"Tidak biasanya kamu datang tanpa memberitahu. Ada apa?"
Mahesa menatap Ganesha yang kini sudah mengambil tempat duduk tepat di depannya. Dua lelaki berbeda usia namun memiliki paras yang mirip itu saling menatap satu sama lain.
"Papa sudah menyetujui surat kerjasama dengan pihak Atmadja Grup?" Ganesha menyimpan sebuah berkas di atas meja yang langsung diambil oleh sang ayah tanpa menunda, "itu berbagai keuntungan yang akan kita dapatkan jika menerima tawaran ini." Pemuda itu tetap melanjutkan meski raut wajahnya tidak terlihat baik.
"Pihak mereka tidak mengatakan apa-apa sebelumnya." Setelah melihat secara detail apa yang tertera di dalamnya, Mahesa kembali menatap sang putra. Ada raut kebingungan di sana saat melihat Ganesha yang memberikan pandangan rumit. "Ada apa?"
Ganesha menegakkan punggungnya lalu berbicara dengan nada lebih pelan, "apa Papa tahu kalau Kalingga mendatangiku saat pesta malam itu?" pertanyaan itu dijawab dengan sebuah anggukan pelan oleh Mahesa, "apa dia membahas tentang ini padamu?"
Pemuda dengan rahang tegas itu menggeleng, "dia datang untuk berbasa-basi, sampai aku merasa bahwa dia tengah kerasukan karena mau mengajakku bicara lebih dulu. Namun yang lebih aneh..dia sepertinya mengenal Ametys." Ujarnya tidak yakin.
"Apa?" tidak mungkin, sangkal Mahesa dalam hati.
"Meski kami tidak terlalu dekat, tapi aku cukup mengenal kepribadiannya dengan baik. Saat itu, Kalingga menatap Ametys seolah keduanya adalah kenalan lama yang dipertemukan kembali secara tak terduga" Ganesha tidak mungkin salah dengan penglihatannya sendiri. Meski Ametys bersikap biasa saja, namun netra yang sedikit serupa dengannya itu agak goyah saat melihat Kalingga datang.
"Lalu, apa Ametys juga.."
"Ya." Jawab Ganesha dengan yakin, bahkan sebelum Mahesa menyelesaikan pertanyaannya.
Untuk beberapa waktu, Mahesa hanya bisa terdiam dengan pandangan serius. Sebenarnya, Kalingga mengenal Ametys atau tidak, itu bukan masalah bagi siapapun. Namun, jika Kalingga memberikan banyak keuntungan pada mereka seperti ini hanya demi sebuah kerjasama, itu cukup mencurigakan. Apa sebenarnya yang Kalingga inginkan?
"Pertemuannya adalah besok, kita bisa melihat apa yang sebenarnya dia inginkan saat sudah bertemu nanti."
Sebuah ketukan membuat keduanya yang tengah saling diam, kini menatap ke arah pintu yang terbuka. Itu adalah sekretaris Gama yang datang dengan sebuah ponsel di tangannya. Dilihat dari wajahnya, kabar yang akan mereka terima sepertinya bukanlah hal baik.
"Maaf mengganggu waktunya Tuan. Nona Ametys terlibat insiden kecil di sekolah hari ini. Pihak mereka meminta seorang wali agar masalah ini segera terselesaikan."
Sepasang ayah dan anak itu terlihat linglung, tidak menduga jika Ametys akan terlibat sebuah kekacauan di hari pertamanya pindah sekolah.
. . .
"Saya tidak mau tahu, pokoknya anak ini harus bertanggungjawab dengan apa yang dia lakukan. Saya ingin dia dihukum sebagaimana mestinya. Yang benar saja, ini adalah sekolah swasta terbaik di ibukota, namun bagaimana mungkin kalian menerima siswa yang memiliki latar belakang tidak jelas seperti ini? Sungguh kredibilitas yang diragukan!"
Itu adalah Nyonya Mahendra yang berbicara dengan suara keras seolah-olah dunia ini akan hancur jika semua orang tidak mendengarkan keluhannya. Dengan penampilannya yang nyentrik khas seorang sosialita kelas atas, wanita pertengahan lima puluhan itu berdiri angkuh di depan kepala sekolah. Sesekali tangannya akan menunjuk geram pada Ametys yang tengah berdiri di ujung ruangan, nampak tenang dan tidak terganggu.
"Mohon untuk tenang, Nyonya. Masalah ini tidak bisa dipandang dari satu pihak saja." Sang kepala sekolah mencoba menjelaskan. Sulit memang menghadapi orang-orang seperti wanita ini, dan dia tidak bisa menghitung ada berapa wali siswa yang memiliki kepribadian keras dan angkuh seperti ini di masa lalu. Mereka punya banyak uang, namun sayang pikirannya begitu dangkal.
"Bagaimana mungkin saya bisa tenang?" Nyonya Mahendra menjerit kencang sambil merangkul bahu putrinya yang tengah berperan layaknya seorang korban, "lihatlah Amanda! wajahnya bengkak, bibirnya lecet dan berdarah-darah, rambutnya bahkan rontok. Entah setan mana yang merasuki anak baru itu hingga begitu berani menganiaya putriku!" wanita itu menatap Ametys dengan sinis, lalu berujar dengan kejam, "tunggu saja, aku bukan Nyonya Mahendra jika tidak bisa membuatmu mendekam di penjara."
"Nyonya, tolong jangan bertindak implusif! para siswa yang memberikan kesaksian mengatakan bahwa Amanda adalah orang yang membuat masalah lebih dulu, jadi.." kepala sekolah mencoba memberikan pengertian.
"Tidak mungkin! putriku adalah seorang yang terpelajar, dia tahu mana yang salah dan mana yang tidak. Bagaimana mungkin putriku melakukan tindakan memalukan seperti itu?" Nyonya Mahendra tentu langsung membantah ucapan kepala sekolah karena menurutnya itu hanyalah omong kosong belaka, "dengar Pak Kepala, tolong jangan macam-macam dengan saya. Sekali saja Anda berniat membela anak miskin tidak tahu diri itu, maka pekerjaan Anda akan berakhir detik ini juga."
Mendengar hal itu, kepala sekolah sontak terdiam untuk beberapa saat. Tentu dia tahu kalau ucapan tersebut bukan hanya ancaman karena keluarga Mahendra memiliki kuasa penuh di sini. Terhitung sejak tiga tahun yang lalu, mereka telah menjadi donatur tetap untuk sekolah ini. Satu alasan yang membuat Amanda sering bersikap seenaknya pada siswa yang tidak disukainya.
Meski begitu, dia bukanlah penakut apalagi berpikiran congkak. Maka dengan tenang dan penuh pertimbangan, kepala sekolah menjawab, "tidak perlu terburu-buru, Nyonya. Bukankah kesaksian dari dua belah pihak adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam kasus apapun? kenapa Anda tidak mau mendengarkan penjelasan Ameys lebih dulu? dengan begini.."
"Apanya yang perlu dijelaskan?" lagi-lagi Nyonya Mahendra memotong ucapan kepala sekolah. Wajahnya memerah karena menahan kesal sekaligus amarah, dia seperti akan memakan orang detik itu juga jika keinginannya tidak dituruti. "Apa yang Anda tunggu sekarang? cepat berikan hukuman yang setimpal untuk gadis itu! akan lebih baik jika dia dikeluarkan dari sekolah hari ini juga."
Helaan nafas terdengar, kepala sekolah mulai kehilangan kesabarannya. "Sudah saya bilang, kita harus menunggu wali saudari Ametys untuk menyelesaikan masalah ini Nyonya."
"Tunggu? siapa yang kita tunggu? saya tidak akan menunggu siapapun. Dengar, cepat berikan gadis itu pelajaran sesuai dengan perintah saya. Kalau tidak.."
"Kalau tidak, kenapa?"
Semua orang yang ada di sana sontak menoleh ke arah pintu yang terbuka.
Di sana, berdiri dua lelaki muda berpenampilan rapi. Satu orang yang berdiri paling depan nampak dingin dengan aura kejam di sekelilingnya. Setelah melihat Ametys sekilas, lelaki itu kemudian menatap Nyonya Mahendra dalam diam. Tidak mengatakan apa-apa lagi, namun semua orang merasa lelaki ini tidak akan mudah dihadapi. Sedangkan yang satunya lagi hanya tersenyum lebar seolah baru saja menonton pertunjukan komedi. Namun dilihat dari wajahnya yang seperti terhibur namun matanya begitu tajam, mereka merasa kalau orang ini memiliki kepribadian ganda.
"Beginikah cara kalian menyelesaikan masalah?"
. . .
Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit setelah Ganesha hadir sebagai wali Ametys di sana. Kepala sekolah terdiam mengamati situasi, sedangkan Nyonya Mahendra seperti baru saja kehilangan suaranya. Meski tidak tahu asal-usul maupun latar belakang lelaki muda di depannya ini, dia tentu tidak bodoh untuk bersikap kasar seperti sebelumnya. Sedangkan sosok lain bernama Aftha yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaan Ganesha, kini sudah dapat memahami situasi. Sebenarnya, ini hanyalah permasalahan di antara dua remaja. Namun pihak lain malah ingin memperpanjang sehingga dia tidak punya pilihan lain selain menerima dengan senang hati. "Jadi, pihak terkait ingin menyelesaikan masalah ini seperti apa?" Nyonya Mahendra berkedip dua kali, terlihat ragu namun mencoba mengembalikan keberaniannya seperti tadi. "Orang yang paling dirugikan di sini adalah putri saya, dia adalah korbannya. Jadi, gadis itu tentu harus menanggung akibat dari perbuatannya. Tidak ada kata maaf untuk s
"Membuat kekacauan di hari pertama pindah sekolah? cih, memalukan!""Begitukah seorang putri Mahesa Batara bertindak?"Ametys mengabaikan sosok Karina yang baru saja keluar dari mobilnya, beriringan dengan dirinya yang akan masuk ke dalam rumah. Tidak bisakah orang itu diam sekali saja saat melihatnya? mengapa dia terus mengoceh seolah tidak sanggup jika melihat dunia ini damai.Demi kesehatan telinganya, Ametys tetap melanjutkan langkah meski pada akhirnya harus berhenti di ruang keluarga. Di sana, Mahesa tengah duduk di kursi tunggal sambil berbicara bersama Gama dengan mimik serius. Tahu kalau dirinya tidak punya kesempatan untuk kabur, Ametys berjalan mendekat dan menyapa singkat demi kesopanan semata.Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil saat memandang putrinya, "tidak keberatan jika duduk sebentar?" menunjuk sebuah kursi di depannya dengan isyarat mata.Melihat Ametys yang begitu patuh tanpa membantah, Mahesa memulai sesi wawancaranya. "Lukamu sudah diobati?" Gadis itu sedikit
Saat jamuan makan malam akan segera dimulai, datang seorang pemuda berpenampilan klimis yang diketahui bernama Han, sekretaris merangkap asisten pribadi Kalingga yang terlihat sedikit kerepotan dengan barang bawaannya. Cahyo selaku ketua pelayan di kediaman Batara langsung menghampiri untuk membantu. Tahu kalau Han adalah salah-satu orang penting bagi Kalingga, Mahesa dengan sigap mempersilahkan Han untuk duduk. Dan karena lirikan maut sang atasan, lelaki itu memberanikan diri untuk duduk di kursi yang kosong."Anda tidak perlu repot-repot untuk membawa hadiah, Tuan." Dilihat sekilas pun, barang-barang yang dibawa Han bukanlah sesuatu yang murah. Mahesa semakin menebak-nebak tentang apa yang diinginkan oleh Kalingga."Itu bukan apa-apa, Tuan Mahesa. Hanya hadiah kecil bagi seseorang yang sudah menolong saya sebelumnya." Ucap Kalingga dengan senyum datar andalannya.Mahesa jelas merasa bingung, belum mengerti, "apakah saya melewatkan sesuatu?" Dia mungkin sudah tua, tapi dia belum pik
“Pa, ini tidak benar. Kenapa Papa harus memasukkan orang asing ke dalam keluarga kita?” seorang gadis muda berpenampilan modis, nampak bersitegang dengan orangtuanya sendiri di sebuah ruangan luas yang mewah nan megah. Dengan hanya sedikit lirikan saja, semua orang nampaknya tahu kalau apa yang mereka perdebatkan merupakan hal yang serius. Wanita yang seharusnya berusia empat puluhan –yang berdiri di samping si gadis, nampak menegur putrinya pelan. “Jaga bicaramu, Karina! Dia adalah saudaramu sendiri, bukan orang asing.” Meski nampak membela, namun kilatan matanya menunjukkan rasa jijik yang kentara. “Aku tidak peduli, Ma. Dia sudah belasan tahun hidup di luar rumah ini, lalu kenapa sekarang Papa tiba-tiba membawanya?” Karina terlihat tidak akan menyerah sebelum ayahnya menuruti keinginannya tersebut. Begitu angkuh sampai lupa siapa posisinya di sana. Terbiasa dimanja, dilimpahi kasih sayang dan dituruti semua keinginannya sejak kecil, menjadikan Karina sebagai sosok yang sombong
Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat sang ibu meninggalkannya seorang diri. Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat harus menjalani hidup serba kekurangan tanpa adanya sosok pegangan. Tak ada yang sekedar menanyakan kabarnya saat satu atau dua hari dirinya tidak masuk sekolah. Terbiasa melakukan segalanya seorang diri membuat pikiran Ametys menjadi lebih dewasa dari yang seharusnya. Jadi, saat dirinya dibawa oleh sosok yang mengaku sebagai ayahnya, tak ada rasa antusias berlebihan di hatinya. Dia hanya mengikuti ke mana jalan takdir akan membawanya. Beberapa saat yang lalu, Mahesa telah memperkenalkan dirinya pada semua tamu undangan. Orang itu terlihat bangga dan bahagia saat mengaku bahwa dirinya memiliki seorang putri kandung. Mereka yang hadir tentu saja kaget dan tidak menyangka, namun tak ada yang berani bertanya terlalu jauh demi menjaga kesopanan dan hubungan kekerabatan. Setelah mengucapkan selamat dan menyapa Ametys ala kadarnya, orang-orang berlalu beg
Acara perayaan untuk memperkenalkan Ametys sebagai bagian dari keluarga Barata sudah selesai. Meski itu terasa cukup membosankan, namun Ametys menyukai makanan yang dihidangkan di sana. Dia baru akan masuk ke dalam kamarnya, sebelum suara seseorang menghentikan langkahnya. “Tunggu!” Ametys mengerutkan kening saat melihat Karina yang berdiri tak jauh darinya. Penampilan gadis itu sedikit berlebihan untuk ukuran seseorang yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun. Namun dia terlalu malas untuk mengomentari hidup orang lain, jadi dia hanya diam menanti pihak lain bicara. Melihat ketenangan alami yang dimiliki Ametys, Karina entah kenapa merasa marah dan tidak nyaman. Akan lebih menyenangkan kalau gadis kampungan itu terlihat cupu dan ketakutan sehingga dirinya bisa menunjukkan kekuasan yang dimiliki. “Bagaimana rasanya menjadi seorang putri secara tiba-tiba?” tanya Karina dengan raut wajah mengejek yang begitu jelas. “Perumpaan tentang seekor itik buruk rupa yang ingin m
Perjalanan menuju sekolah terasa cukup canggung meski suara musik dari radio yang dinyalakan menggema di dalam mobil mahal milik Hadyan. Remaja tampan itu begitu fokus dengan jalanan yang dilaluinya, sedangkan Ametys hanya diam dengan patuh karena tidak pintar dalam membuka percakapan. Rasanya, lebih baik naik bis seperti biasa daripada duduk satu mobil bersama orang yang baru dikenalnya seperti ini. Meski tidak hidup dalam keluarga yang mampu sejak kecil, namun Ametys pernah beberapa kali naik mobil cukup mewah milik teman atau gurunya jika sedang dalam perjalanan menuju perlombaan nasional. Otaknya yang jenius ini sebenarnya sudah membawa banyak keberuntungan dalam hidup Ametys. Jadi, dia masih bisa menahan diri agar tidak bersikap kampungan saat menaiki mobil yang memiliki harga miliyaran. “Aku dengar kita satu angkatan, benar?” pada akhirnya Hadyan membuka percakapan. Ametys menoleh, menatap siluet Hadyan dari samping. Memang tidak ada fitur Mahesa di sana, tapi rupa Widya ju
Setelah melewati sesi perkenalan singkat yang menurut Ametys tidak terlalu penting, gadis itu kini sudah duduk manis di kursi bagian belakang karena kebetulan hanya itu yang kosong. Dia tetap terlihat tenang meski merasakan tatapan penasaran dari para penghuni kelas. Dia juga dapat mendengar bisikan-bisikan para gadis tentang dirinya yang berangkat bersama Hadyan. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang merepotkan nanti ke depannya. "Halo, namaku Olivia. Kamu bisa panggil aku Oliv. Jangan merasa sungkan kalau kamu merasa ada sesuatu yang tidak dimengerti. " Gadis itu tersenyum manis sampai giginya yang rapi terlihat jelas. Karena pihak lain bersikap baik dan ramah, maka Ametys tidak berdaya untuk menolak ajakan pertemanan sepihak ini. "Hai, aku Ametys. Terima kasih sebelumnya." Dia memaksakan senyumnya meski yakin kalau itu akan terlihat aneh. "Iya, aku tahu kamu Ametys. Tadi kamu sudah memperkenalkan diri di depan. Hehe." Oliv membenarkan letak kacamatanya agar tetap sejajar sebelum
Saat jamuan makan malam akan segera dimulai, datang seorang pemuda berpenampilan klimis yang diketahui bernama Han, sekretaris merangkap asisten pribadi Kalingga yang terlihat sedikit kerepotan dengan barang bawaannya. Cahyo selaku ketua pelayan di kediaman Batara langsung menghampiri untuk membantu. Tahu kalau Han adalah salah-satu orang penting bagi Kalingga, Mahesa dengan sigap mempersilahkan Han untuk duduk. Dan karena lirikan maut sang atasan, lelaki itu memberanikan diri untuk duduk di kursi yang kosong."Anda tidak perlu repot-repot untuk membawa hadiah, Tuan." Dilihat sekilas pun, barang-barang yang dibawa Han bukanlah sesuatu yang murah. Mahesa semakin menebak-nebak tentang apa yang diinginkan oleh Kalingga."Itu bukan apa-apa, Tuan Mahesa. Hanya hadiah kecil bagi seseorang yang sudah menolong saya sebelumnya." Ucap Kalingga dengan senyum datar andalannya.Mahesa jelas merasa bingung, belum mengerti, "apakah saya melewatkan sesuatu?" Dia mungkin sudah tua, tapi dia belum pik
"Membuat kekacauan di hari pertama pindah sekolah? cih, memalukan!""Begitukah seorang putri Mahesa Batara bertindak?"Ametys mengabaikan sosok Karina yang baru saja keluar dari mobilnya, beriringan dengan dirinya yang akan masuk ke dalam rumah. Tidak bisakah orang itu diam sekali saja saat melihatnya? mengapa dia terus mengoceh seolah tidak sanggup jika melihat dunia ini damai.Demi kesehatan telinganya, Ametys tetap melanjutkan langkah meski pada akhirnya harus berhenti di ruang keluarga. Di sana, Mahesa tengah duduk di kursi tunggal sambil berbicara bersama Gama dengan mimik serius. Tahu kalau dirinya tidak punya kesempatan untuk kabur, Ametys berjalan mendekat dan menyapa singkat demi kesopanan semata.Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil saat memandang putrinya, "tidak keberatan jika duduk sebentar?" menunjuk sebuah kursi di depannya dengan isyarat mata.Melihat Ametys yang begitu patuh tanpa membantah, Mahesa memulai sesi wawancaranya. "Lukamu sudah diobati?" Gadis itu sedikit
Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit setelah Ganesha hadir sebagai wali Ametys di sana. Kepala sekolah terdiam mengamati situasi, sedangkan Nyonya Mahendra seperti baru saja kehilangan suaranya. Meski tidak tahu asal-usul maupun latar belakang lelaki muda di depannya ini, dia tentu tidak bodoh untuk bersikap kasar seperti sebelumnya. Sedangkan sosok lain bernama Aftha yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaan Ganesha, kini sudah dapat memahami situasi. Sebenarnya, ini hanyalah permasalahan di antara dua remaja. Namun pihak lain malah ingin memperpanjang sehingga dia tidak punya pilihan lain selain menerima dengan senang hati. "Jadi, pihak terkait ingin menyelesaikan masalah ini seperti apa?" Nyonya Mahendra berkedip dua kali, terlihat ragu namun mencoba mengembalikan keberaniannya seperti tadi. "Orang yang paling dirugikan di sini adalah putri saya, dia adalah korbannya. Jadi, gadis itu tentu harus menanggung akibat dari perbuatannya. Tidak ada kata maaf untuk s
"Tidak biasanya kamu datang tanpa memberitahu. Ada apa?" Mahesa menatap Ganesha yang kini sudah mengambil tempat duduk tepat di depannya. Dua lelaki berbeda usia namun memiliki paras yang mirip itu saling menatap satu sama lain. "Papa sudah menyetujui surat kerjasama dengan pihak Atmadja Grup?" Ganesha menyimpan sebuah berkas di atas meja yang langsung diambil oleh sang ayah tanpa menunda, "itu berbagai keuntungan yang akan kita dapatkan jika menerima tawaran ini." Pemuda itu tetap melanjutkan meski raut wajahnya tidak terlihat baik. "Pihak mereka tidak mengatakan apa-apa sebelumnya." Setelah melihat secara detail apa yang tertera di dalamnya, Mahesa kembali menatap sang putra. Ada raut kebingungan di sana saat melihat Ganesha yang memberikan pandangan rumit. "Ada apa?" Ganesha menegakkan punggungnya lalu berbicara dengan nada lebih pelan, "apa Papa tahu kalau Kalingga mendatangiku saat pesta malam itu?" pertanyaan itu dijawab dengan sebuah anggukan pelan oleh Mahesa, "apa dia
Setelah melewati sesi perkenalan singkat yang menurut Ametys tidak terlalu penting, gadis itu kini sudah duduk manis di kursi bagian belakang karena kebetulan hanya itu yang kosong. Dia tetap terlihat tenang meski merasakan tatapan penasaran dari para penghuni kelas. Dia juga dapat mendengar bisikan-bisikan para gadis tentang dirinya yang berangkat bersama Hadyan. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang merepotkan nanti ke depannya. "Halo, namaku Olivia. Kamu bisa panggil aku Oliv. Jangan merasa sungkan kalau kamu merasa ada sesuatu yang tidak dimengerti. " Gadis itu tersenyum manis sampai giginya yang rapi terlihat jelas. Karena pihak lain bersikap baik dan ramah, maka Ametys tidak berdaya untuk menolak ajakan pertemanan sepihak ini. "Hai, aku Ametys. Terima kasih sebelumnya." Dia memaksakan senyumnya meski yakin kalau itu akan terlihat aneh. "Iya, aku tahu kamu Ametys. Tadi kamu sudah memperkenalkan diri di depan. Hehe." Oliv membenarkan letak kacamatanya agar tetap sejajar sebelum
Perjalanan menuju sekolah terasa cukup canggung meski suara musik dari radio yang dinyalakan menggema di dalam mobil mahal milik Hadyan. Remaja tampan itu begitu fokus dengan jalanan yang dilaluinya, sedangkan Ametys hanya diam dengan patuh karena tidak pintar dalam membuka percakapan. Rasanya, lebih baik naik bis seperti biasa daripada duduk satu mobil bersama orang yang baru dikenalnya seperti ini. Meski tidak hidup dalam keluarga yang mampu sejak kecil, namun Ametys pernah beberapa kali naik mobil cukup mewah milik teman atau gurunya jika sedang dalam perjalanan menuju perlombaan nasional. Otaknya yang jenius ini sebenarnya sudah membawa banyak keberuntungan dalam hidup Ametys. Jadi, dia masih bisa menahan diri agar tidak bersikap kampungan saat menaiki mobil yang memiliki harga miliyaran. “Aku dengar kita satu angkatan, benar?” pada akhirnya Hadyan membuka percakapan. Ametys menoleh, menatap siluet Hadyan dari samping. Memang tidak ada fitur Mahesa di sana, tapi rupa Widya ju
Acara perayaan untuk memperkenalkan Ametys sebagai bagian dari keluarga Barata sudah selesai. Meski itu terasa cukup membosankan, namun Ametys menyukai makanan yang dihidangkan di sana. Dia baru akan masuk ke dalam kamarnya, sebelum suara seseorang menghentikan langkahnya. “Tunggu!” Ametys mengerutkan kening saat melihat Karina yang berdiri tak jauh darinya. Penampilan gadis itu sedikit berlebihan untuk ukuran seseorang yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun. Namun dia terlalu malas untuk mengomentari hidup orang lain, jadi dia hanya diam menanti pihak lain bicara. Melihat ketenangan alami yang dimiliki Ametys, Karina entah kenapa merasa marah dan tidak nyaman. Akan lebih menyenangkan kalau gadis kampungan itu terlihat cupu dan ketakutan sehingga dirinya bisa menunjukkan kekuasan yang dimiliki. “Bagaimana rasanya menjadi seorang putri secara tiba-tiba?” tanya Karina dengan raut wajah mengejek yang begitu jelas. “Perumpaan tentang seekor itik buruk rupa yang ingin m
Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat sang ibu meninggalkannya seorang diri. Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat harus menjalani hidup serba kekurangan tanpa adanya sosok pegangan. Tak ada yang sekedar menanyakan kabarnya saat satu atau dua hari dirinya tidak masuk sekolah. Terbiasa melakukan segalanya seorang diri membuat pikiran Ametys menjadi lebih dewasa dari yang seharusnya. Jadi, saat dirinya dibawa oleh sosok yang mengaku sebagai ayahnya, tak ada rasa antusias berlebihan di hatinya. Dia hanya mengikuti ke mana jalan takdir akan membawanya. Beberapa saat yang lalu, Mahesa telah memperkenalkan dirinya pada semua tamu undangan. Orang itu terlihat bangga dan bahagia saat mengaku bahwa dirinya memiliki seorang putri kandung. Mereka yang hadir tentu saja kaget dan tidak menyangka, namun tak ada yang berani bertanya terlalu jauh demi menjaga kesopanan dan hubungan kekerabatan. Setelah mengucapkan selamat dan menyapa Ametys ala kadarnya, orang-orang berlalu beg
“Pa, ini tidak benar. Kenapa Papa harus memasukkan orang asing ke dalam keluarga kita?” seorang gadis muda berpenampilan modis, nampak bersitegang dengan orangtuanya sendiri di sebuah ruangan luas yang mewah nan megah. Dengan hanya sedikit lirikan saja, semua orang nampaknya tahu kalau apa yang mereka perdebatkan merupakan hal yang serius. Wanita yang seharusnya berusia empat puluhan –yang berdiri di samping si gadis, nampak menegur putrinya pelan. “Jaga bicaramu, Karina! Dia adalah saudaramu sendiri, bukan orang asing.” Meski nampak membela, namun kilatan matanya menunjukkan rasa jijik yang kentara. “Aku tidak peduli, Ma. Dia sudah belasan tahun hidup di luar rumah ini, lalu kenapa sekarang Papa tiba-tiba membawanya?” Karina terlihat tidak akan menyerah sebelum ayahnya menuruti keinginannya tersebut. Begitu angkuh sampai lupa siapa posisinya di sana. Terbiasa dimanja, dilimpahi kasih sayang dan dituruti semua keinginannya sejak kecil, menjadikan Karina sebagai sosok yang sombong