“Pa, ini tidak benar. Kenapa Papa harus memasukkan orang asing ke dalam keluarga kita?” seorang gadis muda berpenampilan modis, nampak bersitegang dengan orangtuanya sendiri di sebuah ruangan luas yang mewah nan megah. Dengan hanya sedikit lirikan saja, semua orang nampaknya tahu kalau apa yang mereka perdebatkan merupakan hal yang serius.
Wanita yang seharusnya berusia empat puluhan –yang berdiri di samping si gadis, nampak menegur putrinya pelan. “Jaga bicaramu, Karina! Dia adalah saudaramu sendiri, bukan orang asing.” Meski nampak membela, namun kilatan matanya menunjukkan rasa jijik yang kentara.
“Aku tidak peduli, Ma. Dia sudah belasan tahun hidup di luar rumah ini, lalu kenapa sekarang Papa tiba-tiba membawanya?” Karina terlihat tidak akan menyerah sebelum ayahnya menuruti keinginannya tersebut. Begitu angkuh sampai lupa siapa posisinya di sana.
Terbiasa dimanja, dilimpahi kasih sayang dan dituruti semua keinginannya sejak kecil, menjadikan Karina sebagai sosok yang sombong nan keras kepala. Entah itu salah orangtuanya yang mendidik atau salah dirinya sendiri yang tidak bisa berpikir dewasa seiring dengan bertambahnya usia. Dan sekarang, saat sesuatu yang dia benci nampak di depan matanya, tentunya hanya akan ada penolakan dan kata-kata kasar yang keluar.
Mahesa Batara, sang kepala keluarga di rumah tersebut masih terlihat tenang. Dia duduk tegap di sebuah kursi tunggal sembari menatap putri dan istrinya yang tengah berdiri dengan segala perdebatan mereka. Raut wajahnya tidak goyah sedikitpun meski melihat kekacauan tepat di depan mata.
“Kamu mempertanyakan keputusanku?” suara tegas nan berwibawa mengudara di ruangan yang dihuni oleh satu keluarga tersebut. “Aku adalah kepala keluarga di sini, jadi aku berhak memutuskan segalanya. Jika kamu merasa tidak setuju, maka aku bisa membelikan kamu sebuah apartemen yang siap dihuni.” Itu adalah negosiasi awal dan akhir yang dia miliki.
Tatapan Mahesa mengitari sekitarnya, memandang satu persatu pada mereka yang hadir di sana. Memberikan hawa dingin yang membuat punggung terasa dingin secara tiba-tiba.
Karina yang sebelumnya ingin mendebat dengan kasar seketika kehilangan suaranya. Jadi dengan nada yang lebih lembut namun masih terkesan memaksa, gadis itu kembali berucap, “Pa, Papa tidak bisa seperti itu. Aku adalah putrimu satu-satunya. Papa seharusnya –”
“Menuruti semua keinginanmu. Begitu?” potong Mahesa dengan cepat. Lelaki berusia setengah abad itu menghela nafas dalam diam. “Memang ini salahku sejak awal karena terlalu memanjakanmu. Lihatlah bagaimana sikapmu! Tidak bisakah kamu menghargai keputusan seseorang yang menanggung seluruh hidupmu selama ini?”
“Pa-”
Widya, sang ibu diam-diam mencubit lengan putrinya agar diam dan tidak membuat suasana semakin rumit, “teruslah berbicara kalau kamu memang ingin tinggal di luar rumah ini.” Bisiknya tepat di telinga Karina.
Dan pada akhirnya, Karina hanya mampu menggigit bibirnya dengan kuat. Menahan segala emosi, umpatan dan makian yang ingin dia lontarkan pada seseorang yang menjadi penyebab dirinya marah.
“Bagus, akhirnya kamu mengerti juga.” Mahesa berdiri setelah melirik putrinya yang lain yang sejak tadi diam dengan tenang. Hatinya terasa sakit seperti teriris sembilu kala mengingat bagaimana perjuangan putrinya hidup seorang diri di luar sana.
“Dengarkan aku baik-baik dan jangan membantah!” Mahesa melirik semua orang dengan tatapan memperingati. “Ametys adalah putri kandungku, benar-benar putri kandungku. Posisinya di sini sama seperti Ganesha yang juga adalah putra kandungku. Aku tidak bermaksud mengelompokkan anak-anakku sendiri, tapi ada batasan tertentu yang harus kalian ketahui di sini. Aku akan bersikap baik pada mereka yang patuh.”
Bukan rahasia lagi kalau sebelumnya, hanya Ganesha lah yang dikenal oleh orang-orang sebagai putra kandung Mahesa Barata. Sedangkan dua anaknya yang lain, yakni Karina dan Hadyan adalah anak tirinya. Keduanya masing-masing berusia dua dan tiga tahun saat Mahesa menikahi Widya kala itu. Dan sekarang, putri kandung yang baru dia ketahui keberadaannya itu akan segera dikenal oleh banyak orang.
Karina tentu saja marah saat mendengar kalimat paling terkutuk itu. Fakta bahwa dirinya bukanlah anak kandung Mahesa selalu menjadi hal yang paling dia benci. Ditambah dengan kehadiran Ametys yang ternyata adalah putri kandung ayahnya, membuat Karina semakin murka. Dia merasa seolah-olah apa yang telah dia miliki saat ini akan direbut oleh gadis itu.
Lalu Hadyan, remaja yang memiliki raut nakal di wajah kekanakannya itu hanya diam mengamati semuanya dari awal. Sejak dulu, dia sudah sadar akan posisinya, jadi tak ada yang perlu dia lakukan. Mungkin menjahili adik perempuan barunya akan menjadi kegiatan yang sedikit menarik.
Sedangkan Ganesha, laki-laki dewasa itu tidak berhenti mencuri pandang pada sosok Ametys yang duduk tepat di sampingnya. Entah bagaimana perasaannya saat ini, namun mengetahui bahwa dirinya ternyata memiliki saudara kandung tidak pernah terpikirkan olehnya. Itu berarti, sang ibu sedang dalam keadaan mengandung saat dirinya dibawa pergi oleh Mahesa saat kecil dulu. Sebuah perpisahan memang selalu memberikan dampak yang tidak baik, ini adalah salah-satunya.
Di luar itu semua, Widya jelas orang yang paling tidak terima saat ini. Dia sudah merawat keluarga ini sejak lama, namun harus tersingkirkan oleh seorang gadis kumuh yang terbiasa hidup miskin selama hidupnya. Di mana dia akan menaruh wajah nanti saat berkumpul bersama teman-teman sosialitanya? Ini adalah lelucon.
“Sebenarnya aku tidak membutuhkan validasi dari siapapun untuk ini. Namun, sepertinya kalian harus membaca ini lebih dulu.” Mahesa mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna putih yang di dalamnya merupakan hasil tes DNA paternitas yang baru keluar beberapa hari yang lalu. Sesuatu yang dapat membungkam rasa tidak percaya semua orang tentang Ametys yang adalah darah dan dagingnya.
Tanpa menunggu reaksi dari mereka, Mahesa malah mendekati Ametys yang tidak banyak bereaksi. Untuk sesaat, lelaki paruh baya itu merasa linglung karena rupa putrinya adalah wajah Ganesha versi perempuan. Begitu mirip dengan Ayunda, mantan istrinya yang ternyata telah tiada. Selain itu, Mahesa juga bisa melihat kalau mata serta garis hidung adalah miliknya sendiri. Bagus, dengan begini siapa lagi yang akan merasa ragu? Mereka memang nyaris terlihat sama.
“Kamu sudah berjuang sejauh ini seorang diri, itu bagus.” Mahesa mengusap kepala Ametys yang terasa begitu kecil di telapak tangannya, “bersiaplah! Semua orang harus tahu kalau kamu adalah putriku.”
Mahesa terdiam kaku saat melihat netra serupa miliknya itu mengembun, siap mengeluarkan air mata. Ametys tidak mengatakan apapun sejak tadi, namun bukan berarti dia tidak bisa mendengarkan percakapan semua orang.
Tangannya terulur, ingin menghapus sudut mata putrinya yang basah. Namun harus tertahan karena sebuah suara kecil yang baru dia dengar dengan jelas.
“Terlalu merepotkan untuk hidup bersama orang-orang yang tidak mau menerima kita.” Ametys merujuk pada Karina yang terang-terangan menentangnya, “aku tidak masalah kalau harus tetap hidup di luar sana seorang diri, itu tidak terlalu sulit.” Bertentangan dengan raut wajahnya yang pucat dan sendu, ucapan yang keluar dari mulutnya begitu tegar seolah dirinya sudah melalui berbagai rintangan hidup yang menyakitkan.
Hening untuk sesaat. Entah Mahesa yang kebingungan, atau dirinya memang sedikit terkesima dengan kedewasaan yang dimiliki Ametys. Namun tak lama, bibir laki-laki itu menampilkan sebuah senyuman yang tulus, sesuatu yang jarang dia perlihatkan pada orang lain.
“Benar, tentu saja kamu bisa. Namun itu akan terasa sulit untukku. Aku tidak mungkin membiarkan putriku hidup seorang diri lagi untuk ke dua kali. Kalau aku melakukannya, maka aku bukanlah seorang ayah.”
. . .
Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat sang ibu meninggalkannya seorang diri. Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat harus menjalani hidup serba kekurangan tanpa adanya sosok pegangan. Tak ada yang sekedar menanyakan kabarnya saat satu atau dua hari dirinya tidak masuk sekolah. Terbiasa melakukan segalanya seorang diri membuat pikiran Ametys menjadi lebih dewasa dari yang seharusnya. Jadi, saat dirinya dibawa oleh sosok yang mengaku sebagai ayahnya, tak ada rasa antusias berlebihan di hatinya. Dia hanya mengikuti ke mana jalan takdir akan membawanya. Beberapa saat yang lalu, Mahesa telah memperkenalkan dirinya pada semua tamu undangan. Orang itu terlihat bangga dan bahagia saat mengaku bahwa dirinya memiliki seorang putri kandung. Mereka yang hadir tentu saja kaget dan tidak menyangka, namun tak ada yang berani bertanya terlalu jauh demi menjaga kesopanan dan hubungan kekerabatan. Setelah mengucapkan selamat dan menyapa Ametys ala kadarnya, orang-orang berlalu beg
Acara perayaan untuk memperkenalkan Ametys sebagai bagian dari keluarga Barata sudah selesai. Meski itu terasa cukup membosankan, namun Ametys menyukai makanan yang dihidangkan di sana. Dia baru akan masuk ke dalam kamarnya, sebelum suara seseorang menghentikan langkahnya. “Tunggu!” Ametys mengerutkan kening saat melihat Karina yang berdiri tak jauh darinya. Penampilan gadis itu sedikit berlebihan untuk ukuran seseorang yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun. Namun dia terlalu malas untuk mengomentari hidup orang lain, jadi dia hanya diam menanti pihak lain bicara. Melihat ketenangan alami yang dimiliki Ametys, Karina entah kenapa merasa marah dan tidak nyaman. Akan lebih menyenangkan kalau gadis kampungan itu terlihat cupu dan ketakutan sehingga dirinya bisa menunjukkan kekuasan yang dimiliki. “Bagaimana rasanya menjadi seorang putri secara tiba-tiba?” tanya Karina dengan raut wajah mengejek yang begitu jelas. “Perumpaan tentang seekor itik buruk rupa yang ingin m
Perjalanan menuju sekolah terasa cukup canggung meski suara musik dari radio yang dinyalakan menggema di dalam mobil mahal milik Hadyan. Remaja tampan itu begitu fokus dengan jalanan yang dilaluinya, sedangkan Ametys hanya diam dengan patuh karena tidak pintar dalam membuka percakapan. Rasanya, lebih baik naik bis seperti biasa daripada duduk satu mobil bersama orang yang baru dikenalnya seperti ini. Meski tidak hidup dalam keluarga yang mampu sejak kecil, namun Ametys pernah beberapa kali naik mobil cukup mewah milik teman atau gurunya jika sedang dalam perjalanan menuju perlombaan nasional. Otaknya yang jenius ini sebenarnya sudah membawa banyak keberuntungan dalam hidup Ametys. Jadi, dia masih bisa menahan diri agar tidak bersikap kampungan saat menaiki mobil yang memiliki harga miliyaran. “Aku dengar kita satu angkatan, benar?” pada akhirnya Hadyan membuka percakapan. Ametys menoleh, menatap siluet Hadyan dari samping. Memang tidak ada fitur Mahesa di sana, tapi rupa Widya ju
Setelah melewati sesi perkenalan singkat yang menurut Ametys tidak terlalu penting, gadis itu kini sudah duduk manis di kursi bagian belakang karena kebetulan hanya itu yang kosong. Dia tetap terlihat tenang meski merasakan tatapan penasaran dari para penghuni kelas. Dia juga dapat mendengar bisikan-bisikan para gadis tentang dirinya yang berangkat bersama Hadyan. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang merepotkan nanti ke depannya. "Halo, namaku Olivia. Kamu bisa panggil aku Oliv. Jangan merasa sungkan kalau kamu merasa ada sesuatu yang tidak dimengerti. " Gadis itu tersenyum manis sampai giginya yang rapi terlihat jelas. Karena pihak lain bersikap baik dan ramah, maka Ametys tidak berdaya untuk menolak ajakan pertemanan sepihak ini. "Hai, aku Ametys. Terima kasih sebelumnya." Dia memaksakan senyumnya meski yakin kalau itu akan terlihat aneh. "Iya, aku tahu kamu Ametys. Tadi kamu sudah memperkenalkan diri di depan. Hehe." Oliv membenarkan letak kacamatanya agar tetap sejajar sebelum
"Tidak biasanya kamu datang tanpa memberitahu. Ada apa?" Mahesa menatap Ganesha yang kini sudah mengambil tempat duduk tepat di depannya. Dua lelaki berbeda usia namun memiliki paras yang mirip itu saling menatap satu sama lain. "Papa sudah menyetujui surat kerjasama dengan pihak Atmadja Grup?" Ganesha menyimpan sebuah berkas di atas meja yang langsung diambil oleh sang ayah tanpa menunda, "itu berbagai keuntungan yang akan kita dapatkan jika menerima tawaran ini." Pemuda itu tetap melanjutkan meski raut wajahnya tidak terlihat baik. "Pihak mereka tidak mengatakan apa-apa sebelumnya." Setelah melihat secara detail apa yang tertera di dalamnya, Mahesa kembali menatap sang putra. Ada raut kebingungan di sana saat melihat Ganesha yang memberikan pandangan rumit. "Ada apa?" Ganesha menegakkan punggungnya lalu berbicara dengan nada lebih pelan, "apa Papa tahu kalau Kalingga mendatangiku saat pesta malam itu?" pertanyaan itu dijawab dengan sebuah anggukan pelan oleh Mahesa, "apa dia
Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit setelah Ganesha hadir sebagai wali Ametys di sana. Kepala sekolah terdiam mengamati situasi, sedangkan Nyonya Mahendra seperti baru saja kehilangan suaranya. Meski tidak tahu asal-usul maupun latar belakang lelaki muda di depannya ini, dia tentu tidak bodoh untuk bersikap kasar seperti sebelumnya. Sedangkan sosok lain bernama Aftha yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaan Ganesha, kini sudah dapat memahami situasi. Sebenarnya, ini hanyalah permasalahan di antara dua remaja. Namun pihak lain malah ingin memperpanjang sehingga dia tidak punya pilihan lain selain menerima dengan senang hati. "Jadi, pihak terkait ingin menyelesaikan masalah ini seperti apa?" Nyonya Mahendra berkedip dua kali, terlihat ragu namun mencoba mengembalikan keberaniannya seperti tadi. "Orang yang paling dirugikan di sini adalah putri saya, dia adalah korbannya. Jadi, gadis itu tentu harus menanggung akibat dari perbuatannya. Tidak ada kata maaf untuk s
"Membuat kekacauan di hari pertama pindah sekolah? cih, memalukan!""Begitukah seorang putri Mahesa Batara bertindak?"Ametys mengabaikan sosok Karina yang baru saja keluar dari mobilnya, beriringan dengan dirinya yang akan masuk ke dalam rumah. Tidak bisakah orang itu diam sekali saja saat melihatnya? mengapa dia terus mengoceh seolah tidak sanggup jika melihat dunia ini damai.Demi kesehatan telinganya, Ametys tetap melanjutkan langkah meski pada akhirnya harus berhenti di ruang keluarga. Di sana, Mahesa tengah duduk di kursi tunggal sambil berbicara bersama Gama dengan mimik serius. Tahu kalau dirinya tidak punya kesempatan untuk kabur, Ametys berjalan mendekat dan menyapa singkat demi kesopanan semata.Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil saat memandang putrinya, "tidak keberatan jika duduk sebentar?" menunjuk sebuah kursi di depannya dengan isyarat mata.Melihat Ametys yang begitu patuh tanpa membantah, Mahesa memulai sesi wawancaranya. "Lukamu sudah diobati?" Gadis itu sedikit
Saat jamuan makan malam akan segera dimulai, datang seorang pemuda berpenampilan klimis yang diketahui bernama Han, sekretaris merangkap asisten pribadi Kalingga yang terlihat sedikit kerepotan dengan barang bawaannya. Cahyo selaku ketua pelayan di kediaman Batara langsung menghampiri untuk membantu. Tahu kalau Han adalah salah-satu orang penting bagi Kalingga, Mahesa dengan sigap mempersilahkan Han untuk duduk. Dan karena lirikan maut sang atasan, lelaki itu memberanikan diri untuk duduk di kursi yang kosong."Anda tidak perlu repot-repot untuk membawa hadiah, Tuan." Dilihat sekilas pun, barang-barang yang dibawa Han bukanlah sesuatu yang murah. Mahesa semakin menebak-nebak tentang apa yang diinginkan oleh Kalingga."Itu bukan apa-apa, Tuan Mahesa. Hanya hadiah kecil bagi seseorang yang sudah menolong saya sebelumnya." Ucap Kalingga dengan senyum datar andalannya.Mahesa jelas merasa bingung, belum mengerti, "apakah saya melewatkan sesuatu?" Dia mungkin sudah tua, tapi dia belum pik
Saat jamuan makan malam akan segera dimulai, datang seorang pemuda berpenampilan klimis yang diketahui bernama Han, sekretaris merangkap asisten pribadi Kalingga yang terlihat sedikit kerepotan dengan barang bawaannya. Cahyo selaku ketua pelayan di kediaman Batara langsung menghampiri untuk membantu. Tahu kalau Han adalah salah-satu orang penting bagi Kalingga, Mahesa dengan sigap mempersilahkan Han untuk duduk. Dan karena lirikan maut sang atasan, lelaki itu memberanikan diri untuk duduk di kursi yang kosong."Anda tidak perlu repot-repot untuk membawa hadiah, Tuan." Dilihat sekilas pun, barang-barang yang dibawa Han bukanlah sesuatu yang murah. Mahesa semakin menebak-nebak tentang apa yang diinginkan oleh Kalingga."Itu bukan apa-apa, Tuan Mahesa. Hanya hadiah kecil bagi seseorang yang sudah menolong saya sebelumnya." Ucap Kalingga dengan senyum datar andalannya.Mahesa jelas merasa bingung, belum mengerti, "apakah saya melewatkan sesuatu?" Dia mungkin sudah tua, tapi dia belum pik
"Membuat kekacauan di hari pertama pindah sekolah? cih, memalukan!""Begitukah seorang putri Mahesa Batara bertindak?"Ametys mengabaikan sosok Karina yang baru saja keluar dari mobilnya, beriringan dengan dirinya yang akan masuk ke dalam rumah. Tidak bisakah orang itu diam sekali saja saat melihatnya? mengapa dia terus mengoceh seolah tidak sanggup jika melihat dunia ini damai.Demi kesehatan telinganya, Ametys tetap melanjutkan langkah meski pada akhirnya harus berhenti di ruang keluarga. Di sana, Mahesa tengah duduk di kursi tunggal sambil berbicara bersama Gama dengan mimik serius. Tahu kalau dirinya tidak punya kesempatan untuk kabur, Ametys berjalan mendekat dan menyapa singkat demi kesopanan semata.Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil saat memandang putrinya, "tidak keberatan jika duduk sebentar?" menunjuk sebuah kursi di depannya dengan isyarat mata.Melihat Ametys yang begitu patuh tanpa membantah, Mahesa memulai sesi wawancaranya. "Lukamu sudah diobati?" Gadis itu sedikit
Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit setelah Ganesha hadir sebagai wali Ametys di sana. Kepala sekolah terdiam mengamati situasi, sedangkan Nyonya Mahendra seperti baru saja kehilangan suaranya. Meski tidak tahu asal-usul maupun latar belakang lelaki muda di depannya ini, dia tentu tidak bodoh untuk bersikap kasar seperti sebelumnya. Sedangkan sosok lain bernama Aftha yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaan Ganesha, kini sudah dapat memahami situasi. Sebenarnya, ini hanyalah permasalahan di antara dua remaja. Namun pihak lain malah ingin memperpanjang sehingga dia tidak punya pilihan lain selain menerima dengan senang hati. "Jadi, pihak terkait ingin menyelesaikan masalah ini seperti apa?" Nyonya Mahendra berkedip dua kali, terlihat ragu namun mencoba mengembalikan keberaniannya seperti tadi. "Orang yang paling dirugikan di sini adalah putri saya, dia adalah korbannya. Jadi, gadis itu tentu harus menanggung akibat dari perbuatannya. Tidak ada kata maaf untuk s
"Tidak biasanya kamu datang tanpa memberitahu. Ada apa?" Mahesa menatap Ganesha yang kini sudah mengambil tempat duduk tepat di depannya. Dua lelaki berbeda usia namun memiliki paras yang mirip itu saling menatap satu sama lain. "Papa sudah menyetujui surat kerjasama dengan pihak Atmadja Grup?" Ganesha menyimpan sebuah berkas di atas meja yang langsung diambil oleh sang ayah tanpa menunda, "itu berbagai keuntungan yang akan kita dapatkan jika menerima tawaran ini." Pemuda itu tetap melanjutkan meski raut wajahnya tidak terlihat baik. "Pihak mereka tidak mengatakan apa-apa sebelumnya." Setelah melihat secara detail apa yang tertera di dalamnya, Mahesa kembali menatap sang putra. Ada raut kebingungan di sana saat melihat Ganesha yang memberikan pandangan rumit. "Ada apa?" Ganesha menegakkan punggungnya lalu berbicara dengan nada lebih pelan, "apa Papa tahu kalau Kalingga mendatangiku saat pesta malam itu?" pertanyaan itu dijawab dengan sebuah anggukan pelan oleh Mahesa, "apa dia
Setelah melewati sesi perkenalan singkat yang menurut Ametys tidak terlalu penting, gadis itu kini sudah duduk manis di kursi bagian belakang karena kebetulan hanya itu yang kosong. Dia tetap terlihat tenang meski merasakan tatapan penasaran dari para penghuni kelas. Dia juga dapat mendengar bisikan-bisikan para gadis tentang dirinya yang berangkat bersama Hadyan. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang merepotkan nanti ke depannya. "Halo, namaku Olivia. Kamu bisa panggil aku Oliv. Jangan merasa sungkan kalau kamu merasa ada sesuatu yang tidak dimengerti. " Gadis itu tersenyum manis sampai giginya yang rapi terlihat jelas. Karena pihak lain bersikap baik dan ramah, maka Ametys tidak berdaya untuk menolak ajakan pertemanan sepihak ini. "Hai, aku Ametys. Terima kasih sebelumnya." Dia memaksakan senyumnya meski yakin kalau itu akan terlihat aneh. "Iya, aku tahu kamu Ametys. Tadi kamu sudah memperkenalkan diri di depan. Hehe." Oliv membenarkan letak kacamatanya agar tetap sejajar sebelum
Perjalanan menuju sekolah terasa cukup canggung meski suara musik dari radio yang dinyalakan menggema di dalam mobil mahal milik Hadyan. Remaja tampan itu begitu fokus dengan jalanan yang dilaluinya, sedangkan Ametys hanya diam dengan patuh karena tidak pintar dalam membuka percakapan. Rasanya, lebih baik naik bis seperti biasa daripada duduk satu mobil bersama orang yang baru dikenalnya seperti ini. Meski tidak hidup dalam keluarga yang mampu sejak kecil, namun Ametys pernah beberapa kali naik mobil cukup mewah milik teman atau gurunya jika sedang dalam perjalanan menuju perlombaan nasional. Otaknya yang jenius ini sebenarnya sudah membawa banyak keberuntungan dalam hidup Ametys. Jadi, dia masih bisa menahan diri agar tidak bersikap kampungan saat menaiki mobil yang memiliki harga miliyaran. “Aku dengar kita satu angkatan, benar?” pada akhirnya Hadyan membuka percakapan. Ametys menoleh, menatap siluet Hadyan dari samping. Memang tidak ada fitur Mahesa di sana, tapi rupa Widya ju
Acara perayaan untuk memperkenalkan Ametys sebagai bagian dari keluarga Barata sudah selesai. Meski itu terasa cukup membosankan, namun Ametys menyukai makanan yang dihidangkan di sana. Dia baru akan masuk ke dalam kamarnya, sebelum suara seseorang menghentikan langkahnya. “Tunggu!” Ametys mengerutkan kening saat melihat Karina yang berdiri tak jauh darinya. Penampilan gadis itu sedikit berlebihan untuk ukuran seseorang yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun. Namun dia terlalu malas untuk mengomentari hidup orang lain, jadi dia hanya diam menanti pihak lain bicara. Melihat ketenangan alami yang dimiliki Ametys, Karina entah kenapa merasa marah dan tidak nyaman. Akan lebih menyenangkan kalau gadis kampungan itu terlihat cupu dan ketakutan sehingga dirinya bisa menunjukkan kekuasan yang dimiliki. “Bagaimana rasanya menjadi seorang putri secara tiba-tiba?” tanya Karina dengan raut wajah mengejek yang begitu jelas. “Perumpaan tentang seekor itik buruk rupa yang ingin m
Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat sang ibu meninggalkannya seorang diri. Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat harus menjalani hidup serba kekurangan tanpa adanya sosok pegangan. Tak ada yang sekedar menanyakan kabarnya saat satu atau dua hari dirinya tidak masuk sekolah. Terbiasa melakukan segalanya seorang diri membuat pikiran Ametys menjadi lebih dewasa dari yang seharusnya. Jadi, saat dirinya dibawa oleh sosok yang mengaku sebagai ayahnya, tak ada rasa antusias berlebihan di hatinya. Dia hanya mengikuti ke mana jalan takdir akan membawanya. Beberapa saat yang lalu, Mahesa telah memperkenalkan dirinya pada semua tamu undangan. Orang itu terlihat bangga dan bahagia saat mengaku bahwa dirinya memiliki seorang putri kandung. Mereka yang hadir tentu saja kaget dan tidak menyangka, namun tak ada yang berani bertanya terlalu jauh demi menjaga kesopanan dan hubungan kekerabatan. Setelah mengucapkan selamat dan menyapa Ametys ala kadarnya, orang-orang berlalu beg
“Pa, ini tidak benar. Kenapa Papa harus memasukkan orang asing ke dalam keluarga kita?” seorang gadis muda berpenampilan modis, nampak bersitegang dengan orangtuanya sendiri di sebuah ruangan luas yang mewah nan megah. Dengan hanya sedikit lirikan saja, semua orang nampaknya tahu kalau apa yang mereka perdebatkan merupakan hal yang serius. Wanita yang seharusnya berusia empat puluhan –yang berdiri di samping si gadis, nampak menegur putrinya pelan. “Jaga bicaramu, Karina! Dia adalah saudaramu sendiri, bukan orang asing.” Meski nampak membela, namun kilatan matanya menunjukkan rasa jijik yang kentara. “Aku tidak peduli, Ma. Dia sudah belasan tahun hidup di luar rumah ini, lalu kenapa sekarang Papa tiba-tiba membawanya?” Karina terlihat tidak akan menyerah sebelum ayahnya menuruti keinginannya tersebut. Begitu angkuh sampai lupa siapa posisinya di sana. Terbiasa dimanja, dilimpahi kasih sayang dan dituruti semua keinginannya sejak kecil, menjadikan Karina sebagai sosok yang sombong