Kiara memandang takjub kawasan ini. Berderet bangunan tinggi nan mewah. Disini memang terkenal sebagai kawasan elite. Meski bekerja di perusahaan yang besar, namun tak urung dia tetap merasa takjub dengan hunian orang kaya ini.
Mobil menuju ke sebuah rumah mewah. Jarak gerbang dan rumahnya saja sejauh jarak rumah Kiara dan halte. Bibir gadis itu mendecak berkali-kali. Bagaimana bisa mereka membangun rumah mewah nan luas seperti bangunan ini contohnya."Turun."Tak terasa mereka sudah di garasi mobil. Kiara sampai tak menyadarinya saking terkesimanya. Dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan banyaknya kendaraan roda empat keluaran perusahaan terkenal berjejer rapi. Dia hanya bisa menelan ludah. Dirinya saja motor satu di pakai ayahnya kerja. Lah ini, mobil banyak bagaimana memakainya?"Mau sampai kapan melamun, hm?""Eh?" lamunannya buyar. Devan sudah berjalan mendahuluinya."Aish! kok gue ditinggal sih! Ini kan rumahnya. Kalau gue nyasar gimana? dasar bodoh!" rutuknya. Kiara segera menyusulnya.Pemandangan di dalam lebih menakjubkan lagi. Interior klasik nan mewah bagai tersuguh begitu saja."Duit mereka berapa sih? rumah bisa sebagus ini. Ck ... ck ..." Mulutnya tak henti menyerocos."Rara! Papa pulang sayang," panggil Devan."Papa!" Seorang anak perempuan berlari menghampiri papanya. Devan langsung membawanya dalam gendongannya."Hmm, anak papa lagi apa nih?""Belajar gambar pah tadi sama kak Nina.""Pinter. Papa bau kecut gak?""Ih, bauk. Papa belum mandi.""Tapi Rara sayang kan?" godanya."Sayang dong. Tapi papa bau."Devan terkekeh. Kiara yang sedari tadi memperhatikan interior rumah sampai mengabaikan Rara."Pa, itu siapa?" tunjuknya pada Kiara. Devan menoleh sejenak, melihat Kiara dan kembali memandang Rara."Coba tebak siapa?""Em...pasti mama Rara ya pa?" tebaknya. Devan tersenyum, mengangguk."Lebih tepatnya calon mama kamu.""Horee ... Rara punya mama," girangnya."Tapi pa, kok mama kebingungan gitu cih?" Devan menoleh. Benar, Kiara memandangi rumahnya hingga tanpa sadar mulutnya menganga."Ooh, itu. Calon mama masih bingung sayang. Calon mama kan baru pertama kali kesini. Pasti belum terbiasa dong.""Kalau begitu Rara pingin ikut calon mama, Pa.""Boleh." Devan menurunkan Rara dan gadis cilik itu langsung menghampiri Kiara"Ma ... mama, em ... calon mamanya Rara ya?""Eh," Kiara terkejut, bingung saat gadis cilik itu berhambur kearahnya."Mama calon mamanya Rara kan?""Ha?" Kiara malah makin kebingungan. Namun Devan menatapnya tajam."Eh i-iya sayang. I-ni calon mamanya Rara." Kiara tersenyum gugup. Dia berjongkok menyamakan tingginya dengan Rara. Mengusap pelan rambut panjang Rara."Yeay! Rara punya mama. Seneng deh. Nanti Rara tidur sama calon mama ya pa?" toleh Rara. Devan mengangguk."Iya, boleh saja. Tapi jangan nakal ya.""Iya, Pa.""Rara! ini susunya sayang."Mereka menoleh. Nina ternyata. Nina pun tak kalah terkejutnya saat melihat ada wanita lain dirumah ini."Loh mbak ini kan ...."Nina menghentikan ucapannya, melihat wanita yang menjadi mamanya Rara. Bukankah wanita itu yang ada di kantor saat itu? Sekretaris Tuannya."Kak Nina! Rara punya calon mama baru. Cantikkan?" Rara tertawa lebar. Nina mengabaikan wajah kagetnya dan tersenyum menghampiri Rara."Eh iya. Siapa dulu dong. Mamanya Rara ..." ujarnya sembari menyodorkan susu pada Rara. Wajahnya tertoleh pada Kiara, dan gadis itupun tersenyum menyapa."Mulai sekarang dia yang akan jadi calon mamanya Rara, Nin,""Baik, Tuan," jawab Nina. Dia masih tak menyangka Gleen benar-benar akan membawakan mama untuk Rara. Tapi kenapa wanita ini? Apa mereka punya hubungan spesial sebelumnya."Kamu siapkan kamar untuk Kiara, Nin. Terserah yang mana. Aku mau mandi dulu.""Baik, Tuan.""Kok calon mama gak bobok sama papa?" tanya Rara polos. Yang menimbulkan keterkejutan pada ketiga orang dewasa tersebut."Belum boleh dong sayang. Nanti kalau calon mama udah nikah sama papa, baru boleh," jelas Nina. Mendengar kata menikah, reflek Kiara menatap Devan kikuk."Benar sayang. Ya udah, main sama calon mama dulu ya, papa mau mandi dulu.""Siap, Pa," jawab Rara semangat. Devan mengacak rambut Rara lembut, sebelum akhirnya dia beranjak ke kamarnya. Kiara memandang pria itu dari belakang."Saya permisi dulu mbak," ujar Nina."Ah, oh iya. Silakan."Nina tersenyum kemudian beranjak meninggalkan Kia bersama Rara.Canggung. Itulah yang dirasakan Kiara. Dia belum pernah mengurus anak kecil sebelumnya."Calon mama, ayok ke kamar Rara. Nanti Rara kasih tahu gambaran Rara. Bagus loh.""Wah. Benarkah? ayok!"Sebisa mungkin dia tersenyum. Rara menggandeng Kiara menuju kamarnya. Gadis kecil itu terlihat sangat senang. Akhirnya akan ada mama yang bisa ia pamerkan pada teman-temannya...Malam beranjak sepi. Hanya terdengar detak jam yang mengalun berirama. Jarum pendeknya menunjukkan angka satu. Tapi tak membuat gadis itu memejamkan mata.Dia pandangi Rara yang terlelap sambil memeluknya. Ia singkirkan anakan rambut yang menutupi wajah kecil itu. Memperlihatkan wajah yang semakin terlihat imut ketika terlelap itu.Ada perasaan aneh setiap kali berada di dekat Rara. Nyaman sekaligus takut, juga perasaan yang tak dapat dia jelaskan.Cukup lama ia hanya memandangi wajah mungil itu. Perlahan ia singkirkan tangan Rara yang memeluknya. Dengan pelan dan hati-hati Dinda beranjak dari posisinya."Cklek!" ia buka pintu kamar Rara.Sepi. Rumah sebesar ini hanya di huni oleh tiga orang, tak terhitung para asisten rumah tangga-karena dia belum melihat mereka. Apakah mereka tidak merasa bosan? rumah ini sudah seperti kuburan. Sementara kalau Nina, sepertinya gadis itu bekerja hanya sampai Devan pulang.Ia toleh ke samping yang ia tahu itu adalah kamar Devan. Sepi juga.Kiara beranjak ke tangga. Dia dudukkan pantatnya. Melamun. Cukup lama dia diposisi tersebut. Hanya melamun. Wajahnya gusar. Banyak hal yang di pikirkannya. Terutama mengenai Rara. Entah kenapa tiba-tiba muncul rasa sayang pada gadis kecil itu. Padahal sebelumnya dia sangat membenci anak kecil."Kenapa malam-malam disini?"Suara berat yang mengiterupsinya. Kiara menoleh kaget. Devan berdiri dua tangga diatasnya dengan kaos putih pendek yang menampakkan otot dada dan lengannya yang kekar. Juga rambut acak-acakan yang membuatnya terlihat lebih, ehm! Apakah pria itu terbangun dari tidurnya."Ah, tidak apa-apa. Aku hanya tidak bisa tidur," jawabnya.Tuk! tuk!Pria itu duduk disamping Kiara. Membuat gadis itu menahan napasnya."Kenapa? apa kamu merasa tidak nyaman?""Bukan begitu, aku hanya ....""Aku minta bantuanmu, dan juga kau pasti mendapat keuntungan. Jangan takut." Kiara menatap pria itu."Jadi tolong bertahan disini," ujarnya tetap dengan ekspresi datar."Tapi,""Aku minta bantuan. Dan tentu saja aku akan membayarmu. Tenang saja. Jangan khawatir urusan itu."Ck. Pria itu masih saja bersikap sombong. Seolah ini hanya tentang uang, uang dan uang."Bukan itu yang ku bicarakan," ujar Kiara kesal."Bagaimanapun juga aku belum pernah mengurusi anak kecil. Aku hanya takut tidak bisa bertindak selayaknya mama yang baik untuk Rara.""Aku mempunyai Rara saat umurku dua puluh dua," potong Devan."Saat itu bahkan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan pada bayi merah itu. Merawatnya dan juga menahan gosip dari mereka. Membagi waktuku antara Rara dan juga kuliah," hentinya."Jadi jangan beralasan. Aku tahu umurmu sudah cukup untuk menikah bukan? Dan sebentar lagi kita menikah. Kenapa tidak menjadikan ini sebagai latihan? Aku saja yang pria bisa mengurus anak."Kiara mendengus pelan. Pria ini benar-benar membuatnya skakmat."Aku belum menikah karena ....""Oh, atau jangan-jangan kamu ..." Devan memotong ucapan Kiara."Atau jangan-jangan kau ..." Devan menghentikan ucapannya dan ucapan Kiara sekaligus. Dia dekatkan bibirnya di telinga Kiara. Berbisik pelan dengan seringaian tersungging di bibirnya."Kita menikah secepatnya saja. Kau tidak hanya mengurus anak saja, nanti kau juga ku ajari membuat anak." Kiara terkejut. Apalagi pria itu menatapnya dengan seringaian nakal."Hey! apa maksudmu!" teriaknya saat ia berhasil mencerna ucapan Devan tadi.Sedangkan pria itu terkekeh, abai kalau perkataannya tadi membuat wajah Kiara memerah."Tenang saja, aku hanya bercanda. Kita hanya akan menikah. Aku tidak akan menyentuhmu. Masalah pernikahan itu nanti akan kubicarakan pada papa."Papa? berarti pak Dedi dong. Harus ditaruh dimana mukanya jika tiba-tiba saja dia menjadi istri putranya. Apakah tidak menimbulkan pikiran buruk."Tap-tapi, apa tidak akan jadi masalah?""Lebih bermasalah lagi jika kita tinggal bersama tanpa pernikahan. Mereka akan memarahiku. Cukup Rara sebagai bukti kenakalanku dulu.""Aku tidak
"Huft! capeknya."Kiara memijit tengkuknya. Hari ini Devan benar-benar membuatnya kerja keras. Menemani rapat yang kemarin di tundalah, setelah itu meninjau anak cabang di kota sebelah, pulang dari meninjau baru juga mau duduk sudah di panggil lagi disuruh mengurus laporan. Ck, padahal seharian ini perutnya belum diisi. Apalagi pagi tadi dia belum sempat sarapan gara-gara di suruh cepat-cepat. Jam istirahat tadi dia tidak sempat karena dipanggil Devan.Dia lirik jam kecil di meja kerjanya. Pukul 14.15. Perutnya terasa makin perih. Pengen beli makan, tapi takut kena semprot Devan. Pria itu tadi sudah memperingatkan dirinya untuk tidak kemana-mana. Dia sandarkan dagunya di meja kerjanya. Melirik rekan-rekannya yang lain terlihat fokus dengan pekerjaannya. Berbeda dengan dirinya yang fokus meratapi perutnya yang keroncongan.Seorang office boy membawa nampan yang sepertinya makanan, melewatinya begitu saja. Reflek pandangannya mengikuti arah langkah
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya saat Devan sebelas sekolah menengah atas. Devan merupakan ketua osis di sekolahnya. Kepribadiannya tegas di balut wajah tampan dan berwibawanya, menjadikan dirinya sosok sempurna idaman para siswi.Devan juga merupakan siswa yang pintar, nilainya selalu berada di peringkat atas. Tak terhitung berapa kali olimpiade atau perlombaan yang berhasil di menangkan olehnya. Juga bukan hanya itu, dia juga kapten basket. Membuatnya makin di gandrungi.Tapi sayang, Devan bukan tipikal yang ramah pada wanita. Dia cenderung cuek dan tak peduli. Banyak hati yang patah karena diabaikan olehnya."Jangan bilang lo jeruk makan jeruk, Devan?" tukas Yoga saat break mereka dari latihan basket."Gila lo, gue juga masih doyan cewek kali," sahut Devan gak terima. Ia menenggak minumannya, dan menuangkan di kepalanya, membuatnya semakin terlihat keren."Kali kali aja. Secara, lo gak pernah kelihatan deket sama cewek bro, ya gak b
Pagi kembali datang. Ini merupakan pagi ke tiga semenjak Kiara tinggal dirumah ini. Untung saja orang tua Devan sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi ia tidak terlalu canggung. Entah apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua pria itu akan keberadaannya nanti. Apalagi papa Devan adalah bossnya dulu. Ah, biarlah Devan yang menjelaskan nanti. Ia cukup diam.Ia mulai terbiasa dengan rumah ini. Bangun tidur ia langsung memberesi kamarnya, setelah itu membantu ke dapur sebentar. Tentu saja mengenal asisten rumah tangga disini juga perlu."Bi, ini di taruh dimana ya?" Kiara menunjuk sayuran yang ia gak tahu namanya. Maklum, makanan orang kota asing baginya."Masukan kulkas saja non. Buat menu nanti sore," jawab Bi Munah."Oke, siap." Semangat Kiara membantu bi Munah. Perempuan tua itu tersenyum. Baru kali ini tuan mudanya membawa wanita lain, selain Nina tentunya. Dan menurutnya Kiara merupakan pribadi yang menyenangkan dan cekatan.Gadis i
Tidak ada sahutan. Kia melihat jam tangannya. Hm, bisa terlambat kalau begini. Dari pada kena marah dua kali lipat, ia memutuskan untuk membuka pintu kamar Devan.Tidak terkunci.Ia melongok, pria itu masih meringkuk dibalik selimutnya."Ck, bisa bisanya dia masih terlelap," gumamnya.Tok! tok! tok!"Pak, sudah siang," ujarnya lagi, mengetuk pintu yang sudah terbuka.Devan tetap tak beranjak.Kiara melangkah pelan mendekati Devan yang sedang berbaring.Ia pandangi wajah lelap Devan. Tak biasanya pria itu seperti ini."Pak, pak Devan," panggilnya lagi."Eungh ..." hanya lenguhan pelan yang lolos.Lama lama geregetan juga. Kiara menyentuh lengan Devann. Namun ia kembali tersentak."Anda sakit?" Ia menempelkan telapaknya ke dahi Devan. Panas."Ya ampun. Panas sekali."Devan bergeming. Kia segera memutar badannya, hendak mengambil kompres dan es batu namun sebuah tangan menariknya membuatnya oleng
Dikantor suasana berjalan seperti biasa seolah ada Devan yang mengawasi mereka. Tak ada yang namanya bermalas-malasan. Daripada nanti kalau ketahuan kena damprat Boss galak mereka. Satrio meletakkan ponselnya di meja. Bukan karena perintah atasannya yang membuatnya tertegun. Tapi, dia seperti mendengar suara yang familiar, meski tidak jelas. Pikirannya mendadak kacau."Muka lo kenapa, Sat?""Eh, gak papa Yu." Dia melirik meja Kiara yang masih kosong. Positif thinking, mungkin saja Kiara terlambat lagi. Ayu yang mengetahui arah pandang Satrio ikut menoleh."Eh, baru sadar. Pak Devan belum datang ya.""Kiara juga," sambar Nadia."Yee ... kalau Kiara mah jangan diomong. Palingan juga, telat lagi dia.""Iya juga sih.""Yang jadi pertanyaan tuh, tumbenan pak Devan belum datang.""Beliau sakit," jawab Satrio sembari membawa beberapa berkas untuk di poto kopi."Ih, yang bener? jadi yang nelpon tadi pak Devan?"Satri
"Anda yakin sudah tak apa-apa?" tanya Kiara. Devan mengabaikan Kiara dan sibuk dengan laptopnya.Kiara menatapnya kesal. Cukup lama ia berdiri disini. Ia bertanya pun diabaikan. Merasa kesal, Kiara meletakkan berkasnya diatas meja dengan sedikit keras.Brugh!"Saya permisi keluar," ujarnya sembari membalikkan badan. Tak lupa ia hentakkan kakinya sebagai pelampisan kekesalan karena sedari tadi diabaikan."Mama sama papa pulang hari ini."Kiara sontak menghentikan langkahnya."A-apa? Maksudnya pak Dedi? Lalu, aku bagaimana? Aku pulang ke rumah saja ya?" ucapnya khawatir. Devan sontak menghentikan aktifitasnya dan menatap Kiara kesal."Kau mau melupakan kesepakatan kita, eoh?" Kiara menggigit bibir bawahnya. Mengerling ke arah lain."Tapi apa yang harus aku katakan pada orang tua mu nanti?""Itu urusanku. Tugasmu hanya mengiyakan. Ingat! Mengiyakan bukan menolak." Sorot mata Devan menusuk.Kiara terdiam, ia mulai bimbang.
"Argh!" Satrio mengepalkan tangannya kuat. Beruntung krannya menyala keras, hingga suaranya bisa teredam."Kenapa setelah tujuh tahun berlalu gue harus mendengar nama busuk lo lagi!"Wajah Satrio mengeras, Emosi. Kehidupannya berubah tragis setelah itu. Dia pindah sekolah dan mengganti semua akses dirinya. Nomor telepon, sosial media dan apapun itu. Satrio resmi menghilang. Ia membuka lembaran barunya.Pelariannya membawa dirinya pada pertemuannya dengan Kiara. Gadis manis berwajah oval dan berlesung pipit itu.Namun hubungan mereka yang baru terajut harus berakhir karena peristiwa kelam itu, peristiwa yang membawa Kiara pada kehancuran. Dan kini ia kembali bertemu dengan Kiara. Penyesalannya kembali muncul, karena justru menjauh saat gadis itu butuh perhatian. Ia ingin menutupi sesalnya dengan selalu di dekat Kiara. Tapi sepertinya Devan, Putra pak Dedi itu mengincar Kiara juga. Dan, Satrio yakin, Devan adalah cowok itu. Teman si brengsek Dodi. Ya, me