tertulis di bawah pesan singkat itu. Apa itu artinya Ritchie ada di Bali? Kenapa itu sangat membuatku takut? Aku segera menghapus pesan itu dan memasukkan ponselku kedalam tas. Aku langsung tergesa masuk ke dalam hotel. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Ritchie masih membuatku trauma.

**

Sepanjang hari ini pikiranku benar-benar tidak pada tempatnya. Aku bahkan tak bereaksi berlebihan ketika bertemu Mister Benjamin tadi. Tak ada masalah dengan Erlangga yang melakukan early checkout, pria itu memang sedang mengalami sedikit masalah jadi ia harus buru-buru keluar dari hotel.

Dari semua hal yang terjadi padaku hari ini, hanya pesan dari Ritchie yang masih menggangguku sejak tadi. Aku tahu cepat atau lambat aku harus menghadapi ini, enam bulan yang lalu aku benar-benar melarikan diri dari semua masalahku. Tak ada salam perpisahan pada Ritchie, kami sudah terhitung tak memiliki hubungan apa-apa lagi, harusnya seperti itu jika Ritchie sudah menyetujuinya.

Aku berjalan gontai menuju parkiran, aku tak membawa kendaraan jadi aku harus berjalan kaki. Tak masalah untukku, anggap saja ini terapi agar pikiranku kembali waras.

“Vania.”

Aku berdiri di tempatku ketika melihat si pemanggil, dia berdiri di hadapanku. Aku masih belum siap jika harus bertemu Ritchie, keadaanku sedang tak memungkinkan. Harus tetap di hadapi, kan?

Aku benar-benar ingin lari saja rasanya dari sini, apapun yang kulakukan untuk menenangkan diri rasanya tak cukup. Hati kecilku kembali bertanya ‘sampai kapan aku akan lari?’ tapi otakku memintaku untuk lari dari hadapannya. Apa yang akan kami bicarakan? Apa hanya akan saling bertukar kabar? Bertanya tentang cuaca, lalu memulai kembali hubungan baik? Apa aku sudah gila?

Pada akhirnya aku hanya memberi senyum tipisku, setidaknya aku tak boleh terlihat menyedihkan di hadapannya. Vania tak boleh melakukan hal itu.

“Apa kamu punya waktu? Hanya sepuluh menit,” ucapnya terlihat ragu, tapi masih memberikan senyumnya. Senyum yang dulu menjadi favoritku.

Aku masih menampilkan senyum tipisku, lalu memberinya isyarat untuk mengikuti. Aku tak ingin kembali menjadi bahan gosip dengan berbicara di area Kayon.

“Ada apa?” tanyaku setelah kami sampai di restoran yang biasa kukunjungi. Tadinya aku ingin membawanya ke rumahku, tapi urung kulakukan. Aku tak ingin dia tahu lebih jauh tentangku.

Yah, dan aku kembali mengambil resiko berbicara di tempat umum. Aku hanya akan pasrah jika ini tak berjalan sesuai rencana, toh aku sudah biasa menjadi bahan gosip. Aku hanya perlu menjadi artis saja setelahnya, seperti kebanyakan artis sekarang yang hanya mencari sensasi.

“Aku mau minta maaf, Van. Aku belum sempat mengatakannya. Maaf sudah menyakitimu selama ini,” ucapnya.

Entah kenapa kenangan pahit itu kembali masuk ke dalam memoriku. Ketika Ritchie dengan kejamnya menuduhku selingkuh, bahkan ia merasa yang kulakukan sangat melukai harga dirinya. Aku tak tahu harus memberi respon seperti apa, kalimat yang sudah ada di ujung tenggorokan kembali tertelan.

Aku belum berdamai pada masa laluku, pada diriku sendiri. Enam bulan ini aku hanya lari dari semuanya, dan hatiku hampa.

“Apa pernah sekali saja kamu mencintaiku dulu?” tanyaku. Aku tak ingin mengungkit masa lalu, tapi aku harus tahu bahwa dua tahun itu setidaknya akupernah di cintai.

“Siapa yang tak akan mencintai wanita sebaik dirimu,”

Ritchie terlihat ragu, hal itu bahkan tak menjawab pertanyaanku. Keraguannya sama saja dengan jawaban tidak. “Lalu Tsania?”

“Hubungan kami tak seperti itu, kami hanya saling menguntungkan, dan dia juga tak mencintaiku. Aku tak pernah bermain di belakangmu.”

“Kalau kamu tulus meminta maaf, tolong beritahu alasan hubungan dua tahun kita, karena aku benar-benar tak mengerti.”

Cairan bening yang tak kuharapkan akan keluar sudah menggenang di pelupuk mata. Kenapa hanya aku yang tersakiti di sini? Ritchie terlihat baik setelah semua ini. Jadi hubungan kami tak bermakna apapun untuknya? Tapi kenapa?

Bukan berarti aku ingin kembali berhubungan baik dengannya setelah ini, aku hanya ingin mengerti semuanya, agar aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Lalu aku bisa menyongsong masa depan tanpa takut dengan masa lalu pahit yang terus membayangiku. Aku hanya ingin mengerti.

“Aku benar-benar tak mengerti, kenapa kita harus pacaran selama itu tapi kamu tak mencintaiku? Semua perhatian kamu, apa maksud semua itu? Tolong buat aku mengerti…,”

Aku tersedak dengan kalimatku sendiri, dan air mata itu mengalir tanpa bisa kucegah. Kalian bisa menganggap aku cengeng, tapi semua itu memang sangat menyakitkan untukku dan aku tak berpura-pura. Kalian harus mengalaminya agar mengerti apa yang aku rasakan.

“Maaf karena sudah menyakitimu sedalam itu, dan aku memang tak mencintaimu. Aku melakukan itu awalnya memang untuk membuat Tsania cemburu dan ia memilihku, lalu aku sadar kalau ia tak mencintaiku, aku saja yang terlalu bodoh karena terlalu mencintainya. Aku pernah berusaha untuk mencoba mencintaimu, tapi semuanya terasa palsu. Ada saat ketika aku merasa cemburu karena kamu dan Tio, tapi aku sadar itu bukan cinta. Aku hanya haus akan perhatian, aku hanya ingin semua orang melihatku. Maaf.”

Jadi aku tak pernah di cintai selama dua tahun itu? Harusnya aku sudah tahu, kan? Tatapan yang kuanggap sebagai tatapan penuh cinta hanyalah kepura-puraan, dan semua yang ia lakukan hanya pura-pura. Kenyataan itu membuat air mataku semakin deras membasahi pipiku, bagaimana aku bisa menahannya ketika kenyataan memukulku dengan sangat keras?

“Aku—aku lega mendengarnya. Setidaknya aku sudah tahu kebenarannya.” Bohong. Hatiku semakin sakit setelah mendengarnya. “Apa ada lagi yang ingin kamu bicarakan?”

Mungkin sudah lebih dari sepuluh menit dari yang ia janjikan, dan jika lebih lama lagi aku berada di ruangan yang sama, aka nada banyak kenyataan pahit yang akan kudengar. Aku terlalu pengecut untuk mendengar semua itu.

Ritchie hanya menggeleng, kami tak saling menatap. Aku harap ia melakukan itu karena rasa bersalahnya, dan ia tulus dengan permintaan maaf itu. “Apa aku boleh meminta satu hal padamu?”

Ritchie menatapku. Mata itu, apa dia merasa kesusahan dengan semua kepura-puraan itu? Aku pasti sudah menyusahkannya dulu dengan semua sikapku. “Jika kita bertemu lagi, atau ketika kita berpapasan, bisakah untuk tak saling mengenal? Anggap saja kita tak pernah menjalin hubungan, kita hanya orang asing yang tak sengaja bertemu. Bisakah?”

Aku menghapus jejak air mata yang tertinggal. Rasanya sangat sakit, kenapa kisah hidupku harus semenyedihkan ini?

“Aku permisi.”

Aku tak ingin berlama-lama menanti jawabannya, karena aku tak butuh persetujuannya. Beruntung jarak rumahku sangat dekat. Aku berlari seperti orang gila dengan mata yang masih memerah, air mata bahkan masih mengalir ketika aku berlari. Menyedihkan.

Aku menyandarkan diri di balik pintu, aku seperti dejavu. Aku menangis sejadi-jadinya, setelah ini semuanya benar-benar berakhir. Jadi biarkan malam ini aku menangis sepuasnya. Isakanku semakin bertambah kencang ketika memori indah dan pahit itu berlari-lari di ingatanku. Entah aku harus mensyukuri kenangan indah itu atau tidak. Nyatanya kenangan indah itu palsu, apa yang harus kukenang?

**

Related chapters

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

    Last Updated : 2022-11-30
  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

    Last Updated : 2022-11-30
  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

    Last Updated : 2022-11-30
  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

    Last Updated : 2022-11-30
  • Pilihan Kedua   Bab 1

    Aku menatap keadaan restoran didepanku. Ramai dan padat. Siang ini memang ada buffet lunch dari perusahaan yang sedang mengadakan rapat. Aku memastikan semua timku mengerjakan setiap tugasnya masing-masing. Terkadang aku ikut melayani tamu-tamu itu seperti yang lainnya, hanya saja hari ini aku terlalu lelah."Wi, aku makan dulu dikantin ya. Nanti kita gantian." Ucapku pada Dwi, orang kepercayaanku yang in charge di bar siang ini."Okay, take your time. Kamu udah pucet banget itu."Aku berjalan kekantin dengan gontai. Aku butuh makan. Malam ini sepertinya akan lembur karna masih ada buffet dinner yang menanti. Pekerjaan ini menyenangkan tapi juga melelahkan untukku. Dan ini bukan pengalaman baruku bekerja di bidang ini, setidaknya sudah lebih dari tiga tahun aku menjadi waitress, dan karena kinerjaku yang cukup bagus jabatanku mulai naik menjadi supervisor.Bisa di bilang itu merupakan waktu yang singkat untuk naik jabatan, tapi toh aku bangga. Aku mendapatkannya karena kerja kerasku s

    Last Updated : 2022-09-14
  • Pilihan Kedua   Bab 2

    Aku menatap keadaan restoran pagi ini, tamu sangat ramai hari ini karena akhir pekan. Dan aku sekali lagi merelakan akhir minggu ini dengan bekerja. Harusnya hari ini aku akan berkumpul bersama-sama teman kuliahku dulu.Aku juga sebenarnya lebih memilih bekerja di banding harus berkumpul, apalagi tidak ada Ina di sana. Aku kenal mereka melalui Ina, dan aku juga tidak terlalu akrab dengan mereka. Well, sangat mampu di bayangkan bagaimana suasana yang tercipta nantinya. Padahal Ina sudah memaksaku mati-matian untuk berkumpul bersama mereka, tapi dengan alasan Pak Robert—Manajerku—memintaku menggantikannya, ia bisa menerimanya.Aku bukan orang yang anti sosial, aku lebih ke penyendiri. Dan itu adalah dua keadaan yang berbeda. Aku sudah menghabiskan waktuku hampir seharian bekerja yang menuntutku untuk berinteraksi dengan orang lain, dan aku bertemu berbagai macam karakter yang kebanyakan menyebalkan. Jadi aku sangat membatasi pergaulanku, dan itu terbukti hanya Ina sahabatku, tempat aku

    Last Updated : 2022-09-14
  • Pilihan Kedua   Bab 3

    Aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi my garden, salah satu kafe yang baru melakukan soft opening. Suasananya sangat menenangkan, dan ini lumayan untuk menghabiskan hari liburku. Aku menyesal menolak tawaran Tio kemarin. Aku sudah di khianati sebegitu rupa dan masih memikirkan kesetiaan dalam hubungan yang sudah sangat tak sehat. Mungkin aku harus memenangkan piala sebagai wanita yang memiliki hati sekuat baja.Minumanku datang, sore yang indah sambil menikmati secangkir Americano, rasanya pahit tapi tak sepahit kenyataan yang sedang kujalani. Tapi aku tetap menyukai kopi. Ia menunjukkan rasa aslinya walaupun masih ada yang membencinya. Dan sangat tak sinkron untuk di bandingkan dengan kisahku, aku hanya ingin memikirkan hal selain hubunganku dengan Ritchie.Ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.Dwi : Mbak, anak magang baru udah dateng dan dia sepupunya Tsania.Aku mengernyit membaca pesan dari Dwi. Minggu ini memang hotel kami kedatangan anak magang lagi, untuk menggantikan anak

    Last Updated : 2022-09-14
  • Pilihan Kedua   Bab 4

    Aku duduk di teras menunggu Tio yang akan menjemputku. Well, kurasa aku tak melakukan kesalahan besar kali ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan juga pikiranku yang sudah tak sanggup memikirkan hal lain, kemarin terlalu intens menurutku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi Ritchie yang dengan tersirat mengatakan bahwa rasa cintanya pada Tsania lebih besar daripada mencintaiku. Aku tidak ingin menambahi drama untuk diriku sendiri, hanya saja semua itu adalah kenyataannya. Lamunanku terganggu karena deringan dari ponsel yang kugenggam.Ritchie calling... Aku membiarkan ponsel itu bergetar hingga getaran itu berhenti dengan sendirinya. Dulu aku akan sangat senang ketika ia meneleponku terlebih dahulu, bahkan aku rela tidak tidur hanya untuk menunggu telepon darinya. Sekarang semuanya sudah berubah, kan? Aku sudah mengakhirinya bagaimanapun juga.Ponselku bergetar lagi, kali ini satu pesan yang masuk.Ritchie Irawan : Lucas bilang kamu sakit, gimana keadaan kamu sekarang?Ak

    Last Updated : 2022-10-20

Latest chapter

  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

  • Pilihan Kedua   Bab 30

    “Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny

  • Pilihan Kedua   Bab 29

    “Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk

  • Pilihan Kedua   Bab 28

    Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k

  • Pilihan Kedua   Bab 27

    Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan

  • Pilihan Kedua   Bab 26

    Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda

DMCA.com Protection Status