Langkah Kiara terhenti. Kenapa pria ini senang sekali mengusir dan menghentikan langkahnya begitu saja.
"Kamu masih ingin bekerja disini bukan?""Benar, Pak."Devan menyeringai lagi. Menatap Kiara dari atas ke bawah. Membuat sang empunya meremas kuat ujung map yang dibawanya."Kalau begitu turuti perintah saya.""Maksud bapak?""Tinggal di rumah saya dan berpura-pura jadi mama putri saya."Andai ini sinetron mungkin sudah ada suara gemuruh petir di balik mendung hitam. Sayang ini nyata, jadi hanya Kiara yang tersambar petir perkataan Devan."Ma-maksud bapak?" tanyanya tak mengerti."Hey! bisa biasa saja mukanya? lagipula hanya sebagai mama pura-pura. Bukan mama yang sebenarnya. Lagian mana mungkin saya mau menikah dengan kamu. Jangan mimpi."Devan merasa kesal melihat ekspresiKiara, seakan dirinya melamar gadis itu. Padahal jika bukan karena janjinya dengan Rara, mana mungkin dia menawari gadis suka terlambat itu untuk tinggal dirumahnya."Ta-tapi, Pak ...""Terima atau cari perusahaan lain. Gampang bukan?"Devan melipat tangannya di depan dada, sembari mengangkat sebelah alisnya."Demi apapun, gue sebenarnya ogah. Tapi terpaksa ....""Baiklah pak.""Bagus. Nanti sore aku antar pulang untuk mengambil barang-barangmu.""Ha-hari ini, Pak?""Iyalah. Kamu kira kapan? Tahun depan?""Bukan begitu, hanya saja saya juga perlu izin dengan orang tua saya.""Gampang! nanti sekalian pas ambil barang-barangmu."Tidak semudah itu Ferguso! Kiara masih bimbang."Kenapa?""Ah, tidak ada apa-apa pak. Saya permisi," pamitnya.-----"Jelek amat muka lo, Ra. Di semprot lagi?" tanya Nadia. Demi apa, wajah Kiara seperti baju kusut yang sudah sebulan dibiarkan bertumpukan dan gak pernah di setrika."Jangan diambil hati, Ra. Boss muda emang kayak gitu." Satrio merasa kasihan juga lama-lama dengan Kiara Dia yang pernah bertemu beberapa kali -sewaktu masih bekerja dengan pak Dedi- dengan Devan saja masih sering stuck karena omongan super pedasnya, apalagi Kia yang baru beberapa kali. Tapi sepertinya gadis itu bakal kebal lama-lama dengan si Mr. Swag plus Savage itu, selama menjadi sekretarisnya kedepan nanti."Apa kita tukeran posisi aja, Ra. Gue aja yang jadi sekretarisnya pak Devan. Gue rela kok di marahin setiap hari," tukas Ayu sambil senyam senyum."Gila lo, Yu, sejak kapan lo kesemsem sama si Mr. Swag itu?" tanya Satrio. Setahunya kemarin saja dia ketakutan setengah mati dengan Devan."Ngeliat sayangnya papa muda itu sama anaknya, gue jadi pengen jadi mamanya. Pasti disayang juga. Hehe," cengir Ayu."Bener, Yu. Gue juga mendadak pingin ngerasain jadi mama muda juga. Tapi papa mudanya harus pak Devan. Ihh ... Co ciiit ..." tambah Nadia."Lama-lama makin ngawur kalian.!" Satrio menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua rekannya yang mulai gila.Kiara hanya terdiam melamun di meja kerjanya. Apa iya kalau jadi mamanya bocah itu dia tidak akan kena semprot lagi?..Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalanan sore. Namun berlawanan dengan keadaan dalam mobil itu. Sepi. Hening."Kemana lagi?""Terus saja. Nanti kalau belok saya kasih tahu."Dan kembali hening. Ya begitulah, mereka hanya berkata sekadarnya saja. Sekedar arah kanan atau kiri, lurus atau belok. Begitu saja.Kia masih kesal pada Devan? Ya, jelas saja itu salah satunya. Selain itu juga ia menyalahkan dirinya yang tidak bisa menolak. Ah, andai saja dia kaya, tak akan sudi dia merendahkan diri dengan pura-pura menjadi mama dari anak kecil.Dia mengalihkan pandangan keluar jendela. Menatap pemandangan pinggiran jalan, meski ia tak yakin benar-benar menikmatinya.Devan juga sesekali melirik gadis di sampingnya. Kalau bukan karena terpaksa juga dia tidak sudi menyewa wanita sebagai mama anaknya. Sekali lagi itu karena terpaksa."Depan itu belok kanan, Pak."Mobil membelok kearah yang ditunjuk Kiara. Jalanan mulai gelap. Diluar juga terdengar suara adzan bersahut-sahutan."Masih jauh?""Lumayan.""Kamu benar setiap hari naik bis?" heran saja, jarak segini jauhnya gadis itu naik bis. Kenapa tidak cari kos-kosan saja sih. Merepotkan diri sendiri."Bapak kira saya suka bercanda," ketus.Devan terkekeh. Dia tahu gadis itu marah padanya."Kamu bodoh,"ujarnya.Dan Kiara hanya mendengus...Orang tua Kiara hanya terdiam saat pemuda tampan dan gagah yang ternyata boss putrinya itu meminta izin membawa putrinya."Maaf pak, tapi putri saya bukan ....""Saya tahu pak. Maaf kalau membuat bapak dan ibu berfikiran yang buruk. Saya meminta bantuan pada Kiara dan ini sangat mendesak. Saya janji, saya tidak akan bertingkah macam-macam dengannya. Dia juga akan saya beri ruangan sendiri," jelasnya.Kia sedari tadi menahan napas. Inilah yang dia takutkan. Alasan kenapa dia tidak mengambil tempat tinggal di kos. Ayah dan ibunya pasti trauma. Dia hanya bisa menunduk."Apa tuan bisa menjamin kalau tuan ini orang baik-baik?""Saya memang bukan orang baik-baik pak. Tapi saya berusaha menjadi orang baik. Dan saya janji, Kiara akan saya jaga. Jadi, tolong izinkan dia pergi dengan saya pak."Ayah dan ibu Kiara saling berpandangan. Kalau saja orang tuanya tak mengizinkan, apa boleh buat. Mungkin ini yang terbaik. Dia bisa mencari pekerjaan di lain tempat."Saya tak mengizinkan."Deg.Tak urung Devan juga terkejut. Tak menyangka akan mendapat penolakan. Padahal dia sudah mencoba bersikap sopan tadi."Saya tak mengizinkan anak saya anda manfaatkan sepihak.""Sepertinya bapak salah faham. Saya jamin Kiara juga mendapat keuntungan dari perjanjian kita.""Sekali tidak tetap tidak. Saya tidak yakin untuk pria dan wanita tinggal serumah tanpa ikatan. Kalau memang anda benar-benar, nikahi Kiara!"Mata Kia membulat tak percaya. A-apa yang dikatakan ayahnya, me-menikah?"Tapi, Pak?""Terserah anda. Saya tak mengizinkan putri saya dibawa orang asing. Kalau mau ya nikahi, kalau tidak ya sudah. Tak masalah.""Ayah," Kiara menatap ayahnya, memohon atas ucapannya tersebut. Tapi ayahnya bergeming. Menatap tegas pada Devan Peduli apa dia orang kaya dan bisa seenaknya mengatur-atur putrinya."Baiklah. Saya akan menikahinya," tegas Devan akhirnya."Tapi, Pak.""Saya akan menikahinya secepatnya. Tapi untuk saat ini, saya minta izin untuk membawanya kerumah. Kami butuh pengenalan lebih dekat. Lagipula Kiara juga butuh penyesuaian."Sumpah demi apa, ini adalah situasi ter-akward dan tak masuk akal dalam hidupnya setelah peristiwa itu tentunya."Baik. Saya kali ini izinkan.""Terimakasih pak. Saya janji akan menjaganya, juga menikahinya." Devan tersenyum meyakinkan."Kalau begitu kami pamit, Pak, Bu. Ayo!"Devan memegang tangan Kiara, sedangkan sebelah tangannya memegang koper milik gadis itu. Kiara yang kebingungan akhirnya menurut saja."Tunggu, Pak. Saya perlu pamit pada orang tua saya," ucapnya. Devan mengangguk, melepas genggamannya pada tangan Kiara.Kiara memeluk orang tuanya antara sedih dan juga bingung.Setelah itu dia melangkah menuju mobil Devan. Mereka akan ke rumah pria itu malam ini juga...Dalam perjalanan Kiara masih tak habis pikir. Semudah itu pria ini mengambil hati orang tuanya dan dia juga bisa bersikap sopan? Juga, dengan mudahnya menuruti pernikahan yang di ajukan oleh ayahnya. Aneh. Sebenarnya apa yang diinginkan pria disampingnya itu.Kiara memandangi Devan penuh selidik. Kekuatan apa yang dipakainya untuk meluluhkan hati orang tuanya."Jangan memandangiku, kalau tidak ingin jatuh cinta.""Ck! Pede!" dengusnya. Devan terkekeh. Pandangannya masih fokus ke depan."Jangan jatuh cinta sama gue. Ingat! gue udah memperingatkan lo hari ini. Jadi, jangan salahin gue kalau suatu hari lo gak bisa ngelupain gue.""Haish!" Kiara mengarahkan pandangannya kearah lain. Kenapa pede sekali dia. Eh, by the way, Devan tadi ngomong non formal dengannya? dia tidak salah dengar kan?Kiaraa memutar kepalanya. Melihat dalam gelap pria disampingnya itu."Hey! udah gue bilang lo jangan pandangin gue. Atau lo emang udah suka sama gue? hmm..."Aish! ternyata benar. Dia menyebalkan. Lebih baik dia tidur saja, daripada bersanding dengan orang super pede. Membuatnya mual saja. Namun baru saja matanya terpejam, Devan kembali berkata."Pernikahan kita cuma formalitas. Kalau bukan demi Rara, aku juga tak mau menikahimu." Pedas."Aku tahu," sahut Kiara. Benarkan apa yang dipikirkannya. Pasti ada niat lain dibalik peng-iyaan Devan."Tenang saja. Setelah kita menikah kau masih bisa bebas. Mau ketemu pacarmu terserah. Aku tak melarang. Tak ada kekangan.""Ya."Singkat saja, mendadak Kiar malas membahasnya."Oke. Nanti setelah sampai, kita bicarakan lagi soal ini."Kiara manggut-manggut saja. Syukur deh kalau memang benar seperti itu. Ia juga sebenarnya malas untuk menikah. Trauma masih membayangi dirinya.Mobil kembali melaju dalam gelapnya malam.Kiara memandang takjub kawasan ini. Berderet bangunan tinggi nan mewah. Disini memang terkenal sebagai kawasan elite. Meski bekerja di perusahaan yang besar, namun tak urung dia tetap merasa takjub dengan hunian orang kaya ini. Mobil menuju ke sebuah rumah mewah. Jarak gerbang dan rumahnya saja sejauh jarak rumah Kiara dan halte. Bibir gadis itu mendecak berkali-kali. Bagaimana bisa mereka membangun rumah mewah nan luas seperti bangunan ini contohnya."Turun." Tak terasa mereka sudah di garasi mobil. Kiara sampai tak menyadarinya saking terkesimanya. Dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan banyaknya kendaraan roda empat keluaran perusahaan terkenal berjejer rapi. Dia hanya bisa menelan ludah. Dirinya saja motor satu di pakai ayahnya kerja. Lah ini, mobil banyak bagaimana memakainya?"Mau sampai kapan melamun, hm?""Eh?" lamunannya buyar. Devan sudah berjalan mendahuluinya."Aish! kok gue ditinggal sih! Ini kan rumahnya. Kalau gue nyasar gimana? dasar bodoh!" rutuknya. Kiara segera m
"Atau jangan-jangan kau ..." Devan menghentikan ucapannya dan ucapan Kiara sekaligus. Dia dekatkan bibirnya di telinga Kiara. Berbisik pelan dengan seringaian tersungging di bibirnya."Kita menikah secepatnya saja. Kau tidak hanya mengurus anak saja, nanti kau juga ku ajari membuat anak." Kiara terkejut. Apalagi pria itu menatapnya dengan seringaian nakal."Hey! apa maksudmu!" teriaknya saat ia berhasil mencerna ucapan Devan tadi.Sedangkan pria itu terkekeh, abai kalau perkataannya tadi membuat wajah Kiara memerah."Tenang saja, aku hanya bercanda. Kita hanya akan menikah. Aku tidak akan menyentuhmu. Masalah pernikahan itu nanti akan kubicarakan pada papa."Papa? berarti pak Dedi dong. Harus ditaruh dimana mukanya jika tiba-tiba saja dia menjadi istri putranya. Apakah tidak menimbulkan pikiran buruk."Tap-tapi, apa tidak akan jadi masalah?""Lebih bermasalah lagi jika kita tinggal bersama tanpa pernikahan. Mereka akan memarahiku. Cukup Rara sebagai bukti kenakalanku dulu.""Aku tidak
"Huft! capeknya."Kiara memijit tengkuknya. Hari ini Devan benar-benar membuatnya kerja keras. Menemani rapat yang kemarin di tundalah, setelah itu meninjau anak cabang di kota sebelah, pulang dari meninjau baru juga mau duduk sudah di panggil lagi disuruh mengurus laporan. Ck, padahal seharian ini perutnya belum diisi. Apalagi pagi tadi dia belum sempat sarapan gara-gara di suruh cepat-cepat. Jam istirahat tadi dia tidak sempat karena dipanggil Devan.Dia lirik jam kecil di meja kerjanya. Pukul 14.15. Perutnya terasa makin perih. Pengen beli makan, tapi takut kena semprot Devan. Pria itu tadi sudah memperingatkan dirinya untuk tidak kemana-mana. Dia sandarkan dagunya di meja kerjanya. Melirik rekan-rekannya yang lain terlihat fokus dengan pekerjaannya. Berbeda dengan dirinya yang fokus meratapi perutnya yang keroncongan.Seorang office boy membawa nampan yang sepertinya makanan, melewatinya begitu saja. Reflek pandangannya mengikuti arah langkah
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak b
Pagi kembali datang. Ini merupakan pagi ke tiga semenjak Kiara tinggal dirumah ini. Untung saja orang tua Devan sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi ia tidak terlalu canggung. Entah apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua pria itu akan keberadaannya nanti. Apalagi papa Devan adalah bossnya dulu. Ah, biarlah Devan yang menjelaskan nanti. Ia cukup diam.Ia mulai terbiasa dengan rumah ini. Bangun tidur ia langsung memberesi kamarnya, setelah itu membantu ke dapur sebentar. Tentu saja mengenal asisten rumah tangga disini juga perlu."Bi, ini di taruh dimana ya?" Kiara menunjuk sayuran yang ia gak tahu namanya. Maklum, makanan orang kota asing baginya."Masukan kulkas saja non. Buat menu nanti sore," jawab Bi Munah."Oke, siap." Semangat Kiara membantu bi Munah. Perempuan tua itu tersenyum. Baru kali ini tuan mudanya membawa wanita lain, selain Nina tentunya. Dan menurutnya Kiara merupakan pribadi yang menyenangkan dan cekatan.Gadis i
Tidak ada sahutan. Kia melihat jam tangannya. Hm, bisa terlambat kalau begini. Dari pada kena marah dua kali lipat, ia memutuskan untuk membuka pintu kamar Devan.Tidak terkunci.Ia melongok, pria itu masih meringkuk dibalik selimutnya."Ck, bisa bisanya dia masih terlelap," gumamnya.Tok! tok! tok!"Pak, sudah siang," ujarnya lagi, mengetuk pintu yang sudah terbuka.Devan tetap tak beranjak.Kiara melangkah pelan mendekati Devan yang sedang berbaring.Ia pandangi wajah lelap Devan. Tak biasanya pria itu seperti ini."Pak, pak Devan," panggilnya lagi."Eungh ..." hanya lenguhan pelan yang lolos.Lama lama geregetan juga. Kiara menyentuh lengan Devann. Namun ia kembali tersentak."Anda sakit?" Ia menempelkan telapaknya ke dahi Devan. Panas."Ya ampun. Panas sekali."Devan bergeming. Kia segera memutar badannya, hendak mengambil kompres dan es batu namun sebuah tangan menariknya membuatnya oleng
Dikantor suasana berjalan seperti biasa seolah ada Devan yang mengawasi mereka. Tak ada yang namanya bermalas-malasan. Daripada nanti kalau ketahuan kena damprat Boss galak mereka. Satrio meletakkan ponselnya di meja. Bukan karena perintah atasannya yang membuatnya tertegun. Tapi, dia seperti mendengar suara yang familiar, meski tidak jelas. Pikirannya mendadak kacau."Muka lo kenapa, Sat?""Eh, gak papa Yu." Dia melirik meja Kiara yang masih kosong. Positif thinking, mungkin saja Kiara terlambat lagi. Ayu yang mengetahui arah pandang Satrio ikut menoleh."Eh, baru sadar. Pak Devan belum datang ya.""Kiara juga," sambar Nadia."Yee ... kalau Kiara mah jangan diomong. Palingan juga, telat lagi dia.""Iya juga sih.""Yang jadi pertanyaan tuh, tumbenan pak Devan belum datang.""Beliau sakit," jawab Satrio sembari membawa beberapa berkas untuk di poto kopi."Ih, yang bener? jadi yang nelpon tadi pak Devan?"Satri
"Anda yakin sudah tak apa-apa?" tanya Kiara. Devan mengabaikan Kiara dan sibuk dengan laptopnya.Kiara menatapnya kesal. Cukup lama ia berdiri disini. Ia bertanya pun diabaikan. Merasa kesal, Kiara meletakkan berkasnya diatas meja dengan sedikit keras.Brugh!"Saya permisi keluar," ujarnya sembari membalikkan badan. Tak lupa ia hentakkan kakinya sebagai pelampisan kekesalan karena sedari tadi diabaikan."Mama sama papa pulang hari ini."Kiara sontak menghentikan langkahnya."A-apa? Maksudnya pak Dedi? Lalu, aku bagaimana? Aku pulang ke rumah saja ya?" ucapnya khawatir. Devan sontak menghentikan aktifitasnya dan menatap Kiara kesal."Kau mau melupakan kesepakatan kita, eoh?" Kiara menggigit bibir bawahnya. Mengerling ke arah lain."Tapi apa yang harus aku katakan pada orang tua mu nanti?""Itu urusanku. Tugasmu hanya mengiyakan. Ingat! Mengiyakan bukan menolak." Sorot mata Devan menusuk.Kiara terdiam, ia mulai bimbang.