"Jika keinginanmu begitu, hati-hatilah. Namun, Kakang Mahisa harus berpamitan dulu pada ayah." Mahisa Dahana mengangguk. Keduanya pergi menemui Ki Sempana.
Bersama dengan kepergian mereka, Kalasri pun meninggalkan tempatnya. Wanita bertubuh padat berisi itu membawa keranjang berisi telur menuju dapur. Di sana, dia segera mendekati Widari, temannya."Kenapa kau lama?" Widari bertanya. Tangan Widari cekatan menyiangi sayuran."Aku mendengar sesuatu tentang ketua baru." Kalasri berbisik. Beberapa wanita yang bertugas menanak nasi memandangnya dengan penuh tanda tanya."Tidak ada apa-apa. Kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian," tukas Widari pada mereka. Diapun kembali menyiangi sayuran yang sempat tertunda karena kedatangan Kalasri."Apa yang kau dengar?" Widari berbisik karena penasaran. Kalasri menceritakan apa yang dia dengar selama ini pada Widari. Mereka saling pandang."Mulai sekarang kau jangan bersikap mencurigakan. Kita ikuUmang Sari merapatkan bibirnya dengan hati dongkol. Wajahnya ditekuk. Gadis itu tetap tidak suka jika Mayang diampuni. Hampir setiap hari para pelayan membicarakan kecantikan dan kelembutan gadis itu. Telinga Umang Sari terasa panas dibuatnya. Mayang dipuja semua orang di perguruan Tangan Seribu. Layaknya seorang putri bangsawan. Itu membuatnya muak."Kau seorang gadis, pasti bisa merasakan penderitaan gadis itu," ujar Ki Sempana mencoba menurunkan kemarahan di hati anak gadisnya."Aku tetap tidak suka, Ayah." Umang Sari merajuk. Ki Sempana menggelengkan kepala.Mahisa Dahana membuka pembicaraan kembali. Dia tidak ingin membicarakan Mayang lagi. "Aku merasakan sikap Kakang Paksi Jingga sekarang berubah, Paman." Ki Sempana mengerutkan kening."Apa maksudmu?""Kakang Paksi Jingga memiliki keinginan ... menguasai dunia persilatan." Kedua mata Ki Sempana terbelalak. Mata yang melebar itu menatap Mahisa Dahana yang duduk bersila di depannya de
"Kasihan gadis tak tahu apa-apa itu. Dia sekarang harus menjalani kehidupan yang terlunta-lunta di luar sana." Ki Gondo menghela napas berat.Percakapan dengan Ki Sempana dan Ki Gondo, sedikit banyak membantu Mahisa Dahana mengambil keputusan. Dia tidak ingin terjerumus ke dalam angan-angan tinggi. Baginya, hidup bebas dan sederhana merupakan pilihan yang tepat untuk dirinya.Mahisa Dahana meninggalkan kamar dengan langkah kaki mantap. Pemuda berusia dua puluh warsa itu membetulkan buntalan kain yang ada di punggungnya. Tangan kirinya memegang gagang pedang. Matahari pagi yang mulai menghangat membuat semangatnya tumbuh lagi bagai tumbuhan yang membutuhkan cahaya matahari.Rambutnya tersisir rapi dan sehelai kain warna hitam mengikat keningnya. Tubuhnya ringan saat melompat ke atas panggung kuda. Umang Sari, Ki Sempana, dan Ki Gondo yang mengantar di pintu masuk perguruan, menatapnya dengan sedih. Seandainya luka di tubuh Umang Sari telah sembuh, pasti gad
"Sekar, cepat kemari!" Dari arah kanan Sekar Pandan, Raden Prana Kusuma tengah berjongkok menghadapi sesuatu. Tangan pemuda berkain merah bata itu melambai ke arahnya. Gadis rambut panjang terurai itu berlari kecil menghampirinya."Lihat, aku menemukan tumbuhan yang memiliki daun tebal mirip Bunga Mutiara Pohon. Bunganya juga indah, meskipun lebih kecil."Sekar Pandan ikut berjongkok. Tangannya membuka lepih dan membaca keterangan tentang tumbuhan itu. Tumbuhan itu bernama Akar Manis. Yang paling berkhasiat dari tanaman yang tumbuh sendirian itu adalah akarnya. Akarnya sangat panjang dan dari akar itu akan muncul tunas ke permukaan tanah. Ia bermanfaat untuk membersihkan racun dalam tubuh.Pandangan gadis itu beredar. Perkiraannya benar. Sepuluh tombak dari tumbuhan akar manis tumbuh tumbuhan yang sama. Matanya terus mencari tumbuhan itu lagi. Senyumnya mengembang saat melihat tumbuhan itu lagi yang letaknya cukup jauh.Tempat itu tidak ada tumbuh
"Kapan kau akan menemukan seorang gadis? Prana Kusuma telah menemukan calon pendampingnya." Nenek Bunga Seruni menyusun perkakas di dalam rak kayu."Ibu. Aku belum bisa mencari gadis lain sebelum membalaskan kematiannya." Asta Renggo mengambil air minum dari kendi lalu meminumnya."Kau sendiri belum punya bukti. Bagaimana membalas dendam?" sindir Nenek Bunga Seruni melirik anak lelakinya."Sudahlah, Bu. Mungkin besuk aku harus melaksanakan rencanaku yang tertunda karena menolong Sekar Pandan," ujar Asta Renggo seraya meletakkan kendi dari tanah liat ke meja. Pisang rebus yang terhidang di piring tanah liat menggugah seleranya. Pemuda itu mengupas pisang rebus yang disuguhkan ibunya.Asta Renggo ingat, gara-gara menolong Sekar Pandan yang keracunan, dia mengurungkan perjalanan menyelidiki kematian sang kekasih. Berhubung keadaan Sekar Pandan kini telah pulih, dia bisa pergi mencari pembunuh gadis yang dicintainya."Kurasa itu lebih baik. I
"Kau mengambil lepih milik Guru?" Selasih mencoba memancing Sekar Pandan yang lugu. Gadis itu menggeleng sambil menguatkan ikatan pada kain."Lalu bagaimana kau bisa mendapatkan lepih itu?" Selasih bertanya lagi. Sekar Pandan menatap manik mata perempuan di depannya. Tatapan perempuan itu penuh curiga. Sekar Pandan tidak peduli. Gadis itu justru mendekap kitab Godhong Usodo miliknya."Dasar pencuri! Kau ke sini pasti ingin mencuri barang-barang berharga milik Guru. Gadis tidak berterima kasih." Selasih menuduh Sekar Pandan dengan berapi-api. Sekar Pandan terperanjat. Dia tidak menyangka kalau Selasih menuduhnya sebagai corah, pencuri yang sangat dibenci kerajaan."Aku ... bukan ... Corah!" Mulut Sekar Pandan bergerak pelan. Namun, suaranya tetap tidak keluar. Gadis itu bisu bukan dari lahir, tetapi bisu karena kehilangan suara akibat ramuan obat yang diberikan oleh salah satu ayah angkatnya. Seorang datuk persilatan yang berwatak aneh. Jadi, tent
Malam ini dia bekerja keras mempelajari isi kitab. Yang dikhawatirkan Sekar Pandan dan Raden Prana Kusuma terbukti. Malam itu, Selasih menutupi tubuh atasnya dengan selimut hitam. Tidak lupa wajahnya ditutupi kain hitam pula.Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, perempuan itu melesat ke atas atap rumah yang telah berlubang. Kaki tanpa alas itu berjalan mengendap-endap di atap rumah. Angin malam yang dingin menyapa wajahnya. Dia menuju atap kamar Sekar Pandan.Pelan, tangannya membuka genting atap kamar Sekar Pandan. Di bawah sana, gadis yang menebarkan bau harum alami itu masih membaca lepih. Bibir Selasih tersenyum lebar. "Sebentar lagi kitab itu akan menjadi milikku."Selasih mencoba ikut membaca lepih di tangan Sekar Pandan dari atas. Jarak yang jauh dan terbatasnya pencahayaan, membuat perempuan itu kesusahan dalam membaca. Itu makin membuat dia penasaran ingin membacanya. Tanpa sadar, tangannya menggeser genting. Selasih me
"Kau tidak punya hak berbicara," sentak Nenek Bunga Seruni berang. Wanita itu tidak suka ada orang luar turut campur dalam urusan pribadinya."Dia gadis yang aku cintai, tentu berhak membelanya," bantah Raden Prana Kusuma tidak mau kalah. Nenek Bunga Seruni melotot. Matanya yang lebar makin lebar dan menyeramkan."Kalian semua ingin melawanku?! Majulah. Aku tidak gentar menghadapi kalian." Nenek Bunga Seruni kembali memasang kuda-kuda. Darahnya mendidih karena orang-orang muda ini mulai berani padanya.Melihat kemarahan gurunya, Sekar Pandan menjatuhkan diri bersimpuh di depan Nenek Bunga Seruni. Gadis belasan warsa itu menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Wajah jelitanya mendongak dan memelas. Nenek Bunga Seruni memalingkan muka dengan tidak suka."Walaupun kau duduk bersimpuh seharian, itu tidak akan mengubah pendirianku, Sekar Pandan," gumam wanita tua itu ketus."Nenek Bunga Seruni, aku mengenal banyak penggawa di istana Maj
Selasih terus berlari memanggul tubuh Sekar Pandan yang pingsan. Sinar bulan separuh membantu wanita cantik itu mengenali jalan di Lembah Seribu Bunga. Dia berlari mengikuti arah cahaya bulan. Sesekali melompati semak bunga liar atau kayu kering yang tumbang.Sekar Pandan yang berada di atas pundak Selasih mulai memejamkan matanya. Gadis bisu itu mengerahkan hawa murni untuk melepaskan totokan Selasih ditubuhnya. Usahanya berhasil. Perlahan kekuatan totokan Selasih memudar. Saat Selasih berhenti karena kecapekan, Sekar Pandan menekan punggung perempuan itu untuk tumpuan. Selanjutnya dia melenting ke udara. Beberapa kali membuat gerakan indah. Selendang sutera jingga melesat ke atas pohon. Ujung selendang itu membelit batang pohon.Selasih terkejut melihat tubuh Sekar Pandan telah bergelayutan di atas pohon. Kedua kaki gadis itu menapak tanah dengan ringan."Kau! ... Kau bisa melepaskan totokanku?"Sekar Pandan tersenyum lebar. Gadis berg
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b