Keesokan harinya .... Ketika matahari masih bersembunyi di ufuk timur, Wulansari dan kedua pengawalnya sudah pamit kepada Arini dan suaminya, serta pamit juga kepada Saketi dan dua pengawal pribadinya. Pagi itu ia dan kedua pengawalnya akan melakukan perjalanan jauh ke barat, untuk segera menjumpai Prabu Erlangga di istana kerajaan yang berada di kuta utama—Kuta Tandingan. Sementara Saketi dan Sami Aji masih duduk santai sambil menikmati segarnya udara pagi ditemani minuman hangat dan ubi rebus serta pisang rebus yang disajikan oleh Arini untuk sarapan pagi mereka. Juanda pagi itu sedang bersama Ki Wilata, berbincang-bincang di saung kecil yang ada di belakang rumah sembari menikmati udara segar pagi itu. Hari itu, Saketi dan kedua pengawalnya berencana akan melanjutkan perjalanan dengan tujuan utama ingin ingin bergabung bersama para prajurit kerajaan yang ada di perbatasan. Setelah itu, mereka akan masuk ke Sirnabaya untuk merebut kembali pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata
Junada hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian duduk di sebelah Sami Aji yang tengah mempersiapkan makanan yang dibekalkan oleh Arini untuk makan siang mereka selama dalam perjalanan. Ketiga pendekar itu, langsung memakan bekal makanan tersebut penuh kenikmatan dalam sebuah kebersamaan. Meskipun, makanan yang diberikan Arini tidak sesuai dengan makanan yang biasa mereka makan ketika berada di istana. Setelah selesai makan, Saketi dan Sami Aji langsung beristirahat sejenak. Sementara Junada segera bergegas menuju ke sebuah sungai yang berada tidak jauh dari lokasi peristirahatan tersebut. Junada hendak melaksanakan Salat Zuhur, karena hanya dialah yang mempunyai keyakinan berbeda dengan dua kesatria istana itu. "Sebaiknya kita istirahat saja dulu sambil menunggu Paman Junada sedang melaksanakan salat!" desis Saketi menoleh ke arah saudara sepupunya. Sami Aji hanya mengangguk pelan. Kemudian merebahkan tubuhnya di atas tanah yang hanya diberi alas dedaunan saja. Sel
Pagi itu, Rangkuti masih tertidur nyenyak di atas bebalean yang terbuat dari batang bambu dan hanya beralaskan sehelai kain saja. Bebalean tersebut berada di dalam gubuk sederhana yang berdiri kokoh di pinggiran hutan yang ada di wilayah kepatihan Waluya Jaya. Rangkuti terbangun ketika hari sudah menjelang siang. Entah apa yang ada dalam pikiran anak seusia itu? Tiba-tiba saja, ia menangis dan sukar untuk diberikan pengertian. "Rangkuti, diamlah! Kau sekarang aman bersama Paman!" seru Abdullah sambil menggendong anak laki-laki berparas tampan itu. "Kau ini anak yang baik, diamlah!" Abdullah terus berusaha untuk meredam tangisan Rangkuti. "Aku ingin bertemu dengan bopok dan biung, Paman," sahut Rangkuti berbicara dengan suara yang tidak jelas karena disertai tangisan yang tak henti-hentinya. Air matanya yang deras seakan-akan melukiskan kesedihan yang teramat mendalam yang tengah ia rasakan kala itu. "Besok kita ke istana kerajaan! Bukankah kau ingin melihat istana megah?" tanya Ab
Demikianlah, Rasmini langsung menghampiri Abdullah dan Rangkuti yang sudah bersiap untuk meninggalkan istana, karena tidak mendapatkan izin dari para prajurit penjaga istana untuk bertemu dengan sang raja. "Tunggu, Anak muda!" seru Rasmini sedikit berlari menghampiri Abdullah yang sudah bersiap hendak menaiki kudanya. Dengan demikian, Abdullah pun menghentikan langkahnya. Lalu berbalik arah dan meluruskan pandangannya ke wajah Rasmini tanpa mengucap sepatah kata pun. "Ratu meminta kalian untuk masuk, dan berikan kudamu kepada prajurit! Biarkan mereka yang mengurusnya!" kata Rasmini lirih. Abdullah hanya mengangguk dan segera menyerahkan kudanya kepada prajurit yang berjaga di pintu gerbang istana. Lalu, melangkahkan kakinya mengikuti Rasmini sambil menggendong Rangkuti masuk ke area halaman istana. Rasmini pun langsung membawa Abdullah dan Rangkuti menghadap Ratu Arimbi yang sudah menunggu mereka di pendapa istana bersama seorang pelayan. Tiba di hadapan sang ratu, Abdullah langs
Pada hari itu, Saketi tengah bertarung dengan orang-orang yang tidak ia kenal, yang secara tiba-tiba menghadang perjalanannya bersama Junada dan Sami Aji. "Sebaiknya kalian tidak perlu berurusan dengan kami! Aku tidak ingin melukai kalian karena hal bodoh yang kalian lakukan ini!" seru Saketi sambil meluruskan dua bola matanya yang tajam ke arah orang-orang yang menghadang perjalanannya. "Maaf, Pangeran. Biarkan hamba yang menangani mereka!" timpal Sami Aji menghunus pedangnya dan maju dua langkah mendekati sang pangeran. Saketi berpaling ke arah Sami Aji yang sudah berdiri di sampingnya. Lalu, menjawab sambil tersenyum, "Tidak perlu! Kau dan Paman Junada istirahat saja, biarkan aku yang menghadapi mereka!" cegah Saketi sambil tersenyum lebar. Dengan demikian, Sami Aji pun kembali surut dan segera memasukkan pedang dalam genggaman tangannya ke dalam selongsongnya. Demikianlah, orang-orang tersebut langsung melancarkan serangan terhadap Saketi. Mereka dengan sangat ganasnya berusah
Saketi tersenyum-senyum memandang wajah para pendekar tersebut, kemudian berkata, “Benar, ini adalah wilayah kerajaan Sanggabuana yang aman dan tentram, serta memiliki daerah yang luas dan memiliki kekuatan yang tiada taranya di belahan bumi ini. Sebaiknya kalian bergabung saja dengan pihak kerajaan! Prabu Erlangga tantu akan menerima dengan senang hati!" Mendengar perkataan dari Saketi, para pendekar itu seperti merasa ketakutan dan tidak berani lagi untuk melanjutkan aksi mereka dalam melakukan penghadangan terhadap Saketi dan dua pengawalnya. Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan ajakan Saketi yang meminta mereka untuk bergabung dengan pihak kerajaan Sanggabuana. Meskipun demikian, Saketi tidak merasa jera. Ia kembali mengajak para pendekar tersebut agar mau bergabung dengan pihak kerajaan dan mengakhiri aksi mereka yang sangat meresahkan itu. "Aku akan senang sekali jika kalian mau bergabung dengan pihak kerajaan," ujar Saketi maju beberapa langkah mendekati posisi berdirinya p
Junada berpaling ke arah Saketi. Kemudian, ia menjawab, “Apakah kau percaya jika Paman mengatakan ini?” Junada balas bertanya sambil tersenyum-senyum. “Tentu, Paman. Karena aku tidak mengenali mereka, dan mereka pun baru kali ini berhadapan denganku. Aku sangat percaya akan pengalaman Paman." Dengan demikian, maka Junada pun langsung menjelaskan apa yang ia ketahui dari dugaannya tersebut. "Paman sangat mengenali Loka Darma, ada kemungkinan para pendekar tadi merupakan bagian dari kelompok pimpinan Loka Darma," tutur Junada. "Mereka sangat mahir dalam melakukan pertarungan, sangat disayangkan jika mereka tidak mau bergabung dengan kerajaan," timpal Sami Aji mulai angkat bicara. Setelah itu, Saketi langsung mengajak Junada dan Sami Aji untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju wilayah perbatasan kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya. Mereka menunggangi kuda berpacu semakin cepat. Mereka ingin segera sampai ke barak prajurit kerajaan Sanggabuana yang berada
Dengan demikian, Saketi kembali memacu derap langkah kudanya menuju ke dalam desa tersebut. Saat itu mereka hendak mencari warung, untuk sekadar makan siang dan melakukan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju barak prajurit. Tiba di sebuah warung makan, mereka langsung turun dari kuda mereka dan segera melangkah masuk ke dalam warung tersebut untuk melaksanakan makan siang terlebih dahulu sebelum mencari tempat istirahat. "Silakan duduk, Raden!" sambut pria paruh baya–sang pemilik warung makan tersebut mengarah kepada Saketi. "Iya, Ki. Terima kasih banyak," jawab Saketi ramah. Kemudian, ia dan kedua pengawalnya langsung duduk di tempat yang sudah disediakan. "Tolong buatkan makanan untuk kami, Ki! Pakai ikan bakar saja!" pinta Saketi kepada sang pemilik warung. "Baik, Raden. Mohon ditunggu sebentar!" Pria paruh baya itu langsung berlalu dari hadapan ketiga pendekar itu, untuk segera menyiapkan makanan yang dipesan oleh Saketi. Usai makan siang, Saketi, Junada, d