Evan menghela napas dalam, lalu mendekati Alana seraya menuntunnya menuju ke mobil yang sudah terparkir di halaman kantor."Kamu pulanglah. Orang itu sangat menyebalkan," ujar Evan."Ah, iya. Kalau begitu, semangat kerjanya, ya. Aku pulang dulu." Alana mencium punggung tangan Evan lagi."Iya, hati-hati di jalan." Evan menutup pintu mobil, lalu berjalan kembali ke arah Felix yang sebelumnya sempat menyapa.Evan sedikit malas menghampiri sepupunya itu. Namun, ia khawatir jika Felix menyebarkan rumor buruk pada Dody dan rekan-rekannya."Iya, itu istriku. Dia datang kemari mengantarkan dokumen yang tertinggal," ujar Evan seraya merangkul Felix.Felix tersenyum canggung. Ia terlihat tidak nyaman saat dirangkul Evan."Oh, bisakah kamu melepasku?" ujar Felix yang terus melirik ke arah Dody yang baru saja datang."Kenapa? Rasanya sudah lama kita tidak sedekat ini," bisik Evan sambil tertawa geli.Evan tahu jika Dody sedang berjalan ke arahnya. Karena itulah ia berusaha untuk terlihat begitu d
"Alana? Dimana Evan?"Alana hanya diam, masih tidak menyangka jika akan terjadi pertemuan yang tak disangka itu."Evan masih di kantor. Aku datang dengan temanku," ucap Alana sambil menarik tangan Cherry."Ah, hallo. Aku Alvin," ucap pria itu mengulurkan tangannya, mengajak Cherry berjabat tangan."Saya Cherry, asisten pribadi Bu Alana," ucap Cherry dengan wajah datarnya."Asisten? Alana bilang…" Alvin menggaruk kepala yang tak gatal."Aku sudah menganggapnya seperti temanku sendiri," jawab Alana tertawa kecil.Alvin tertawa kecil seraya menatap Cherry dengan tatapan aneh. Bagaimana mungkin seorang perempuan terlihat begitu dingin dan kaku? Itulah yang seringkali tersirat dalam benak beberapa lelaki saat pertama kali bertemu asisten Alana tersebut.Alana dan Alvin merasa canggung, padahal sebelumnya mereka begitu dekat layaknya seorang sahabat tempat berbagi cerita.Fakta tentang Alana yang merupakan seorang istri dari Evanders Lucio membuat Alvin merasa tidak nyaman dan ragu jika har
Desy dan Rudi seketika terkejut. Mereka langsung terdiam sesaat ketika diteriaki Alana."Jangan lakukan itu pada Bella?""Memangnya kenapa Alana?" Desy mengerutkan alis."Berapa sendok yang Ibu berikan pada Bella?" Wajah Alana merah padam, emosi seakan menyelimutinya."Baru saja mau Ibu suapi," ujar Desy yang masih bingung dengan Alana.Alana buru-buru menyambar Bella dari pangkuan Desy. Ia tidak rela kalau sampai anaknya diberi makan pisang di saat belum cukup umur."Apa Ibu tahu jika MPASI dini itu berbahaya? Apalagi Bella ini bayi prematur yang organnya belum benar-benar sempurna!" hardik Alana, yang sudah sangat marah."Apa maksudmu Alana? Brian saja dulu Ibu kasih pisang saat umur empat puluh hari. Lihatlah, dia tumbuh sehat dan tidak ada penyakit apa pun di tubuhnya!" terang Desy yang membuat emosi Alana semakin memuncak."Kondisi setiap anak itu beda-beda. Sudah kubilang kalau Bella itu terlahir prematur, tidak bisa sembarangan memberi makan!""Dia itu tidak berhenti menangis me
"Alana?" Evan tersentak sesaat setelah melihat Alana yang baru saja keluar dari kamar mandi.Dengan perasaan bingung bercampur panik, Evan pun buru-buru melepaskan pelukannya dari perempuan yang entah dari mana datangnya itu."Apa yang kamu lakukan?" Alana menghampiri Evan dengan penuh amarah."Aku pikir dia itu kamu!" timpal Evan."Harusnya kamu lihat dulu! Memangnya tidak bisa mengenali istri sendiri?" Emosi Alana semakin menggebu-gebu."Mana aku tahu! Kenapa kamu membiarkan orang lain masuk ke kamar kita?"Untuk pertama kalinya Evan merasa kesal pada Alana. Ia berpikir jika istrinya itu selalu saja menyalahkan dirinya. Padahal selama ini dia selalu memberikan yang terbaik untuk sang istri."Anu, maaf mungkin salahku yang sembarangan masuk ke kamarmu!" ucap Rena yang kini berdiri mendekati Alana."Iya, ini salahmu! Sejak awal kamu sudah membuat Alana meragukanku! Kamu membuat cerita seolah aku yang salah!" Evan meneriaki Rena, meluapkan semua amarah yang selama ini ditahannya.Air ma
"Terima kasih," jawab Alana yang langsung mengusap air matanya dengan saputangan tersebut."Kenapa menangis di taman begini?"Alana tak menjawabnya, malah terus mengusap air mata yang entah kapan akan berhenti."Apa aku mengganggumu?""Tidak, aku bingung harus bilang apa. Masalahmu yang kamu ceritakan dulu lebih berat dari masalahku. Aku merasa malu padamu, Alvin," sahut Alana.Alvin hanya tersenyum, seraya menatap pasangan muda yang sedang Alana perhatikan. Seakan paham dengan apa yang sedang perempuan itu pikirkan."Kulihat Evan begitu mencintaimu. Dia sangat tulus, bahkan kudengar dia sampai berpura-pura miskin segala." Alvin tiba-tiba tertawa geli."Apanya yang lucu?""Tentu saja lucu. Tidak ada laki-laki sebodoh Evan yang mengejar cinta sampai pura-pura miskin begitu. Kalau pura-pura kaya sih, banyak," jawab Alvin yang masih terus tertawa membayangkan pewaris Lucio Group tersebut sedang berpura-pura miskin.Air mata Alana berhenti menetes. Entah kenapa ia mulai tertarik dengan pe
"Maaf, Pak. Saya akan menjelaskan semuanya! Tolong Bapak jangan emosi dulu!" Cherry berusaha menahan Evan yang kini sedang berjalan menghampirinya."Menjelaskan apa? Mendengar pengakuan dia yang menyukai Alana?" Evan berteriak kencang, membuat beberapa orang yang sedang melintas meliriknya dengan sinis.Seorang perawat yang menyaksikan keributan tersebut langsung menghampiri sambil jalan tergesa-gesa."Maaf, kalau mau ribut tolong di luar saja!" ucap perawat tersebut."Maaf, kami tidak akan ribut lagi," ucap Danu yang buru-buru menghampiri perawat tadi.Evan berusaha menahan emosinya, lalu duduk kembali ke tempat semula. Berusaha mengabaikan Alvin yang wajahnya dipenuhi babak belur.Begitupun dengan Cherry dan Alvin yang turut duduk di samping Evan."Pak, ini semua tidak seperti yang Anda pikirkan." Cherry sengaja duduk di tengah Evan dan Alvin untuk menengahi mereka.Evan tak menjawab ucapan asistennya itu, merasa kecewa pada Cherry yang tampak membela Alvin."Aku tidak sengaja bertem
"Aku sangat bodoh! Gara-gara aku, Alana jadi begini," oceh Evan, seraya mengacak-acak rambutnya dengan perasaan kesal."Sudah, Pak. Yang terpenting sekarang Bu Alana sudah ditangani. Memang Dokter bilang apa?" Danu berusaha menghibur Evan meski dirinya tengah terluka."Luka bagian dalam terbuka kembali karena Alana mengalami benturan. Dan itu semua gara-gara aku!" Evan menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa frustasi karena perasaan bersalahnya.Cherry dan Alvin hanya saling pandang, ingin menghibur, tetapi ragu karena masalah ini terjadi masih ada kaitannya dengan mereka."Pak Evanders… Ibu Alana sudah dipindah ke ruang rawat. Bapak sudah bisa menemuinya sekarang," ujar seorang perawat yang baru saja datang.Evan bergegas mengikuti perawat, begitu juga dengan kedua asistennya dan Alvin yang turut mengikuti dari belakang.Sesampainya di ruang perawatan, Evan buru-buru masuk, meninggalkan ketiga orang yang mengikutinya tadi.Saat berada di dalam ruangan, Evan buru-buru menghampiri
Evan langsung menelepon Renald dengan wajah kesalnya."Selamat malam, ada apa Pak Evan?" Suara Renald terdengar datar."Tutup semua akses keluar. Jangan sampai ada yang meninggalkan rumah sebelum aku datang," titah Evan dengan nada meninggi, saking kesalnya."Baik, Pak. Ada lagi?""Tidak ada, itu saja!" ujar Evan yang langsung menutup panggilan telepon.Evan lanjut menonton video tersebut, bahkan di dalamnya terekam adegan saat ia tak sengaja mendorong Alana, membuat hatinya langsung hancur seketika."Alana, maaf soal kejadian ini." Evan menatap istrinya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah."Sudahlah, itu sudah terjadi. Cukup dijadikan pelajaran untuk kedepannya saja agar tidak menuruti emosi sesaat.""Iya, aku tidak akan melakukannya lagi."Melihat Alana dan Evan dalam hubungan yang baik, Desy yang semula was-was pun kini merasa lega, berpikir bisa menikmati fasilitas milik sang menantu dalam waktu lama."Jadi, kapan kamu akan pulang, Alana?" tanya Rudi."Aku ingin secepatnya, tap