Dikantor suasana berjalan seperti biasa seolah ada Devan yang mengawasi mereka. Tak ada yang namanya bermalas-malasan. Daripada nanti kalau ketahuan kena damprat Boss galak mereka.
Satrio meletakkan ponselnya di meja. Bukan karena perintah atasannya yang membuatnya tertegun. Tapi, dia seperti mendengar suara yang familiar, meski tidak jelas. Pikirannya mendadak kacau."Muka lo kenapa, Sat?""Eh, gak papa Yu."Dia melirik meja Kiara yang masih kosong. Positif thinking, mungkin saja Kiara terlambat lagi. Ayu yang mengetahui arah pandang Satrio ikut menoleh."Eh, baru sadar. Pak Devan belum datang ya.""Kiara juga," sambar Nadia."Yee ... kalau Kiara mah jangan diomong. Palingan juga, telat lagi dia.""Iya juga sih.""Yang jadi pertanyaan tuh, tumbenan pak Devan belum datang.""Beliau sakit," jawab Satrio sembari membawa beberapa berkas untuk di poto kopi."Ih, yang bener? jadi yang nelpon tadi pak Devan?"Satri"Anda yakin sudah tak apa-apa?" tanya Kiara. Devan mengabaikan Kiara dan sibuk dengan laptopnya.Kiara menatapnya kesal. Cukup lama ia berdiri disini. Ia bertanya pun diabaikan. Merasa kesal, Kiara meletakkan berkasnya diatas meja dengan sedikit keras.Brugh!"Saya permisi keluar," ujarnya sembari membalikkan badan. Tak lupa ia hentakkan kakinya sebagai pelampisan kekesalan karena sedari tadi diabaikan."Mama sama papa pulang hari ini."Kiara sontak menghentikan langkahnya."A-apa? Maksudnya pak Dedi? Lalu, aku bagaimana? Aku pulang ke rumah saja ya?" ucapnya khawatir. Devan sontak menghentikan aktifitasnya dan menatap Kiara kesal."Kau mau melupakan kesepakatan kita, eoh?" Kiara menggigit bibir bawahnya. Mengerling ke arah lain."Tapi apa yang harus aku katakan pada orang tua mu nanti?""Itu urusanku. Tugasmu hanya mengiyakan. Ingat! Mengiyakan bukan menolak." Sorot mata Devan menusuk.Kiara terdiam, ia mulai bimbang.
"Argh!" Satrio mengepalkan tangannya kuat. Beruntung krannya menyala keras, hingga suaranya bisa teredam."Kenapa setelah tujuh tahun berlalu gue harus mendengar nama busuk lo lagi!"Wajah Satrio mengeras, Emosi. Kehidupannya berubah tragis setelah itu. Dia pindah sekolah dan mengganti semua akses dirinya. Nomor telepon, sosial media dan apapun itu. Satrio resmi menghilang. Ia membuka lembaran barunya.Pelariannya membawa dirinya pada pertemuannya dengan Kiara. Gadis manis berwajah oval dan berlesung pipit itu.Namun hubungan mereka yang baru terajut harus berakhir karena peristiwa kelam itu, peristiwa yang membawa Kiara pada kehancuran. Dan kini ia kembali bertemu dengan Kiara. Penyesalannya kembali muncul, karena justru menjauh saat gadis itu butuh perhatian. Ia ingin menutupi sesalnya dengan selalu di dekat Kiara. Tapi sepertinya Devan, Putra pak Dedi itu mengincar Kiara juga. Dan, Satrio yakin, Devan adalah cowok itu. Teman si brengsek Dodi. Ya, me
"Anda yakin sudah tak apa-apa?" tanya Kiara. Devan mengabaikan Kiara dan sibuk dengan laptopnya.Kiara menatapnya kesal. Cukup lama ia berdiri disini. Ia bertanya pun diabaikan. Merasa kesal, Kiara meletakkan berkasnya diatas meja dengan sedikit keras.Brugh!"Saya permisi keluar," ujarnya sembari membalikkan badan. Tak lupa ia hentakkan kakinya sebagai pelampisan kekesalan karena sedari tadi diabaikan."Mama sama papa pulang hari ini."Kiara sontak menghentikan langkahnya."A-apa? Maksudnya pak Dedi? Lalu, aku bagaimana? Aku pulang ke rumah saja ya?" ucapnya khawatir. Devan sontak menghentikan aktifitasnya dan menatap Kiara kesal."Kau mau melupakan kesepakatan kita, eoh?" Kiara menggigit bibir bawahnya. Mengerling ke arah lain."Tapi apa yang harus aku katakan pada orang tua mu nanti?""Itu urusanku. Tugasmu hanya mengiyakan. Ingat! Mengiyakan bukan menolak." Sorot mata Devan menusuk.Kiara terdiam, ia mulai bimbang."Sudah. Sekarang keluar. Kita nanti pulang cepat, ke salon dulu.
Kiara menatap kesal pada Devan. Apa pria itu pikir selama ini dirinya tak pandai berdandan? Huh! Mereka kini memasuki salon terbaik di Jakarta. Kalian tahu kan bagaimana rupa Devan yang rupawan dan tinggi atletis akan membuatnya menjadi pusat perhatian. Begitu juga di salon ini. Banyak wanita pelanggan yang terpukau melihat Devan. Bahkan mungkin pegawainya yang meski notabene waria. Namun, sepertinya mereka berusaha profesional dengan hanya mencuri pandang sesekali. Devan mengedarkan pandangan seperti mencari seseorang.Seorang wanita cantik yang sepertinya salah satu perias disini datang menghampiri. Rupanya dia sudah mengenal Devan lama, terbukti dari senyum santai yang terukir dibibirnya. Mungkin saja Devan langganan disini."Ada apa, Van? Siapa yang harus aku sulap hari ini?"Wanita itu menoleh Kiara."Apakah dia?" Wanita cantik itu menatap Kiara sembari tersenyum.Kiara memandang takjub wanita itu. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya bagus dan cantik impian semua wanita. Benar-b
Devan terdiam sejenak melihat perubahan penampilan Kiara."Bagaimana, sempurna bukan?" tutur Cathrine bangga. Kiara sekarang sudah berganti memakai gaun putih tulang selutut. Warna yang menyatu dengan kulit putihnya. Rambutnya dibiarkan tergerai. Cantik. "Biasa saja." Devan mengalihakan pandangan, menutupi keterpakuan yang sempat hadir. Cathrine mendecak."Ck! Selalu saja kau ini. Pelit pujian.""Aku pergi."Alih-alih menghibur Cathrine, Devan justru langsung beranjak keluar. Membuat Kiara tergesa mengejarnya."Eh, gue kok ditinggal," rutuknya. Namun sebelum itu dia mengucapkan terimakasih pada Catherine.--------Sepanjang perjalanan mereka hanya saling diam. Membuat Kiara makin kesal saja."Percuma aku dandan kalau diabaikan," gerutu Kiara. Ia buang pandangan keluar jendela. Devan meliriknya sekilas dengan senyum tipis yang terukir.Tak lama kemudian mereka sampai di kediaman pria itu. Devan keluar lebih dulu. Hal yang biasa bagi Kiara. Tapi kali ini dia agak kesulitan, karena heell
"Tidak! Tidak! Jangan!" teriaknya histeris. Kekalutan menerpa dirinya. Kejadian demi kejadian dengan runtut kembali membayanginya. Malam yang kelam, dingin karena hujan, jalanan yang sepi membuatnya tak terlalu memperhatikan jalanan. Pikirannya hanya satu, cepat-cepat sampai kos-kosan untuk segera berganti baju dan membuat segelas susu panas. Tugas kampus yang membuatnya kemalaman di rumah temannya, sebenarnya temannya menyuruhnya menginap, tapi ia tak terbiasa menginap. Gang sepi, tak seorang pun yang lewat, mungkin karena hujan membuatnya dilanda rasa khawatir dan takut. Ia sempat bernapas lega saat dilihatnya ada seseorang dari arah berlawanan yang juga sedang berjalan melawan derasnya hujan.Tiba lebih dekat, dapat ia lihat bahwa sosok itu adalah seorang pria. Sayangnya, gelapnya malam ditambah curah hujan yang menderas membuatnya tak melihat sosok itu secara jelas.Ia segera mempercapat langkahnya, namun sebuah tangan kekar menahannya dan menariknya dengan kuat. Belum sempat ia
Esoknya, pukul 08:45 dikantor. Kiara memandangi ruangan Devan tanpa sadar. Bayangan kejadian tadi malam saat ia memeluk Devan kini terasa jelas, dan ternyata rasanya memalukan. Sedari tadi bahkan Kiara tak berani memandang Devan Merekapun hanya saling diam dalam perjalanan ke kantor."Apa yang gue lakuin tadi malem. Kia bodoh!" keluhnya sembari memukul-mukul kepalanya ke meja. Ayu dan Nadia saling berpandangan lalu mengangkat bahunya. Kiara terlihat aneh sedari tadi pagi. Satrio, pria itu tak ketinggalan mengamati ekspresi Kiara. Ada yang janggal."Bagaimana aku harus bersikap saat ke ruangannya nanti? Aish! Kenapa memalukan sekali!" rutuknya lagi."Ra, pak Devan minta di belikan siomay sama kamu," ujar Satrio. Kiara sontak mendongak."Gu-gue?" tunjuknya pada diri sendiri. Satrio mengangguk."Lah, dia kira gue Office Girl apa. Nyebelin banget sih," gerutunya seraya beranjak."Aku temenin."Kiara hanya tersenyum.Mereka melangkah dalam diam. Tentu saja karena Kiara masih kepikiran tadi
Setelah rutinitas hari ini yang melelahkan, akhirnya tiba jam pulang. Para karyawan bersiap-siap memberesi barang-barangnya masing-masing. Tak terkecuali Kiara. Ia telah selesai dengan urusannya. Sudut matanya sempat melihat ruangan Devan. Bahkan sedari tadi pria itu tak keluar dari ruangannya. Apa mungkin ada pekerjaan yang mendesak yang membuatnya harus lembur? Ataukah perusahaan sedang berada di tingkat ketidak stabilan?Entahlah, dia hanya karyawan.Kiara melangkah keluar, dengan pikiran berkecamuk. Tiba di pinggir jalan, Kiara hanya diam terpaku. Ia belum bisa memutuskan harus naik apa untuk pulang. Kalaupun taksi, dia juga tak faham dengan alamat rumah Adam.Ia menimang-nimang ponselnya, antara menghubungi Devan atau nekat pulang."Tin! Ttin!"Suara klakson mengagetkannya."Belum pulang, Ra?" "Eh, belum Sat."Satrio menghentikan motor besarnya disamping Kiara. Ikut mengawasi jalanan yang ramai karena jam pulang kerja.