Kiara menoleh.
Devan menyambut anak perempuan itu dengan wajah bahagia. Sorot wajahnya berubah lembut. Dia berjongkok dengan senyum manis yang belum pernah dilihat Kiara. Membuatnya terlihat lebih tampan dan berbeda."Rara kangen papa," ujar gadis kecil itu sambil memeluk Devan. Sepertinya bocah tersebut baru bisa ngomong 'R' terlihat dari aksennya."Aih anak papa, manjanya." Devan tertawa, tangannya mencubit hidung gadis kecil itu. Mereka tertawa-tawa.Kiara tertegun.Papa? Anak itu putrinya presdir? dan wanita ini ...."A-apa itu benar ..."Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk."Benar. Dia Rara. Putri tuan Devan," jelasnya. Kiara makin syok."Ada yang bisa saya bantu nona?" tanya wanita itu lagi."La-lalu, istrinya? Apa itu anda?"Perempuan itu malah tertawa."Bukan. Saya baby sitter Rara. Tuan Devan, beliau orang tua tunggal.""Orang tua tunggal? maksudnya ...""Nin! Ayo makan siang," ajak Devan, memotong perkataan Kiara."Baik, Tuan."Devan menggendong Rara dengan Nina berjalan beriringan. Seperti keluarga muda. Devan melewati Kiara yang masih terpaku. Sementara Nina masih meninggalkan senyum.Beberapa detik, dia masih syok dengan kenyataan dan begitu sadar, dia langsung beranjak dari tempatnya..."Ya ampun, jadi presdir kita sudah punya anak?"Di luar ternyata gosip lebih panas lagi. Kiara yang masih syok hanya bisa terdiam, meski telinganya tetap menangkap obrolan mereka."Dan berapa tadi umurnya? what! masih dua enam? gila. Anaknya saja sepertinya berusia empat tahun. Jadi presdir punya anak saat berumur dua dua? Gila gilaaa!"Kiara mengenggam tangannya sendiri. Umur yang sama. Matanya memejam kuat. Bayangan anak kecil itu justru semakin terlihat jelas di pelupuk matanya."Tapi, omong-omong gue mau sih jadi istrinya pak Devan. Secara ganteng gitu. Duh, papa muda.""Gue juga mau. Yah, meski galak, tapi sepertinya dia penyayang. Nyatanya anaknya tadi terlihat senang kan saat mau menemui pak Devan.""Benar. Sepertinya dia tipe penyayang.""Eh, tapi ngomong-ngomong perempuan tadi siapa? jangan-jangan istrinya? Duh. Jangan deh.""Bukan, itu tuh baby sitternya.""Berarti dia duren dong.""Bukan duda, tapi kabarnya itu anak hasil ...."Cukup!Kiara tak tahan lagi. Dia butuh ketenangan. Dia meletakkan tumpukan berkasnya tadi ke sembarang meja dan berlari ke toilet...Pagi kembali datang. Semburat arunika menebar menghujani sebagian belahan bumi. Menampakkan keindahan yang sempat terlingkupi gelap. Harusnya pagi menjadi rutinitas yang indah, karena merupakan awal dari harapan akan hari ini.Seorang gadis dengan tinggi kira-kira seratus lima tujuh itu mematut wajahnya di kaca. Memoles lipstik berwarna pink soft. Ia seperti tersadar saat seberkas cahaya matahari menerebos jendela kamarnya yang lupa ia buka. Ia tersentak dan lirik jam mungilnya di meja rias."Gawat! udah jam tujuh seperempat lagi. Mati gue!"Kiara buru-buru menyelesaikan rutinitas dandannya, mematut sejenak penampilannya di cermin. Lalu tangannya menyambar tas kecil miliknya, memakai heelsnya."Bu, Kia berangkat.""Ya, hati-hati."Gadis itu tak terlalu mendengar jawaban ibunya. Berlari sekuat tenaga menuju halte bis yang berjarak lima ratus meter dari rumahnya.Kurang lima meter lagi, terlihat bis mulai melaju."Eh! eh! Ey! Stop!" teriaknya sembari mengejar bis tersebut. Beruntung sang kernet melihatnya. Bis kembali berhenti."Hap! huft..."Leganya saat berhasil mencapai dalam bis. Bis kembali melaju. Kiara mengedarkan pandangan mencari tempat kosong.Pojok dua dari depan hanya satu penumpang. Kiara bergerak menuju kursi kosong tersebut."Hahh!" Akhirnya, setelah perjuangan panjang. Dia menyandarkan punggungnya di kursi bis.Semburat sinar mentari mulai meninggi. Menerobos kaca bis, membuat silau mata. Jalanan pagi yang terlihat ramai dengan banyaknya kendaraan yang menuju aktivitas masing-masing.Beginilah keseharian Kiara, berangkat pagi demi mengejar bis meski ujung-ujungnya tetap kesiangan sampai di kantor.Sebenarnya biasanya dia menaiki bis kedua, karena memang dia membantu menyiapkan dagangan untuk ibunya dulu. Tapi berhubung bossnya killer, jadi dia akhirnya mengejar bis ke dua. Huh, padahal dulu pak Dedi saja memaklumi dirinya, tapi kenapa putranya tidak? menyebalkan!Bis sampai juga di halte tujuannya. Dia bergegas membayar dan turun."Shit! tiga menit lagi!" gerutunya. Tidak ada cara lain, dia lepas heelsnya dan kembali berlari ke kantor. Bodo amat dengan tatapan heran dari orang-orang..."Hosh! hosh! hosh! Capek banget,""Telat lagi?"Kiara mengangguk."Pak Devan sudah di dalam?" tanyanya dengan suara lirih.Ayu mengangguk."Aish!" keluhnya."Rajin amat sih. Mati deh gue. Nyariin gue gak tadi?""Gak kok. Lewat aja gak nengok.""Syukur deh. Moga aja amnesia dia," harapnya.Namun baru saja mingkem, telepon di mejanya berdering. Kiara bergegas meraihnya."Hall ... oh?""Masuk keruangan. Sekarang!""Ba-baik, Pak."Telepon dimatikan. Kiara menangkupkan wajahnya di meja. Merutuk."Dipanggil lagi?"Ia mengangguk, lesu."Semangat!""Yeah," sahutnya lemas seraya menuju ruangan Devan..Hening. Hanya saja ruangan terasa panas dengan hawa dinging yang menusuk. Bingung kan? ya pokoknya begitulah yang dirasakan Kiara. Kena semprot lagi. Mampus!"Apa kamu tidak punya jam, hah?""Pu-punya, Pak.""Tidak bisa membaca jam?""Bisa pak," jawabnya dengan tetap menunduk."Kenapa datang terlambat lagi? sudah saya peringatkan bukan? saya tidak suka ada karyawan yang tidak disiplin. Dua hari saya disini kamu sudah membuat kesan yang buruk.""Maaf, Pak.""Hah, maaf lagi," dengusnya."Rumah saya jauh, Pak. Dan saya setiap hari naik bis dari rumah.""Bukan urusan saya.""Kamu di terima disini, tentu saja harus menuruti aturan perusahaan. Bukan perusahaan yang menurutimu. Belilah kendaraan, atau cari kontrakan disini. Kurang cerdas sekali."Kiara menunduk. Andaikan bisa ia lakukan, sudah dari dulu dia mencari kontrakan di sekitar sini. Tapi ...."Saya tidak mau tahu. Datang tepat waktu atau keluar dari perusahaan ini. Mengerti!" tatapnya tajam. "Me-mengerti, Pak.""Sudah! sana keluar!
Langkah Kiara terhenti. Kenapa pria ini senang sekali mengusir dan menghentikan langkahnya begitu saja. "Kamu masih ingin bekerja disini bukan?""Benar, Pak."Devan menyeringai lagi. Menatap Kiara dari atas ke bawah. Membuat sang empunya meremas kuat ujung map yang dibawanya."Kalau begitu turuti perintah saya.""Maksud bapak?""Tinggal di rumah saya dan berpura-pura jadi mama putri saya."Andai ini sinetron mungkin sudah ada suara gemuruh petir di balik mendung hitam. Sayang ini nyata, jadi hanya Kiara yang tersambar petir perkataan Devan."Ma-maksud bapak?" tanyanya tak mengerti."Hey! bisa biasa saja mukanya? lagipula hanya sebagai mama pura-pura. Bukan mama yang sebenarnya. Lagian mana mungkin saya mau menikah dengan kamu. Jangan mimpi." Devan merasa kesal melihat ekspresi Kiara, seakan dirinya melamar gadis itu. Padahal jika bukan karena janjinya dengan Rara, mana mungkin dia menawari gadis suka terlambat itu untuk tinggal dirumahnya."Ta-tapi, Pak ...""Terima atau cari perus
Kiara memandang takjub kawasan ini. Berderet bangunan tinggi nan mewah. Disini memang terkenal sebagai kawasan elite. Meski bekerja di perusahaan yang besar, namun tak urung dia tetap merasa takjub dengan hunian orang kaya ini. Mobil menuju ke sebuah rumah mewah. Jarak gerbang dan rumahnya saja sejauh jarak rumah Kiara dan halte. Bibir gadis itu mendecak berkali-kali. Bagaimana bisa mereka membangun rumah mewah nan luas seperti bangunan ini contohnya."Turun." Tak terasa mereka sudah di garasi mobil. Kiara sampai tak menyadarinya saking terkesimanya. Dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan banyaknya kendaraan roda empat keluaran perusahaan terkenal berjejer rapi. Dia hanya bisa menelan ludah. Dirinya saja motor satu di pakai ayahnya kerja. Lah ini, mobil banyak bagaimana memakainya?"Mau sampai kapan melamun, hm?""Eh?" lamunannya buyar. Devan sudah berjalan mendahuluinya."Aish! kok gue ditinggal sih! Ini kan rumahnya. Kalau gue nyasar gimana? dasar bodoh!" rutuknya. Kiara segera m
"Atau jangan-jangan kau ..." Devan menghentikan ucapannya dan ucapan Kiara sekaligus. Dia dekatkan bibirnya di telinga Kiara. Berbisik pelan dengan seringaian tersungging di bibirnya."Kita menikah secepatnya saja. Kau tidak hanya mengurus anak saja, nanti kau juga ku ajari membuat anak." Kiara terkejut. Apalagi pria itu menatapnya dengan seringaian nakal."Hey! apa maksudmu!" teriaknya saat ia berhasil mencerna ucapan Devan tadi.Sedangkan pria itu terkekeh, abai kalau perkataannya tadi membuat wajah Kiara memerah."Tenang saja, aku hanya bercanda. Kita hanya akan menikah. Aku tidak akan menyentuhmu. Masalah pernikahan itu nanti akan kubicarakan pada papa."Papa? berarti pak Dedi dong. Harus ditaruh dimana mukanya jika tiba-tiba saja dia menjadi istri putranya. Apakah tidak menimbulkan pikiran buruk."Tap-tapi, apa tidak akan jadi masalah?""Lebih bermasalah lagi jika kita tinggal bersama tanpa pernikahan. Mereka akan memarahiku. Cukup Rara sebagai bukti kenakalanku dulu.""Aku tidak
"Huft! capeknya."Kiara memijit tengkuknya. Hari ini Devan benar-benar membuatnya kerja keras. Menemani rapat yang kemarin di tundalah, setelah itu meninjau anak cabang di kota sebelah, pulang dari meninjau baru juga mau duduk sudah di panggil lagi disuruh mengurus laporan. Ck, padahal seharian ini perutnya belum diisi. Apalagi pagi tadi dia belum sempat sarapan gara-gara di suruh cepat-cepat. Jam istirahat tadi dia tidak sempat karena dipanggil Devan.Dia lirik jam kecil di meja kerjanya. Pukul 14.15. Perutnya terasa makin perih. Pengen beli makan, tapi takut kena semprot Devan. Pria itu tadi sudah memperingatkan dirinya untuk tidak kemana-mana. Dia sandarkan dagunya di meja kerjanya. Melirik rekan-rekannya yang lain terlihat fokus dengan pekerjaannya. Berbeda dengan dirinya yang fokus meratapi perutnya yang keroncongan.Seorang office boy membawa nampan yang sepertinya makanan, melewatinya begitu saja. Reflek pandangannya mengikuti arah langkah
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak b
Pagi kembali datang. Ini merupakan pagi ke tiga semenjak Kiara tinggal dirumah ini. Untung saja orang tua Devan sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi ia tidak terlalu canggung. Entah apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua pria itu akan keberadaannya nanti. Apalagi papa Devan adalah bossnya dulu. Ah, biarlah Devan yang menjelaskan nanti. Ia cukup diam.Ia mulai terbiasa dengan rumah ini. Bangun tidur ia langsung memberesi kamarnya, setelah itu membantu ke dapur sebentar. Tentu saja mengenal asisten rumah tangga disini juga perlu."Bi, ini di taruh dimana ya?" Kiara menunjuk sayuran yang ia gak tahu namanya. Maklum, makanan orang kota asing baginya."Masukan kulkas saja non. Buat menu nanti sore," jawab Bi Munah."Oke, siap." Semangat Kiara membantu bi Munah. Perempuan tua itu tersenyum. Baru kali ini tuan mudanya membawa wanita lain, selain Nina tentunya. Dan menurutnya Kiara merupakan pribadi yang menyenangkan dan cekatan.Gadis i
Tidak ada sahutan. Kia melihat jam tangannya. Hm, bisa terlambat kalau begini. Dari pada kena marah dua kali lipat, ia memutuskan untuk membuka pintu kamar Devan.Tidak terkunci.Ia melongok, pria itu masih meringkuk dibalik selimutnya."Ck, bisa bisanya dia masih terlelap," gumamnya.Tok! tok! tok!"Pak, sudah siang," ujarnya lagi, mengetuk pintu yang sudah terbuka.Devan tetap tak beranjak.Kiara melangkah pelan mendekati Devan yang sedang berbaring.Ia pandangi wajah lelap Devan. Tak biasanya pria itu seperti ini."Pak, pak Devan," panggilnya lagi."Eungh ..." hanya lenguhan pelan yang lolos.Lama lama geregetan juga. Kiara menyentuh lengan Devann. Namun ia kembali tersentak."Anda sakit?" Ia menempelkan telapaknya ke dahi Devan. Panas."Ya ampun. Panas sekali."Devan bergeming. Kia segera memutar badannya, hendak mengambil kompres dan es batu namun sebuah tangan menariknya membuatnya oleng