"Sabar, Ra. Jangan nangis dong."
Dinda dan Ayu yang melihat Kiara keluar dari ruangan presdir langsung menghampiri Kiara. Tanpa dia sadari, mereka tadi mengintip."Hiks ... hiks ... hiks ... Dia kejam. Huwaa!!""Udah, Ra. Boss kita emang kelihatannya garang gitu. Tapi dia ganteng kok.""Hush!" Ayu memberi isyarat pada Nadia. Nadia nyengir."Dia cowok kok mulutnya pedes banget sih. Huhuhu... Gue mana betah kerja sama dia...""Tinggal keluar saja. Kamu kira saya peduli?""Eh."Mereka langsung menunduk kikuk. Devan menatap mereka dengan wajah tanpa ekspresi. Salah satu tangannya dimasukkan ke saku. Sehingga menambah kesan keren sekaligus bossy nya."Maaf pak, tadi kami hanya bercanda kok. Hehe," Nadia nyengir."Iya pak. Benar. Cuma akting," tambah Ayu, takut-takut.Ekspresi pria itu tidak berubah."Misi pak,"Nadia dan Ayu melipir meninggalkan Kiara bersama boss barunya kembali ke meja mereka masing-masing."Asem, gue malah ditinggal sendirian," batin Kiara kesal."Kenapa diam saja? lanjutkan saja ngocehnya," ujarnya dengan tetap menatap tajam Kiara.Kiara menghela napas. Kesal, tapi bagaimana lagi. Dia tetap pegawai, dan Devan adalah boss. Mau melawan sama saja cari mati.Tangannya terulur menyeka air matanya yang tadi sempat turun."Maaf pak. Saya cuma sedikit kesal tadi."Kiara diam saja. Tatapannya masih sama."Kesal? Bukannya harusnya saya. Baru hari pertama sudah mendapat karyawan mengecewakan sepertimu," ujarnya lalu kembali ke ruangannya lagi.Blam!Kiara berjingkat."Eh anjir! copot! copot!" racaunya. Kiara menatap pintu ruangan, geram."Aish! Bisa santai gak sih! Bikin orang jantungan saja," gerutunya.----GF Corp adalah salah satu dari tiga perusahaan besar di Indonesia. Perusahaan ini di bangun oleh Dedi Wibowo dari nol. Kini perusahaan itu di wariskan pada putranya.Siapa sih yang bisa menyangkal pesona ganteng dari pemuda itu. Tubuh tingginya menyimpan badan yang kekar di balik jasnya. Wajahnya bersih dan rapi juga dengan rahang yang tegas. Sorot matanya tajam dan tegas.Sayang, galak. Itu kesan pertama yang di tangkap oleh Kiara dan rekan-rekannya.Pagi tadi saja, mereka kena semprot karena ada sesuatu yang tidak pas dengan prinsipnya. Apalagi Kiara, yang biasa datang terlambat, makin membuatnya tidak suka.Sepertinya, dengan kedatangan Devan ini, bakal membuat keadaan di perusahaan GF Corp. berubah.----"Berkas untuk rapat besok sudah beres?" tanya Devan."Sudah pak." Kiara menyodorkan setumpuk berkas untuk pertemuan dengan kolega mereka besok.Devan meraih berkas itu dan membacanya. Tangannya membuka lembaran demi lembaran. Semakin kesana, ekspresinya makin buruk. Dahinya mengernyit."Jangan bilang dia minta revisi. Semoga aja dia setuju. Please." Kiara meremas jemarinya, menahan napas."Itu usaha gue semalaman penuh. Jangan sampek berakhir di kotak sampah. Please," batinnya ketar-ketir."Huft!" Devan melepas kacamata yang tadi dipakainya. Mendorong tumpukan berkas."Bisa kau bacakan point 3""Ba-baik pak."Dinda meraih berkas itu, lalu membaca yang di suruh bossnya itu."5!""7!""10!"Begitu berkali-kali. Lama-lama kesal juga."Ck! Apa sebatas ini kemampuanmu?" tanyanya tajam."Saya sudah mengerahkan kemampuan saya pak.""Kemampuan? kamu bilang kemampuan? Ck!"Kiara menunduk. Meremas ujung blazernya."Besok temui orang ini." Tangannya menyodorkan sebuah kertas dengan alamat. Kiara meraihnya, dan melihat sejenak. Keningnya mengernyit. Untuk apa presdirnya itu menyuruh dirinya menemui orang ini."Dia yang akan membimbingmu belajar lagi.""Ck! Bagaimana bisa papa bertahan dengan sekretaris sepertimu, dengan kemampuan yang hanya segitu?" liriknya meremehkan."Maaf, Pak."Kiara diam-diam meremas kertas yang diberikan oleh Devan. Menggerutu dalam hati."Sabar, Ra. Lo pasti kuat. Bertahan. Anggep aja itu mulut kayak comberan. Abaikan!""Perbaiki yang saya coret tadi. Dan jangan sampai ada yang salah.""Baik, Pak.""Nanti bawa lagi ke saya.""Baik, Pak."Apalagi kata yang pas untuk berucap 'baik' pada atasan bukan?Kiara mengambil berkas tadi dan beranjak keluar. Namun, ketika dia hendak membuka pintu, tangannya tertahan. Ada yang membuka lebih dulu.Seorang anak perempuan kecil. Berlari melewatinya."Papa!" teriaknya dan langsung menghampiri pria itu. Seorang wanita muda tersenyum pada Dinda, yang ia balas dengan senyum canggung. Pikirannya seketika tertuju pada panggilan anak itu."Pa-papa?" gumam Kiara.Jadi pria itu sudah ...Kiara menoleh.Devan menyambut anak perempuan itu dengan wajah bahagia. Sorot wajahnya berubah lembut. Dia berjongkok dengan senyum manis yang belum pernah dilihat Kiara. Membuatnya terlihat lebih tampan dan berbeda."Rara kangen papa," ujar gadis kecil itu sambil memeluk Devan. Sepertinya bocah tersebut baru bisa ngomong 'R' terlihat dari aksennya."Aih anak papa, manjanya." Devan tertawa, tangannya mencubit hidung gadis kecil itu. Mereka tertawa-tawa.Kiara tertegun. Papa? Anak itu putrinya presdir? dan wanita ini ...."A-apa itu benar ..."Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk."Benar. Dia Rara. Putri tuan Devan," jelasnya. Kiara makin syok."Ada yang bisa saya bantu nona?" tanya wanita itu lagi."La-lalu, istrinya? Apa itu anda?"Perempuan itu malah tertawa."Bukan. Saya baby sitter Rara. Tuan Devan, beliau orang tua tunggal.""Orang tua tunggal? maksudnya ...""Nin! Ayo makan siang," ajak Devan, memotong perkataan Kiara."Baik, Tuan."Devan menggendong Rara dengan Nina berjal
Hening. Hanya saja ruangan terasa panas dengan hawa dinging yang menusuk. Bingung kan? ya pokoknya begitulah yang dirasakan Kiara. Kena semprot lagi. Mampus!"Apa kamu tidak punya jam, hah?""Pu-punya, Pak.""Tidak bisa membaca jam?""Bisa pak," jawabnya dengan tetap menunduk."Kenapa datang terlambat lagi? sudah saya peringatkan bukan? saya tidak suka ada karyawan yang tidak disiplin. Dua hari saya disini kamu sudah membuat kesan yang buruk.""Maaf, Pak.""Hah, maaf lagi," dengusnya."Rumah saya jauh, Pak. Dan saya setiap hari naik bis dari rumah.""Bukan urusan saya.""Kamu di terima disini, tentu saja harus menuruti aturan perusahaan. Bukan perusahaan yang menurutimu. Belilah kendaraan, atau cari kontrakan disini. Kurang cerdas sekali."Kiara menunduk. Andaikan bisa ia lakukan, sudah dari dulu dia mencari kontrakan di sekitar sini. Tapi ...."Saya tidak mau tahu. Datang tepat waktu atau keluar dari perusahaan ini. Mengerti!" tatapnya tajam. "Me-mengerti, Pak.""Sudah! sana keluar!
Langkah Kiara terhenti. Kenapa pria ini senang sekali mengusir dan menghentikan langkahnya begitu saja. "Kamu masih ingin bekerja disini bukan?""Benar, Pak."Devan menyeringai lagi. Menatap Kiara dari atas ke bawah. Membuat sang empunya meremas kuat ujung map yang dibawanya."Kalau begitu turuti perintah saya.""Maksud bapak?""Tinggal di rumah saya dan berpura-pura jadi mama putri saya."Andai ini sinetron mungkin sudah ada suara gemuruh petir di balik mendung hitam. Sayang ini nyata, jadi hanya Kiara yang tersambar petir perkataan Devan."Ma-maksud bapak?" tanyanya tak mengerti."Hey! bisa biasa saja mukanya? lagipula hanya sebagai mama pura-pura. Bukan mama yang sebenarnya. Lagian mana mungkin saya mau menikah dengan kamu. Jangan mimpi." Devan merasa kesal melihat ekspresi Kiara, seakan dirinya melamar gadis itu. Padahal jika bukan karena janjinya dengan Rara, mana mungkin dia menawari gadis suka terlambat itu untuk tinggal dirumahnya."Ta-tapi, Pak ...""Terima atau cari perus
Kiara memandang takjub kawasan ini. Berderet bangunan tinggi nan mewah. Disini memang terkenal sebagai kawasan elite. Meski bekerja di perusahaan yang besar, namun tak urung dia tetap merasa takjub dengan hunian orang kaya ini. Mobil menuju ke sebuah rumah mewah. Jarak gerbang dan rumahnya saja sejauh jarak rumah Kiara dan halte. Bibir gadis itu mendecak berkali-kali. Bagaimana bisa mereka membangun rumah mewah nan luas seperti bangunan ini contohnya."Turun." Tak terasa mereka sudah di garasi mobil. Kiara sampai tak menyadarinya saking terkesimanya. Dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan banyaknya kendaraan roda empat keluaran perusahaan terkenal berjejer rapi. Dia hanya bisa menelan ludah. Dirinya saja motor satu di pakai ayahnya kerja. Lah ini, mobil banyak bagaimana memakainya?"Mau sampai kapan melamun, hm?""Eh?" lamunannya buyar. Devan sudah berjalan mendahuluinya."Aish! kok gue ditinggal sih! Ini kan rumahnya. Kalau gue nyasar gimana? dasar bodoh!" rutuknya. Kiara segera m
"Atau jangan-jangan kau ..." Devan menghentikan ucapannya dan ucapan Kiara sekaligus. Dia dekatkan bibirnya di telinga Kiara. Berbisik pelan dengan seringaian tersungging di bibirnya."Kita menikah secepatnya saja. Kau tidak hanya mengurus anak saja, nanti kau juga ku ajari membuat anak." Kiara terkejut. Apalagi pria itu menatapnya dengan seringaian nakal."Hey! apa maksudmu!" teriaknya saat ia berhasil mencerna ucapan Devan tadi.Sedangkan pria itu terkekeh, abai kalau perkataannya tadi membuat wajah Kiara memerah."Tenang saja, aku hanya bercanda. Kita hanya akan menikah. Aku tidak akan menyentuhmu. Masalah pernikahan itu nanti akan kubicarakan pada papa."Papa? berarti pak Dedi dong. Harus ditaruh dimana mukanya jika tiba-tiba saja dia menjadi istri putranya. Apakah tidak menimbulkan pikiran buruk."Tap-tapi, apa tidak akan jadi masalah?""Lebih bermasalah lagi jika kita tinggal bersama tanpa pernikahan. Mereka akan memarahiku. Cukup Rara sebagai bukti kenakalanku dulu.""Aku tidak
"Huft! capeknya."Kiara memijit tengkuknya. Hari ini Devan benar-benar membuatnya kerja keras. Menemani rapat yang kemarin di tundalah, setelah itu meninjau anak cabang di kota sebelah, pulang dari meninjau baru juga mau duduk sudah di panggil lagi disuruh mengurus laporan. Ck, padahal seharian ini perutnya belum diisi. Apalagi pagi tadi dia belum sempat sarapan gara-gara di suruh cepat-cepat. Jam istirahat tadi dia tidak sempat karena dipanggil Devan.Dia lirik jam kecil di meja kerjanya. Pukul 14.15. Perutnya terasa makin perih. Pengen beli makan, tapi takut kena semprot Devan. Pria itu tadi sudah memperingatkan dirinya untuk tidak kemana-mana. Dia sandarkan dagunya di meja kerjanya. Melirik rekan-rekannya yang lain terlihat fokus dengan pekerjaannya. Berbeda dengan dirinya yang fokus meratapi perutnya yang keroncongan.Seorang office boy membawa nampan yang sepertinya makanan, melewatinya begitu saja. Reflek pandangannya mengikuti arah langkah
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak b
Pagi kembali datang. Ini merupakan pagi ke tiga semenjak Kiara tinggal dirumah ini. Untung saja orang tua Devan sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi ia tidak terlalu canggung. Entah apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua pria itu akan keberadaannya nanti. Apalagi papa Devan adalah bossnya dulu. Ah, biarlah Devan yang menjelaskan nanti. Ia cukup diam.Ia mulai terbiasa dengan rumah ini. Bangun tidur ia langsung memberesi kamarnya, setelah itu membantu ke dapur sebentar. Tentu saja mengenal asisten rumah tangga disini juga perlu."Bi, ini di taruh dimana ya?" Kiara menunjuk sayuran yang ia gak tahu namanya. Maklum, makanan orang kota asing baginya."Masukan kulkas saja non. Buat menu nanti sore," jawab Bi Munah."Oke, siap." Semangat Kiara membantu bi Munah. Perempuan tua itu tersenyum. Baru kali ini tuan mudanya membawa wanita lain, selain Nina tentunya. Dan menurutnya Kiara merupakan pribadi yang menyenangkan dan cekatan.Gadis i
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu