Pukul 23:26.
Tenggorokan Devan terasa kering. Jadi dia akhirnya memutuskan untuk mengambil air minum di bawah. Biasanya Kiara sudah menyiapkannya. Berhubung dari tadi istrinya sedang gak enak badan, jadi dia lupa untuk menyiapkannya.Tangga bawah sepi dan gelap. Devan menyalakan lampu dapur. Membuatnya lebih terang. Dia tuangkan segelas air dan menenggaknya santai.Tiba-tiba saja sebuah tangan halus melingkar di perutnya. Devan tersenyum, memegang tangan itu dan mengusapnya lembut."Kamu kebangun ya sayang, maaf deh ganggu kamu tidur," tukasnya.Tapi tak ada sahutan. Devan mengernyit heran. Dia seperti menyadari sesuatu. Ini bukan tangan Kiara. Juga bukan aroma tubuh istrinya. Lalu, siapa kiranya. Apa jangan-jangan...Devan menoleh. Kaget saat mengetahui si pemilik tangan tersebut."I-Indira."Indira atau Nina memanyunkan bibirnya, kesal karena bukan Devan tak mengenalinya dan malah mengira wanita itu."Kok kamuA-aku merindukannya. Bolehkan?"Devan tak menjawab. Kini Indira justru melepas kancing bagian atas Devan, memperlihatkan kulit polos ptia itu.Tangan Indira mainkan dada bagian atasnya, mengusap-usapnya lembut."A-aku... aku hanya merindukanmu. Tak bolehkah aku sedikit menyentuhmu? La-lagipula hanya..."Indira menggigit bibir bawahnya. Sedang Devan mati-matian menahan sesuatu. Merasa tak ada penolakan, Indira melayangkan bibirnya di leher sang pria, menyesapnya.Aktifitasnya masih berlanjut, karena entah kenapa, Devan sama sekali tak bereaksi. Huh, lagipula dulu mereka juga pernah melakukannya, meski tidak sampai tuntas."Aku harap kita selamanya begini Van," ucapnya. Devan meringis, raut wajahnya berubah. Indira tersenyum menyeringai, merasakan sesuatu yang mengganjal dan keras dibawah sana. Makin gencarlah dia melayangkan ciumannya."S-sory, Ra. Aku harus kembali ke kamar. T-takut Kiara terbangun."Devan mendorong
Kiara merasa tubuhnya tak fit. Dari kemarin dia mual mual terus. Tubuhnya juga meriang. Jadi hari ini dia di rumah saja. Rara diantar Nina dan Devan. Sebenarnya Devan berniat untuk tak berangkat ke kantor, tapi dia larang. Lagian ada bibi Tinah di rumah."Bibi buatin jamu ya, Nya."Kiara mengangguk. Dia berbaring di ranjang. Pusing rasanya untuk sekedar bangun saja. Tak berapa lama bi Tinah datang lagi, membawakan segelas jamu."Di minum, Nya.""Makasih Bi."Kiara menerima gelas jamu dan menenggaknya pelan. Bi Tinah memijat leher Kiara."Kok bibi rasa Nyonya sedang hamil ya," tukas bi Tinah.Kiara hanya tersenyum tipis menanggapi."Masak sih Bi.""Iya Nya. Dulu saya juga seperti Nyonya. Persis banget malah. Bibi ini lebih pengalaman Nya. Hehe."Bi Tinah menerima gelas kosong dari tangan Kiara dan meletakkan di meja nakas."Kenapa gak periksa saja, Nya. Kan lebih baik kalau tahu sakitnya apa. Biar jelas.""
Benar. Devan hanya mengintruksikan dan memeriksa beberapa pekerjaan karyawan. Tapi dia tak langsung turun ke bawah. Melainkan ke ruangannya dulu. Termenung lama. Perasaan bersalah bercokol dalam dirinya. Devan sadar ini tak seharusnya terjadi. Tak seharusnya dia menyetujui ide gila Indira. Akhirnya kebimbanganlah yang dia dapat kini."Huft," helanya pelan. Dengan langkah gontai, Devan akhirnya ke bawah. Menghampiri Indira. Dan mereka menuju mall. Karena Indira yang minta.----"Bagus gak, Van?"Devan hanya manggut-manggut malas. Entah berapa kali Indira membawakan berbagai model baju dan dia tunjukkan pada Devan."Ih, tapi warnanya norak. Ganti ah," pasti begitu ujung-ujungnya. Kalau gak karena alasan warna, model, kain atau entah apalagi. Devan sampai lelah menunggu.Akhirnya setelah berkutat dua jam lebih. Indira membawa keluar dua stel baju."Udah, ada lagi?" tanya Devan."Emm, sepatu ya? Sepatuku udah jelek. Hehe."
Rara bermain ayunan di taman belakang dengan ditemani Nina."Kak, mama apa sakit hamil?"Rupanya dia masih penasaran."Sayang. Hamil itu bukan penyakit.""Terus?""Em, tadi kan Kak Nina udah janjiin. Kalau Rara dapat Seratus, kakak kasih tahu deh.""Eh, iya lupa. Hehe."Gadis cilik itu nyengir.Nina mengayunkan pelan."Rara sayang sama mama apa papa?""Em? Rara sayang dua-duanya. Rara sayang sama papa juga sama mama."Nina menyeringai."Kalau sama kak Nina?""Sayang dong. Kak Nina kan baik. Kayak mama.""Lebih sayang mana, mama apa kak Nina?" Pancingnya.Rara diam, raut bingung tercetak jelas."Emm, gak tahu. Sayang semuanya."Nina mencubit gemas pipi Rara."Pinter. Nanti apapun yang terjadi jangan sampai gak sayang lagi sama mama atau kak Nina ya?""Iya dong. Mama sama kak Nina kan baik. Rara pasti sayang," ujarnya tersenyum lebar."Pinter."("Ayolah, aku tak sabar ingin melihat peperangan
Besok adalah hari ulang tahun Devan. Menyenangkan sekali, pada akhirnya hari itu tiba juga. Berhari-hari dia menunggui hari itu dengan sabar.Kiara pergi ke mall sendirian. Sehabis mengantar Rara, dia memesan taksi untuk membeli kue kado untuk Devan besok. Selain kado terindah tentu saja. Juga sekalian pesan kue ulang tahun. Kehamilannya memang tak seperti wanita pada umumnya. Dia hanya merasakan pusing ya saat itu saja. Setelahnya tubuhnya enteng seperti tanpa beban. Dia bisa beraktifitas tanpa merasakan lesu atau lunglai layaknya mereka yang hamil muda.Kiara memilah-milah sekiranya hadiah apa yang akan dia berikan pada Devan. "Ada yang bisa saya bantu mbak?"Mbak? haha, memang sih wajahnya kan masih imut-imut. Masih pantas dipanggil mbak. Ah, jadi gak sabar akan ada yang memanggilnya mama selain Rara."Em, tolong carikan kemeja yang kayak gini, tapi warna biru ya mbak," pintanya.Pegawai itu mencarikan pesanan Kiara. Tak
Devan melangkah hati-hati. Membuka pintu pelan. Mengintip kamar Kiara. Dilihatnya Kiara sedang berdiri melamun sambil memandangi jendela luar. Pandangannya kosong. Sesekali terdengar helaan pelan.Langkah Devan memasuki kamar Kiara, sepelan mungkin dan jangan sampai menimbulkan suara.Dia letakkan tasnya di atas ranjang. Jas dia cantolkan di dekat lemari. Lalu, memandangi sejenak wanitanya. Kiara tetap tak menyadari kehadirannya.Akhirnya Devan menghampiri Kiara. Berdiri dibelakangnya. Menunggu reaksi Kiara. Namun tetap tak ada pergerakan dari wanita tersebut.Tangan Devan terulur memeluk Kiara dari belakang. Menyusupkan kepalanya di ceruk leher sang istri. Wanita itu menoleh kaget."De-Devan ..." "Ngelamunin apa? Ada masalah?"Kiara tersenyum yang dipaksakan. Menggeleng pelan."Gak ada apa-apa kok. Udah mandi? Eh belum ya. Aku siapin air hangat ya?"Devan menggeleng."Gak usah. Kamu pasti capek kan. Aku siapin sendir
Harusnya hari ini istimewa. Tapi mood Kiara sedang tidak bagus. Jadilah hadiah yang rencananya dia serahkan pada Devan dia biarkan saja tergeletak di sudut dalam lemarinya.Ini hari minggu, Devan tidak pergi ke kantor. Tapi lihatlah, dia sedari tadi menjahili Rara. Membuat Rara menjerit laporan pada mamanya."Mama! Papa gangguin Rara mulu nih!" Adunya."Ih, beraninya ngadu sama mama," ledek Devan."Biarin. Papa nakal.""Haha. Beneran nih papa nakal? Kalau gitu gak jadi papa beliin es krim ya?""Jangan. Pokoknya beliin.""Tadi katanya papa nakal, hm," Devan mengangkat sebelah alisnya. Senyam senyum."Ya papa jahil. Dari kemarin gangguin Rara terus.""Papa pengen kok. Rara gak terima?""Ya gak lah. Papa ngeselin.""Tapi sayang kan? Haha."Diam-diam Kiara tersenyum simpul melihat kebersamaan mereka berdua. Rara benar putrinya. Ah, pantas saja dia merasakan ikatan yang kuat dengan gadis cilik itu. Selama ini dia mengabaikan
Setelah setengah harian tadi jalan-jalan. Mereka pulang ke rumah. Devan sedang bermain dengan Rara di ruang depan. Sedang Kiara di kamar. Memandangi kado yang sampai saat ini belum juga dia kasihkan ke Devan.Perkataan Rara tadi memberinya keyakinan untuk segera mengabarkan kabar gembira untuk Devan. Dia tersenyum membayangkan wajah bahagia Devan jika mengetahui dirinya hamil. Nanti setelah mengabari Devan, barulah dia menghubungi orang tua dan mertuanya. Sekaligus mengadakan syukuran setelah sekian lama. Dan masalah Rara, biarlah dia tunggu sampai Devan mengatakannya sendiri. Mungkin benar, Devan sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan padanya. Mungkin saja Devan berfikir pasti berat mendengar kabar seperti itu. Tapi memang, harus dia akui, berat dan tak percaya. Tapi itu kan kesalahan masa lalu. Lagipula yang dia lihat adam bertanggung jawab dan merawat Rara dengan baik. Dan uniknya takdir membawa mereka berjodoh tanpa sengaja. Setidaknya keinginan untuk melihat