"Wow! Akhirnya queen of late kita datang juga."
Kiara tersenyum tipis menanggapi ledekan Ayu. Napasnya masih tersengal karena berlarian tadi.Queen of late, atau ratu telat. Yah, itu julukannya. Tidak ada hari tanpa datang terlambat. Untung saja pak Dedi-presdir perusahaan GF Corp-bossnya tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Asal tidak sampai merusak jadwal meetingnya."Gila lo, Ra. Ini hari pertama beliau loh. Gak takut kena damprat lo?" tukas Nadia."Buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Semoga aja beliau bisa memaklumi gue, kayak pak Dedi," jawabnya santai."Ya, tapi kan setidaknya lo bikin kesan yang baik dong. Hari pertama, Kiara," ujar Ayu gemas. Mungkin heran saja dengan kesantaian gadis itu."Belum tahu aja dia, kejadian pagi tadi." Nadia tersenyum tipis, melirik ke arah Ayu."Bener. Buruan gih, ke ruangan beliau sekarang!"Kiara mengangkat bahu, nanti saja. Keringatnya masih belum hilang. Ya kali, hari pertama ketemu sama boss baru dengan bau keringat. Makanya itu dia masih setia menikmati hembusan ac.Jarak rumah Kiara ke kantor jauh banget. Itu pun harus naik bis dan berdempetan dengan penumpang lain. Sangat bersyukur dia punya boss sebaik pak Dedi. Tapi sayangnya beliau sekarang digantikan oleh anaknya.Yah, semoga aja boss barunya sebaik pak Dedi. Dan bisa memaklumi keadaannya, dia cuma bisa berharap."Lo tahu, Ra. Beliau bahkan udah datang pagi-pagi banget. Gue aja kaget, pas baru tiba kok nemu orang guanteng. Eh, ternyata boss baru kita," tutur Ayu, matanya berbinar saat menyebut boss baru itu. Sesekali melirik ruangan di depan ruangan mereka. Ya, ruangan milik presdir. Mereka adalah karyawan atas dan langsung berurusan dengan peresdir. Makanya ruangan mereka berada di lantai yang sama."Gila. Ganteng banget. Gue kira malah pangeran nyasar.""Lebay lu, Nad." Kiara tertawa kecil. Seganteng apa sih boss baru itu. Sampek segitunya."He'eh. Gue langsung fallin love at first sigh. Kalau saja beliau gak ....""Ra, lo dipanggil ke ruangan pak Devan sekarang."Satrio, orang kepercayaan pak Dedi tergesa-gesa memanggil Kiara, memotong perkataan Ayu tadi. Dia baru saja keluar dari ruangan presdir. Raut wajahnya terlihat buruk. Kiara menoleh ke arahnya."Pak Devan? Siapa?" Dahinya mengernyit, belum pernah denger nama itu, pikirnya."Ck. Presdir kitalah. Cepetan! sebelum beliau murka."Satrio mendorong bahu Kiara padahal gadis itu kan masih ngeblank.Apa mungkin pak Devan itu presdir baru itu? pengganti pak Dedi. Hm, siap-siap pasang senyum terbaik. Siapa tahu beliau luluh, dan memaafkan keterlambatannya.Kiara melenggang ke ruangan sang presdir dengan percaya diri...Kiara ketuk pintu ruangan presdir barunya tersebut."Masuk!" terdengar suara berat dari dalam."Huft!" Gadis itu menarik napas dan mengeluarkannya, demi menetralkan perasaannya yang mendadak dagdigdug. Satu ulasan senyum tertarik di bibir tipisnya, sembari mendorong pelan pintu."Selamat pagi pak. Eh!"Kiara terlonjak kaget mendapati seorang pria muda menghadang tepat di depan pintu. Tangannya bersidekap dengan tatapan tajamnya yang terlihat dingin."Siapa kamu!""Eh? A-anu ... Sa-saya sekretaris ...""Bukan urusanku."Lah kok?"Saya ....""Siapa kamu sehingga bisa berangkat lebih siang daripada saya!" tekannya. Bukan seperti pertanyaan, tapi lebih mirip penekanan.Kiara menunduk. Aura-aura mengerikan sepertinya mulai mengelilinginya. Kiara, sepertinya kamu salah besar. Putra pak Dedi sama sekali tidak mirip dengan papanya."Maaf pak, saya tadi ketinggalan bis. Dan saya ....""Saya tidak peduli."Pria itu membalikkan badannya. Lalu beranjak duduk di kursi kebesarannya. Dan kembali menatap gadis itu tajam."Kamu tahu kan? Tidak ada perusahaan yang mentolerir ketidak disiplinan. Datang terlambat bukannya cepat menemui saya malah berleha-leha, ngobrol santai. Kamu kira ini kantor milikmu?" tekannya.Kiara menunduk. Dia tahu itu."Ini masih hari pertama saya disini saja, kamu sudah membuat saya kecewa. Kamu terlambat satu jam. Tahu?""Tahu pak." Kiara masih menunduk."Haish!" Pria itu membuang napas kesal."Tapi, saya biasanya juga terlambat pak. Dan pak Dedi memakluminya. Rumah saya jauh, harus naik bis dan ....""Hey! Saya gak nanya!"Kiara langsung terdiam.Mimpi apa dia semalam. Kenapa mendadak dapat boss jadi killer gini."Kalau pak Dedi memaklumimu, itu dulu, urusanmu dengan beliau. Tapi tidak dengan saya. Saya tidak suka ada karyawan yang tidak disiplin dan selalu menjawab. Apalagi bertindak sesukanya hanya karena sebuah kata 'maklum'. Hanya berpangkat pegawai saja kamu bertingkah. Bagaimana kalau jadi boss?" tatapannya tajam sekali. Kiara benar-benar menunduk. Tenggorokannya tercekat. Boss barunya mengerikan."Ah, bagaimana mungkin orang yang menjadikan terlambat sebagai kebiasaan bisa jadi boss. Imposible." Dia menyeringai, meremehkan. Yang membuat sang gadis semakin menunduk.Ya Tuhan, kata-katanya menyakitkan. Air matanya yang hampir jatuh. Kiara menahannya kuat-kuat. Menggigit bibir bawahnya seiring dada yang kian menyesak."Hari ini kamu saya maafkan. Lain kali, kalau sampai terlambat, bahkan satu detikpun ..." tatapnya tajam."Jangan harap ada toleransi!" IntonaaSinya, dingin."Baik pak," jawab Kiara lirih.Sorot matanya mengisyaratkan agar gadis itu segera keluar.Dengan langkah gontai, Kiara melangkah keluar.."Sabar, Ra. Jangan nangis dong." Dinda dan Ayu yang melihat Kiara keluar dari ruangan presdir langsung menghampiri Kiara. Tanpa dia sadari, mereka tadi mengintip."Hiks ... hiks ... hiks ... Dia kejam. Huwaa!!""Udah, Ra. Boss kita emang kelihatannya garang gitu. Tapi dia ganteng kok.""Hush!" Ayu memberi isyarat pada Nadia. Nadia nyengir."Dia cowok kok mulutnya pedes banget sih. Huhuhu... Gue mana betah kerja sama dia...""Tinggal keluar saja. Kamu kira saya peduli?""Eh."Mereka langsung menunduk kikuk. Devan menatap mereka dengan wajah tanpa ekspresi. Salah satu tangannya dimasukkan ke saku. Sehingga menambah kesan keren sekaligus bossy nya."Maaf pak, tadi kami hanya bercanda kok. Hehe," Nadia nyengir."Iya pak. Benar. Cuma akting," tambah Ayu, takut-takut.Ekspresi pria itu tidak berubah."Misi pak,"Nadia dan Ayu melipir meninggalkan Kiara bersama boss barunya kembali ke meja mereka masing-masing."Asem, gue malah ditinggal sendirian," batin Kiara kesal."Kenapa diam saja? lan
Kiara menoleh.Devan menyambut anak perempuan itu dengan wajah bahagia. Sorot wajahnya berubah lembut. Dia berjongkok dengan senyum manis yang belum pernah dilihat Kiara. Membuatnya terlihat lebih tampan dan berbeda."Rara kangen papa," ujar gadis kecil itu sambil memeluk Devan. Sepertinya bocah tersebut baru bisa ngomong 'R' terlihat dari aksennya."Aih anak papa, manjanya." Devan tertawa, tangannya mencubit hidung gadis kecil itu. Mereka tertawa-tawa.Kiara tertegun. Papa? Anak itu putrinya presdir? dan wanita ini ...."A-apa itu benar ..."Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk."Benar. Dia Rara. Putri tuan Devan," jelasnya. Kiara makin syok."Ada yang bisa saya bantu nona?" tanya wanita itu lagi."La-lalu, istrinya? Apa itu anda?"Perempuan itu malah tertawa."Bukan. Saya baby sitter Rara. Tuan Devan, beliau orang tua tunggal.""Orang tua tunggal? maksudnya ...""Nin! Ayo makan siang," ajak Devan, memotong perkataan Kiara."Baik, Tuan."Devan menggendong Rara dengan Nina berjal
Hening. Hanya saja ruangan terasa panas dengan hawa dinging yang menusuk. Bingung kan? ya pokoknya begitulah yang dirasakan Kiara. Kena semprot lagi. Mampus!"Apa kamu tidak punya jam, hah?""Pu-punya, Pak.""Tidak bisa membaca jam?""Bisa pak," jawabnya dengan tetap menunduk."Kenapa datang terlambat lagi? sudah saya peringatkan bukan? saya tidak suka ada karyawan yang tidak disiplin. Dua hari saya disini kamu sudah membuat kesan yang buruk.""Maaf, Pak.""Hah, maaf lagi," dengusnya."Rumah saya jauh, Pak. Dan saya setiap hari naik bis dari rumah.""Bukan urusan saya.""Kamu di terima disini, tentu saja harus menuruti aturan perusahaan. Bukan perusahaan yang menurutimu. Belilah kendaraan, atau cari kontrakan disini. Kurang cerdas sekali."Kiara menunduk. Andaikan bisa ia lakukan, sudah dari dulu dia mencari kontrakan di sekitar sini. Tapi ...."Saya tidak mau tahu. Datang tepat waktu atau keluar dari perusahaan ini. Mengerti!" tatapnya tajam. "Me-mengerti, Pak.""Sudah! sana keluar!
Langkah Kiara terhenti. Kenapa pria ini senang sekali mengusir dan menghentikan langkahnya begitu saja. "Kamu masih ingin bekerja disini bukan?""Benar, Pak."Devan menyeringai lagi. Menatap Kiara dari atas ke bawah. Membuat sang empunya meremas kuat ujung map yang dibawanya."Kalau begitu turuti perintah saya.""Maksud bapak?""Tinggal di rumah saya dan berpura-pura jadi mama putri saya."Andai ini sinetron mungkin sudah ada suara gemuruh petir di balik mendung hitam. Sayang ini nyata, jadi hanya Kiara yang tersambar petir perkataan Devan."Ma-maksud bapak?" tanyanya tak mengerti."Hey! bisa biasa saja mukanya? lagipula hanya sebagai mama pura-pura. Bukan mama yang sebenarnya. Lagian mana mungkin saya mau menikah dengan kamu. Jangan mimpi." Devan merasa kesal melihat ekspresi Kiara, seakan dirinya melamar gadis itu. Padahal jika bukan karena janjinya dengan Rara, mana mungkin dia menawari gadis suka terlambat itu untuk tinggal dirumahnya."Ta-tapi, Pak ...""Terima atau cari perus
Kiara memandang takjub kawasan ini. Berderet bangunan tinggi nan mewah. Disini memang terkenal sebagai kawasan elite. Meski bekerja di perusahaan yang besar, namun tak urung dia tetap merasa takjub dengan hunian orang kaya ini. Mobil menuju ke sebuah rumah mewah. Jarak gerbang dan rumahnya saja sejauh jarak rumah Kiara dan halte. Bibir gadis itu mendecak berkali-kali. Bagaimana bisa mereka membangun rumah mewah nan luas seperti bangunan ini contohnya."Turun." Tak terasa mereka sudah di garasi mobil. Kiara sampai tak menyadarinya saking terkesimanya. Dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan banyaknya kendaraan roda empat keluaran perusahaan terkenal berjejer rapi. Dia hanya bisa menelan ludah. Dirinya saja motor satu di pakai ayahnya kerja. Lah ini, mobil banyak bagaimana memakainya?"Mau sampai kapan melamun, hm?""Eh?" lamunannya buyar. Devan sudah berjalan mendahuluinya."Aish! kok gue ditinggal sih! Ini kan rumahnya. Kalau gue nyasar gimana? dasar bodoh!" rutuknya. Kiara segera m
"Atau jangan-jangan kau ..." Devan menghentikan ucapannya dan ucapan Kiara sekaligus. Dia dekatkan bibirnya di telinga Kiara. Berbisik pelan dengan seringaian tersungging di bibirnya."Kita menikah secepatnya saja. Kau tidak hanya mengurus anak saja, nanti kau juga ku ajari membuat anak." Kiara terkejut. Apalagi pria itu menatapnya dengan seringaian nakal."Hey! apa maksudmu!" teriaknya saat ia berhasil mencerna ucapan Devan tadi.Sedangkan pria itu terkekeh, abai kalau perkataannya tadi membuat wajah Kiara memerah."Tenang saja, aku hanya bercanda. Kita hanya akan menikah. Aku tidak akan menyentuhmu. Masalah pernikahan itu nanti akan kubicarakan pada papa."Papa? berarti pak Dedi dong. Harus ditaruh dimana mukanya jika tiba-tiba saja dia menjadi istri putranya. Apakah tidak menimbulkan pikiran buruk."Tap-tapi, apa tidak akan jadi masalah?""Lebih bermasalah lagi jika kita tinggal bersama tanpa pernikahan. Mereka akan memarahiku. Cukup Rara sebagai bukti kenakalanku dulu.""Aku tidak
"Huft! capeknya."Kiara memijit tengkuknya. Hari ini Devan benar-benar membuatnya kerja keras. Menemani rapat yang kemarin di tundalah, setelah itu meninjau anak cabang di kota sebelah, pulang dari meninjau baru juga mau duduk sudah di panggil lagi disuruh mengurus laporan. Ck, padahal seharian ini perutnya belum diisi. Apalagi pagi tadi dia belum sempat sarapan gara-gara di suruh cepat-cepat. Jam istirahat tadi dia tidak sempat karena dipanggil Devan.Dia lirik jam kecil di meja kerjanya. Pukul 14.15. Perutnya terasa makin perih. Pengen beli makan, tapi takut kena semprot Devan. Pria itu tadi sudah memperingatkan dirinya untuk tidak kemana-mana. Dia sandarkan dagunya di meja kerjanya. Melirik rekan-rekannya yang lain terlihat fokus dengan pekerjaannya. Berbeda dengan dirinya yang fokus meratapi perutnya yang keroncongan.Seorang office boy membawa nampan yang sepertinya makanan, melewatinya begitu saja. Reflek pandangannya mengikuti arah langkah
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak b