"Sabar, Ra. Jangan nangis dong."
Dinda dan Ayu yang melihat Kiara keluar dari ruangan presdir langsung menghampiri Kiara. Tanpa dia sadari, mereka tadi mengintip."Hiks ... hiks ... hiks ... Dia kejam. Huwaa!!""Udah, Ra. Boss kita emang kelihatannya garang gitu. Tapi dia ganteng kok.""Hush!" Ayu memberi isyarat pada Nadia. Nadia nyengir."Dia cowok kok mulutnya pedes banget sih. Huhuhu... Gue mana betah kerja sama dia...""Tinggal keluar saja. Kamu kira saya peduli?""Eh."Mereka langsung menunduk kikuk. Devan menatap mereka dengan wajah tanpa ekspresi. Salah satu tangannya dimasukkan ke saku. Sehingga menambah kesan keren sekaligus bossy nya."Maaf pak, tadi kami hanya bercanda kok. Hehe," Nadia nyengir."Iya pak. Benar. Cuma akting," tambah Ayu, takut-takut.Ekspresi pria itu tidak berubah."Misi pak,"Nadia dan Ayu melipir meninggalkan Kiara bersama boss barunya kembali ke meja mereka masing-masing."Asem, gue malah ditinggal sendirian," batin Kiara kesal."Kenapa diam saja? lanjutkan saja ngocehnya," ujarnya dengan tetap menatap tajam Kiara.Kiara menghela napas. Kesal, tapi bagaimana lagi. Dia tetap pegawai, dan Devan adalah boss. Mau melawan sama saja cari mati.Tangannya terulur menyeka air matanya yang tadi sempat turun."Maaf pak. Saya cuma sedikit kesal tadi."Kiara diam saja. Tatapannya masih sama."Kesal? Bukannya harusnya saya. Baru hari pertama sudah mendapat karyawan mengecewakan sepertimu," ujarnya lalu kembali ke ruangannya lagi.Blam!Kiara berjingkat."Eh anjir! copot! copot!" racaunya. Kiara menatap pintu ruangan, geram."Aish! Bisa santai gak sih! Bikin orang jantungan saja," gerutunya.----GF Corp adalah salah satu dari tiga perusahaan besar di Indonesia. Perusahaan ini di bangun oleh Dedi Wibowo dari nol. Kini perusahaan itu di wariskan pada putranya.Siapa sih yang bisa menyangkal pesona ganteng dari pemuda itu. Tubuh tingginya menyimpan badan yang kekar di balik jasnya. Wajahnya bersih dan rapi juga dengan rahang yang tegas. Sorot matanya tajam dan tegas.Sayang, galak. Itu kesan pertama yang di tangkap oleh Kiara dan rekan-rekannya.Pagi tadi saja, mereka kena semprot karena ada sesuatu yang tidak pas dengan prinsipnya. Apalagi Kiara, yang biasa datang terlambat, makin membuatnya tidak suka.Sepertinya, dengan kedatangan Devan ini, bakal membuat keadaan di perusahaan GF Corp. berubah.----"Berkas untuk rapat besok sudah beres?" tanya Devan."Sudah pak." Kiara menyodorkan setumpuk berkas untuk pertemuan dengan kolega mereka besok.Devan meraih berkas itu dan membacanya. Tangannya membuka lembaran demi lembaran. Semakin kesana, ekspresinya makin buruk. Dahinya mengernyit."Jangan bilang dia minta revisi. Semoga aja dia setuju. Please." Kiara meremas jemarinya, menahan napas."Itu usaha gue semalaman penuh. Jangan sampek berakhir di kotak sampah. Please," batinnya ketar-ketir."Huft!" Devan melepas kacamata yang tadi dipakainya. Mendorong tumpukan berkas."Bisa kau bacakan point 3""Ba-baik pak."Dinda meraih berkas itu, lalu membaca yang di suruh bossnya itu."5!""7!""10!"Begitu berkali-kali. Lama-lama kesal juga."Ck! Apa sebatas ini kemampuanmu?" tanyanya tajam."Saya sudah mengerahkan kemampuan saya pak.""Kemampuan? kamu bilang kemampuan? Ck!"Kiara menunduk. Meremas ujung blazernya."Besok temui orang ini." Tangannya menyodorkan sebuah kertas dengan alamat. Kiara meraihnya, dan melihat sejenak. Keningnya mengernyit. Untuk apa presdirnya itu menyuruh dirinya menemui orang ini."Dia yang akan membimbingmu belajar lagi.""Ck! Bagaimana bisa papa bertahan dengan sekretaris sepertimu, dengan kemampuan yang hanya segitu?" liriknya meremehkan."Maaf, Pak."Kiara diam-diam meremas kertas yang diberikan oleh Devan. Menggerutu dalam hati."Sabar, Ra. Lo pasti kuat. Bertahan. Anggep aja itu mulut kayak comberan. Abaikan!""Perbaiki yang saya coret tadi. Dan jangan sampai ada yang salah.""Baik, Pak.""Nanti bawa lagi ke saya.""Baik, Pak."Apalagi kata yang pas untuk berucap 'baik' pada atasan bukan?Kiara mengambil berkas tadi dan beranjak keluar. Namun, ketika dia hendak membuka pintu, tangannya tertahan. Ada yang membuka lebih dulu.Seorang anak perempuan kecil. Berlari melewatinya."Papa!" teriaknya dan langsung menghampiri pria itu. Seorang wanita muda tersenyum pada Dinda, yang ia balas dengan senyum canggung. Pikirannya seketika tertuju pada panggilan anak itu."Pa-papa?" gumam Kiara.Jadi pria itu sudah ...Kiara menoleh.Devan menyambut anak perempuan itu dengan wajah bahagia. Sorot wajahnya berubah lembut. Dia berjongkok dengan senyum manis yang belum pernah dilihat Kiara. Membuatnya terlihat lebih tampan dan berbeda."Rara kangen papa," ujar gadis kecil itu sambil memeluk Devan. Sepertinya bocah tersebut baru bisa ngomong 'R' terlihat dari aksennya."Aih anak papa, manjanya." Devan tertawa, tangannya mencubit hidung gadis kecil itu. Mereka tertawa-tawa.Kiara tertegun. Papa? Anak itu putrinya presdir? dan wanita ini ...."A-apa itu benar ..."Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk."Benar. Dia Rara. Putri tuan Devan," jelasnya. Kiara makin syok."Ada yang bisa saya bantu nona?" tanya wanita itu lagi."La-lalu, istrinya? Apa itu anda?"Perempuan itu malah tertawa."Bukan. Saya baby sitter Rara. Tuan Devan, beliau orang tua tunggal.""Orang tua tunggal? maksudnya ...""Nin! Ayo makan siang," ajak Devan, memotong perkataan Kiara."Baik, Tuan."Devan menggendong Rara dengan Nina berjal
Hening. Hanya saja ruangan terasa panas dengan hawa dinging yang menusuk. Bingung kan? ya pokoknya begitulah yang dirasakan Kiara. Kena semprot lagi. Mampus!"Apa kamu tidak punya jam, hah?""Pu-punya, Pak.""Tidak bisa membaca jam?""Bisa pak," jawabnya dengan tetap menunduk."Kenapa datang terlambat lagi? sudah saya peringatkan bukan? saya tidak suka ada karyawan yang tidak disiplin. Dua hari saya disini kamu sudah membuat kesan yang buruk.""Maaf, Pak.""Hah, maaf lagi," dengusnya."Rumah saya jauh, Pak. Dan saya setiap hari naik bis dari rumah.""Bukan urusan saya.""Kamu di terima disini, tentu saja harus menuruti aturan perusahaan. Bukan perusahaan yang menurutimu. Belilah kendaraan, atau cari kontrakan disini. Kurang cerdas sekali."Kiara menunduk. Andaikan bisa ia lakukan, sudah dari dulu dia mencari kontrakan di sekitar sini. Tapi ...."Saya tidak mau tahu. Datang tepat waktu atau keluar dari perusahaan ini. Mengerti!" tatapnya tajam. "Me-mengerti, Pak.""Sudah! sana keluar!
Langkah Kiara terhenti. Kenapa pria ini senang sekali mengusir dan menghentikan langkahnya begitu saja. "Kamu masih ingin bekerja disini bukan?""Benar, Pak."Devan menyeringai lagi. Menatap Kiara dari atas ke bawah. Membuat sang empunya meremas kuat ujung map yang dibawanya."Kalau begitu turuti perintah saya.""Maksud bapak?""Tinggal di rumah saya dan berpura-pura jadi mama putri saya."Andai ini sinetron mungkin sudah ada suara gemuruh petir di balik mendung hitam. Sayang ini nyata, jadi hanya Kiara yang tersambar petir perkataan Devan."Ma-maksud bapak?" tanyanya tak mengerti."Hey! bisa biasa saja mukanya? lagipula hanya sebagai mama pura-pura. Bukan mama yang sebenarnya. Lagian mana mungkin saya mau menikah dengan kamu. Jangan mimpi." Devan merasa kesal melihat ekspresi Kiara, seakan dirinya melamar gadis itu. Padahal jika bukan karena janjinya dengan Rara, mana mungkin dia menawari gadis suka terlambat itu untuk tinggal dirumahnya."Ta-tapi, Pak ...""Terima atau cari perus
Kiara memandang takjub kawasan ini. Berderet bangunan tinggi nan mewah. Disini memang terkenal sebagai kawasan elite. Meski bekerja di perusahaan yang besar, namun tak urung dia tetap merasa takjub dengan hunian orang kaya ini. Mobil menuju ke sebuah rumah mewah. Jarak gerbang dan rumahnya saja sejauh jarak rumah Kiara dan halte. Bibir gadis itu mendecak berkali-kali. Bagaimana bisa mereka membangun rumah mewah nan luas seperti bangunan ini contohnya."Turun." Tak terasa mereka sudah di garasi mobil. Kiara sampai tak menyadarinya saking terkesimanya. Dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan banyaknya kendaraan roda empat keluaran perusahaan terkenal berjejer rapi. Dia hanya bisa menelan ludah. Dirinya saja motor satu di pakai ayahnya kerja. Lah ini, mobil banyak bagaimana memakainya?"Mau sampai kapan melamun, hm?""Eh?" lamunannya buyar. Devan sudah berjalan mendahuluinya."Aish! kok gue ditinggal sih! Ini kan rumahnya. Kalau gue nyasar gimana? dasar bodoh!" rutuknya. Kiara segera m
"Atau jangan-jangan kau ..." Devan menghentikan ucapannya dan ucapan Kiara sekaligus. Dia dekatkan bibirnya di telinga Kiara. Berbisik pelan dengan seringaian tersungging di bibirnya."Kita menikah secepatnya saja. Kau tidak hanya mengurus anak saja, nanti kau juga ku ajari membuat anak." Kiara terkejut. Apalagi pria itu menatapnya dengan seringaian nakal."Hey! apa maksudmu!" teriaknya saat ia berhasil mencerna ucapan Devan tadi.Sedangkan pria itu terkekeh, abai kalau perkataannya tadi membuat wajah Kiara memerah."Tenang saja, aku hanya bercanda. Kita hanya akan menikah. Aku tidak akan menyentuhmu. Masalah pernikahan itu nanti akan kubicarakan pada papa."Papa? berarti pak Dedi dong. Harus ditaruh dimana mukanya jika tiba-tiba saja dia menjadi istri putranya. Apakah tidak menimbulkan pikiran buruk."Tap-tapi, apa tidak akan jadi masalah?""Lebih bermasalah lagi jika kita tinggal bersama tanpa pernikahan. Mereka akan memarahiku. Cukup Rara sebagai bukti kenakalanku dulu.""Aku tidak
"Huft! capeknya."Kiara memijit tengkuknya. Hari ini Devan benar-benar membuatnya kerja keras. Menemani rapat yang kemarin di tundalah, setelah itu meninjau anak cabang di kota sebelah, pulang dari meninjau baru juga mau duduk sudah di panggil lagi disuruh mengurus laporan. Ck, padahal seharian ini perutnya belum diisi. Apalagi pagi tadi dia belum sempat sarapan gara-gara di suruh cepat-cepat. Jam istirahat tadi dia tidak sempat karena dipanggil Devan.Dia lirik jam kecil di meja kerjanya. Pukul 14.15. Perutnya terasa makin perih. Pengen beli makan, tapi takut kena semprot Devan. Pria itu tadi sudah memperingatkan dirinya untuk tidak kemana-mana. Dia sandarkan dagunya di meja kerjanya. Melirik rekan-rekannya yang lain terlihat fokus dengan pekerjaannya. Berbeda dengan dirinya yang fokus meratapi perutnya yang keroncongan.Seorang office boy membawa nampan yang sepertinya makanan, melewatinya begitu saja. Reflek pandangannya mengikuti arah langkah
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak b
Pagi kembali datang. Ini merupakan pagi ke tiga semenjak Kiara tinggal dirumah ini. Untung saja orang tua Devan sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi ia tidak terlalu canggung. Entah apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua pria itu akan keberadaannya nanti. Apalagi papa Devan adalah bossnya dulu. Ah, biarlah Devan yang menjelaskan nanti. Ia cukup diam.Ia mulai terbiasa dengan rumah ini. Bangun tidur ia langsung memberesi kamarnya, setelah itu membantu ke dapur sebentar. Tentu saja mengenal asisten rumah tangga disini juga perlu."Bi, ini di taruh dimana ya?" Kiara menunjuk sayuran yang ia gak tahu namanya. Maklum, makanan orang kota asing baginya."Masukan kulkas saja non. Buat menu nanti sore," jawab Bi Munah."Oke, siap." Semangat Kiara membantu bi Munah. Perempuan tua itu tersenyum. Baru kali ini tuan mudanya membawa wanita lain, selain Nina tentunya. Dan menurutnya Kiara merupakan pribadi yang menyenangkan dan cekatan.Gadis i