Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.
Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak bPagi kembali datang. Ini merupakan pagi ke tiga semenjak Kiara tinggal dirumah ini. Untung saja orang tua Devan sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi ia tidak terlalu canggung. Entah apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua pria itu akan keberadaannya nanti. Apalagi papa Devan adalah bossnya dulu. Ah, biarlah Devan yang menjelaskan nanti. Ia cukup diam.Ia mulai terbiasa dengan rumah ini. Bangun tidur ia langsung memberesi kamarnya, setelah itu membantu ke dapur sebentar. Tentu saja mengenal asisten rumah tangga disini juga perlu."Bi, ini di taruh dimana ya?" Kiara menunjuk sayuran yang ia gak tahu namanya. Maklum, makanan orang kota asing baginya."Masukan kulkas saja non. Buat menu nanti sore," jawab Bi Munah."Oke, siap." Semangat Kiara membantu bi Munah. Perempuan tua itu tersenyum. Baru kali ini tuan mudanya membawa wanita lain, selain Nina tentunya. Dan menurutnya Kiara merupakan pribadi yang menyenangkan dan cekatan.Gadis i
Tidak ada sahutan. Kia melihat jam tangannya. Hm, bisa terlambat kalau begini. Dari pada kena marah dua kali lipat, ia memutuskan untuk membuka pintu kamar Devan.Tidak terkunci.Ia melongok, pria itu masih meringkuk dibalik selimutnya."Ck, bisa bisanya dia masih terlelap," gumamnya.Tok! tok! tok!"Pak, sudah siang," ujarnya lagi, mengetuk pintu yang sudah terbuka.Devan tetap tak beranjak.Kiara melangkah pelan mendekati Devan yang sedang berbaring.Ia pandangi wajah lelap Devan. Tak biasanya pria itu seperti ini."Pak, pak Devan," panggilnya lagi."Eungh ..." hanya lenguhan pelan yang lolos.Lama lama geregetan juga. Kiara menyentuh lengan Devann. Namun ia kembali tersentak."Anda sakit?" Ia menempelkan telapaknya ke dahi Devan. Panas."Ya ampun. Panas sekali."Devan bergeming. Kia segera memutar badannya, hendak mengambil kompres dan es batu namun sebuah tangan menariknya membuatnya oleng
Dikantor suasana berjalan seperti biasa seolah ada Devan yang mengawasi mereka. Tak ada yang namanya bermalas-malasan. Daripada nanti kalau ketahuan kena damprat Boss galak mereka. Satrio meletakkan ponselnya di meja. Bukan karena perintah atasannya yang membuatnya tertegun. Tapi, dia seperti mendengar suara yang familiar, meski tidak jelas. Pikirannya mendadak kacau."Muka lo kenapa, Sat?""Eh, gak papa Yu." Dia melirik meja Kiara yang masih kosong. Positif thinking, mungkin saja Kiara terlambat lagi. Ayu yang mengetahui arah pandang Satrio ikut menoleh."Eh, baru sadar. Pak Devan belum datang ya.""Kiara juga," sambar Nadia."Yee ... kalau Kiara mah jangan diomong. Palingan juga, telat lagi dia.""Iya juga sih.""Yang jadi pertanyaan tuh, tumbenan pak Devan belum datang.""Beliau sakit," jawab Satrio sembari membawa beberapa berkas untuk di poto kopi."Ih, yang bener? jadi yang nelpon tadi pak Devan?"Satri
"Anda yakin sudah tak apa-apa?" tanya Kiara. Devan mengabaikan Kiara dan sibuk dengan laptopnya.Kiara menatapnya kesal. Cukup lama ia berdiri disini. Ia bertanya pun diabaikan. Merasa kesal, Kiara meletakkan berkasnya diatas meja dengan sedikit keras.Brugh!"Saya permisi keluar," ujarnya sembari membalikkan badan. Tak lupa ia hentakkan kakinya sebagai pelampisan kekesalan karena sedari tadi diabaikan."Mama sama papa pulang hari ini."Kiara sontak menghentikan langkahnya."A-apa? Maksudnya pak Dedi? Lalu, aku bagaimana? Aku pulang ke rumah saja ya?" ucapnya khawatir. Devan sontak menghentikan aktifitasnya dan menatap Kiara kesal."Kau mau melupakan kesepakatan kita, eoh?" Kiara menggigit bibir bawahnya. Mengerling ke arah lain."Tapi apa yang harus aku katakan pada orang tua mu nanti?""Itu urusanku. Tugasmu hanya mengiyakan. Ingat! Mengiyakan bukan menolak." Sorot mata Devan menusuk.Kiara terdiam, ia mulai bimbang.
"Argh!" Satrio mengepalkan tangannya kuat. Beruntung krannya menyala keras, hingga suaranya bisa teredam."Kenapa setelah tujuh tahun berlalu gue harus mendengar nama busuk lo lagi!"Wajah Satrio mengeras, Emosi. Kehidupannya berubah tragis setelah itu. Dia pindah sekolah dan mengganti semua akses dirinya. Nomor telepon, sosial media dan apapun itu. Satrio resmi menghilang. Ia membuka lembaran barunya.Pelariannya membawa dirinya pada pertemuannya dengan Kiara. Gadis manis berwajah oval dan berlesung pipit itu.Namun hubungan mereka yang baru terajut harus berakhir karena peristiwa kelam itu, peristiwa yang membawa Kiara pada kehancuran. Dan kini ia kembali bertemu dengan Kiara. Penyesalannya kembali muncul, karena justru menjauh saat gadis itu butuh perhatian. Ia ingin menutupi sesalnya dengan selalu di dekat Kiara. Tapi sepertinya Devan, Putra pak Dedi itu mengincar Kiara juga. Dan, Satrio yakin, Devan adalah cowok itu. Teman si brengsek Dodi. Ya, me
"Anda yakin sudah tak apa-apa?" tanya Kiara. Devan mengabaikan Kiara dan sibuk dengan laptopnya.Kiara menatapnya kesal. Cukup lama ia berdiri disini. Ia bertanya pun diabaikan. Merasa kesal, Kiara meletakkan berkasnya diatas meja dengan sedikit keras.Brugh!"Saya permisi keluar," ujarnya sembari membalikkan badan. Tak lupa ia hentakkan kakinya sebagai pelampisan kekesalan karena sedari tadi diabaikan."Mama sama papa pulang hari ini."Kiara sontak menghentikan langkahnya."A-apa? Maksudnya pak Dedi? Lalu, aku bagaimana? Aku pulang ke rumah saja ya?" ucapnya khawatir. Devan sontak menghentikan aktifitasnya dan menatap Kiara kesal."Kau mau melupakan kesepakatan kita, eoh?" Kiara menggigit bibir bawahnya. Mengerling ke arah lain."Tapi apa yang harus aku katakan pada orang tua mu nanti?""Itu urusanku. Tugasmu hanya mengiyakan. Ingat! Mengiyakan bukan menolak." Sorot mata Devan menusuk.Kiara terdiam, ia mulai bimbang."Sudah. Sekarang keluar. Kita nanti pulang cepat, ke salon dulu.
Kiara menatap kesal pada Devan. Apa pria itu pikir selama ini dirinya tak pandai berdandan? Huh! Mereka kini memasuki salon terbaik di Jakarta. Kalian tahu kan bagaimana rupa Devan yang rupawan dan tinggi atletis akan membuatnya menjadi pusat perhatian. Begitu juga di salon ini. Banyak wanita pelanggan yang terpukau melihat Devan. Bahkan mungkin pegawainya yang meski notabene waria. Namun, sepertinya mereka berusaha profesional dengan hanya mencuri pandang sesekali. Devan mengedarkan pandangan seperti mencari seseorang.Seorang wanita cantik yang sepertinya salah satu perias disini datang menghampiri. Rupanya dia sudah mengenal Devan lama, terbukti dari senyum santai yang terukir dibibirnya. Mungkin saja Devan langganan disini."Ada apa, Van? Siapa yang harus aku sulap hari ini?"Wanita itu menoleh Kiara."Apakah dia?" Wanita cantik itu menatap Kiara sembari tersenyum.Kiara memandang takjub wanita itu. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya bagus dan cantik impian semua wanita. Benar-b
Devan terdiam sejenak melihat perubahan penampilan Kiara."Bagaimana, sempurna bukan?" tutur Cathrine bangga. Kiara sekarang sudah berganti memakai gaun putih tulang selutut. Warna yang menyatu dengan kulit putihnya. Rambutnya dibiarkan tergerai. Cantik. "Biasa saja." Devan mengalihakan pandangan, menutupi keterpakuan yang sempat hadir. Cathrine mendecak."Ck! Selalu saja kau ini. Pelit pujian.""Aku pergi."Alih-alih menghibur Cathrine, Devan justru langsung beranjak keluar. Membuat Kiara tergesa mengejarnya."Eh, gue kok ditinggal," rutuknya. Namun sebelum itu dia mengucapkan terimakasih pada Catherine.--------Sepanjang perjalanan mereka hanya saling diam. Membuat Kiara makin kesal saja."Percuma aku dandan kalau diabaikan," gerutu Kiara. Ia buang pandangan keluar jendela. Devan meliriknya sekilas dengan senyum tipis yang terukir.Tak lama kemudian mereka sampai di kediaman pria itu. Devan keluar lebih dulu. Hal yang biasa bagi Kiara. Tapi kali ini dia agak kesulitan, karena heell