"Sudah, Yang. Jangan diambil hati. Dia juga tadi sudah minta maaf."Sadewa mengelus bahu sang istri. Mereka sudah berada di kamar sebab karyawan kantor yang berkunjung sudah berpamitan pulang. Mood Ayuna belum juga membaik. Perkataan salah satu dari mereka sangat menyinggungnya. "Dia orangnya memang agak ceplas-ceplos. Nanti Mas akan menegurnya supaya tidak bicara sembarangan lagi pada siapapun. Sudah, ya. Mas gak suka kamu murung begini."Ayuna mengangguk lemah, meski hatinya masih dongkol luar biasa. Kepercayaan dirinya sedang berada di titik terendah dan ia akan mudah tersinggung jika mendengar orang membicarakan perihal fisiknya yang berubah. Ketakutan akan Sadewa yang berpaling bukanlah tanpa alasan. Ia pernah merasakan bagaimana sakitnya dikhianati, dan tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. "Begini saja. Mas akan menyewa jasa baby sitter untuk membantu kamu menjaga Athalla agar kamu bisa meluangkan waktu untuk memanjakan diri. Kamu mau Mas datangkan instruktur senam? A
"Hei, Nona! Anda sudah gila! Kenapa Anda menampar majikan saya?" Pak Agus naik pitam menyaksikan gadis yang tak sengaja ia tabrak menampar Sadewa tanpa alasan. Sepertinya wanita itu tidak tahu siapa pria yang berada di dekatnya. Sikap lancangnya bisa saja menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sedangkan Sadewa masih memegangi pipi dengan menatap tajam gadis itu. Keduanya masih bertatapan, tidak nampak sama sekali ketakutan dari wajah si gadis. "Kenapa? Wajar aku marah karena kalian hampir menabrakku. Lihat itu!" Ia menunjuk makanan yang berserakan di atas aspal. "Makanan yang susah payah aku masak untuk nenekku hancur gara-gara kalian!" ujarnya dengan kilat emosi. "Ini salah saya yang kurang berhati-hati membawa mobil. Tapi kenapa Anda malah menampar majikan saya?""Aku tidak peduli! Yang jelas, pria ini pemilik mobil itu, kan? Tidak salah kalau aku marah padanya karena mempekerjakan sopir sepertimu!" "Kamu!""Sudah, Pak Agus." Sadewa mengangkat sebelah tangan. Memberi isyarat a
"Permisi. Saatnya diperiksa ya, Bu."Dara dan neneknya terperanjat mendengar suara Raga. Keduanya langsung menghentikan pembicaraan dan memaksakan senyum, meski kentara masih terkejut atas kedatangan Dokter tersebut yang tiba-tiba."Silakan, Dok." Wanti, sang nenek menjawab dengan sedikit gugup."Tekanan darahnya sudah normal. Kondisi ibu juga makin membaik. Sepertinya besok sudah diperbolehkan pulang," ujar Raga setelah memeriksa Wanti."Syukurlah." Wanti bernapas lega."Oh ya. Saya teringat ucapan Anda tadi tentang kemungkinan cucu Anda yang akan dipecat karena sudah terlalu sering bolos. Saya ada tawaran pekerjaan untuknya dan pastinya dengan gaji yang lebih besar. Bagaimana, Anda bersedia, Nona?" Dara dan Wanti saling tatap. Raga menunggu jawaban mereka dengan melipat kedua tangan di dada. Setelah mendengar percakapan keduanya, Raga tidak bisa berdiam diri dan membiarkan Sadewa dalam bahaya. Ia akan membantu suami Ayuna tersebut agar lepas dari jeratan orang yang berniat jahat pa
"Tante senang kalian mau berkunjung ke sini untuk menjenguk Zeya." Wajah Yunita menyendu. "Anak itu tidak pernah rewel. Sepertinya dia tahu kalau ibunya sudah tiada dan tidak ingin merepotkan neneknya," lirihnya dengan menghapus air mata yang mulai menetes. "Kadang Tante sedih, Yun. Zeya tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang dari mamanya. Anak itu sudah menjadi piatu sejak lahir. Tante takut, dia akan minder saat dewasa nanti dan melihat teman sebayanya mempunyai orang tua yang lengkap."Ayuna menghela napas berat. Ia bisa merasakan kesedihan Yunita, mengingat mamanya Raga itulah yang mengurusi Zeya sejak lahir. Kepergian Anggia bukan hanya meninggalkan kesedihan, tetapi juga tanggung jawab mengurus Zeya yang harus dijalani Yunita sebagai nenek dari bayi cantik tersebut. "Aku ngerti, Tante. Aku minta maaf karena tidak bisa membantu Tante mengurus Zeya." Ayuna melirik Sadewa yang mengelus bahunya. "Tapi aku dan Mas Dewa janji akan selalu meluangkan waktu untuk menjenguk dan mema
"Silakan diminum, Pak."Dara meletakkan secangkir teh ke atas meja di depan Sadewa. Tangan gadis itu sedikit gemetar, sebab merasa gugup dan takut rencananya akan gagal, bahkan mungkin ketahuan. "Terima kasih. Oh ya, Nenek kamu mana? Dia sudah tidur?" Mata Sadewa mengedar. Meneliti isi rumah sederhana itu yang hanya memiliki dua kamar, ruang tamu, dan satu ruangan lagi yang ia yakini adalah dapur, sebab barusan Dara muncul dari sana. "Jam segini Nenek saya sudah tidur."Sadewa mengangguk. "Bagaimana kondisinya pasca pulang dari rumah sakit?" tanyanya kemudian. "Nenek sudah baikan. Terima kasih karena Bapak sudah membayar biaya rumah sakitnya. Kami berhutang budi sama Bapak.""Tidak usah dipikirkan. Saya hanya ingin membantu kalian." Sadewa mengambil ponsel dalam saku jas. Memainkan benda tersebut seraya sesekali melirik Dara yang nampak gelisah. "Kamu kenapa? Kok saya perhatikan seperti gelisah begitu?" "Ah ... tidak. Saya hanya gerah. Oh ya, silakan diminum tehnya. Saya ke belak
"Siapa pria ini, Dara?" Galang menatap nyalang adiknya yang gemetar. Pria di samping Dara bukan Sadewa yang ia kira sudah masuk dalam perangkap, tetapi pria lain yang justru tidak ia kenal. "Nanti akan saya jelaskan. Kalian salah paham kalau mengira kami telah berbuat hal asusila di rumah ini." Raga mencoba tetap tenang. Ia sudah mengira hal seperti ini akan terjadi, sebab kakaknya Dara pasti mengira sang adik sudah berhasil menjebak Sadewa. Namun, tidak bisa Raga pungkiri bahwa ia khawatir Galang dan warga yang menyaksikan dirinya dengan Dara akan mengambil tindakan di luar prediksinya. "Mau menjelaskan apa lagi? Sudah jelas kami melihat kalian berada dalam satu kamar dan satu ranjang yang sama. Memangnya apa yang pria dan wanita lakukan berduaan di kamar semalaman kalau bukan berbuat mesum?" Salah satu warga angkat bicara. Meringsek maju dan berdiri di depan Galang. "Saya ketua RT di sini. Saya tidak ingin kompleks ini tercemar karena perbuatan mesum kalian. Saya kecewa pada And
"Aku perhatikan, dari tadi Mas diam saja. Ada apa? Masih kepikiran kejadian kemarin?" Ayuna duduk di samping Sadewa yang tersentak. Lamunan ayah dari Athalla buyar setelah mendengar suara sang istri. "Enggak, Sayang. Bukan karena itu." Sadewa mengulas senyum tipis. Matanya menatap wajah cantik sang istri dengan lekat, hingga Ayuna salah tingkah dibuatnya. "Kok ngelihatin aku gitu banget? Ada apa sih?" ujarnya sedikit gugup. Tatapan Sadewa kali ini berbeda dari biasanya. Ayuna merasa, suaminya sedang menuntut sesuatu darinya. "Tadi ... Mas melihatmu berbicara dengan Raga."Ayuna tertegun. Rupanya perubahan sikap suaminya karena itu. "Aku hanya mengucapkan terima kasih karena Mas Raga sudah dua kali menolong kita. Itu saja," jelas Ayuna. Tidak ingin menciptakan kesalahpahaman dengan Sadewa. "Ya. Mas mendengar semuanya. Tapi ... jujur saja Mas sedikit terganggu dengan tatapannya padamu. Mas bisa melihat rasa dia untukmu masih ada, bahkan mungkin masih sebesar dulu." Sadewa menghela
"Kamu benar, Karin. Sampai saat ini aku memang masih mencintai Ayuna."Pengakuan Raga terus terngiang di telinga Dara. Gadis yang saat ini sedang merebahkan diri di kamar itu merasa tidak nyaman dengan apa yang ia dengar tadi siang. Mengetahui Raga menyimpan rasa pada wanita lain, Dara sedikit tidak suka dan ingin sekali mengatakan bahwa Raga adalah pria bodoh yang masih saja menyimpan cinta untuk wanita yang sudah menjadi istri orang. "Aku kenapa, sih! Dia mau cinta sama siapapun, itu bukan urusanku! Kenapa aku jadi cemburu begini ... eh?"Dara menutup mulut. Tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan barusan. Cemburu? Benarkah ia cemburu karena Raga masih mencintai Ayuna?"Ayolah, Dara! Jangan begini. Kamu itu hanya pembantu di sini. Tidak pantas mengharapkan Pak Raga yang sudah jelas tidak akan melirikmu!" Dara merutuki diri sendiri. Gadis itu membalikan badan hingga tengkurap dan menenggelamkan wajah pada bantal, berharap bayang wajah tampan Raga menghilang dari ingatannya. Seme
"Aku tidak percaya, ternyata wanita ib*is itu yang telah membuat Sadewa meninggal," ujar Hadiwijaya dengan mengepalkan tangan. Saat ini, Ia, Bram, dan Raga sedang berada di ruang tamu rumah Raga, sedangkan Salma dan Miranda sedang menemani Ayuna serta cucu-cucunya di kamar. "Dia menyimpan dendam karena dulu ditolak Sadewa dan merasa dipermalukan oleh Ayuna," timpal Raga. "Dan parahnya, ternyata Alex juga terlibat." Hadiwijaya kembali menyahut. Ia sangat terkejut saat mengetahui salah satu reka bisnisnya tersebut adalah suami dari Airin, sekaligus orang yang membantu wanita itu mencelakai putranya. "Kita harus memastikan wanita itu dihukum seberat-beratnya." Bram yang sejak tadi diam, ikut membuka suara. "Itu pasti." Hadiwijaya berdiri, melangkah menuju kamar Ayuna untuk melihat kondisi mantan menantunya itu. Di sana, di kamar itu, Ayuna sedang dipeluk oleh Salma, sedangkan Miranda sedang menatap Athalla dan Alika yang tertidur. Hati Miranda kembali dilanda nyeri saat mengingat me
Raga baru saja selesai mandi saat mendapati Ayuna sedang duduk menghadap jendela dengan tatapan kosong. Raga mengira, istrinya itu sedang memikirkan sesuatu yang cukup serius karena Ayuna tidak menjawab panggilannya setelah beberapa kali ia menegur sang istri.Raga memutuskan menghampiri Ayuna dengan handuk yang masih tersampir di lehernya. Ia menatap Ayuna dengan lembut, lalu mengusap rambut sang istri penuh kasih. "Sedang memikirkan apa, hmm?" Raga bertanya lembut. "Mas perhatikan, dari kemarin kamu sering melamun."Ayuna sedikit tersentak, kemudian menoleh pada suaminya. "Aku tidak sedang memikirkan apa pun, Mas. Aku hanya sedikit lelah."Raga mengangguk pelan, berusaha mempercayai ucapan istrinya, meski ia menebak Ayuna sedang berbohong.Direngkuhnya kepala sang istri untuk ia sandarkan di bahunya. "Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita sama Mas. Jangan dipendam sendirian."Ayuna tersenyum tipis. Ia mulai merasa nyaman dengan sentuhan dan perhatian dari suaminya.
Alex duduk di kursi mobilnya setelah meninggalkan Hadiwijaya dan keluarganya. Meski ia sempat berpamitan dengan sopan, pikirannya terus berputar tentang Ayuna. Bayangan wajahnya dan cara Ayuna menatapnya membuat dadanya berdebar, meskipun ia tahu itu salah. Ayuna adalah istri Raga, dan lebih dari itu, mantan istri Sadewa, musuh yang tak pernah ia temui, namun sudah menjadi bagian dari hidupnya melalui cerita-cerita Airin.“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumam Alex, menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Dia menghembuskan napas panjang, seolah-olah mencoba mengeluarkan perasaan tersebut.Tapi semakin dia mencoba, semakin kuat bayangan Ayuna menghantui pikirannya.Airin selalu menggambarkan Ayuna sebagai wanita licik yang berhasil merebut Sadewa darinya. Namun, dari setiap interaksi singkat yang terjadi, Ayuna tak pernah terlihat seperti wanita yang Airin gambarkan. Sebaliknya, Ayuna selalu menunjukkan sikap yang tenang dan penuh kasih, terut
Alex mengepalkan tangan. Laporan yang ia dapat dari anak buahnya makin membuatnya yakin bahwa Airin tengah bermain curang di belakangnya. Wanita itu menemui seorang pria dan Alex bisa menangkap gelagat tak biasa dari keduanya, apalagi dalam video tersebut pria itu berani mencium istrinya. "Kamu sudah mulai bermain api, Airin. Jika terbukti hubunganmu dengan pria itu sudah sangat jauh, aku tidak akan berpikir dua kali untuk membuangmu," gumam Alex dengan mata yang terus tertuju pada video yang dikirimkan anak buahnya. Alex memang mencintai Airin. Namun, pria itu sangat membenci yang namanya pengkhianatan dan tidak akan pernah ada kata maaf untuk yang satu itu. Alex berdiri dari tempatnya duduk. Pria itu berjalan ke arah balkon dengan sebatang rokok yang menyelip di sela-sela jemarinya. Ia hisap benda tersebut dan menghembuskan asapnya ke udara. Kilasan masa lalu ketika ia pertama kali bertemu Airin hingga jatuh cinta dan memutuskan menikahi wanita itu melintas dalam ingatan pria ber
"Dasar bodoh!"Airin mengumpat. Pesan yang dikirimkan salah satu anak buahnya membuat wanita itu naik pitam. Ia pikir Romi akan berhasil menyingkirkan Raga seperti halnya dulu ia melenyapkan Sadewa. Namun, ternyata Raga selamat dan hanya mengalami cidera ringan. Rencananya kali ini gagal. Airin harus segera menemui Romi untuk membicarakan rencana selanjutnya. "Kamu kenapa?" Airin terperanjat. Alex tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari. Sejak kapan suaminya di sana? Apa mungkin Alex melihat pesan yang dikirimkan anak buahnya?"Eh, gak papa, Mas. Aku cuma kesal. Temanku tiba-tiba saja membatalkan janji padahal hari ini rencananya kami mau hangout bareng." Airin berusaha menyembunyikan kegugupan. Ia berharap, suaminya tidak curiga bahwa ia sedang berbohong. Alex mengangguk. Pria itu bersikap biasa saja meski ia tahu Airin sedang membohonginya. "Besok aku mau ke luar kota selama tiga hari. Tolong kamu siapkan pakaian dan keperluan lainnya." Airin membulatkan m
Ponsel di genggaman Ayuna hampir terlepas. Kabar dari Farhan membuat tubuhnya lemas dan hampir saja ambruk jika tangannya tidak memegangi dinding. Raga kecelakaan. Ayuna hampir tidak percaya apa yang terjadi pada suaminya karena baru setengah jam yang lalu mereka bicara lewat telepon. Dengan tangan yang gemetar, Ayuna mencoba menghubungi Salma untuk memberitahukan kabar ini. Ia butuh seseorang untuk dimintai tolong menjaga Athalla dan Alika di rumah, sedangkan ia harus segera ke rumah sakit. Beruntung sang Mama langsung mengangkat panggilan darinya. Sama halnya seperti Ayuna, Salma juga terkejut mendengar kabar tersebut. "Kamu tenang, Sayang. Sebentar lagi Mama sama Papa ke sana. Papa yang akan mengantarmu ke rumah sakit."Sambungan telepon ditutup. Ayuna menghempaskan tubuh ke atas sofa dengan tangan yang saling meremas. Tidak. Jangan lagi! Ayuna tidak siap jika harus kehilangan lagi. Sakitnya ditinggal Sadewa untuk selamanya masih terasa sampai sekarang. Jangan sampai hal yan
Raga sesekali melirik Ayuna. Sang istri lebih banyak diam setelah terlibat pembicaraan dengan Dara. Raga melihat ketika Dara menghampiri Ayuna dan mereka berbincang. Entah apa yang mereka obrolkan hingga sang istri berubah seperti sekarang.Athalla dan Alika tertidur di jok belakang. Keduanya nampak lelah setelah seharian menikmati acara di rumah Zeya dengan bergabung bersama teman-temannya dan mengadakan permainan di sana. "Yuna ...."Raga menyentuh jemari Ayuna hingga yang empunya terperanjat dan sontak menoleh. "Ya?""Kenapa, hmm?""Aku?" Ayuna menunjuk dirinya sendiri. "Aku gak papa, Mas. Aku hanya lelah saja," jawabnya dengan mengulas senyum tipis. Berharap Raga tidak bertanya lagi sebab ia masih kepikiran ucapan Dara beberapa jam yang lalu. "Jangan bohong. Mas tahu kamu sedang memikirkan sesuatu," tukas Raga. "Ayo cerita. Mas siap jadi pendengar yang baik," imbuhnya. Ayuna tahu, Raga memang sulit untuk dikelabui. Pria itu terlalu peka melihat perubahan sikapnya dan tidak aka
Ayuna tahu bahwa sejak anak itu masih bayi, Zeya sangat dekat dengan Dara sebab gadis itu yang mengasuhnya. Ayuna juga paham, kedekatan mereka wajar-wajar saja karena Zeya memang sangat menyayangi Dara, pun sebaliknya. Akan tetapi, Ayuna tetap merasa tidak nyaman saat Zeya dengan terang-terangan mendekatkan Dara dengan Raga, suaminya. Gadis kecil itu sengaja meminta Dara dan Raga berdiri di sisinya untuk menemaninya meniup lilin, dan hal tersebut tak ayal mengundang pertanyaan dari beberapa tamu undangan. Ayuna sudah menjadi istrinya Raga, tapi kenapa justru Dara yang berada di posisi yang seharusnya Ayuna tempati?Usapan di bahu Ayuna rasakan saat ia masih fokus memperhatikan Raga dan Dara. Menoleh, tatapan sendu sang mama layangkan untuknya. "Sabar, Sayang. Kamu harus maklum, Zeya masih kecil. Dia belum paham bagaimana cara menjaga perasaanmu sebagai Mama sambungnya, terlebih selama ini dia sangat dekat dengan Dara." Salma menenangkan sang putri. Ia bisa melihat Ayuna tidak nyama
"Ya, Ma?" Raga mengangkat panggilan yang ternyata dari Yunita. Pria itu sesekali melirik ke arah Ayuna yang terlihat salah tingkah karena kejadian barusan. "Belum tidur, Ga? Maaf kalau mama ganggu kamu.""Enggak kok, Ma. Aku belum tidur. Kebetulan aku sama Ayuna baru pulang dari acaranya Karina," terang Raga. "Ada apa, Ma? Tumben nelepon malam-malam begini? Zeya baik-baik saja, kan?" Raga dilanda cemas. Takut putri yang dua hari ini belum ditemuinya itu kenapa-napa. "Zeya baik-baik saja. Mama cuma mau ngingetin kalau Minggu depan ulang tahunnya Zeya, takutnya kamu lupa."Raga menghela napas lega mendengar kabar sang putri yang baik-baik saja. "Aku gak lupa, Ma. Malah rencananya aku mau nyiapin kejutan buat dia. Gimana kalau tahun ini kita buatkan pesta untuk Zeya. Kita undang teman-teman sekolahnya," usulnya. Bukan tanpa alasan Raga merencanakan itu. Dulu, di setiap ulang tahunnya, Zeya selalu menolak saat Raga ingin membuatkan pesta untuk sang putri. Kepribadian Zeya yang cukup