Suasana kantor yang biasanya terasa sibuk namun profesional, kini berubah menjadi penuh bisikan dan tatapan aneh yang mengarah pada satu orang—Arissa. Setiap kali ia melangkah di lorong, ia bisa merasakan mata-mata mengikutinya, senyuman yang biasanya ramah kini terasa seperti ejekan tersembunyi. Awalnya, Arissa mencoba mengabaikannya, menganggap itu hanya perasaannya saja. Namun, semakin hari, bisikan-bisikan itu semakin jelas terdengar.“Katanya sih, dia deket sama Pak Nathaniel karena ada maunya,” bisik seorang rekan kerja saat Arissa melewati ruang istirahat.“Iya, pantes aja dia jadi favorit. Siapa yang nggak luluh kalau dipijat sama dia?” sahut yang lain, diikuti tawa kecil yang menyakitkan.Arissa menegakkan bahunya, berusaha tetap berjalan dengan kepala tegak. Tapi hatinya bergetar, dadanya sesak menahan emosi. Ia tahu siapa yang memulai semua ini. Vanessa, dengan senyum manis beracun dan kata-kata halusnya, telah menyebarkan rumor ke seluruh kantor. Kecemburuannya terhadap ke
Suasana kantor pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Meskipun matahari bersinar cerah di luar jendela, ada ketegangan yang menggantung di udara, terutama di antara dinding-dinding ruang rapat yang kini menjadi saksi bisu dari drama yang sedang berlangsung. Nathaniel duduk di balik meja kayu mahoni besar di ruangannya, wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya memancarkan ketegasan yang jarang terlihat. Ia menatap layar komputernya, namun pikirannya terfokus pada satu hal—rumor yang terus menyebar dan mengganggu ketenangan kantor.Tanpa membuang waktu, Nathaniel menekan tombol interkom. “Vanessa, tolong masuk ke ruangan saya sekarang.”Di luar, Vanessa yang sedang berbincang dengan beberapa rekan kerja langsung kaku mendengar panggilan itu. Ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap di hatinya. Dengan langkah mantap, ia menuju ruang Nathaniel, mengetuk pintu sebelum masuk.“Silakan duduk,” kata Nathaniel tanpa basa-basi, suaranya dingin dan tajam.Vanessa
Nathaniel duduk di balkon kamar hotelnya yang mewah, memandangi cahaya kota yang berpendar di kejauhan. Malam yang tenang seharusnya menjadi momen untuk beristirahat, tetapi pikirannya terus dibebani oleh tekanan pekerjaan. Dewan direksi menuntut hasil sempurna, angka yang selalu naik, dan keputusan yang tak boleh keliru. Beban itu semakin berat dari hari ke hari, membuatnya sulit untuk bernapas lega.Arissa berjalan keluar dari dalam kamar, membawa dua cangkir teh hangat. Dia mendekati Nathaniel dengan langkah ringan, mengenakan gaun tidur berwarna lembut yang mengalir anggun di tubuhnya. Dia menyodorkan secangkir teh kepada Nathaniel, yang menerimanya dengan anggukan kecil."Terima kasih," ucap Nathaniel dengan suara rendah.Arissa duduk di kursi di sebelahnya, menyandarkan punggungnya dengan santai. Mereka terdiam untuk beberapa saat, menikmati hembusan angin malam yang sejuk."Kau terlihat sangat lelah," komentar Arissa akhirnya. "Apa yang ada di pikiranmu?"Nathaniel menghela nap
Nathaniel bangun dengan semangat baru setelah percakapannya dengan Arissa malam sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa lebih ringan dan siap menghadapi tantangan baru dalam bisnisnya. Namun, dia tidak tahu bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari paling sulit dalam kariernya.Pagi itu, ia bersiap menghadiri pertemuan dengan salah satu klien terbesar perusahaannya. Kesepakatan ini sangat penting—jika berhasil, itu akan menjadi pencapaian besar yang semakin memperkokoh posisinya. Namun, saat ia tiba di lokasi pertemuan, Nathaniel terkejut ketika diberitahu bahwa klien telah menunggu selama lebih dari satu jam dan kini memilih untuk membatalkan negosiasi."Apa maksudnya? Jadwal pertemuan sudah dikonfirmasi kemarin!" Nathaniel bertanya dengan nada tajam kepada asistennya.Asisten itu tampak bingung. "Kami menerima pembaruan jadwal pagi ini, Pak. Seseorang mengonfirmasi bahwa pertemuan ditunda dua jam. Saya pikir itu instruksi dari Anda."Nathaniel merasakan
Nathaniel duduk di kantornya, menatap layar komputer dengan pikiran yang melayang. Insiden dengan Vanessa masih berputar dalam benaknya, tetapi satu hal yang paling membekas bukanlah pengkhianatan itu—melainkan bagaimana Arissa berhasil menghadapinya dengan kepala tegak. Wanita itu, yang selama ini ia anggap lembut dan penuh perhatian, ternyata memiliki keberanian dan keteguhan hati yang luar biasa.Dalam beberapa hari terakhir, Nathaniel melihat bagaimana Arissa tetap bekerja dengan profesional, tanpa terpengaruh oleh tuduhan yang sempat diarahkan kepadanya. Dia tidak mengeluh, tidak merasa perlu membela diri berlebihan, tetapi membiarkan kebenaran berbicara. Sifat itu, menurut Nathaniel, jauh lebih berharga daripada sekadar keahlian bisnis.Merasa perlu menunjukkan rasa terima kasihnya, Nathaniel mengambil keputusan untuk memberikan sesuatu yang istimewa kepada Arissa. Namun, bukan hadiah mewah seperti perhiasan atau mobil yang sering diberikan orang-orang kaya kepada bawahannya—ia
Sore itu, matahari yang meredup memberikan nuansa hangat pada taman yang sepi. Nathaniel duduk di bangku kayu dekat kolam, matanya tertuju pada riak-riak kecil yang bergulung di permukaan air. Arissa, yang duduk di sampingnya, diam-diam mengamati ekspresi wajahnya yang tak biasa—terlihat jauh lebih lembut, meskipun masih dipenuhi misteri yang dalam.Awalnya, mereka hanya duduk dalam keheningan. Hanya suara burung yang sesekali terdengar di kejauhan, bersama dengan angin lembut yang menyapu dedaunan. Namun, entah mengapa, suasana yang tenang itu membuat Nathaniel merasa seolah-olah waktunya bisa dihentikan—sebuah momen langka di antara kehidupannya yang penuh tekanan."Saya...," Nathaniel memulai kalimatnya dengan suara yang hampir terdengar ragu. "Dulu, ayah saya selalu menuntut kesempurnaan. Tidak ada yang bisa cukup baik. Tidak ada yang cukup sempurna."Arissa menoleh, sedikit terkejut dengan pembicaraan yang tiba-tiba mengarah ke keluarga Nathaniel. Biasanya, pria ini sangat tertut
Hari itu terasa seperti hari yang berbeda, penuh ketegangan yang menggantung di udara. Vanessa, yang selama ini menjaga jarak namun tak pernah bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh dalam hatinya, memutuskan untuk menghadapi Nathaniel. Keputusan itu datang setelah berhari-hari bergulat dengan dirinya sendiri, berusaha meyakinkan dirinya bahwa inilah waktu yang tepat untuk menyampaikan apa yang selama ini terpendam.Di ruang kantor yang terang, Vanessa menghampiri Nathaniel yang sedang sibuk memeriksa laporan, matanya terfokus pada dokumen yang ada di meja. Suasana di sekitar mereka terasa tenang, namun bagi Vanessa, detak jantungnya begitu keras, seolah seluruh dunia hanya berputar di antara langkah kakinya menuju Nathaniel."Ada yang bisa saya bantu, Vanessa?" Nathaniel bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen di tangannya, suara datar yang biasa ia gunakan saat bekerja. Meskipun tampaknya ia tidak menyadari ketegangan yang muncul di antara mereka, Vanessa bisa merasakan j
Hari-hari setelah percakapan antara Nathaniel dan Vanessa berjalan dengan cepat, namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Nathaniel. Meski ia berusaha kembali fokus pada pekerjaannya, rasa lega yang ia rasakan setelah mengungkapkan batasannya kepada Vanessa tak mampu menghilangkan keraguan yang mulai muncul dalam dirinya. Nathaniel menyadari bahwa ada seseorang yang kini membuatnya merasa berbeda, seseorang yang berhasil menembus dinding es yang selama ini ia bangun begitu rapat.Arissa.Meskipun mereka hanya berbicara sesekali, setiap percakapan dengan Arissa terasa lebih mudah, lebih nyaman. Seiring berjalannya waktu, Nathaniel merasa ada kedekatan yang semakin tumbuh di antara mereka. Perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi itu lebih seperti sebuah ketenangan yang mengalir ketika mereka berada bersama. Sesuatu yang jarang ia rasakan dalam hidupnya yang penuh dengan tuntutan dan tekanan.Pada suatu sore yang cerah, setelah seharian bekerja keras
Ruangan itu terasa sunyi setelah kepergian Damien. Semua orang di dalamnya perlahan mulai kembali ke aktivitas masing-masing, tetapi bagi Nathaniel, dunia seakan berhenti.Ia berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Damien. Ada sesuatu yang begitu pahit dalam keheningan ini—sebuah perasaan yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Arissa memperhatikan Nathaniel dengan penuh kekhawatiran. Pria itu tampak begitu tenang di permukaan, tetapi ia tahu bahwa di dalam hatinya, Nathaniel sedang berjuang dengan emosi yang begitu rumit.Nathaniel telah memenangkan pertempuran ini. Ia telah berhasil melindungi perusahaan, mengungkap pengkhianatan, dan menyingkirkan ancaman dari dalam. Namun, mengapa ia tidak merasakan kelegaan?Seharusnya ia merasa puas. Seharusnya ia bisa merayakan keberhasilannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.Nathaniel menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Seh
Langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan ketegangan yang memenuhi ruang rapat utama perusahaan. Semua pemegang saham, dewan direksi, dan eksekutif utama sudah berkumpul, menanti pertemuan yang telah diumumkan secara mendadak oleh Nathaniel.Damien duduk di salah satu kursi panjang di dekat ujung meja. Raut wajahnya tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik sikap percaya diri yang dibuat-buat.Di sisi lain ruangan, Nathaniel berdiri tegap di depan layar presentasi, ekspresinya penuh ketegasan. Di sampingnya, Arissa duduk dengan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Inilah saatnya untuk mengungkap segalanya.Nathaniel menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara lantang.“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk membahas masa depan perusahaan, tetapi juga untuk mengungkap sesuatu yang selama i
Ketegangan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Arissa bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, tetapi ia menolak untuk mundur. Saat ini, Nathaniel membutuhkan keberaniannya lebih dari sebelumnya.Nathaniel berdiri tegap, tetapi Arissa tahu hatinya pasti berantakan. Menghadapi pengkhianatan dari saudaranya sendiri adalah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertempuran bisnis. Dan kini, ia harus menjadi orang yang mengungkap semuanya, meskipun itu berarti memperburuk hubungan Nathaniel dengan keluarganya sendiri.Arissa menarik napas dalam, menatap Damien yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku tidak ingin berada dalam situasi ini, Damien," katanya dengan suara tenang, tetapi tegas. "Aku lebih suka melihat kalian tetap menjadi saudara yang saling mendukung. Tapi setelah semua yang kau lakukan, aku tidak bisa diam saja."Damien mendengus. "Kau pikir kau siapa, Arissa? Ini bukan urusanmu.""Aku adalah seseorang yang pedu
Nathaniel dan Damien berdiri berhadapan, kedua pria itu saling menatap dengan sorot mata tajam yang penuh emosi.Tak ada lagi kehangatan di antara mereka. Tak ada lagi rasa persaudaraan yang dulu pernah mereka banggakan.Nathaniel mengepalkan tangannya erat. Ia tidak pernah menyangka bahwa hari di mana ia harus menghadapi Damien seperti ini akan tiba."Kau benar-benar sudah berubah," kata Nathaniel dengan suara berat, mencoba menekan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Damien tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Aku tidak berubah, Nathaniel. Aku hanya akhirnya berhenti menjadi bayanganmu.""Tapi dengan cara seperti ini?" Nathaniel balas bertanya dengan nada tak percaya. "Mengkhianati keluarga? Bekerja sama dengan Markus, orang yang selama ini ingin menghancurkan kita?"Damien mendengus. "Keluarga? Kata itu tidak pernah berarti apa pun untukku. Keluarga yang mana? Keluarga yang selalu mengutamakanmu? Keluarga yang hanya melihatku
Ruangan terasa begitu sunyi meskipun ketegangan memenuhi udara. Nathaniel berdiri tegak di depan Damien, menatap langsung ke mata lelaki yang selama ini ia anggap sebagai saudara kandungnya. Wajahnya tidak menunjukkan amarah yang meledak-ledak, tetapi dingin, tajam, dan penuh kekecewaan.Damien, di sisi lain, terlihat lebih santai. Ia bersandar pada kursinya dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak terpengaruh oleh tatapan menusuk Nathaniel. Namun, matanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran antara kebencian, kelelahan, dan sedikit rasa bersalah.Mereka telah menghindari konfrontasi ini cukup lama. Tapi malam ini, semuanya harus diselesaikan."Apa yang kau inginkan, Damien?" suara Nathaniel terdengar tenang, tetapi dingin.Damien mengangkat bahu. "Akhirnya kau memutuskan untuk bertanya." Ia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Apa yang kau inginkan, Nathaniel? Kau sudah memiliki segalanya—kekuasaan,
Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Malam telah larut, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian yang baru saja terjadi. Pengkhianatan Damien bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga merobek bagian terdalam dari hatinya.Saudara kandungnya sendiri.Orang yang selama ini ia lindungi.Orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga—ternyata menikamnya dari belakang tanpa ragu.Tangannya mengepal di atas meja, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Emosi dalam dirinya bergejolak seperti badai yang siap menghancurkan segalanya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tetapi di saat yang bersamaan, ada rasa hampa yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya kehilangan warnanya.Arissa berdiri di ambang pintu, memperhatikan Nathaniel dalam keheningan. Ia tahu bahwa pria itu sedang berada di titik terendahnya saat ini. Luka karena dikhi
Arissa duduk di ruang kerjanya, menatap berkas-berkas di depannya dengan perasaan campur aduk. Sejak menemukan bukti pengkhianatan Damien, hatinya terasa begitu berat. Ia tahu bahwa kebenaran ini akan menghancurkan Nathaniel, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan pria yang dicintainya terus percaya pada seseorang yang diam-diam menikamnya dari belakang.Tangannya gemetar saat mengambil dokumen terakhir—rekaman transaksi rahasia yang menghubungkan Damien dengan Markus. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Fakta-fakta ini terlalu jelas untuk diabaikan.Arissa memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri. Sudah saatnya ia memberi tahu Nathaniel.Nathaniel berada di ruang kerja pribadinya ketika Arissa mengetuk pintu. Pria itu terlihat sibuk, tetapi begitu melihat ekspresi serius di wajah Arissa, ia segera meletakkan dokumen yang sedang dibacanya."Ada apa?" tanyanya, suaranya tetap tenang, tetapi sorot matanya tajam, menyadari bahwa sesuatu yang penting a
Arissa menatap layar laptopnya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membaca serangkaian pesan terenkripsi yang baru saja berhasil dipecahkan oleh tim investigasi. Pesan-pesan itu bukan hanya bukti transaksi mencurigakan, tetapi juga percakapan rahasia antara seseorang di dalam perusahaan dengan Markus.Setiap kata yang tertulis di sana seperti belati yang menusuk dada Arissa. Ia tidak pernah menyangka bahwa pengkhianatnya adalah seseorang yang begitu dekat dengan Nathaniel.Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya sebelum melanjutkan membaca. Salah satu pesan terakhir yang ditemukan berbunyi:"Segera pastikan Nathaniel kehilangan dukungan dewan. Aku akan urus sisanya."Dan pengirimnya… adalah Damien.Arissa terhenyak. Damien, saudara kandung Nathaniel sendiri?Arissa selalu tahu bahwa hubungan Nathaniel dan Damien tidak sehangat saudara kandung pada umumnya. Namun, ia tidak pernah berpikir bahwa Damien akan tega melakukan hal seperti ini—mengkhianat
Setelah semua yang terjadi, Arissa tidak lagi hanya berdiri di sisi Nathaniel sebagai pendukung emosional. Ia kini terlibat secara aktif dalam mencari kebenaran. Markus memang telah kehilangan sebagian besar kekuatannya, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya.Arissa duduk di depan laptopnya, membaca ulang dokumen-dokumen yang berhasil dikumpulkan tim investigasi Nathaniel. Matanya menelusuri angka-angka, kontrak, serta transaksi yang mencurigakan.Ia menarik napas dalam-dalam. "Ini tidak masuk akal…" gumamnya.Nathaniel yang baru saja selesai berbicara dengan tim hukumnya menghampiri. "Apa yang kau temukan?""Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecurangan Markus," jawab Arissa serius. "Beberapa transaksi ini… terlihat seperti manipulasi yang sudah berlangsung lama. Bahkan sebelum Markus mulai menunjukkan ambisinya secara terbuka."Nathaniel mengernyit. "Kau yakin?"Arissa mengangguk. "Ya. Aku pikir Markus bukan satu-satunya dalang dalam semua ini."Sema