"Alana?" Evan tersentak sesaat setelah melihat Alana yang baru saja keluar dari kamar mandi.Dengan perasaan bingung bercampur panik, Evan pun buru-buru melepaskan pelukannya dari perempuan yang entah dari mana datangnya itu."Apa yang kamu lakukan?" Alana menghampiri Evan dengan penuh amarah."Aku pikir dia itu kamu!" timpal Evan."Harusnya kamu lihat dulu! Memangnya tidak bisa mengenali istri sendiri?" Emosi Alana semakin menggebu-gebu."Mana aku tahu! Kenapa kamu membiarkan orang lain masuk ke kamar kita?"Untuk pertama kalinya Evan merasa kesal pada Alana. Ia berpikir jika istrinya itu selalu saja menyalahkan dirinya. Padahal selama ini dia selalu memberikan yang terbaik untuk sang istri."Anu, maaf mungkin salahku yang sembarangan masuk ke kamarmu!" ucap Rena yang kini berdiri mendekati Alana."Iya, ini salahmu! Sejak awal kamu sudah membuat Alana meragukanku! Kamu membuat cerita seolah aku yang salah!" Evan meneriaki Rena, meluapkan semua amarah yang selama ini ditahannya.Air ma
"Terima kasih," jawab Alana yang langsung mengusap air matanya dengan saputangan tersebut."Kenapa menangis di taman begini?"Alana tak menjawabnya, malah terus mengusap air mata yang entah kapan akan berhenti."Apa aku mengganggumu?""Tidak, aku bingung harus bilang apa. Masalahmu yang kamu ceritakan dulu lebih berat dari masalahku. Aku merasa malu padamu, Alvin," sahut Alana.Alvin hanya tersenyum, seraya menatap pasangan muda yang sedang Alana perhatikan. Seakan paham dengan apa yang sedang perempuan itu pikirkan."Kulihat Evan begitu mencintaimu. Dia sangat tulus, bahkan kudengar dia sampai berpura-pura miskin segala." Alvin tiba-tiba tertawa geli."Apanya yang lucu?""Tentu saja lucu. Tidak ada laki-laki sebodoh Evan yang mengejar cinta sampai pura-pura miskin begitu. Kalau pura-pura kaya sih, banyak," jawab Alvin yang masih terus tertawa membayangkan pewaris Lucio Group tersebut sedang berpura-pura miskin.Air mata Alana berhenti menetes. Entah kenapa ia mulai tertarik dengan pe
"Maaf, Pak. Saya akan menjelaskan semuanya! Tolong Bapak jangan emosi dulu!" Cherry berusaha menahan Evan yang kini sedang berjalan menghampirinya."Menjelaskan apa? Mendengar pengakuan dia yang menyukai Alana?" Evan berteriak kencang, membuat beberapa orang yang sedang melintas meliriknya dengan sinis.Seorang perawat yang menyaksikan keributan tersebut langsung menghampiri sambil jalan tergesa-gesa."Maaf, kalau mau ribut tolong di luar saja!" ucap perawat tersebut."Maaf, kami tidak akan ribut lagi," ucap Danu yang buru-buru menghampiri perawat tadi.Evan berusaha menahan emosinya, lalu duduk kembali ke tempat semula. Berusaha mengabaikan Alvin yang wajahnya dipenuhi babak belur.Begitupun dengan Cherry dan Alvin yang turut duduk di samping Evan."Pak, ini semua tidak seperti yang Anda pikirkan." Cherry sengaja duduk di tengah Evan dan Alvin untuk menengahi mereka.Evan tak menjawab ucapan asistennya itu, merasa kecewa pada Cherry yang tampak membela Alvin."Aku tidak sengaja bertem
"Aku sangat bodoh! Gara-gara aku, Alana jadi begini," oceh Evan, seraya mengacak-acak rambutnya dengan perasaan kesal."Sudah, Pak. Yang terpenting sekarang Bu Alana sudah ditangani. Memang Dokter bilang apa?" Danu berusaha menghibur Evan meski dirinya tengah terluka."Luka bagian dalam terbuka kembali karena Alana mengalami benturan. Dan itu semua gara-gara aku!" Evan menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa frustasi karena perasaan bersalahnya.Cherry dan Alvin hanya saling pandang, ingin menghibur, tetapi ragu karena masalah ini terjadi masih ada kaitannya dengan mereka."Pak Evanders… Ibu Alana sudah dipindah ke ruang rawat. Bapak sudah bisa menemuinya sekarang," ujar seorang perawat yang baru saja datang.Evan bergegas mengikuti perawat, begitu juga dengan kedua asistennya dan Alvin yang turut mengikuti dari belakang.Sesampainya di ruang perawatan, Evan buru-buru masuk, meninggalkan ketiga orang yang mengikutinya tadi.Saat berada di dalam ruangan, Evan buru-buru menghampiri
Evan langsung menelepon Renald dengan wajah kesalnya."Selamat malam, ada apa Pak Evan?" Suara Renald terdengar datar."Tutup semua akses keluar. Jangan sampai ada yang meninggalkan rumah sebelum aku datang," titah Evan dengan nada meninggi, saking kesalnya."Baik, Pak. Ada lagi?""Tidak ada, itu saja!" ujar Evan yang langsung menutup panggilan telepon.Evan lanjut menonton video tersebut, bahkan di dalamnya terekam adegan saat ia tak sengaja mendorong Alana, membuat hatinya langsung hancur seketika."Alana, maaf soal kejadian ini." Evan menatap istrinya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah."Sudahlah, itu sudah terjadi. Cukup dijadikan pelajaran untuk kedepannya saja agar tidak menuruti emosi sesaat.""Iya, aku tidak akan melakukannya lagi."Melihat Alana dan Evan dalam hubungan yang baik, Desy yang semula was-was pun kini merasa lega, berpikir bisa menikmati fasilitas milik sang menantu dalam waktu lama."Jadi, kapan kamu akan pulang, Alana?" tanya Rudi."Aku ingin secepatnya, tap
Ternyata ancaman Evan tak membuat si pelaku mau menunjukan batang hidungnya. Karenanya, ia lebih memilih untuk melanjutkan saran dari Renald."Kumpulkan semua ponsel kalian sekarang juga!" bentak Evan.Awalnya para pelayan tampak ragu, tetapi pada akhirnya lebih memilih untuk memberikan ponsel mereka karena terus ditekan oleh Evan.Setelah semuanya selesai mengumpulkan ponsel. Evan langsung mengecek satu persatu, tetapi hasilnya nihil. Hingga sesaat kemudian ia menelepon seseorang yang tak lain adalah temannya."Ada apa Evan? Kenapa kamu telepon tengah malam begini?""Cepat datang kemari!" hardik Evan yang kesal karena temannya itu bermalas-malasan."Hey, dasar menyebalkan, meneleponku malam-malam begini cuma untuk marah-marah!""Tiga kali lipat dari honor biasa!" ucap Evan."Aku meluncur ke sana. Berikan alamatmu," pinta temen Evan tersebut.Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya teman Evan yang merupakan peretas itu pun sampai dengan membawa laptop andalannya."Jadi, apa ya
"Apa maksudmu, Deo?" Evan duduk di samping temannya itu."Aku hanya iseng mengecek keadaan rumahmu. Kejadian ini semakin membuatku yakin jika ada orang yang sedang berusaha mengintai. Lalu, lihatlah ini!" Teman Evan yang bernama Deo itu langsung menunjukan layar laptopnya.Di layar laptop tersebut terlihat gambar rumah Evan dari sudut pandang CCTV yang berada di dekat pintu keluar. Namun, ada hal yang sedikit aneh, ada beberapa titik warna merah yang tersebar di beberapa sudut ruangan."Ada apa dengan titik merah ini?" Evan mengerutkan alis, menatap layar laptop dengan sangat serius."Aku telah merancang aplikasi khusus untuk mendeteksi alat penyadap, karena mendengar penjelasan pelayanmu tadi, aku jadi penasaran dengan yang terjadi di rumahmu. Lalu inilah yang terjadi," terang Deo.Saat itu juga, Evan menelepon Danu dan Cherry karena malas mendatangi kamar kedua asistennya itu.Dalam waktu dua menit, Cherry langsung datang. Berbanding dengan Danu yang datang sepuluh menit kemudian.S
Evan lagi-lagi dibuat emosi oleh Danu. Ia pun beranjak menghampiri sang bawahan yang sedang tergeletak di lantai."Danu, bangunlah!" Evan menepuk-nepuk pipi bawahannya itu dan mengguncang-guncangnya.Danu seketika tersadar karena penyebab pingsannya terlalu sepele."Ada hantu, Pak?" Danu menunjuk ke arah sofa."Bodoh! Dia tidak meninggal!" seru Evan."Waktu itu dia berdarah, lalu menutup mata." Danu mengoceh sambil terus menunjuk ke arah Sasa yang tengah duduk di sofa.Sasa hanya tersenyum simpul saat dirinya disebut hantu oleh Danu sampai berulang kali. Seperti baru kemarin perempuan itu terlihat sangat mengenaskan dengan darah yang memenuhi wajahnya. Namun, kini perempuan itu sudah terlihat membaik, tak ada sedikit pun luka di wajahnya."Selamat pagi Pak Danu. Saya masih sehat seperti ini, kenapa dibilang hantu?" Sasa menghampiri Danu yang masih terus mengoceh itu."T-tapi, kemarin…" Wajah Danu pucat, saking ketakutannya."Sudahlah! Jangan penakut begitu! Mana ada hantu di pagi hari!