Gadis itu melihat Nenek Bunga Seruni mengambil damar untuk dibawa ke lemari kayu tertutup yang ada di dekat tempat tidur.
Saat pintu lemari dibuka, Sekar Pandan mencium aroma harum. Sebuah kotak kayu cendana diletakkan di dekat tumpukan kain yang juga diambil dari dalam lemari."Kelak jika kau sudah berkeluarga, urusan membuat makanan menjadi tanggung jawabmu. Aku sudah melihatmu memasak dan masakan yang kau olah cukup lezat. Kau juga harus menjaga pandangan suamimu. Caranya dengan selalu tampil cantik, Sekar." Gadis itu garuk-garuk kepala. Dia belum mengerti perkataan wanita di depannya itu.Nenek Bunga Seruni memberikan damar pada Sekar Pandan. Gadis itu menerima dengan penuh tanda tanya. Tangan keriput itu membuka kotak kayu. Leher Sekar Pandan melongok. Di dalam kotak tersimpan perhiasan indah yang belum pernah dia lihat. Cahaya damar menerangi perhiasan dalam kotak. Perhiasan bersinar memukau. Sekar Pandan belum pernah melihat keindahan sebuah perhiasanNenek Bunga Seruni mengajak Sekar Pandan keluar kamar. Keduanya melewati Selasih. Wanita itu segera memejamkan mata, pura-pura tidur bersandar dinding. Sekar Pandan meliriknya dengan penuh curiga."Ayo, Sekar."Nenek Bunga Seruni segera menarik lengan Sekar Pandan agar lebih cepat. Selasih membuka mata dengan hati-hati. Bau harum Sekar Pandan tertinggal di hidungnya. Dia masih bisa menangkap bayangan punggung mereka keluar rumah.Pandangan Sekar Pandan tertuju pada Asta Renggo yang duduk bersila. Raden Prana Kusuma pun masih duduk bersila. Raut wajahnya dalam remang malam tampak tenang dalam semadi. Gadis itu heran, Raden Prana Kusuma sangat suka bersemadi. "Kenapa? Gagah dan tampan, bukan?" ledek Nenek Bunga Seruni mengulum senyum. Wanita itu berjalan mendahului Dewi Bunga Malam menuju rumah yang ada di samping pondok kayu tempat tinggal si nenek. Tangannya mengambil sebuah benda dari balik ikat pinggang. Dengan benda itu dia membuka pintu
Raden Prana Kusuma membuka matanya. Tubuhnya terasa segar dan penuh dengan kekuatan baru. Hawa dingin yang berasal dari sungai dingin justru menambah kekuatan tenaga dalamnya. Pemuda itu merasa heran dengan kekuatan tenaga dalamnya yang mengalami peningkatan. Dilihatnya Asta Renggo, pria itupun telah menyelesaikan semadinya. Pemuda hitam manis itu melempar senyum padanya."Kau masih di sini?" Dia bertanya dengan nada sedikit mengejek. Dengan adanya Raden Prana Kusuma masih duduk bersila di tempatnya, itu menandakan bahwa si pemuda juga mengalami luka yang sama.Raden Prana Kusuma tertawa kecil. Dia bangkit lalu melangkah meninggalkan Asta Renggo untuk masuk ke dalam pondok. Asta Renggo tidak mengerti dengan tawa pemuda itu. Dia bangkit lalu menyusul masuk. Terlalu lama berada di dekat sungai dingin bisa membuat tubuhnya menggigil. Bertolak belakang dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu justru merasakan tenaganya berlipat-lipat.Di ruang depan,
"Lepih ini berisi catatan obat yang dikumpulkan suamiku semasa hidupnya. Sekarang ... aku ingin menyerahkan kitab ini padamu, Sekar Pandan." Tangan itu terulur ke arah Sekar Pandan. Gadis itu bergeming."Terimalah. Aku merasa hanya kau yang cocok mewarisi ilmu pengobatan milik suamiku." Sekar Pandan menerima lepih itu."Seorang gadis tidak hanya harus terlihat cantik dan berkepandaian tinggi, tapi juga dia harus bisa berguna untuk orang lain. Aku yakin Prana Kusuma akan makin menyayangimu."Sekar Pandan membuat gerak tangan. Dia mengatakan bahwa Raden Prana Kusuma sudah dianggap sebagai kakang olehnya."Tapi aku melihat kalian sangat serasi untuk menjadi pasangan."Dengan panik Sekar Pandan menggoyang-goyangkan telapak tangannya. Gadis itu menolak anggapan sang nenek tentang dirinya dan Raden Prana Kusuma. Namun, jantungnya berdenyut aneh. Ada perasaan asing yang bergetar di dada. Perasaan indah yang belum pernah dirasakan.Denga
"Sekar Pandan."Gadis itu mengulurkan kitab Godhong Usodo pada Raden Prana Kusuma. Pemuda itu menerimanya. Membaca goresan tulisan di sampul depan. Tanpa membuka isinya, dia menimpukan benda itu ke kepala Sekar Pandan.Gadis itu geragapan seraya mengusap kepalanya yang sakit. Keningnya berkerut. Tangannya membuat gerakan yang menanyakan kesalahannya pada Raden Prana Kusuma."Kau sudah pernah kehilangan pedang pusaka peninggalan ayahmu. Masih juga tidak berhati-hati, hah?!" Gadis itu mengusap-usap kepalanya yang sakit. Mulutnya cemberut layaknya anak kecil."Aku yakin kitab ini sangat berharga. Lalu seenaknya kau berikan pada orang lain?! Bagaimana jika aku membawanya kabur? Kau ini, ya." Sekali lagi pemuda itu menimpuk kepala Sekar Pandan dengan kitab itu karena kesal. Gadis itu melindungi kepalanya dengan lengan kanannya."Jangan terlalu percaya pada orang lain meskipun itu padaku. Bisa saja aku mengkhianati dirimu, Sekar. Kau harus bela
Tiba-tiba dia memikirkan masa depan bersama Sekar Pandan. Sesuatu yang tidak pernah Raden Prana Kusuma lakukan sebelumnya pada gadis-gadis yang mendekatinya. Justru dengan Sekar Pandan niat itu ada. Gadis bisu yang belum diketahui kastanya. Raden Prana Kusuma tahu, tidak akan bisa menentang keputusan permaisuri untuk mencarikan dia pendamping. Sosok gadis yang dituju pun jelas. Putri Dewi Gayatri, teman semasa kecil. Dalam hati sebenarnya ada rasa kasihan pada gadis itu. Sekarang usianya telah menginjak dua puluh warsa. Usia yang jarang ada di lingkungan kota raja. Hampir semua perempuan berusia dua puluhan telah memiliki anak.Demi menunggu Senopati Prana Kusuma, Putri Dewi Gayatri tetap bertahan. Dia tidak perduli gunjingan kanan kiri yang ditujukan pada dirinya. Bagi gadis itu, pemuda terbaik yang pernah ada hanya Raden Prana Kusuma.Dia datang jauh-jauh dari kota raja hanya untuk mencarinya. Sementara dirinya asyik menemani Sekar Pandan. Gadis bisu y
Jadi sekarang kakang Paksi Jingga ingin ... menguasai dunia persilatan? Eling, Kakang, ingat. Tugas kita bukan menguasai dunia persilatan, tapi meneruskan perguruan kita." Suara Mahisa Dahana mulai meninggi. Dia tidak habis pikir dengan cita-cita saudaranya itu. Manusia memang boleh bercita-cita setinggi langit, tetapi tidak boleh ngawur. Menguasai dunia persilatan menurut pemuda bermata redup seperti tidak memiliki gairah hidup itu, merupakan jalan ngawur. Cita-cita itu impian Dewa Jari Maut. Siapa pun tahu tokoh berhati bengis itu. Dia ingin bersekutu dengan dua aliran untuk menjadikan dirinya penguasa satu-satunya.Paksi Jingga mencebik. Dia menilai pikiran adiknya terlalu lurus. Jika dia bisa membujuk Mahisa Dahana, cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan akan terwujud. Apalagi sekarang Pedang Sulur Naga telah menjadi miliknya. Dia tidak takut menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang nantinya akan berseberangan dengan dirinya."Kau hanya puas deng
"Jika keinginanmu begitu, hati-hatilah. Namun, Kakang Mahisa harus berpamitan dulu pada ayah." Mahisa Dahana mengangguk. Keduanya pergi menemui Ki Sempana.Bersama dengan kepergian mereka, Kalasri pun meninggalkan tempatnya. Wanita bertubuh padat berisi itu membawa keranjang berisi telur menuju dapur. Di sana, dia segera mendekati Widari, temannya."Kenapa kau lama?" Widari bertanya. Tangan Widari cekatan menyiangi sayuran."Aku mendengar sesuatu tentang ketua baru." Kalasri berbisik. Beberapa wanita yang bertugas menanak nasi memandangnya dengan penuh tanda tanya."Tidak ada apa-apa. Kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian," tukas Widari pada mereka. Diapun kembali menyiangi sayuran yang sempat tertunda karena kedatangan Kalasri."Apa yang kau dengar?" Widari berbisik karena penasaran. Kalasri menceritakan apa yang dia dengar selama ini pada Widari. Mereka saling pandang."Mulai sekarang kau jangan bersikap mencurigakan. Kita iku
Umang Sari merapatkan bibirnya dengan hati dongkol. Wajahnya ditekuk. Gadis itu tetap tidak suka jika Mayang diampuni. Hampir setiap hari para pelayan membicarakan kecantikan dan kelembutan gadis itu. Telinga Umang Sari terasa panas dibuatnya. Mayang dipuja semua orang di perguruan Tangan Seribu. Layaknya seorang putri bangsawan. Itu membuatnya muak."Kau seorang gadis, pasti bisa merasakan penderitaan gadis itu," ujar Ki Sempana mencoba menurunkan kemarahan di hati anak gadisnya."Aku tetap tidak suka, Ayah." Umang Sari merajuk. Ki Sempana menggelengkan kepala.Mahisa Dahana membuka pembicaraan kembali. Dia tidak ingin membicarakan Mayang lagi. "Aku merasakan sikap Kakang Paksi Jingga sekarang berubah, Paman." Ki Sempana mengerutkan kening."Apa maksudmu?""Kakang Paksi Jingga memiliki keinginan ... menguasai dunia persilatan." Kedua mata Ki Sempana terbelalak. Mata yang melebar itu menatap Mahisa Dahana yang duduk bersila di depannya de