Langkah Kiara terhenti. Kenapa pria ini senang sekali mengusir dan menghentikan langkahnya begitu saja.
"Kamu masih ingin bekerja disini bukan?""Benar, Pak."Devan menyeringai lagi. Menatap Kiara dari atas ke bawah. Membuat sang empunya meremas kuat ujung map yang dibawanya."Kalau begitu turuti perintah saya.""Maksud bapak?""Tinggal di rumah saya dan berpura-pura jadi mama putri saya."Andai ini sinetron mungkin sudah ada suara gemuruh petir di balik mendung hitam. Sayang ini nyata, jadi hanya Kiara yang tersambar petir perkataan Devan."Ma-maksud bapak?" tanyanya tak mengerti."Hey! bisa biasa saja mukanya? lagipula hanya sebagai mama pura-pura. Bukan mama yang sebenarnya. Lagian mana mungkin saya mau menikah dengan kamu. Jangan mimpi."Devan merasa kesal melihat ekspresiKiara, seakan dirinya melamar gadis itu. Padahal jika bukan karena janjinya dengan Rara, mana mungkin dia menawari gadis suka terlambat itu untuk tinggal dirumahnya."Ta-tapi, Pak ...""Terima atau cari perusahaan lain. Gampang bukan?"Devan melipat tangannya di depan dada, sembari mengangkat sebelah alisnya."Demi apapun, gue sebenarnya ogah. Tapi terpaksa ....""Baiklah pak.""Bagus. Nanti sore aku antar pulang untuk mengambil barang-barangmu.""Ha-hari ini, Pak?""Iyalah. Kamu kira kapan? Tahun depan?""Bukan begitu, hanya saja saya juga perlu izin dengan orang tua saya.""Gampang! nanti sekalian pas ambil barang-barangmu."Tidak semudah itu Ferguso! Kiara masih bimbang."Kenapa?""Ah, tidak ada apa-apa pak. Saya permisi," pamitnya.-----"Jelek amat muka lo, Ra. Di semprot lagi?" tanya Nadia. Demi apa, wajah Kiara seperti baju kusut yang sudah sebulan dibiarkan bertumpukan dan gak pernah di setrika."Jangan diambil hati, Ra. Boss muda emang kayak gitu." Satrio merasa kasihan juga lama-lama dengan Kiara Dia yang pernah bertemu beberapa kali -sewaktu masih bekerja dengan pak Dedi- dengan Devan saja masih sering stuck karena omongan super pedasnya, apalagi Kia yang baru beberapa kali. Tapi sepertinya gadis itu bakal kebal lama-lama dengan si Mr. Swag plus Savage itu, selama menjadi sekretarisnya kedepan nanti."Apa kita tukeran posisi aja, Ra. Gue aja yang jadi sekretarisnya pak Devan. Gue rela kok di marahin setiap hari," tukas Ayu sambil senyam senyum."Gila lo, Yu, sejak kapan lo kesemsem sama si Mr. Swag itu?" tanya Satrio. Setahunya kemarin saja dia ketakutan setengah mati dengan Devan."Ngeliat sayangnya papa muda itu sama anaknya, gue jadi pengen jadi mamanya. Pasti disayang juga. Hehe," cengir Ayu."Bener, Yu. Gue juga mendadak pingin ngerasain jadi mama muda juga. Tapi papa mudanya harus pak Devan. Ihh ... Co ciiit ..." tambah Nadia."Lama-lama makin ngawur kalian.!" Satrio menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua rekannya yang mulai gila.Kiara hanya terdiam melamun di meja kerjanya. Apa iya kalau jadi mamanya bocah itu dia tidak akan kena semprot lagi?..Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalanan sore. Namun berlawanan dengan keadaan dalam mobil itu. Sepi. Hening."Kemana lagi?""Terus saja. Nanti kalau belok saya kasih tahu."Dan kembali hening. Ya begitulah, mereka hanya berkata sekadarnya saja. Sekedar arah kanan atau kiri, lurus atau belok. Begitu saja.Kia masih kesal pada Devan? Ya, jelas saja itu salah satunya. Selain itu juga ia menyalahkan dirinya yang tidak bisa menolak. Ah, andai saja dia kaya, tak akan sudi dia merendahkan diri dengan pura-pura menjadi mama dari anak kecil.Dia mengalihkan pandangan keluar jendela. Menatap pemandangan pinggiran jalan, meski ia tak yakin benar-benar menikmatinya.Devan juga sesekali melirik gadis di sampingnya. Kalau bukan karena terpaksa juga dia tidak sudi menyewa wanita sebagai mama anaknya. Sekali lagi itu karena terpaksa."Depan itu belok kanan, Pak."Mobil membelok kearah yang ditunjuk Kiara. Jalanan mulai gelap. Diluar juga terdengar suara adzan bersahut-sahutan."Masih jauh?""Lumayan.""Kamu benar setiap hari naik bis?" heran saja, jarak segini jauhnya gadis itu naik bis. Kenapa tidak cari kos-kosan saja sih. Merepotkan diri sendiri."Bapak kira saya suka bercanda," ketus.Devan terkekeh. Dia tahu gadis itu marah padanya."Kamu bodoh,"ujarnya.Dan Kiara hanya mendengus...Orang tua Kiara hanya terdiam saat pemuda tampan dan gagah yang ternyata boss putrinya itu meminta izin membawa putrinya."Maaf pak, tapi putri saya bukan ....""Saya tahu pak. Maaf kalau membuat bapak dan ibu berfikiran yang buruk. Saya meminta bantuan pada Kiara dan ini sangat mendesak. Saya janji, saya tidak akan bertingkah macam-macam dengannya. Dia juga akan saya beri ruangan sendiri," jelasnya.Kia sedari tadi menahan napas. Inilah yang dia takutkan. Alasan kenapa dia tidak mengambil tempat tinggal di kos. Ayah dan ibunya pasti trauma. Dia hanya bisa menunduk."Apa tuan bisa menjamin kalau tuan ini orang baik-baik?""Saya memang bukan orang baik-baik pak. Tapi saya berusaha menjadi orang baik. Dan saya janji, Kiara akan saya jaga. Jadi, tolong izinkan dia pergi dengan saya pak."Ayah dan ibu Kiara saling berpandangan. Kalau saja orang tuanya tak mengizinkan, apa boleh buat. Mungkin ini yang terbaik. Dia bisa mencari pekerjaan di lain tempat."Saya tak mengizinkan."Deg.Tak urung Devan juga terkejut. Tak menyangka akan mendapat penolakan. Padahal dia sudah mencoba bersikap sopan tadi."Saya tak mengizinkan anak saya anda manfaatkan sepihak.""Sepertinya bapak salah faham. Saya jamin Kiara juga mendapat keuntungan dari perjanjian kita.""Sekali tidak tetap tidak. Saya tidak yakin untuk pria dan wanita tinggal serumah tanpa ikatan. Kalau memang anda benar-benar, nikahi Kiara!"Mata Kia membulat tak percaya. A-apa yang dikatakan ayahnya, me-menikah?"Tapi, Pak?""Terserah anda. Saya tak mengizinkan putri saya dibawa orang asing. Kalau mau ya nikahi, kalau tidak ya sudah. Tak masalah.""Ayah," Kiara menatap ayahnya, memohon atas ucapannya tersebut. Tapi ayahnya bergeming. Menatap tegas pada Devan Peduli apa dia orang kaya dan bisa seenaknya mengatur-atur putrinya."Baiklah. Saya akan menikahinya," tegas Devan akhirnya."Tapi, Pak.""Saya akan menikahinya secepatnya. Tapi untuk saat ini, saya minta izin untuk membawanya kerumah. Kami butuh pengenalan lebih dekat. Lagipula Kiara juga butuh penyesuaian."Sumpah demi apa, ini adalah situasi ter-akward dan tak masuk akal dalam hidupnya setelah peristiwa itu tentunya."Baik. Saya kali ini izinkan.""Terimakasih pak. Saya janji akan menjaganya, juga menikahinya." Devan tersenyum meyakinkan."Kalau begitu kami pamit, Pak, Bu. Ayo!"Devan memegang tangan Kiara, sedangkan sebelah tangannya memegang koper milik gadis itu. Kiara yang kebingungan akhirnya menurut saja."Tunggu, Pak. Saya perlu pamit pada orang tua saya," ucapnya. Devan mengangguk, melepas genggamannya pada tangan Kiara.Kiara memeluk orang tuanya antara sedih dan juga bingung.Setelah itu dia melangkah menuju mobil Devan. Mereka akan ke rumah pria itu malam ini juga...Dalam perjalanan Kiara masih tak habis pikir. Semudah itu pria ini mengambil hati orang tuanya dan dia juga bisa bersikap sopan? Juga, dengan mudahnya menuruti pernikahan yang di ajukan oleh ayahnya. Aneh. Sebenarnya apa yang diinginkan pria disampingnya itu.Kiara memandangi Devan penuh selidik. Kekuatan apa yang dipakainya untuk meluluhkan hati orang tuanya."Jangan memandangiku, kalau tidak ingin jatuh cinta.""Ck! Pede!" dengusnya. Devan terkekeh. Pandangannya masih fokus ke depan."Jangan jatuh cinta sama gue. Ingat! gue udah memperingatkan lo hari ini. Jadi, jangan salahin gue kalau suatu hari lo gak bisa ngelupain gue.""Haish!" Kiara mengarahkan pandangannya kearah lain. Kenapa pede sekali dia. Eh, by the way, Devan tadi ngomong non formal dengannya? dia tidak salah dengar kan?Kiaraa memutar kepalanya. Melihat dalam gelap pria disampingnya itu."Hey! udah gue bilang lo jangan pandangin gue. Atau lo emang udah suka sama gue? hmm..."Aish! ternyata benar. Dia menyebalkan. Lebih baik dia tidur saja, daripada bersanding dengan orang super pede. Membuatnya mual saja. Namun baru saja matanya terpejam, Devan kembali berkata."Pernikahan kita cuma formalitas. Kalau bukan demi Rara, aku juga tak mau menikahimu." Pedas."Aku tahu," sahut Kiara. Benarkan apa yang dipikirkannya. Pasti ada niat lain dibalik peng-iyaan Devan."Tenang saja. Setelah kita menikah kau masih bisa bebas. Mau ketemu pacarmu terserah. Aku tak melarang. Tak ada kekangan.""Ya."Singkat saja, mendadak Kiar malas membahasnya."Oke. Nanti setelah sampai, kita bicarakan lagi soal ini."Kiara manggut-manggut saja. Syukur deh kalau memang benar seperti itu. Ia juga sebenarnya malas untuk menikah. Trauma masih membayangi dirinya.Mobil kembali melaju dalam gelapnya malam.Kiara memandang takjub kawasan ini. Berderet bangunan tinggi nan mewah. Disini memang terkenal sebagai kawasan elite. Meski bekerja di perusahaan yang besar, namun tak urung dia tetap merasa takjub dengan hunian orang kaya ini. Mobil menuju ke sebuah rumah mewah. Jarak gerbang dan rumahnya saja sejauh jarak rumah Kiara dan halte. Bibir gadis itu mendecak berkali-kali. Bagaimana bisa mereka membangun rumah mewah nan luas seperti bangunan ini contohnya."Turun." Tak terasa mereka sudah di garasi mobil. Kiara sampai tak menyadarinya saking terkesimanya. Dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan banyaknya kendaraan roda empat keluaran perusahaan terkenal berjejer rapi. Dia hanya bisa menelan ludah. Dirinya saja motor satu di pakai ayahnya kerja. Lah ini, mobil banyak bagaimana memakainya?"Mau sampai kapan melamun, hm?""Eh?" lamunannya buyar. Devan sudah berjalan mendahuluinya."Aish! kok gue ditinggal sih! Ini kan rumahnya. Kalau gue nyasar gimana? dasar bodoh!" rutuknya. Kiara segera m
"Atau jangan-jangan kau ..." Devan menghentikan ucapannya dan ucapan Kiara sekaligus. Dia dekatkan bibirnya di telinga Kiara. Berbisik pelan dengan seringaian tersungging di bibirnya."Kita menikah secepatnya saja. Kau tidak hanya mengurus anak saja, nanti kau juga ku ajari membuat anak." Kiara terkejut. Apalagi pria itu menatapnya dengan seringaian nakal."Hey! apa maksudmu!" teriaknya saat ia berhasil mencerna ucapan Devan tadi.Sedangkan pria itu terkekeh, abai kalau perkataannya tadi membuat wajah Kiara memerah."Tenang saja, aku hanya bercanda. Kita hanya akan menikah. Aku tidak akan menyentuhmu. Masalah pernikahan itu nanti akan kubicarakan pada papa."Papa? berarti pak Dedi dong. Harus ditaruh dimana mukanya jika tiba-tiba saja dia menjadi istri putranya. Apakah tidak menimbulkan pikiran buruk."Tap-tapi, apa tidak akan jadi masalah?""Lebih bermasalah lagi jika kita tinggal bersama tanpa pernikahan. Mereka akan memarahiku. Cukup Rara sebagai bukti kenakalanku dulu.""Aku tidak
"Huft! capeknya."Kiara memijit tengkuknya. Hari ini Devan benar-benar membuatnya kerja keras. Menemani rapat yang kemarin di tundalah, setelah itu meninjau anak cabang di kota sebelah, pulang dari meninjau baru juga mau duduk sudah di panggil lagi disuruh mengurus laporan. Ck, padahal seharian ini perutnya belum diisi. Apalagi pagi tadi dia belum sempat sarapan gara-gara di suruh cepat-cepat. Jam istirahat tadi dia tidak sempat karena dipanggil Devan.Dia lirik jam kecil di meja kerjanya. Pukul 14.15. Perutnya terasa makin perih. Pengen beli makan, tapi takut kena semprot Devan. Pria itu tadi sudah memperingatkan dirinya untuk tidak kemana-mana. Dia sandarkan dagunya di meja kerjanya. Melirik rekan-rekannya yang lain terlihat fokus dengan pekerjaannya. Berbeda dengan dirinya yang fokus meratapi perutnya yang keroncongan.Seorang office boy membawa nampan yang sepertinya makanan, melewatinya begitu saja. Reflek pandangannya mengikuti arah langkah
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak b
Pagi kembali datang. Ini merupakan pagi ke tiga semenjak Kiara tinggal dirumah ini. Untung saja orang tua Devan sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi ia tidak terlalu canggung. Entah apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua pria itu akan keberadaannya nanti. Apalagi papa Devan adalah bossnya dulu. Ah, biarlah Devan yang menjelaskan nanti. Ia cukup diam.Ia mulai terbiasa dengan rumah ini. Bangun tidur ia langsung memberesi kamarnya, setelah itu membantu ke dapur sebentar. Tentu saja mengenal asisten rumah tangga disini juga perlu."Bi, ini di taruh dimana ya?" Kiara menunjuk sayuran yang ia gak tahu namanya. Maklum, makanan orang kota asing baginya."Masukan kulkas saja non. Buat menu nanti sore," jawab Bi Munah."Oke, siap." Semangat Kiara membantu bi Munah. Perempuan tua itu tersenyum. Baru kali ini tuan mudanya membawa wanita lain, selain Nina tentunya. Dan menurutnya Kiara merupakan pribadi yang menyenangkan dan cekatan.Gadis i
Tidak ada sahutan. Kia melihat jam tangannya. Hm, bisa terlambat kalau begini. Dari pada kena marah dua kali lipat, ia memutuskan untuk membuka pintu kamar Devan.Tidak terkunci.Ia melongok, pria itu masih meringkuk dibalik selimutnya."Ck, bisa bisanya dia masih terlelap," gumamnya.Tok! tok! tok!"Pak, sudah siang," ujarnya lagi, mengetuk pintu yang sudah terbuka.Devan tetap tak beranjak.Kiara melangkah pelan mendekati Devan yang sedang berbaring.Ia pandangi wajah lelap Devan. Tak biasanya pria itu seperti ini."Pak, pak Devan," panggilnya lagi."Eungh ..." hanya lenguhan pelan yang lolos.Lama lama geregetan juga. Kiara menyentuh lengan Devann. Namun ia kembali tersentak."Anda sakit?" Ia menempelkan telapaknya ke dahi Devan. Panas."Ya ampun. Panas sekali."Devan bergeming. Kia segera memutar badannya, hendak mengambil kompres dan es batu namun sebuah tangan menariknya membuatnya oleng
Dikantor suasana berjalan seperti biasa seolah ada Devan yang mengawasi mereka. Tak ada yang namanya bermalas-malasan. Daripada nanti kalau ketahuan kena damprat Boss galak mereka. Satrio meletakkan ponselnya di meja. Bukan karena perintah atasannya yang membuatnya tertegun. Tapi, dia seperti mendengar suara yang familiar, meski tidak jelas. Pikirannya mendadak kacau."Muka lo kenapa, Sat?""Eh, gak papa Yu." Dia melirik meja Kiara yang masih kosong. Positif thinking, mungkin saja Kiara terlambat lagi. Ayu yang mengetahui arah pandang Satrio ikut menoleh."Eh, baru sadar. Pak Devan belum datang ya.""Kiara juga," sambar Nadia."Yee ... kalau Kiara mah jangan diomong. Palingan juga, telat lagi dia.""Iya juga sih.""Yang jadi pertanyaan tuh, tumbenan pak Devan belum datang.""Beliau sakit," jawab Satrio sembari membawa beberapa berkas untuk di poto kopi."Ih, yang bener? jadi yang nelpon tadi pak Devan?"Satri
"Anda yakin sudah tak apa-apa?" tanya Kiara. Devan mengabaikan Kiara dan sibuk dengan laptopnya.Kiara menatapnya kesal. Cukup lama ia berdiri disini. Ia bertanya pun diabaikan. Merasa kesal, Kiara meletakkan berkasnya diatas meja dengan sedikit keras.Brugh!"Saya permisi keluar," ujarnya sembari membalikkan badan. Tak lupa ia hentakkan kakinya sebagai pelampisan kekesalan karena sedari tadi diabaikan."Mama sama papa pulang hari ini."Kiara sontak menghentikan langkahnya."A-apa? Maksudnya pak Dedi? Lalu, aku bagaimana? Aku pulang ke rumah saja ya?" ucapnya khawatir. Devan sontak menghentikan aktifitasnya dan menatap Kiara kesal."Kau mau melupakan kesepakatan kita, eoh?" Kiara menggigit bibir bawahnya. Mengerling ke arah lain."Tapi apa yang harus aku katakan pada orang tua mu nanti?""Itu urusanku. Tugasmu hanya mengiyakan. Ingat! Mengiyakan bukan menolak." Sorot mata Devan menusuk.Kiara terdiam, ia mulai bimbang.
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu