Suasana acara sosial itu penuh dengan kegembiraan dan canda tawa, tetapi bagi Nathaniel, semuanya terasa jauh. Ia berdiri di sudut ruang, memegang gelas anggur yang sudah hampir habis, sementara matanya berkeliling, menatap orang-orang yang tampak terlibat dalam percakapan yang riuh. Di tengah keramaian itu, hatinya tetap terperangkap dalam kehampaan yang sama, perasaan bersalah yang tak kunjung hilang setelah kepergian Arissa.
Nathaniel tidak tahu bagaimana ia bisa terjebak dalam acara seperti ini. Biasanya, ia akan sangat menikmati kesempatan untuk bertemu dengan kolega dan orang-orang penting, tetapi kali ini, ia merasa asing di tengah kerumunan. Setiap percakapan yang terjadi di sekitarnya terdengar bising dan tak berarti. Pikirannya terus kembali pada Arissa, pada segala yang telah terjadi, dan pada rasa sakit yang ia rasakan setelah mengusir wanita yang sebenarnya begitu berarti baginya.
Di tengah keramaian itu, matanya tertumbuk pada seseorang yang tidak ia duga
Pagi itu, Nathaniel berdiri di luar klinik Arissa, matanya menatap pintu kaca yang tertutup rapat. Udara pagi yang segar terasa tak berarti di sekitarnya, seolah segala sesuatu di dunia ini menjadi kabur. Dalam beberapa minggu terakhir, ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menebus kesalahan yang ia perbuat terhadap Arissa, dan kini, untuk pertama kalinya, ia berdiri di depan pintu tempat wanita itu bekerja, berharap mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengannya.Namun, meskipun hatinya penuh dengan niat baik, Nathaniel merasa ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk masuk. Rasa bersalah yang mendalam masih membebani langkahnya, dan ketidakpastian akan bagaimana Arissa akan menerima kehadirannya semakin membuatnya ragu.Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah mendekat ke meja resepsionis di depan pintu klinik. Seorang resepsionis yang ramah menyapanya, tetapi ada keraguan dalam matanya ketika ia menyadari siapa yang berdiri di sana. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Tua
Nathaniel tidak bisa lagi menahan rasa penyesalannya. Setiap hari yang berlalu tanpa adanya kesempatan untuk berbicara dengan Arissa membuatnya semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang tak terkatakan. Meskipun ia sudah mengirimkan pesan, dan meskipun ia sudah mencoba memberikan ruang, hatinya tetap merasa kosong dan tak lengkap tanpa adanya penjelasan darinya. Tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain terus memikirkan segala yang telah terjadi.Satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah betapa sedikitnya ia tahu tentang masa lalu Arissa. Selama ini, ia hanya mengenalnya sebagai seorang wanita yang profesional dan sabar, seseorang yang selalu ada untuk membantu orang lain tanpa meminta balasan. Namun, ketika ia mulai merenung lebih dalam, Nathaniel sadar bahwa ia tahu hampir tidak ada tentang Arissa di luar pekerjaannya sebagai terapis.Dengan tekad yang bulat, Nathaniel memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang wanita yang telah begitu banyak memberinya bantuan—t
Nathaniel berdiri di balkon apartemennya, memandang keluar dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan gambar-gambar Arissa—senyumnya yang lembut, cara dia mendengarkan setiap kata dengan penuh perhatian, dan bagaimana dia selalu tahu apa yang dibutuhkan orang lain. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa tidak cukup. Ia telah melakukan kesalahan besar, meragukan Arissa pada saat-saat yang paling sulit dalam hidupnya. Ia harus memperbaiki semuanya, tetapi bagaimana? Kata-kata saja tak cukup. Ia tahu itu.Nathaniel merasa bahwa jika ia ingin benar-benar menunjukkan kesungguhannya, ia harus melakukan lebih dari sekadar meminta maaf. Ia perlu berbuat sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata kosong, sesuatu yang akan membuktikan bahwa ia peduli dengan lebih dalam dari sekadar diri dan egonya sendiri.Setelah berpikir cukup lama, Nathaniel mengambil keputusan yang berani. Ia harus melibatkan orang-orang yang dekat dengan Arissa, yang mengenalnya lebih baik, dan yang
Arissa duduk di meja kerjanya di klinik, matanya fokus pada laporan yang ada di hadapannya, tetapi pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Meski hari-harinya diisi dengan pertemuan pasien dan tugas-tugas yang membutuhkan perhatian penuh, pikirannya selalu kembali ke satu hal: Nathaniel.Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya dari rasa cemas yang mengganggu. Meski ia berusaha keras untuk melanjutkan hidup, untuk membiarkan semua yang terjadi antara dirinya dan Nathaniel menjadi bagian dari masa lalu, hatinya tidak pernah benar-benar bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kenangan tentang pria itu.Nathaniel adalah pria yang sulit untuk dilupakan. Selama waktu mereka bekerja bersama, Arissa merasa seperti ia telah menemukan seseorang yang bisa benar-benar melihatnya—seluruhnya. Tidak hanya sebagai seorang terapis atau seorang wanita yang bekerja keras, tetapi sebagai seorang individu dengan semua kelemahan dan kekuatan yang ada
Nathaniel berdiri di balkon apartemennya, memandangi langit senja yang berwarna oranye keemasan. Di sekelilingnya, suasana kota yang sibuk tampak begitu jauh, seakan ia berada di dunia yang terpisah dari realitas. Semua yang ia lakukan, semua yang ia usahakan, hanya untuk satu tujuan: memperbaiki kesalahan besar yang telah ia buat. Ia tidak tahu apakah Arissa akan memberinya kesempatan kedua, tetapi ia yakin bahwa jika ada satu hal yang harus ia lakukan, itu adalah menunjukkan dengan sepenuh hati betapa menyesalnya ia atas tindakannya. Arissa layak mendapatkannya.Semenjak ia meluncurkan program amal tentang kesehatan mental yang ia harapkan bisa menjadi simbol penyesalannya dan niat tulusnya untuk membantu dunia, Nathaniel merasa seakan ada sedikit harapan yang bersinar dalam dirinya. Namun, meski ia merasa bahwa ini adalah langkah yang benar, ia tahu bahwa tindakan tersebut bukanlah segalanya. Ia harus melakukan sesuatu yang lebih personal, sesuatu yang akan langsung menyen
Suasana klinik Arissa tampak lebih tenang dari biasanya. Lampu-lampu lembut yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya hangat, menciptakan aura kedamaian yang menyelimuti setiap sudut ruangan. Di meja resepsionis, Lila duduk dengan senyum tipis di wajahnya, tampaknya menunggu sesuatu. Pada sudut ruangan lainnya, Arissa memandang beberapa catatan yang tersebar di atas meja kerjanya. Meskipun tampak fokus pada pekerjaannya, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, tempat yang baru saja dilewati oleh Nathaniel beberapa menit lalu.Hari ini adalah hari yang penuh dengan ketegangan. Nathaniel telah meminta pertemuan ini, dengan niat untuk berbicara langsung kepada Arissa setelah berbulan-bulan penuh penyesalan dan keraguan. Dia tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk menunjukkan kepada Arissa betapa dalam penyesalannya dan seberapa besar perubahannya sejak kejadian yang merusak hubungan mereka.Arissa duduk diam di kursinya, menggig
Suasana kantor Nathaniel terasa tegang. Selama beberapa minggu terakhir, berbagai masalah mulai muncul secara tiba-tiba dan tanpa peringatan. Klien besar membatalkan kontrak, proyek penting mengalami penundaan, dan entah bagaimana, rahasia bisnis perusahaan bocor ke tangan pesaing. Nathaniel duduk di kursinya, kedua tangannya mengusap wajahnya dengan lelah. Matanya menatap tumpukan dokumen yang berantakan di mejanya, sementara pikirannya berusaha mencari tahu siapa yang bermain kotor di balik semua ini.Di sisi lain kota, di gedung pencakar langit yang mewah, Markus Reinhardt berdiri di depan jendela besar kantornya, tersenyum penuh kemenangan. Dia memegang sebuah tablet yang menampilkan laporan bisnis milik perusahaan Nathaniel, laporan yang seharusnya sangat rahasia. Di belakangnya, seorang pria berdiri dengan kepala tertunduk, wajahnya tidak terlihat jelas dalam bayang-bayang ruangan."Kamu sudah melakukan pekerjaanmu dengan baik," kata Markus dengan nada dingin, matanya masih terp
Markus Reinhardt duduk di kursi kulit hitamnya yang mewah, tersenyum puas sambil memandangi dokumen-dokumen rahasia yang berhasil dicurinya dari perusahaan Nathaniel. Kertas-kertas itu berisi detail proyek besar yang sedang dalam tahap pengembangan, rencana bisnis jangka panjang, hingga daftar mitra strategis yang sangat berpengaruh. Semua informasi ini adalah kunci kekuatan Nathaniel di pasar.Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan jas rapi dan ekspresi wajah tegang. Dia adalah mata-mata yang selama ini bekerja di dalam perusahaan Nathaniel, menyusup dan mengumpulkan dokumen penting secara diam-diam."Kerja bagus," kata Markus sambil melemparkan pandangan penuh kepuasan ke arah pria itu. "Kau benar-benar tidak mengecewakan. Dengan ini, Nathaniel tidak akan tahu apa yang menimpanya."Pria itu mengangguk pelan. "Saya sudah melakukan seperti yang Anda perintahkan. Tidak ada yang curiga."Markus tersenyum sinis. "Bagus. Pastikan tetap seperti itu. Aku tidak ingin rencanaku hancur han
Malam yang sunyi terasa begitu menegangkan bagi Nathaniel dan Arissa. Mereka sudah melewati berbagai cobaan, dari pengkhianatan Damien hingga perjuangan melawan pengaruh Markus dalam bisnis mereka. Namun, semua itu belum berakhir. Markus, seperti ular berbisa yang terluka, tidak akan mundur begitu saja tanpa perlawanan terakhir.Berita tentang kebangkitan kembali perusahaan Nathaniel menyebar dengan cepat. Setelah pertemuan dengan para investor, kepercayaan terhadap kepemimpinan Nathaniel mulai pulih. Klien yang sempat ragu kini kembali menjalin kerja sama, dan perlahan tapi pasti, perusahaan yang hampir runtuh itu kembali berdiri kokoh.Namun, di sisi lain, Markus semakin terpojok. Semua rencananya untuk menjatuhkan Nathaniel berantakan. Sekutunya satu per satu meninggalkannya, dan kini ia hanya memiliki segelintir orang yang masih setia padanya.“Aku tidak akan membiarkan Nathaniel menang begitu saja,” gumam Markus dengan penuh kebencian saat ia duduk di ruang kantornya yang semakin
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak skandal yang mengguncang perusahaan Nathaniel. Banyak hal telah berubah, tetapi satu yang tetap konstan adalah keberadaan Arissa di sisinya.Nathaniel bukanlah pria yang mudah menunjukkan kelemahannya, tetapi setelah semua yang terjadi, ia belajar bahwa tidak semua beban harus ia pikul sendiri. Dan Arissa? Ia bukan hanya sekadar seseorang yang mengisi keheningan di saat Nathaniel termenung—ia adalah cahaya yang membimbingnya keluar dari kegelapan.Arissa menatap Nathaniel dari seberang meja kerja mereka. Selama beberapa minggu terakhir, ia semakin menyadari satu hal: hubungannya dengan Nathaniel bukan sekadar hubungan profesional atau bahkan sekadar perasaan suka yang samar. Ia benar-benar peduli pada pria itu, lebih dari yang pernah ia bayangkan.Ia melihat Nathaniel berusaha keras, bekerja siang dan malam, memperbaiki apa yang sempat hancur akibat pengkhianatan Damien. Tapi di balik sikapnya yang tegar, Arissa tahu bahwa Nathaniel masih menyimpan
Langit pagi terlihat kelabu ketika Nathaniel berdiri di depan jendela kantornya, menatap kosong ke arah kota yang mulai sibuk dengan aktivitasnya. Sudah beberapa hari sejak Damien disingkirkan dari perusahaan, tetapi luka yang ditinggalkan masih menganga di hatinya.Tidak peduli seberapa besar ia mencoba menepis rasa sakit itu, kehilangan tetaplah kehilangan.Nathaniel selalu berpikir bahwa ia telah melalui banyak hal dalam hidupnya—tantangan bisnis, persaingan, bahkan pengkhianatan dari orang luar. Namun, tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk menghadapi pengkhianatan dari saudara kandungnya sendiri.Damien bukan hanya saudaranya. Ia adalah seseorang yang telah ia besarkan, seseorang yang ia lindungi dengan segenap hatinya. Tapi nyatanya, kepercayaan itu tidak cukup.Nathaniel mengepalkan tangannya. Ia bukan orang yang suka berlarut dalam kesedihan, tetapi kali ini berbeda. Ada bagian dari dirinya yang merasa hancur, seolah sesuatu yang penting telah diambil darinya.Pintu kantor
Ruangan itu terasa sunyi setelah kepergian Damien. Semua orang di dalamnya perlahan mulai kembali ke aktivitas masing-masing, tetapi bagi Nathaniel, dunia seakan berhenti.Ia berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Damien. Ada sesuatu yang begitu pahit dalam keheningan ini—sebuah perasaan yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Arissa memperhatikan Nathaniel dengan penuh kekhawatiran. Pria itu tampak begitu tenang di permukaan, tetapi ia tahu bahwa di dalam hatinya, Nathaniel sedang berjuang dengan emosi yang begitu rumit.Nathaniel telah memenangkan pertempuran ini. Ia telah berhasil melindungi perusahaan, mengungkap pengkhianatan, dan menyingkirkan ancaman dari dalam. Namun, mengapa ia tidak merasakan kelegaan?Seharusnya ia merasa puas. Seharusnya ia bisa merayakan keberhasilannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.Nathaniel menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Seh
Langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan ketegangan yang memenuhi ruang rapat utama perusahaan. Semua pemegang saham, dewan direksi, dan eksekutif utama sudah berkumpul, menanti pertemuan yang telah diumumkan secara mendadak oleh Nathaniel.Damien duduk di salah satu kursi panjang di dekat ujung meja. Raut wajahnya tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik sikap percaya diri yang dibuat-buat.Di sisi lain ruangan, Nathaniel berdiri tegap di depan layar presentasi, ekspresinya penuh ketegasan. Di sampingnya, Arissa duduk dengan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Inilah saatnya untuk mengungkap segalanya.Nathaniel menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara lantang.“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk membahas masa depan perusahaan, tetapi juga untuk mengungkap sesuatu yang selama i
Ketegangan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Arissa bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, tetapi ia menolak untuk mundur. Saat ini, Nathaniel membutuhkan keberaniannya lebih dari sebelumnya.Nathaniel berdiri tegap, tetapi Arissa tahu hatinya pasti berantakan. Menghadapi pengkhianatan dari saudaranya sendiri adalah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertempuran bisnis. Dan kini, ia harus menjadi orang yang mengungkap semuanya, meskipun itu berarti memperburuk hubungan Nathaniel dengan keluarganya sendiri.Arissa menarik napas dalam, menatap Damien yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku tidak ingin berada dalam situasi ini, Damien," katanya dengan suara tenang, tetapi tegas. "Aku lebih suka melihat kalian tetap menjadi saudara yang saling mendukung. Tapi setelah semua yang kau lakukan, aku tidak bisa diam saja."Damien mendengus. "Kau pikir kau siapa, Arissa? Ini bukan urusanmu.""Aku adalah seseorang yang pedu
Nathaniel dan Damien berdiri berhadapan, kedua pria itu saling menatap dengan sorot mata tajam yang penuh emosi.Tak ada lagi kehangatan di antara mereka. Tak ada lagi rasa persaudaraan yang dulu pernah mereka banggakan.Nathaniel mengepalkan tangannya erat. Ia tidak pernah menyangka bahwa hari di mana ia harus menghadapi Damien seperti ini akan tiba."Kau benar-benar sudah berubah," kata Nathaniel dengan suara berat, mencoba menekan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Damien tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Aku tidak berubah, Nathaniel. Aku hanya akhirnya berhenti menjadi bayanganmu.""Tapi dengan cara seperti ini?" Nathaniel balas bertanya dengan nada tak percaya. "Mengkhianati keluarga? Bekerja sama dengan Markus, orang yang selama ini ingin menghancurkan kita?"Damien mendengus. "Keluarga? Kata itu tidak pernah berarti apa pun untukku. Keluarga yang mana? Keluarga yang selalu mengutamakanmu? Keluarga yang hanya melihatku
Ruangan terasa begitu sunyi meskipun ketegangan memenuhi udara. Nathaniel berdiri tegak di depan Damien, menatap langsung ke mata lelaki yang selama ini ia anggap sebagai saudara kandungnya. Wajahnya tidak menunjukkan amarah yang meledak-ledak, tetapi dingin, tajam, dan penuh kekecewaan.Damien, di sisi lain, terlihat lebih santai. Ia bersandar pada kursinya dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak terpengaruh oleh tatapan menusuk Nathaniel. Namun, matanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran antara kebencian, kelelahan, dan sedikit rasa bersalah.Mereka telah menghindari konfrontasi ini cukup lama. Tapi malam ini, semuanya harus diselesaikan."Apa yang kau inginkan, Damien?" suara Nathaniel terdengar tenang, tetapi dingin.Damien mengangkat bahu. "Akhirnya kau memutuskan untuk bertanya." Ia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Apa yang kau inginkan, Nathaniel? Kau sudah memiliki segalanya—kekuasaan,
Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Malam telah larut, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian yang baru saja terjadi. Pengkhianatan Damien bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga merobek bagian terdalam dari hatinya.Saudara kandungnya sendiri.Orang yang selama ini ia lindungi.Orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga—ternyata menikamnya dari belakang tanpa ragu.Tangannya mengepal di atas meja, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Emosi dalam dirinya bergejolak seperti badai yang siap menghancurkan segalanya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tetapi di saat yang bersamaan, ada rasa hampa yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya kehilangan warnanya.Arissa berdiri di ambang pintu, memperhatikan Nathaniel dalam keheningan. Ia tahu bahwa pria itu sedang berada di titik terendahnya saat ini. Luka karena dikhi