Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Hari dimana Rara akan mengikuti perlombaan. Dan hari ini sengaja Devan tidak ke kantor. Untuk urusan kantor dia serahkan pada Satrio, hanya jika ada yang penting dia meminta Satrio untuk menghubunginya. Selebihnya, jika itu tidak penting dia tidak ingin di ganggu.
Mereka berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah Rara. Karena memang mereka yang akan mendandani Rara nantinya. Dan jangan harap ada Nina di sela mereka bertiga. Semenjak perkataan Satrio waktu itu, Kiara menurutinya. Karena dia tahu, Satrio tidak pernah berbohong selama berpacaran dengannya dulu. Jadi ketika Satrio mengatakan si A tidak baik, berarti memang benar dia tak seharusnya ia dekati.Sikapnya pun berubah, saat ada Nina, Kiara akan bermanja dan lebih genit. Tapi saat mereka hanya berdua, jangan harap. Melirik saja dia malas. Dan Devan menyadari itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Entahlah apa yang di rencanakan istrinya tersebut. Selama tidakLokasi perlombaan adalah sekolah terfavorit di Jakarta. Basic nya saja sudah internasional. Jadi melihat wajah-wajah mungil bule asli atau blasteran, atau anak-anak bermata sipit bukan barang baru. Sekolahannya saja sangat luas dan besar. Ada panggung besar beserta tenda yang luas di tengah lapangan sekolah. Jadi disana nanti akan menjadi lokasi penerimaan peserta lomba. Dan untuk lokasinya sendiri berada di lantai dua, tepatnya di aula besar sekolah tersebut.Wajah-wajah imut nan menggemaskan dengan kostum unik yang berbeda beda menjadi pemandangan yang menyenangkan.Dino dan Rara duduk bersebelahan. Di sisi kanannya adalah guru pendamping mereka dan sisi kanan kedua orang tua mereka.Sambutan demi sambutan berikut dengan penampilan unik para bocah-bocah unik itu menjadi pelemasan sebelum bertanding."Sayang, semangat," bisik Kiara tepat di telinga Rara.Gadis cilik itu tersenyum lebar. Wajah imutnya terlihat cantik dengan riasan tersebu
Rara menanting piala dengan raut gembiranya. Pun Dino ikut tersenyum lebar. Ternyata improvisasinya tadi mendapat nilai plus dari para juri. Dan akhirnya membawa keuntungan untuk mereka. Tadi setidaknya itu pencapaian yang bagus untuk anak-anak kecil seperti mereka yang berani mengambil tindakan lebih di situasi terjepit pun. Mereka berfoto-foto ria sebelum kembali ke rumah.Dalam perjalanan pulang, Rara berceloteh. Eforia kesenangan masih melingkupi dirinya. Sampai di rumah, sudah malam. Akhirnya mereka langsung mandi dan beristirahat tanpa sempat mengintip menu makan malam. Lagipula dalam perjalanan pulang tadi mereka sudah mampir makan dengan rombongan.Dan jika sudah sampai di rumah seperti ini, sifat dingin Kiara kembali. -----Di dalam kamarnya, Kiara melihat-lihat poto hasil bidikan tadi. Tangannya mengusap salah satu foto yang menampilkan keluarga kecil mereka.Mereka kelihatan seperti keluarga bahagia bukan? Senyum lebar Rara, j
"Kamu...."Kiara menatap Satrio tak percaya.Satrio mengangguk."Aku memang salah dari awal. Obsesiku untuk mendapatkanmu membuatku lupa diri. Aku terpengaruh dengan rencana Nina. Karena itu aku menyetujuinya.Tapi, akhir-akhir ini aku sadar. Dia wanita gila. Kalau saja aku menurutinya, sama saja aku gila. Semenjak itu aku berfikir, dan mulai keluar dari jalur rencana gilanya."Kiara menggenggam ponsel itu dengan gemuruh di dadanya menahan marah dan kesal sekaligus merasa terhianati. Selama ini dia percaya dengan Satrio. Tapi...."Aku akui aku salah, Ra. Aku minta maaf. Terserah kau mau membenciku, aku tak apa. Tapi, aku mohon pertahankan pak Devan. Aku tidak tahu apa yang di lakukan wanita licik itu. Tapi aku tahu, kalau ada apa-apa, itu hanya bagian dari akal bulusnya. Tetaplah bertahan dengan pak Devan."..Kiara melangkah lunglai. Tadi dia diantar Satrio kembali ke sekolah Rara. Melihat fakta baru yang di ketahuinya, membuatnya bimb
Sekitar setengah jam kemudian, sampai juga di rumah Kiara."Ayo, masuk dulu pokoknya," ujar Kiara.Mereka melangkah masuk."Ya begini, rumahnya Devan. Hehe," tukas Kiara."Ini mah bagus banget. Nyaman lagi," ucap Tasya. Kiara tersenyum. "Duduk dulu, aku ke belakang dulu ya."Tasya mengangguk."Sayang ganti baju dulu, yuk," ajak Kiara"Iya ma."Rara berlari kecil ke kamarnya. Dan Kiara ke belakang mengambilkan minuman dingin juga cemilan."Silakan diminum. Adanya begini. Hehe," ujarnya dan meletakkan gelas di depan Tasya dan Dino."Haduh, malah repot-repot.""Gak repot. Orang sudah ada kok."Tak lama Rara turun membawa Chimmy dan kucing tersayangnya, Shooky."Dino, sini mainan kucing. Ini kucing aku," ujarnya semangat.Dino yang notabene penyuka hewan, langsung bergegas menghampiri Rara. Mereka bermain dengan hewan lucu itu di bawah."Seneng ya, lihat anak-anak juga akur. Jadinya
Darimana saja kamu."Kiara menatap tajam ke arah Nina yang sedang di dapur, mencari makan. Dia langsung menemui Nina, karena teringat dengan ide gila Nina pada dirinya dan Devan. Rara sendiri langsung mandi di atas.Nina mendengkus. Menatap remeh pada wanita di depannya."Bukan urusanmu," ketusnya, menyahuti wanita yang sempat menjadi nyonyanya tersebut.Kiara menyeringai tipis."Siapa bilang itu bukan urusanku? Ini rumah suamiku. Dan kamu? Ch! Cuma penumpang!" "Siapa bilang? Sebentar lagi aku jadi nyonya disini? Kau tidak lihat perutku hah!" bentaknya balik."Yakin? Itu benihnya Devan? Bukan benih dari pria yang kau tiduri di club malam itu?" Kiara maju beberapa langkah. Menatap tajam pada Nina yang justru malah menatapnya balik."Hey! Wanita munafik. Tidak usah lah lagi berpura-pura. Aku tahu semuanya. Aku tahu rencana busukmu dengan membujuk Satrio. Aku juga tahu kau mengajak dia melakukan hal menjijikkan itu dem
Devan merebahkan hati-hati tubuh Nina ke ranjang. "Mana yang sakit?" tanya Devan."Kakiku ... ahh!"Devan beralih ke kaki Nina."Disini?" tanyanya memegang pergelangan kaki Nina."Iya. Aaw! sakit!" pekiknya.Devan hati-hati sekali memijit pergelangan kaki Nina. Nina tersenyum kecil. Dia sengaja berpura-pura jatuh saat melihat Devan tadi. Sengaja karena dia tahu Kiara pasti akan mendekati Devan lagi. Karena itu dia membuat rencana supaya wanita rivalnya itu merasakan sakit hati. Tepat saat dia lihat Kiara membuka pintu, tepat itu pula dia menjatuhkan dirinya. Pura-pura terkilir.Dan melihat wajah syok Kiara tadi, membuatnya merasa puas."Masih sakit?"Nina tersadar dari lamunannya. Pura-pura kesakitan lagi."Masih ...aaa ... sakit, Van," rengeknya."Aku kompres air hangat ya?"Nina menggeleng."Jangan. Disini saja. Temani aku.""Tapi,""Hiks ... hiks ... sakit."Devan menghela napas. B
Sebelum mentari terbit, Kiara sudah bangun. Bergegas mandi membersihkan diri. Memberesi tempat tidurnya sendiri, dan barulah dia berkutat di dapur.Sengaja dia bangun pagi-pagi sekali, karena malas di ganggu oleh Nina. Lebih baik cepat membuat sarapan, sehingga nanti tinggal pergi. Urusan rumah kan ada Nina yang seharusnya mengerjakan.Bi Tinah belum juga kembali. Suaminya sedang sakit. Dan beliau pulang untuk merawat suaminya yang juga sudah renta. Sebenarnya kasihan juga melihatnya, di usia yang sudah berkepala lima, seharusnya bi Tinah istirahat saja. Tapi dia juga tak bisa menghakimi. Mungkin ada alasan lain yang membuat bi Tinah masih bekerja disini. Karena wajar saja sih, beliau saja yang merawat Devan dari kecil. Berarti memang sudah cukup lama mengabdi di keluarga ini. Kesibukan di dapur, suara memasak, aroma sedap yang menguar, nyatanya tak cukup ampuh untuk membangunkan seisi rumah. Jadilah sampai Kiara selesai masak, tetap saja tak ada yan
Kiara mendandani Rara. Menyisir rambut panjang lurus tersebut. Membaginya menjadi dua bagian, lalu menguncirnya. Sementara si Pria duduk manis menatap interaksi ibu dan anak tersebut."Nah, anak mama udah cantik," puji Kiara. Rara tersenyum menatap pantulan dirinya dari cermin besar."Iya dong. Mama kan juga cantik. Papa juga ganteng," ujarnya menimpali.Devan tertawa, menghampiri sang istri untuk meminta gilirannya."Kenapa?" kernyitnya."Gantian dong sayang. Aku juga kan mau di dandani," ucapnya mengerlingkan mata. Melihatnya, Kiara mendengkus."Haha... papa nih ikut-ikutan aja," sela Rara."Iya dong sayang. Harus," ucapnya, mengerdipkan mata mengkode Rara untuk pindah tempat."Pakai sendiri, bisa kan?" dengkus Kiara malas.Devan menggeleng, menunjuk kemejanya yang bahkan belum dia kancingkan."Ck. Manjanya. Yang hamil siapa, yang manja siapa," gumamnya lirih, saking lirihnya, yang di dengar Devan hanya gumaman tak j