Kiara merasa tubuhnya tak fit. Dari kemarin dia mual mual terus. Tubuhnya juga meriang. Jadi hari ini dia di rumah saja. Rara diantar Nina dan Devan. Sebenarnya Devan berniat untuk tak berangkat ke kantor, tapi dia larang. Lagian ada bibi Tinah di rumah.
"Bibi buatin jamu ya, Nya."Kiara mengangguk. Dia berbaring di ranjang. Pusing rasanya untuk sekedar bangun saja. Tak berapa lama bi Tinah datang lagi, membawakan segelas jamu."Di minum, Nya.""Makasih Bi."Kiara menerima gelas jamu dan menenggaknya pelan. Bi Tinah memijat leher Kiara."Kok bibi rasa Nyonya sedang hamil ya," tukas bi Tinah.Kiara hanya tersenyum tipis menanggapi."Masak sih Bi.""Iya Nya. Dulu saya juga seperti Nyonya. Persis banget malah. Bibi ini lebih pengalaman Nya. Hehe."Bi Tinah menerima gelas kosong dari tangan Kiara dan meletakkan di meja nakas."Kenapa gak periksa saja, Nya. Kan lebih baik kalau tahu sakitnya apa. Biar jelas.""Benar. Devan hanya mengintruksikan dan memeriksa beberapa pekerjaan karyawan. Tapi dia tak langsung turun ke bawah. Melainkan ke ruangannya dulu. Termenung lama. Perasaan bersalah bercokol dalam dirinya. Devan sadar ini tak seharusnya terjadi. Tak seharusnya dia menyetujui ide gila Indira. Akhirnya kebimbanganlah yang dia dapat kini."Huft," helanya pelan. Dengan langkah gontai, Devan akhirnya ke bawah. Menghampiri Indira. Dan mereka menuju mall. Karena Indira yang minta.----"Bagus gak, Van?"Devan hanya manggut-manggut malas. Entah berapa kali Indira membawakan berbagai model baju dan dia tunjukkan pada Devan."Ih, tapi warnanya norak. Ganti ah," pasti begitu ujung-ujungnya. Kalau gak karena alasan warna, model, kain atau entah apalagi. Devan sampai lelah menunggu.Akhirnya setelah berkutat dua jam lebih. Indira membawa keluar dua stel baju."Udah, ada lagi?" tanya Devan."Emm, sepatu ya? Sepatuku udah jelek. Hehe."
Rara bermain ayunan di taman belakang dengan ditemani Nina."Kak, mama apa sakit hamil?"Rupanya dia masih penasaran."Sayang. Hamil itu bukan penyakit.""Terus?""Em, tadi kan Kak Nina udah janjiin. Kalau Rara dapat Seratus, kakak kasih tahu deh.""Eh, iya lupa. Hehe."Gadis cilik itu nyengir.Nina mengayunkan pelan."Rara sayang sama mama apa papa?""Em? Rara sayang dua-duanya. Rara sayang sama papa juga sama mama."Nina menyeringai."Kalau sama kak Nina?""Sayang dong. Kak Nina kan baik. Kayak mama.""Lebih sayang mana, mama apa kak Nina?" Pancingnya.Rara diam, raut bingung tercetak jelas."Emm, gak tahu. Sayang semuanya."Nina mencubit gemas pipi Rara."Pinter. Nanti apapun yang terjadi jangan sampai gak sayang lagi sama mama atau kak Nina ya?""Iya dong. Mama sama kak Nina kan baik. Rara pasti sayang," ujarnya tersenyum lebar."Pinter."("Ayolah, aku tak sabar ingin melihat peperangan
Besok adalah hari ulang tahun Devan. Menyenangkan sekali, pada akhirnya hari itu tiba juga. Berhari-hari dia menunggui hari itu dengan sabar.Kiara pergi ke mall sendirian. Sehabis mengantar Rara, dia memesan taksi untuk membeli kue kado untuk Devan besok. Selain kado terindah tentu saja. Juga sekalian pesan kue ulang tahun. Kehamilannya memang tak seperti wanita pada umumnya. Dia hanya merasakan pusing ya saat itu saja. Setelahnya tubuhnya enteng seperti tanpa beban. Dia bisa beraktifitas tanpa merasakan lesu atau lunglai layaknya mereka yang hamil muda.Kiara memilah-milah sekiranya hadiah apa yang akan dia berikan pada Devan. "Ada yang bisa saya bantu mbak?"Mbak? haha, memang sih wajahnya kan masih imut-imut. Masih pantas dipanggil mbak. Ah, jadi gak sabar akan ada yang memanggilnya mama selain Rara."Em, tolong carikan kemeja yang kayak gini, tapi warna biru ya mbak," pintanya.Pegawai itu mencarikan pesanan Kiara. Tak
Devan melangkah hati-hati. Membuka pintu pelan. Mengintip kamar Kiara. Dilihatnya Kiara sedang berdiri melamun sambil memandangi jendela luar. Pandangannya kosong. Sesekali terdengar helaan pelan.Langkah Devan memasuki kamar Kiara, sepelan mungkin dan jangan sampai menimbulkan suara.Dia letakkan tasnya di atas ranjang. Jas dia cantolkan di dekat lemari. Lalu, memandangi sejenak wanitanya. Kiara tetap tak menyadari kehadirannya.Akhirnya Devan menghampiri Kiara. Berdiri dibelakangnya. Menunggu reaksi Kiara. Namun tetap tak ada pergerakan dari wanita tersebut.Tangan Devan terulur memeluk Kiara dari belakang. Menyusupkan kepalanya di ceruk leher sang istri. Wanita itu menoleh kaget."De-Devan ..." "Ngelamunin apa? Ada masalah?"Kiara tersenyum yang dipaksakan. Menggeleng pelan."Gak ada apa-apa kok. Udah mandi? Eh belum ya. Aku siapin air hangat ya?"Devan menggeleng."Gak usah. Kamu pasti capek kan. Aku siapin sendir
Harusnya hari ini istimewa. Tapi mood Kiara sedang tidak bagus. Jadilah hadiah yang rencananya dia serahkan pada Devan dia biarkan saja tergeletak di sudut dalam lemarinya.Ini hari minggu, Devan tidak pergi ke kantor. Tapi lihatlah, dia sedari tadi menjahili Rara. Membuat Rara menjerit laporan pada mamanya."Mama! Papa gangguin Rara mulu nih!" Adunya."Ih, beraninya ngadu sama mama," ledek Devan."Biarin. Papa nakal.""Haha. Beneran nih papa nakal? Kalau gitu gak jadi papa beliin es krim ya?""Jangan. Pokoknya beliin.""Tadi katanya papa nakal, hm," Devan mengangkat sebelah alisnya. Senyam senyum."Ya papa jahil. Dari kemarin gangguin Rara terus.""Papa pengen kok. Rara gak terima?""Ya gak lah. Papa ngeselin.""Tapi sayang kan? Haha."Diam-diam Kiara tersenyum simpul melihat kebersamaan mereka berdua. Rara benar putrinya. Ah, pantas saja dia merasakan ikatan yang kuat dengan gadis cilik itu. Selama ini dia mengabaikan
Setelah setengah harian tadi jalan-jalan. Mereka pulang ke rumah. Devan sedang bermain dengan Rara di ruang depan. Sedang Kiara di kamar. Memandangi kado yang sampai saat ini belum juga dia kasihkan ke Devan.Perkataan Rara tadi memberinya keyakinan untuk segera mengabarkan kabar gembira untuk Devan. Dia tersenyum membayangkan wajah bahagia Devan jika mengetahui dirinya hamil. Nanti setelah mengabari Devan, barulah dia menghubungi orang tua dan mertuanya. Sekaligus mengadakan syukuran setelah sekian lama. Dan masalah Rara, biarlah dia tunggu sampai Devan mengatakannya sendiri. Mungkin benar, Devan sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan padanya. Mungkin saja Devan berfikir pasti berat mendengar kabar seperti itu. Tapi memang, harus dia akui, berat dan tak percaya. Tapi itu kan kesalahan masa lalu. Lagipula yang dia lihat adam bertanggung jawab dan merawat Rara dengan baik. Dan uniknya takdir membawa mereka berjodoh tanpa sengaja. Setidaknya keinginan untuk melihat
Hari beranjak sore tanpa terasa. Mentari yang tadi bersinar garang kini bersiap kembali ke peraduannya. Eh, belum sih, masih dalam perjalanan menuju peraduannya. Berkas sinarnya masih memancar meski tak seganas tadi.Kiara sudah bersiap dengan memakai blush dan rok pendek selutut berwarna krem. Rambutnya yang panjang hanya di kuncir sebagian. Membiarkan sisanya menjuntai bebas. Wajah ayunya di oles make up tipis. Bibir mungilnya juga dipakaikan lipstik dengan warna soft.Setelah dandanan siap, dia mengambil tas kecilnya. Melewati kamar Devan yang masih tertutup. Kiara mendorongnya pelan, mengintip dari bagian kecil yang terbuka. Rupanya sang empunya sedang lelap. Kesempatan untuk pergi. Karena jika sampai Devan tahu, yang ada rencananya akan berantakan. Pasti Devan kepo dan bertanya macam-macam. Dia kan tak pandai berbohong.Dengan gerakan pelan, Kiara tutup pintunya lagi. Pelan, sangat pelan hingga tak menimbulkan suara sedikitpun.Dia lirik
Atap gedung yang luas terhampar. Tak ada apa-apa selain dirinya dan Indira. Di atas meja ada kue tart cantik dengan lilin berangka sesuai umurnya saat ini. Juga bunga segar dalam vas. Dan dua gelas biola kosong bersanding dengan sebotol minuman.Keputusan yang tepat. Karena memang seorang pria berbeda selera dengan wanita yang tak perlu muluk-muluk dengan keindahan dekorasi.Hembusan angin malam menerpa bebas. Pemandangan kota dengan gemerlap lampunya menambah keindahan tersendiri. Apalagi di atas sana langit cerah memayungi.Indira tersenyum lebar mendapati wajah kaget seorang Devan."Happy birthday to you... happy birthday to you..."Dia bernyanyi dan bertepuk tangan riang.Devan tersenyum tipis. Justru pikirannya melayang ke Kiara. Ada apa dengan istrinya tersebut. Apa karena Kiara tak tahu bahwa hari ini ulang tahunnya? Ah, mungkin iya. Mereka kan baru menikah beberapa bulan yang lalu. Tapi kenapa rasanya sesak. Bukankah biasanya wanita cenderung perhatian dengan urusan seperti it
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu