Nenek Bunga Seruni mengajak Sekar Pandan keluar kamar. Keduanya melewati Selasih. Wanita itu segera memejamkan mata, pura-pura tidur bersandar dinding. Sekar Pandan meliriknya dengan penuh curiga.
"Ayo, Sekar."Nenek Bunga Seruni segera menarik lengan Sekar Pandan agar lebih cepat. Selasih membuka mata dengan hati-hati. Bau harum Sekar Pandan tertinggal di hidungnya. Dia masih bisa menangkap bayangan punggung mereka keluar rumah.Pandangan Sekar Pandan tertuju pada Asta Renggo yang duduk bersila. Raden Prana Kusuma pun masih duduk bersila. Raut wajahnya dalam remang malam tampak tenang dalam semadi. Gadis itu heran, Raden Prana Kusuma sangat suka bersemadi."Kenapa? Gagah dan tampan, bukan?" ledek Nenek Bunga Seruni mengulum senyum. Wanita itu berjalan mendahului Dewi Bunga Malam menuju rumah yang ada di samping pondok kayu tempat tinggal si nenek. Tangannya mengambil sebuah benda dari balik ikat pinggang. Dengan benda itu dia membuka pintuRaden Prana Kusuma membuka matanya. Tubuhnya terasa segar dan penuh dengan kekuatan baru. Hawa dingin yang berasal dari sungai dingin justru menambah kekuatan tenaga dalamnya. Pemuda itu merasa heran dengan kekuatan tenaga dalamnya yang mengalami peningkatan. Dilihatnya Asta Renggo, pria itupun telah menyelesaikan semadinya. Pemuda hitam manis itu melempar senyum padanya."Kau masih di sini?" Dia bertanya dengan nada sedikit mengejek. Dengan adanya Raden Prana Kusuma masih duduk bersila di tempatnya, itu menandakan bahwa si pemuda juga mengalami luka yang sama.Raden Prana Kusuma tertawa kecil. Dia bangkit lalu melangkah meninggalkan Asta Renggo untuk masuk ke dalam pondok. Asta Renggo tidak mengerti dengan tawa pemuda itu. Dia bangkit lalu menyusul masuk. Terlalu lama berada di dekat sungai dingin bisa membuat tubuhnya menggigil. Bertolak belakang dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu justru merasakan tenaganya berlipat-lipat.Di ruang depan,
"Lepih ini berisi catatan obat yang dikumpulkan suamiku semasa hidupnya. Sekarang ... aku ingin menyerahkan kitab ini padamu, Sekar Pandan." Tangan itu terulur ke arah Sekar Pandan. Gadis itu bergeming."Terimalah. Aku merasa hanya kau yang cocok mewarisi ilmu pengobatan milik suamiku." Sekar Pandan menerima lepih itu."Seorang gadis tidak hanya harus terlihat cantik dan berkepandaian tinggi, tapi juga dia harus bisa berguna untuk orang lain. Aku yakin Prana Kusuma akan makin menyayangimu."Sekar Pandan membuat gerak tangan. Dia mengatakan bahwa Raden Prana Kusuma sudah dianggap sebagai kakang olehnya."Tapi aku melihat kalian sangat serasi untuk menjadi pasangan."Dengan panik Sekar Pandan menggoyang-goyangkan telapak tangannya. Gadis itu menolak anggapan sang nenek tentang dirinya dan Raden Prana Kusuma. Namun, jantungnya berdenyut aneh. Ada perasaan asing yang bergetar di dada. Perasaan indah yang belum pernah dirasakan.Denga
"Sekar Pandan."Gadis itu mengulurkan kitab Godhong Usodo pada Raden Prana Kusuma. Pemuda itu menerimanya. Membaca goresan tulisan di sampul depan. Tanpa membuka isinya, dia menimpukan benda itu ke kepala Sekar Pandan.Gadis itu geragapan seraya mengusap kepalanya yang sakit. Keningnya berkerut. Tangannya membuat gerakan yang menanyakan kesalahannya pada Raden Prana Kusuma."Kau sudah pernah kehilangan pedang pusaka peninggalan ayahmu. Masih juga tidak berhati-hati, hah?!" Gadis itu mengusap-usap kepalanya yang sakit. Mulutnya cemberut layaknya anak kecil."Aku yakin kitab ini sangat berharga. Lalu seenaknya kau berikan pada orang lain?! Bagaimana jika aku membawanya kabur? Kau ini, ya." Sekali lagi pemuda itu menimpuk kepala Sekar Pandan dengan kitab itu karena kesal. Gadis itu melindungi kepalanya dengan lengan kanannya."Jangan terlalu percaya pada orang lain meskipun itu padaku. Bisa saja aku mengkhianati dirimu, Sekar. Kau harus bela
Tiba-tiba dia memikirkan masa depan bersama Sekar Pandan. Sesuatu yang tidak pernah Raden Prana Kusuma lakukan sebelumnya pada gadis-gadis yang mendekatinya. Justru dengan Sekar Pandan niat itu ada. Gadis bisu yang belum diketahui kastanya. Raden Prana Kusuma tahu, tidak akan bisa menentang keputusan permaisuri untuk mencarikan dia pendamping. Sosok gadis yang dituju pun jelas. Putri Dewi Gayatri, teman semasa kecil. Dalam hati sebenarnya ada rasa kasihan pada gadis itu. Sekarang usianya telah menginjak dua puluh warsa. Usia yang jarang ada di lingkungan kota raja. Hampir semua perempuan berusia dua puluhan telah memiliki anak.Demi menunggu Senopati Prana Kusuma, Putri Dewi Gayatri tetap bertahan. Dia tidak perduli gunjingan kanan kiri yang ditujukan pada dirinya. Bagi gadis itu, pemuda terbaik yang pernah ada hanya Raden Prana Kusuma.Dia datang jauh-jauh dari kota raja hanya untuk mencarinya. Sementara dirinya asyik menemani Sekar Pandan. Gadis bisu y
Jadi sekarang kakang Paksi Jingga ingin ... menguasai dunia persilatan? Eling, Kakang, ingat. Tugas kita bukan menguasai dunia persilatan, tapi meneruskan perguruan kita." Suara Mahisa Dahana mulai meninggi. Dia tidak habis pikir dengan cita-cita saudaranya itu. Manusia memang boleh bercita-cita setinggi langit, tetapi tidak boleh ngawur. Menguasai dunia persilatan menurut pemuda bermata redup seperti tidak memiliki gairah hidup itu, merupakan jalan ngawur. Cita-cita itu impian Dewa Jari Maut. Siapa pun tahu tokoh berhati bengis itu. Dia ingin bersekutu dengan dua aliran untuk menjadikan dirinya penguasa satu-satunya.Paksi Jingga mencebik. Dia menilai pikiran adiknya terlalu lurus. Jika dia bisa membujuk Mahisa Dahana, cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan akan terwujud. Apalagi sekarang Pedang Sulur Naga telah menjadi miliknya. Dia tidak takut menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang nantinya akan berseberangan dengan dirinya."Kau hanya puas deng
"Jika keinginanmu begitu, hati-hatilah. Namun, Kakang Mahisa harus berpamitan dulu pada ayah." Mahisa Dahana mengangguk. Keduanya pergi menemui Ki Sempana.Bersama dengan kepergian mereka, Kalasri pun meninggalkan tempatnya. Wanita bertubuh padat berisi itu membawa keranjang berisi telur menuju dapur. Di sana, dia segera mendekati Widari, temannya."Kenapa kau lama?" Widari bertanya. Tangan Widari cekatan menyiangi sayuran."Aku mendengar sesuatu tentang ketua baru." Kalasri berbisik. Beberapa wanita yang bertugas menanak nasi memandangnya dengan penuh tanda tanya."Tidak ada apa-apa. Kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian," tukas Widari pada mereka. Diapun kembali menyiangi sayuran yang sempat tertunda karena kedatangan Kalasri."Apa yang kau dengar?" Widari berbisik karena penasaran. Kalasri menceritakan apa yang dia dengar selama ini pada Widari. Mereka saling pandang."Mulai sekarang kau jangan bersikap mencurigakan. Kita iku
Umang Sari merapatkan bibirnya dengan hati dongkol. Wajahnya ditekuk. Gadis itu tetap tidak suka jika Mayang diampuni. Hampir setiap hari para pelayan membicarakan kecantikan dan kelembutan gadis itu. Telinga Umang Sari terasa panas dibuatnya. Mayang dipuja semua orang di perguruan Tangan Seribu. Layaknya seorang putri bangsawan. Itu membuatnya muak."Kau seorang gadis, pasti bisa merasakan penderitaan gadis itu," ujar Ki Sempana mencoba menurunkan kemarahan di hati anak gadisnya."Aku tetap tidak suka, Ayah." Umang Sari merajuk. Ki Sempana menggelengkan kepala.Mahisa Dahana membuka pembicaraan kembali. Dia tidak ingin membicarakan Mayang lagi. "Aku merasakan sikap Kakang Paksi Jingga sekarang berubah, Paman." Ki Sempana mengerutkan kening."Apa maksudmu?""Kakang Paksi Jingga memiliki keinginan ... menguasai dunia persilatan." Kedua mata Ki Sempana terbelalak. Mata yang melebar itu menatap Mahisa Dahana yang duduk bersila di depannya de
"Kasihan gadis tak tahu apa-apa itu. Dia sekarang harus menjalani kehidupan yang terlunta-lunta di luar sana." Ki Gondo menghela napas berat.Percakapan dengan Ki Sempana dan Ki Gondo, sedikit banyak membantu Mahisa Dahana mengambil keputusan. Dia tidak ingin terjerumus ke dalam angan-angan tinggi. Baginya, hidup bebas dan sederhana merupakan pilihan yang tepat untuk dirinya.Mahisa Dahana meninggalkan kamar dengan langkah kaki mantap. Pemuda berusia dua puluh warsa itu membetulkan buntalan kain yang ada di punggungnya. Tangan kirinya memegang gagang pedang. Matahari pagi yang mulai menghangat membuat semangatnya tumbuh lagi bagai tumbuhan yang membutuhkan cahaya matahari.Rambutnya tersisir rapi dan sehelai kain warna hitam mengikat keningnya. Tubuhnya ringan saat melompat ke atas panggung kuda. Umang Sari, Ki Sempana, dan Ki Gondo yang mengantar di pintu masuk perguruan, menatapnya dengan sedih. Seandainya luka di tubuh Umang Sari telah sembuh, pasti gad
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b