Share

Bab 3

Author: Elien Prita
last update Last Updated: 2022-09-14 17:52:00

Aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi my garden, salah satu kafe yang baru melakukan soft opening. Suasananya sangat menenangkan, dan ini lumayan untuk menghabiskan hari liburku. Aku menyesal menolak tawaran Tio kemarin. Aku sudah di khianati sebegitu rupa dan masih memikirkan kesetiaan dalam hubungan yang sudah sangat tak sehat. Mungkin aku harus memenangkan piala sebagai wanita yang memiliki hati sekuat baja.

Minumanku datang, sore yang indah sambil menikmati secangkir Americano, rasanya pahit tapi tak sepahit kenyataan yang sedang kujalani. Tapi aku tetap menyukai kopi. Ia menunjukkan rasa aslinya walaupun masih ada yang membencinya. Dan sangat tak sinkron untuk di bandingkan dengan kisahku, aku hanya ingin memikirkan hal selain hubunganku dengan Ritchie.

Ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.

Dwi : Mbak, anak magang baru udah dateng dan dia sepupunya Tsania.

Aku mengernyit membaca pesan dari Dwi. Minggu ini memang hotel kami kedatangan anak magang lagi, untuk menggantikan anak magang yang sebelumnya. Semuanya dari sekolah Pariwisata di berbagai kota.

Terus kenapa, Wi?

Dwi membalasnya dengan sangat cepat, padahal ini masih jam kerja.

Dwi : Bang Lucas nyuruh kasih tahu Mbak Vania, katanya ini penting.

Aku hanya membaca pesan balasan Dwi tanpa berniat membalasnya. Lucas itu salah satu sahabat pria yang kupercaya di hotel, karena kami melakukan wawancara kerja di hari yang sama dan kami juga di terima pada waktu yang sama. Dan kami juga di terima di departemen yang sama juga. Banyak yang menyayangkan kenapa kami tak pacaran saja, tapi aku tak memedulikannya, begitu pun dengan Lucas.

Lucas itu versi cowok dari perwujudan Ina. Dan dia juga yang sangat menentang hubunganku dengan Ritchie. Ia bahkan sering dengan sengaja menunjukkan afeksinya padaku dengan merangkulku, mengusap kepalaku, tapi hanya itu. Alasannya melakukan itu adalah agar Ritchie tahu bahwa bukan hanya dia saja yang bisa bersahabat dekat dengan Tsania.

Terkadang aku menertawakan perilakunya yang sangat kekanakan, tapi jika sekarang aku memikirkannya, maka aku sangat berterima kasih padanya. Aku tidak menyadarinya, dan rupanya banyak yang sudah menyayangiku. Selama ini aku hanya terpaku pada Ritchie dan merasa tak membutuhkan orang lain, tapi ternyata aku salah.

**

Setelah puas duduk melamun di kafe tanpa mendapatkan suatu pencerahan apapun aku memutuskan kembali ke kos dengan berjalan kaki. Jarak kafe dan tempat kos ku memang tak terlalu jauh—hanya jika kalian sangat ingin berjalan kaki—karena biasanya banyak orang akan berkendara walaupun jaraknya dekat, untungnya aku tidak seperti itu. Aku sangat menyukai jalan kaki walau aku akan berhadapan dengan asap kendaraan yang berlalu lalang. Well, jika aku sudah cantik alami dari lahir bagaimana mungkin asap-asap ini menjadi masalah? Aku bahkan seperti jalan di runway.

Oke, abaikan saja kalimat terakhir tadi. Aku juga sangat jijik memikirkan kalimat itu tadi.

Aku hanya ingin mengatakan bahwa saat ini aku mensyukuri pilihanku berjalan kaki, tapi di satu sisi aku bisa merasakan rasa sesak di dadaku ketika melihat pemandangan di seberang jalan sana. Itu Ritchie dan Tsania yang sedang tertawa bersama di warung tenda, yang kemarin baru kukunjungi bersama Tio untuk menikmati ayam cabe ijo.

Mataku mulai memanas melihat pemandangan itu, bukankah mereka sangat kejam?

Mereka dengan tegas menyatakan bahwa mereka sahabat. Mungkin persahabatan mereka sangat dekat sehingga mereka sangat nyaman saat bersama. Tapi, orang awam manapun pasti akan mengatakan bahwa mereka lebih cocok menjadi pasangan. Bahkan aku sangat yakin Ritchie sangat mengetahui kenyataan itu, sehingga ia semakin memperjelas dengan menghabiskan waktu berdua.

Tapi, kenapa ia melakukan itu setelah aku menjadi pacarnya? Kenapa tak ia lakukan sejak dulu ketika kami belum berpacaran? Dan kenapa ia menyatakan cintanya padaku? Ritchie pacar pertamaku, dan ia tahu hal itu. Dan ia memanfaatkan semua itu, berakting sebagai pria luar biasa yang bisa membuatku jatuh cinta padanya, walau kenyataannya ia melakukan itu untuk membuat Tsania cemburu padanya.

Sebulan sebelum aku resmi berpacaran dengan Ritchie, Tsania menjauhi Ritchie karena ia baru saja resmi berpacaran dengan seseorang yang sudah ia sukai sejak kuliah. Lalu sejak saat itu, entah kenapa Ritchie mulai mendekatiku dan sampai kami berpacaran.

Kalian ingin tahu bagaimana aku bisa tahu cerita itu?

Ina yang menceritakan itu padaku. Lalu aku dengan bodohnya tak menanggapi dengan serius hal itu dan tetap percaya pada Ritchie. Dan penyesalan itu baru datang setelah aku menyadari semuanya.

Aku memutuskan untuk tak berdiri lebih lama di sana. Ritchie memang cukup brengsek untuk melakukan semua itu. Harus berapa kali aku memaki diriku sendiri agar penyesalan ini segera hilang?

**

Lebih baik kita putus.

Aku memandangi ponselku lama, menatap pesan yang kukirim dua hari yang lalu pada Ritchie. Ia bahkan belum membalasnya, dan aku juga belum bertemu dengannya di hotel. Yang aku dengar dari Tio, dia sedang menghadiri seminar di Bali menggantikan chef Marti. Dia bahkan tidak memberitahuku sama sekali.

Sebenarnya aku bukan tipe wanita posesif, hanya saja untuk ukuran pergi selama berhari-hari bukankah tidak salah jika memberitahuku? Aku bahkan harus mengetahui hal sekecil itu dari orang lain. Aku akan menyimpulkan dia sudah membaca pesanku. Ia bisa mengetahuinya dari pop-up notifikasi tanpa perlu membukanya.

Aku juga sudah terlalu muak dengan hubungan ini, dia tak pernah memedulikanku. Jadi, jangan salahkan aku jika aku seperti ini. Dan harusnya kulakukan ini sejak dulu. Aku bahkan sudah tak bisa menghitung lagi berapa kali aku menyumpahi diriku sendiri, selalu mengandaikan segalanya. Aku sudah sangat berada pada titik terendahku.

Aku masuk ke kantin, menghampiri Ina. Aku memang sudah janji bertemu dengannya. Sudah lebih dari lima tahun kami bersahabat. Dan hanya dia yang paling mengerti aku selama ini, walaupun terkadang dia bisa sangat menyebalkan dan to the point pastinya, tanpa mengenal tempat tapi itu sangat menghiburku.

"I see the storm here." Komentarnya ketika aku sudah duduk di hadapannya.

Ya, aku memang terlihat seperti itu saat ini. Perpaduan antara angin puting beliung, tornado, tornado api, badai angin dan segala jenis badai yang terjadi di dunia ini, seperti itulah penggambaran yang sangat pas untuk wajahku.

"Aku putus sama Ritchie." Ucapku sepelan mungkin tapi masih bisa didengar olehnya.

Ina masih mencerna ucapanku, lalu kemudian berteriak dengan menyebalkan.

"Wah, gila lo Van. How come you break up with him?"

Untung kantin ini sepi, sehingga tak terlalu menarik perhatian para karyawan hotel. Aku segera menyuruhnya diam. Seperti itulah dia, tak akan ada yang mampu menghentikannya. Kecuali Mister Benjamin—General Manager hotel ini—dengan penuh keajaiban muncul di kantin ini. Karena Ina sangat memuja pria itu.

"Lalu apa ada solusi lain? Just tell me and I'll do it. Dia juga sama sekali belum balas pesanku, ini cuman keputusan sepihak."

"Lo emang beneran udah gak tahan sama dia? Apa gara-gara Tsania itu?" Well, logatnya Ina memang seperti itu, agak mengikuti atasannya yang memang dari Jakarta.

"Menurut L? Kamu pikir gimana perasaan aku selama ini? About Tsania, it's a yes and no. I don't know really, mereka bahkan lebih serasi dari aku dan Ritchie. Lalu menurutmu aku harus seperti apa, Na?"

Ina memandangiku beberapa saat, tampak berpikir. Dia pandai menempatkan dirinya ketika aku sedang bercanda dan serius.

"Actually, you did a great job. Tapi apa emang ini yang kamu mau? Maksudku, kamu begitu memuji dia dan selalu percaya sama dia. Kamu gak pernah goyah walaupun aku sama Lucas sampe capek nasehatin kamu. Dan sekarang kamu putus.”

“Aku udah capek, Na. Salahku karena gak pernah dengerin kalian. Seandainya dulu aku gak terima dia mungkin aku gak akan semenyesal ini. Aku bahkan gak bisa ngitung lagi berapa banyak aku nyesel atas semuanya.”

Ina menggenggam tanganku erat, memberiku kekuatan.

“Gak perlu nyesel, Van. Jadiin ini pelajaran biar gak terulang lagi. Aku selalu di sini buat kamu, Van.”

Aku membalas genggaman tangan Ina. Aku tak tahu bagaimana hidupku jika tanpanya. Walaupun banyak yang meremehkannya, karena sikap centil dan blak-blakannya, tapi percayalah dia lebih baik seribu kali dibandingkan ratusan teman yang kita punya. Karena aku sudah menjadi sahabatnya.

**

Dan ini adalah hari ketigaku setelah pesan yang kukirim pada Ritchie, dan belum juga mendapatkan balasan. Well, hari ini harusnya dia sudah kembali dari seminar itu, jika informasi yang kudapat akurat. Aku bahkan harus mencari informasi pacar—mantan pacar—dari orang lain

Dan saat ini aku sulit fokus dengan pekerjaanku, menjadi profesional ditengah masalah sangat sulit ternyata.

"...buat coffee break kita gimana, Van?"

"Van..."

"Vania..."

Aku menoleh dan melihat Lucas disampingku, sangat kebetulan aku bisa berada di shift yang sama dengannya.

"Eh iya... Kenapa Luke?"

Lucas menghela nafasnya kesal. "Jadi dari tadi aku ngomong gak di dengerin..." Lucas memasang wajah cemberut yang di buat-buat.

"Ish! Don't you dare use that face in front of me, Luke!" Aku memukul lengannya dengan wajah jijik. Raut wajahnya yang gentle itu sangat tidak cocok dengan wajah imut yang dibuat-buat apalagi dengan tato yang menghiasi lengannya.

"Makanya diajak ngomong itu di tanggepin, emang eyke apaan disini, patung?"

Dan aku tertawa dengan candaan Lucas yang sangat tidak berkelas itu. Bayangkan saja dengan perawakan seperti itu dan ia mencoba menunjukkan wajah imut. Tingginya hampir seratus delapan puluh senti, kulitnya kecoklatan, sepanjang lengannya di hiasi tato yang tak kumengerti, lalu rambutnya di cat, dan hari ini rambutnya berwarna hitam tanpa warna lain.

Kenapa penggambarannya mengerikan? Padahal ini merupakan city hotel yang sangat sering kedatangan tamu dari pemerintahan. Tapi ia merupakan karyawan favorit Pak Robert dan ia sudah seperti itu sebelum bekerja di sini. Lagipula kebanyakan tamu yang berkunjung sangat menyukainya, bahkan terang-terangan penasaran dengan tato yang ada di tubuhnya.

Aku melihat Tio yang sedang mengecek makanan breakfast buffet pagi ini, dia terlihat ceria seperti biasa. Ia tak pernah terlihat dengan wajah murung, ia sangat terlihat lepas sama seperti Lucas.

"Asik ya kalian makan gaji buta disini," ucapnya sambil menepuk lengan Lucas sedikit keras.

"Kenapa? Cemburu aku berduaan sama Vania disini?" Balas Lucas sambil merangkulkan tangannya di bahuku.

"Padahal kemaren kami baru jalan bareng, lho." Tio menyilangkan lengannya di dada. Ia sedang membicarakan acara makan sore kami yang penuh paksaan itu.

“Susah, ya kalo misalnya tenar gini. Kalian gak perlu lah ngerebutin aku kayak gitu….”

Lucas mulai melepaskan rangkulannya di bahuku, dan memandangku aneh.

“Bro, kayaknya aku balik ke dapur aja, deh.” Tio membalikkan tubuhnya bersiap untuk pergi, lalu Lucas menepuk bahu Tio dengan penuh perasaan.

“Kita harusnya gak perlu ngomong kayak gitu tadi, Vania yang kayak gitu lebih serem di bandingin pas dia lagi diem.”

Aku mulai mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Mereka berbisik, tapi dengan suara yang keras. Aku tertawa mendengar obrolan mereka lalu menarik baju mereka dari belakang.

“Luke, si Bella nyariin kamu, tuh.”

Bella adalah anak magang baru yang katanya sepupu Tsania itu, dan ia selalu mengganggu Lucas apapun situasinya. Gosip terbarunya, Bella ini sudah menyukai Lucas sejak pertama ia datang. Lucas memang memiliki pesonanya sendiri, apalagi dengan tato dan rambut semirnya. Sudah bisa di pastikan, imajinasi gadis itu tentang bad boy yang menawan sudah terpenuhi.

Lucas sangat terganggu dengan hal itu, dan aku memanfaatkan itu untuk menggodanya di setiap kesempatan, seperti saat ini. Setidaknya aku memiliki senjata untuk membalasnya ketika ia meledekku seperti tadi.

Lucas langsung melihat ke sekelilingnya, memastikan ucapanku salah. Tapi pagi ini gadis itu memang di satu shift yang sama dengan kami. Dan dia berada di bar, sedang mengawasi kami dengan terang-terangan.

Aku mempunyai firasat yang tak baik tentang gadis ini sebenarnya, apalagi ia adalah sepupu Tsania. Ia juga sangat sering memandangku dengan tak suka, dan seringkali mengabaikan tugas yang kuberikan. Mungkin itu karena aku dekat dengan Lucas, tapi aku merasa seperti ada hal lain yang membuatnya seperti itu padaku.

**

Aku akhirnya bisa menikmati pulang tepat waktu. Ini mungkin pertama kalinya sejak aku menjadi supervisor. Tapi aku tak terlalu menyukai pulang tepat waktu seperti ini, karena aku hanya akan menghabiskan waktuku dengan tidur hingga besok pagi ketika aku harus kerja lagi. Membosankan, kan?

Aku terkejut ketika sampai di depan gerbang kosku. Ritchie sudah menungguku disana. Ia tersenyum dari motor yang ia duduki.

Seharusnya aku membalas senyumnya, seharusnya aku berlari padanya dan memeluknya. Itu yang seharusnya aku lakukan jika saja hubungan kami masih seperti yang dulu. Tapi sekarang semua sudah berbeda. Kakiku bahkan terasa lengket dengan tanah yang ku pijak saat ini, aku merasa tak ingin beranjak dari tempatku berdiri saat ini.

"Hai, Van..." Sapanya dan menghampiri ku. Semua indera ku terasa kebas sekarang hanya untuk membalas sapaannya.

Ritchie masih tersenyum di depanku dan langsung memelukku setelah jarak kami dekat. "I miss you..."

I miss you more, Ritch. Seharusnya itu yang aku katakan padanya, tapi aku tak akan melakukan itu. Aku bahkan tak membalas pelukannya. Terakhir kali aku melihatnya, dia sedang bercengkerama akrab dengan Tsania, mereka sangat lepas seolah tanpa beban dan aku masih bisa merasakan rasa cinta Ritchie untuk Tsania.

Lalu sekarang ia dengan gampangnya mengatakan kalimat itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Apa ia setidaknya pernah berpikir jika berada di posisiku?

Ritchie melepaskan pelukannya setelah beberapa lama aku tak membalas, dia menatapku bingung.

"Kamu kenapa?" Ritchie menanyakannya, ia menangkup pipiku dengan dua tangan itu, tangan favoritku dua tahun yang lalu.

Tapi sekarang, aku bahkan sangat jijik dengan tangan itu. Tangan yang aku yakin tak hanya menyentuhku saja.

"Van..."

Aku menegakkan wajahku, menatap matanya. Mata yang dua tahun yang lalu juga menjadi favoritku. Segalanya tentang dirinya dulu menjadi favoritku, tapi saat ini aku bahkan sangat ngeri dengan apa yang pernah aku pikirkan dulu.

"Kamu tak membaca pesanku?" Aku menatap matanya kali ini.

Ritchie tampak kaget, tapi masih bisa menguasai dirinya sendiri.

"Aku gak pernah mengiyakan hal itu, memangnya kamu gak kangen sama aku?"

“Dan kenapa aku harus membutuhkan persetujuanmu untuk putus? Seharusnya kamu senang karena itu berarti kamu semakin bebas menunjukkan kemesraanmu dengan Tsania.”

Ritchie memegang lenganku erat seolah tak ingin melepasnya, tapi aku pun tahu tatapan cinta itu bukan untukku.

"Kalau ini tentang Tsania… Aku sudah pernah bilang kalau kami hanya teman. Aku udah sering jelasin, Van,"

“Lalu kalau aku minta kamu untuk memutuskan semua hubunganmu dengan Tsania, apa kamu akan melakukan itu? Semua orang juga tahu kalau kamu hanya mencintai Tsania, lalu kamu menempatkan aku dalam posisi seperti ini. Apa yang kamu mau sebenarnya?!” Aku mengatakan dengan kemarahan yang coba aku tekan sedemikian dalam

Ini masih jam empat sore, dan suasana di kos ku ini masih terbilang ramai. Mungkin ada beberapa yang belum pulang kerja. Tapi kami cukup juga menjadi tontonan banyak orang di sini. Dan jika aku berteriak di sini maka aku benar-benar menjadi tontonan publik, mereka juga tak akan segan untuk mengabadikannya lalu memasukkannya ke sosial media.

"Apa kamu lupa kalau kamu juga temenan sama Lucas, dan sekarang udah bertambah sama Tio. Dan apa kamu pikir yang lainnya gak akan berpikir kalau kamu sama Lucas juga punya hubungan?”

Aku melepaskan lenganku yang ia cengkeram dengan kasar. “Kamu pikir aku selingkuh?”

Tatapan mata Ritchie sudah berubah, ia bahkan menyeringai sekarang. “Lalu kenapa kamu ingin putus kalau kamu tak sedang menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka?”

Aku menatapnya tak percaya. Perasaan menyesal yang baru saja aku rasakan kini berubah menjadi marah. Aku bahkan benar-benar jijik dengan semua hal yang ia katakan barusan, ia menuduhku hanya karena aku berteman dengan Lucas. Aku yakin orang awam juga bisa membedakan pertemananku dengan Lucas dan pertemanan antara Ritchie dan Tsania.

Tanpa sadar aku melayangkan tamparan di pipinya, aku tak bisa memikirkan hal lain selain menamparnya. Dia menyakitiku dan kini dia menuduhku berselingkuh.

Kali ini aku akan membiarkan kalau ada orang lain yang sedang merekam kami, aku terlalu marah untuk memikirkan hal lain. Pria di hadapanku ini yang dulu sangat aku cintai dan aku puja-puja langsung menjadi orang asing dengan sekejap.

“Kamu dengan jelas menujukkan kalau kamu masih mencintai Tsania, semua tahu itu hanya dari tatapanmu, bahkan aku juga tahu. Apa kamu ingin aku yang menjadi tokoh jahat di sini dengan berselingkuh lalu memutuskanmu?”

Ritchie hanya diam, sama sekali tak bereaksi terhadap apapun yang aku katakan. Mungkin karena ia tahu bahwa ia salah dan tak bisa mengelak lagi dari kesalahannya.

“Kamu gak sebaik itu, kamu tahu, kan? Kamu gak pernah cinta sama aku, kamu hanya menjadikan aku kambing hitam supaya kamu bisa terus berada dekat dengan Tsania. Kamu pikir aku gak tahu semua itu?”

Aku menangis. Menangisi kebodohanku, dan juga sikap Ritchie yang membuatku muak. Aku sangat berharap hujan akan turun dengan tiba-tiba, sehingga aku bisa menyamarkan air mataku ini, dan aku tak perlu terlihat semenyedihkan ini.

“Kenapa kamu gak pernah percaya kalau aku dan Tsania hanya berteman?”

Aku tak ingin menunjukkan tangisanku pada pria di hadapanku ini, tapi aku dengan cepat menegakkan kepalaku memandangnya lurus. Aku sudah tampak menyedihkan dan aku tak ingin kehilangan harga diriku juga dengan terus menundukkan wajahku.

“Dan kamu bisa tanya itu sama semua karyawan hotel, kamu bahkan gak butuh jawabanku. Kecuali kamu bener-bener cowok brengsek.”

Aku segera meninggalkannya, aku tak sanggup jika harus berhadapan dengannya lebih lama.dia adalah pria dengan segala tipu muslihat yang di milikinya. Yang tersisa dari penyesalanku adalah karena pernah mengenalnya. Sudah terlalu banyak kata ‘seandainya’ dan ‘jika’ yang selalu aku bayangkan di kepalaku, tapi apa yang bisa aku lakukan?

Aku bersandar dibalik pintu. Tak ada yang perlu ditangisi, ini yang aku inginkan, ulangku dalam hati seperti merapal do'a. Aku sangat bodoh jika menangisinya, tapi semua penyesalan itu menyiksaku. Rasanya berkali-kali lipat lebih sakit sekarang. Aku bahkan sudah menjadi orang bodoh hanya demi mempertahankan hubungan yang aku tahu tak pernah berhasil.

Air mataku tetap tak mau berhenti walaupun aku sudah menguatkan diriku dengan kalimat yang aku ciptakan sendiri. Aku bahkan sudah membekap mulutku dengan kedua tanganku agar isakan ini tak bertambah semakin kuat. Jiwaku seperti sudah hancur sebagian, dan aku tetap menangis sampai aku tak sadarkan diri.

**

Aku tak pernah menyangka akan bangun tidur dalam keadaan seperti ini. Mata bengkak, rambut acak-acakan, bahkan aku masih tidur dilantai. Punggungku rasanya akan patah dalam waktu dekat. Aku segera mencari ponselku yang terus berdering dan menemukannya didalam tas ku.

Lucas calling...

"Hi sweety, I thought you never late before...," sapa Lucas dengan nada yang dibuat-buat.

"Ah..." Aku menatap jam dindingku. 07.08. Ya, sangat tidak biasanya.

"Ehm, Luke... Aku rasa aku akan absen hari ini, aku lagi gak enak badan," Aku berusaha mengatakannya dengan nada selemah mungkin.

"Kamu baik-baik aja? Semalem kamu masih sehat-sehat aja padahal." Lucas dan kekhawatirannya. Harusnya aku berpacaran dengannya saja dulu.

"Yeah, gak pa-pa, kan, kalo aku absen?"

"Just take a rest, Van. Aku bisa handle semua kok. Istirahat ya, jangan lupa minum obat."

"Thanks, Luke." Aku tersenyum, walaupun Lucas tak akan melihatnya.

"Anytime, Van."

Aku segera membersihkan diriku lalu membuat sarapan untukku sendiri, walaupun hanya sereal setidaknya ini lebih dari cukup untuk menambah energi untuk diriku sendiri.

Setelah sarapan, aku terduduk di kasurku. Setelah semua ini aku tidak bisa berjanji mampu melaluinya dengan lapang dada. Aku bukan aktris profesional yang mampu berakting sebaik itu. Seharusnya sebelum berpacaran dengan Ritchie, aku mampu menemukan solusi jika kami berpisah. Aku hanya tidak tahu kalau akan jadi seperti ini. Dulu aku berharap kalau Ritchie akan menjadi satu-satunya pria di hatiku, tapi ternyata aku terlalu naif. Ternyata aku sebodoh itu.

Aku mengambil ponselku, mencari nomor Tio di kontakku. Sepertinya aku membutuhkan orang lain untuk mengalihkan seluruh pikiran gila ini.

"Ya, Van..." Tio menjawab di dering ketiga.

"Yo, jalan-jalan yuk." Ucapku to the point.

Ada jeda panjang sebelum Tio mengiyakan ajakanku. Aku bahkan tidak bertanya apakah ini hari liburnya atau bukan.

"Terserah kamu mau bawa aku kemana, yang jelas jangan pake motor besar kamu itu. Pake motor bebek aja."

Tio hanya tertawa diujung sana. "Ribet ya bawa kamu jalan, banyak syaratnya. Ngalahin Presiden, tau."

Akupun tertawa mendengar ucapannya. Ya, ini yang aku butuhkan saat ini. Aku butuh obat untuk menyembuhkan luka dihatiku saat ini.

Aku pernah mendengar bahwa obat patah hati adalah jatuh cinta lagi, tapi bukan Tio tentu saja. Aku sudah cukup menyeretnya dalam masalahku dan Ritchie. Sebenarnya mengajak ia saat ini juga bukan saat yang tepat. Tapi, orang yang mampu ku ingat saat ini hanya Tio. Sadar atau tidak, sepertinya aku memiliki niat untuk membalas Ritchie dan Tsania.

**

Related chapters

  • Pilihan Kedua   Bab 4

    Aku duduk di teras menunggu Tio yang akan menjemputku. Well, kurasa aku tak melakukan kesalahan besar kali ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan juga pikiranku yang sudah tak sanggup memikirkan hal lain, kemarin terlalu intens menurutku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi Ritchie yang dengan tersirat mengatakan bahwa rasa cintanya pada Tsania lebih besar daripada mencintaiku. Aku tidak ingin menambahi drama untuk diriku sendiri, hanya saja semua itu adalah kenyataannya. Lamunanku terganggu karena deringan dari ponsel yang kugenggam.Ritchie calling... Aku membiarkan ponsel itu bergetar hingga getaran itu berhenti dengan sendirinya. Dulu aku akan sangat senang ketika ia meneleponku terlebih dahulu, bahkan aku rela tidak tidur hanya untuk menunggu telepon darinya. Sekarang semuanya sudah berubah, kan? Aku sudah mengakhirinya bagaimanapun juga.Ponselku bergetar lagi, kali ini satu pesan yang masuk.Ritchie Irawan : Lucas bilang kamu sakit, gimana keadaan kamu sekarang?Ak

    Last Updated : 2022-10-20
  • Pilihan Kedua   Bab 5

    Akhirnya karena aku bersikeras melihat sunset, Tio mengajakku melihat sunset dari jembatan Barelang. Not bad, tapi pasti akan lebih indah jika bisa melihatnya langsung di pantai. Dan setelah itu kami segera pulang karena memang sudah hampir malam. "Happy?" Tio bertanya setelah kami dalam perjalanan pulang, dia tidak banyak bertanya sejak tadi kami sampai di pantai dan juga makan malam. Aku juga tak ingin mengungkit masalahku dan hanya menikmati liburan singkat ku dan berbagai cerita lucu yang Tio ceritakan. Jika bisa mungkin aku akan membuang semua masalahku di pantai tadi, sehingga aku tak perlu membawanya bersamaku lagi. "Ya, aku gak tahu apa jadinya kalau aku gak ngajakin kamu pergi tadi." Itu saja, aku belum sanggup menambah cerita kepada orang lain. "Ini ada hubungannya sama Ritchie, ya?" Ini dia. Things I wouldn't tell anyone, but he knows. "Kami putus." Tio tiba-tiba mengerem mendadak mobilnya. "Kamu serius? Tapi kenapa?" "Gak perlu kaget gitu kali, kamu pasti udah nyangk

    Last Updated : 2022-10-21
  • Pilihan Kedua   Bab 6

    Pagi ini aku terlihat segar dan ceria. Aku bahkan menyapa seluruh karyawan yang aku temui di koridor dan di restoran. Tapi ini tidak berarti mood ku telah kembali, aku tidak ingin terlihat lemah dan aku ingin membuktikan bahwa aku baik-baik saja walau sudah putus dari Ritchie. Dia tak sepenting itu sehingga bisa terus mempengaruhiku. "Jadi kayaknya kalo diliat dari gelagat kamu, semalam kamu itu gak beneran sakit, kan?" Lucas menyapaku di area bar dengan senyuman yang mampu melelehkan hati para tamu dan karyawan wanita di sini. Aku menaikkan alisku pura-pura tak mengerti. "Kamu gak percaya sama aku, Luke? Jadi arti pertemanan kita selama ini apa?" Aku mengatakannya dengan helaan nafas yang kubuat sedemikian rupa. "Kali ini aku percaya kalo kamu sakit." Lucas menatapku seolah-olah aku adalah hal yang paling menjijikkan di dunia ini. Satu hal yang tak bisa di terima Lucas, aku yang menunjukkan aktingku dengan pura-pura lelah dan pura-pura imut. Aku hanya tertawa mendengar kalimatnya.

    Last Updated : 2022-10-21
  • Pilihan Kedua   Bab 7

    Aku menjalani sisa hariku dengan tenang, Ritchie belum terlihat dimanapun, dan aku mensyukuri hal itu. Mungkin ia masuk di shift sore. Aku juga sempat berpapasan dengan Tsania, dan kami hanya melemparkan senyum seadanya tanpa tegur sapa. Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Ritchie sekarang. Kalau bisa sebenarnya ingin sekali mutasi dari hotel ini, tapi sayang sekali belum ada kesempatan untuk itu. Mungkin ya, aku harus dituntut untuk menjadi lebih profesional menghadapi mereka. Briefing soreku sudah selesai, beruntung hari ini aku tak perlu pulang malam karena hari ini juga sedang tidak ada event. Mungkin itu adalah bagian keberuntunganku. Aku masih melayani tamu terakhirku, karena sebenarnya aku tak terbiasa pulang tepat waktu. Katakan saja aku orang yang kesepian, teman terdekatku hanyalah Ina. Dia bekerja di departemen finance, jadi tentu saja jam pulang kami berbeda. Jika hari biasa ia akan pulang jam lima, dan ketika mendekati akhir bulan ia akan sedikit lembur. Resiko p

    Last Updated : 2022-10-21
  • Pilihan Kedua   Bab 8

    Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi. Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf? Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini. Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan. ** Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak

    Last Updated : 2022-10-25
  • Pilihan Kedua   Bab 9

    Aku kembali ke rutinitasku seperti biasa, hari ini aku terlihat lebih ceria dari biasanya bahkan terlalu ceria menurut ukuranku. Sesama temanku di restoran ini bahkan sampai heran dengan sifatku hari ini, aku tak pernah seceria ini sebelumnya, bisa dibilang aku satu-satunya senior yang pelit senyum. Tapi itu akan berbeda ketika berhadapan dengan tamu, aku harus menampilkan senyumku apapun masalahku saat ini. "Kamu lebih banyak senyum kayaknya, ya, hari ini?" Tanya pak Robert yang menemaniku berjaga di bar. Pak Robert ini merupakan Manajer yang sangat humble dan selalu membaur dengan kami-kami ini yang merupakan bawahannya. "Aneh ya, pak?" Tanyaku ringan. "Itu malah bagus jadi terlihat fresh dan saya gak perlu sering-sering negur kamu, kan?" Aku tertawa mendengar ucapan Pak Robert. Ya aku memang sering mendapat teguran karena sifatku yang satu itu. Aku tak pernah tahu seperti apa wajahku yang sering aku tampilkan. Mereka selalu bilang kalau aku harus sering-sering tersenyum, dan ket

    Last Updated : 2022-10-26
  • Pilihan Kedua   Bab 10

    Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang sudah penuh dengan meja bundar beserta kursinya. Kami harus bersiap untuk acara besok, walaupun hanya untuk lima puluh tamu. Aku melihat ke sekelilingku, aku tak percaya akan meninggalkan tempat yang sudah membesarkanku selama ini. Pemandangan ini akan sangat kurindukan nantinya. Hal yang sangat aneh kurasakan saat ini adalah, aku sangat jarang bertemu Ritchie. Bahkan hampir tak pernah. Aku bukan dengan sengaja menghindarinya, aku bekerja seperti biasanya. Tapi itu hal bagus sebenarnya, jadi aku tak perlu berpura-pura menghindarinya. Pintu di hadapanku terbuka, dan Bella muncul dengan wajah sinisnya. Hanya ini masalahku yang tersisa saat ini. Aku bahkan tak mengerti atas alasan apa ia membenciku, kami juga tak pernah saling sapa. Aku sangat menjunjung tinggi senioritas, apalagi jika itu menyangkut karyawan baru ataupun anak magang. Terdengar sombong, tapi itu prinsipku. Tapi masih di batas wajar, aku juga tak terlalu mengekang bawahanku. Ak

    Last Updated : 2022-10-26
  • Pilihan Kedua   Bab 11

    Aku kembali bekerja setelah menyelesaikan urusan di Bali. Sejauh ini tak ada yang tahu aku mengundurkan diri, hanya Lucas dan Pak Robert. Tapi jika Lucas sudah membocorkannya, maka satu hotel akan mengetahuinya. Lucas bukan tipe orang yang akan membocorkan sesuatu tanpa tedeng aling-aling, tapi jika ada yang bertanya, maka Lucas tak segan untuk menceritakan semuanya.Pagi ini hotel terlihat ramai, padahal ini hari rabu. Aku melihat ke sekeliling dan hampir semua karyawan terlihat mondar mandir untuk melayani tamu. Tapi Lucas tak terlihat di manapun, mungkin ia masuk sore. Aku menuju bar untuk menghampiri Dwi yang sibuk meracik minuman.“Hai, Wi. Tumben rame, ya?”“Hai, Mbak. Iya nih, ada grup dari Singapor. Gimana cutinya?” Dwi menjawab pertanyaanku sembari fokus pada mocktail yang sedang ia racik.“Lucas gak cerita sama kamu, ya?”“Cerita apa, Mbak?”Biasanya jika ada berita apapun yang menyangkut diriku, Lucas akan menceritakan langsung pada Dwi. Tumben sekali kali ini dia lebih men

    Last Updated : 2022-10-31

Latest chapter

  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

  • Pilihan Kedua   Bab 30

    “Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny

  • Pilihan Kedua   Bab 29

    “Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk

  • Pilihan Kedua   Bab 28

    Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k

  • Pilihan Kedua   Bab 27

    Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan

  • Pilihan Kedua   Bab 26

    Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda

DMCA.com Protection Status