"Kamu benar, Karin. Sampai saat ini aku memang masih mencintai Ayuna."Pengakuan Raga terus terngiang di telinga Dara. Gadis yang saat ini sedang merebahkan diri di kamar itu merasa tidak nyaman dengan apa yang ia dengar tadi siang. Mengetahui Raga menyimpan rasa pada wanita lain, Dara sedikit tidak suka dan ingin sekali mengatakan bahwa Raga adalah pria bodoh yang masih saja menyimpan cinta untuk wanita yang sudah menjadi istri orang. "Aku kenapa, sih! Dia mau cinta sama siapapun, itu bukan urusanku! Kenapa aku jadi cemburu begini ... eh?"Dara menutup mulut. Tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan barusan. Cemburu? Benarkah ia cemburu karena Raga masih mencintai Ayuna?"Ayolah, Dara! Jangan begini. Kamu itu hanya pembantu di sini. Tidak pantas mengharapkan Pak Raga yang sudah jelas tidak akan melirikmu!" Dara merutuki diri sendiri. Gadis itu membalikan badan hingga tengkurap dan menenggelamkan wajah pada bantal, berharap bayang wajah tampan Raga menghilang dari ingatannya. Seme
Pemakaman Prita dilaksanakan keesokkan paginya. Seluruh keluarga Tanujaya turut hadir di acara tersebut, termasuk Brata dan Ambar yang juga ikut berkabung. Mereka memang kurang menyukai sikap Prita sewaktu wanita itu menjadi menantu kedua di keluarga Tanujaya. Namun, setelah mengetahui nasib Prita setelah diceraikan Bram juga ditinggal Anggia, baik Brata maupun Ambar mulai merasa simpati, apalagi keduanya mendengar bahwa Prita sudah berubah menjadi orang yang lebih baik. "Mas ...."Salma mengelus bahu Bram yang masih berdiri di dekat makam Prita, sedangkan yang lain sudah lebih dulu pulang ke kediaman masing-masing. "Kenapa, hmm?" Bram mengusap air mata seraya menoleh ke arah sang istri. "Papa hanya sedang berpikir, Ma. Semasa hidupnya, Prita dikenal sebagai wanita jahat dan tidak berperasaan, dan itu dia lakukan semenjak menjadi istri Papa. Lalu setelah bercerai, dia mulai berubah dan memperbaiki diri hingga akhirnya Prita mendapatkan akhir hidup yang diinginkan oleh setiap manus
Athalla sudah berusia satu tahun dan mulai bisa berjalan. Bayi tampan tersebut makin aktif hingga membuat Ayuna kerap kali kewalahan menjaganya. Namun meski begitu, Ayuna senang sebab putranya tumbuh dengan normal, bahkan cenderung cepat jika dibandingkan anak seusianya yang lain. "Hari ini Athalla gak rewel?" Sadewa duduk di samping sang istri yang tengah fokus pada ponsel di tangannya. "Enggak. Cuma ya itu. Anak kamu aktif banget, Mas. Masa tadi maksa mau ngambil ikan di kolam. Bajunya basah semua deh!" Sadewa tertawa. Wajah masam sang istri malah membuatnya gemas. "Kamu juga aktif. Ya pastilah nurun sama anaknya." Ayuna mengerutkan dahi. Menoleh ke arah Sadewa dengan alis yang menukik. "Aktif gimana? Seharian aku cuma di rumah. Gak ada kegiatan lain selain ngurus Athalla."Sadewa menyeringai. Ia mengikis jarak dan berbisik di telinga sang istri. "Kalau kamu aktifnya di ranjang."Spontan Ayuna memukul bahu Sadewa hingga suaminya tersebut tergelak. "Dasar me sum!""Tapi bener
"Maaf, Pak. Bisa saya minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan sama Bapak."Raga meletakkan ponsel yang sejak tadi menjadi fokusnya ke atas meja. Matanya menatap lekat pada Dara yang berdiri dan menunduk di depannya."Duduklah. Apa yang ingin kamu bicarakan? Sepertinya penting sekali."Dara mengambil tempat duduk berseberangan dengan Raga. Mengambil napas dan menghembuskannya perlahan sebelum mengatakan apa yang selama beberapa hari ini sudah ia pikirkan dengan matang."Saya ... saya mau berhenti, Pak. Maaf, saya tidak bisa bekerja di sini lagi," ujarnya dengan menunduk. Tak kuasa bertatapan dengan pria yang sudah berhasil menempati hatinya."Kenapa?" Raga jelas terkejut mendengar ucapan Dara. Pria itu merasa selama ini ia dan keluarganya sudah memperlakukan gadis itu dengan baik, bahkan akhir-akhir ini Zeya makin dekat dengan Dara.Putri Raga yang sudah berusia dua tahun itu selalu menemani Dara jika gadis itu sedang sibuk membereskan rumah. Bahkan, Zeya tidak mau makan
"Dokter sudah sarapan? Kebetulan pagi ini saya bikin nasi goreng agak banyak. Saya bawa sebagian untuk Dokter. Silakan dicicipi dan semoga suka." Gadis di depan Raga tersenyum amat manis. Kotak makan yang ia bawa disimpannya ke atas meja milik sang Dokter yang tengah memperhatikan gerak geriknya.Nana, salah satu perawat di rumah sakit tempat Raga bekerja adalah salah satu dari sekian gadis yang sering memberi perhatian pada duda satu anak tersebut. Di usianya yang ke tiga puluh delapan tahun, pesona Raga makin memikat. Wajah tampan dan kepribadian yang dewasa, disertai profesinya yang cukup menjanjikan, membuatnya banyak digandrungi kaum hawa."Terima kasih, Sus. Nanti saya cobain masakan Suster. Pasti rasanya enak," ucap Raga dengan tersenyum, membuat gadis di depannya tersipu."Dokter mau saya bawakan sarapan setiap hari? Kalau Dokter mau, saya tidak keberatan melakukannya. Sekalian ... saya ingin belajar jadi istri yang baik," ujar Suster Nana dengan menunduk. Tidak sanggup berta
"Penampilan kamu berubah. Saya sampai pangling."Dara tersipu. Pipinya merona mendengar pujian dari pria yang masih sangat disukainya itu. Saat ini mereka berada di ruang tamu dengan Zeya yang bergelayut manja di lengan Raga. Beberapa hari tidak bertemu dengan sang Papa membuat gadis kecil berusia sepuluh tahun tersebut tidak ingin berjauhan, sebab takut ditinggal Raga diam-diam seperti kemarin. "Dara ini hebat, Ga. Sekarang dia punya usaha Butik. Hampir sepuluh tahun tidak bertemu, tahu-tahu Dara sudah menjadi wanita karir yang sukses," puji Yunita dengan menatap sang putra dan Dara bergantian. Wanita berusia enam puluh tahun tersebut berharap, semoga dengan pertemuan ini Raga mulai membuka hati untuk wanita baru. Penampilan Dara yang anggun dan nampak berkelas sangat memukau Yunita. Ibu dari Raga tersebut mempunyai rencana untuk mendekatkan mereka lewat Zeya yang nampak akrab dengan Dara. Memang, dari dulu Zeya sudah dekat dengan Dara semenjak gadis itu masih menjadi asisten ruma
DEAR MY DOCTORPart 3Entah ada apa dengan Sadewa, tetapi Raga melihat pria itu seakan tidak fokus di ulang tahun Alika. Sadewa lebih banyak diam dan tergagap jika Ayuna bertanya. Raga pria itu berada di sisi sang istri, tetapi pikirannya sedang di tempat lain. Raga tidak ingin menduga-duga. Akan tetapi, sikap Sadewa hari ini membuatnya berpikiran ada yang tidak beres pada suami Ayuna tersebut. "Kamu kenapa?" Pada akhirnya, Raga memberanikan diri bertanya saat ada kesempatan. Ia menghampiri Sadewa yang sedang termenung di sofa sendirian. "Aku?" Sadewa menunjuk dirinya sendiri. "Memangnya kamu pikir aku kenapa? Aku baik-baik saja." Sadewa terkekeh. Namun, Raga bisa melihat kegelisahan nampak dari raut wajah pria di sampingnya itu. "Kamu seperti tidak fokus pada acara putrimu, dan aku yakin kamu sedang bermasalah. Kalau kamu mau, kamu bisa cerita padaku, siapa tahu aku bisa membantu." Raga menepuk bahu Sadewa. "Kamu ingat, kan? Sudah dua kali aku membantumu waktu kamu dan Ayuna hamp
Dara mulai gelisah. Sudah hampir tiga jam ia menunggu di tempat yang disebutkan Raga lewat pesan, tetapi pria itu tak kunjung datang, apalagi ponselnya sulit dihubungi. Makanan yang tersaji sudah mulai dingin, pun dengan lilin yang berada di tengah-tengah hidangan tersebut hampir habis. Makan malam romantis yang sengaja Raga persiapkan berakhir gagal, sebab si empunya rencana justru entah ke mana. "Kamu di mana sih, Mas?" Dara menggerutu. Kesal dan khawatir ia rasakan dalam satu waktu. "Apa aku hubungi Tante Yunita saja, ya. Siapa tahu Mas Raga sudah di rumah," gumamnya, kemudian mengambil ponsel dari dalam tas untuk menghubungi mamanya Raga. Namun, kekecewaan kembali didapatkan gadis yang malam ini sudah tampil cantik dengan gaun berwarna hitam. Raga belum sampai dan Yunita tidak tahu di mana keberadaan pria itu. Pada akhirnya, Dara memutuskan untuk menunggu lagi. Ia tidak ingin kehilangan moment romantis yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Dara mencoba berpikir positif. Raga past