Share

Petaka Menikah Muda
Petaka Menikah Muda
Author: ERIA YURIKA

Kacau

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-09-11 10:50:02

“Kalau mau main game terus kayak gitu, kenapa dulu nikahin aku? Harusnya ngebujang aja sampai tua,” sungut istriku seraya menggendong Rafa yang kotor dengan tanah.

 Anak-anakku terbilang aktif. Setiap waktu selalu saja mengambil kesempatan untuk bermain di halaman rumah. 

Hujan telah turun sejak semalam, dan anak kecil itu tentu akan bertambah senang karenanya. Mereka akan melompat-lompat di atas genangan air, tanpa peduli pakaiannya telah basah bercampur lumpur. 

 Aku punya dua bayi kembar. Rafa dan Rifa, kebetulan Rifa masih tidur di kamar.

“Kalau anak mainan yang kotor, apa susahnya dibilangin? Apa segitu matinya tangan dan mulutmu? Lihat lututnya berdarah, pelipisnya juga! Kalau aku enggak datang, Rafa mau nyeberang jalan. Setidaknya kamu tutup gerbang!”

Kali ini nada bicaranya makin tinggi, jujur saja aku muak mendengarnya. Akhir pekan itu untuk istirahat. Salahkah kalau aku ingin bersantai sejenak. Kenapa selalu saja mendengar teriakannya yang memekakkan telinga.

BRAK!

Aku menggebrak meja keras-keras.

Hana tersentak, dia menggantung ucapannya seketika. Matanya memerah, bibirnya pun bergetar menatapku. Aku memang pertama kali membentaknya. Terlebih di muka umum, karena saat ini gerbang rumah kita, kebetulan terbuka. Mungkin, Hana lupa menutupnya, karena khawatir melihat Rafa yang hampir tertabrak. 

“BISA GAK NGASIH TAU PELAN-PELAN! APA SUSAHNYA NGOMONG BAIK-BAIK, SUDAH LUPA KALAU AKU SUAMIMU SEKARANG? KAMU UDAH GAK NGEHARGAI AKU?”

AAA! 

Rafa menjerit sekencangnya, dia tak bisa mendengar seseorang berteriak.

Lalu tak lama dari itu, saudaranya yang tertidur di kamar ikut menyahuti teriakannya. Dia menangis cukup kencang hingga dapat terdengar sampai ke luar.

Hana, gegas menggendong balita itu ke dalam pelukannya. Dia sempat melirik ke arah jalan raya. Aku mengikuti ke arah mana matanya memandang. Ada 3 sampai 4 orang tengah menatap ke arah kami, tetapi begitu kami menatapnya balik, mereka langsung membubarkan diri.

“Kamu boleh marahin aku, tapi enggak di depan tetangga. Apalagi di depan anak-anak. Itu sama aja melukai harga diriku,” lirih Hana.

“Maaf Sayang, Abang kelepasan.”

“Dari awal juga aku enggak mau nikah, sekarang apa yang terjadi? Kamu cuma sibuk sama duniamu sendiri.”

“Sayang."

Aku mencoba meraih lengannya, sayangnya dengan cepat Hana menepis. Lalu, berjalan mendahului. Ia kembali masuk ke rumah.

Aku masih berupaya mengejar. Namun, Hana seakan tak mau kalah. Dia malah mengunci diri dalam kamar kami bersama Rafa yang masih menangis sesenggukan.

Dulu aku yang memintanya menikah muda tepat saat usianya menginjak 19 tahun. Tak berbeda jauh denganku yang hanya terpaut usia 2 tahun lebih darinya. Kami menikah dengan wajar. Ada resepsi juga dengan penuh suka cita. Meski, memang dari keluargaku kurang menyukainya, bahkan sampai hari ini.

Aku sedikit memaksanya waktu itu, dengan dalih menikah untuk menghindari dosa zina, tetapi yang terjadi setelahnya tak seperti yang kami bayangkan. Ini bukan hanya soal ekonomi, karena pada dasarnya kami sadar tentang hal itu dari awal. 

Rumah dan seisinya sudah kupersiapkan jauh sebelum kami menikah. Sayangnya, rumah tangga begitu menjenuhkan. Rutinitas setiap yang begini-begini saja, membuatku tertekan.

Hana terlalu cerewet. Aku merasa dia tak suka apa pun yang kulakukan, padahal banyak kegiatan yang sudah kutinggalkan sejak kami memutuskan menikah. Aku tak lagi naik gunung juga balapan. Sesekali futsal, atau kumpul dengan teman itu pun sudah jarang, hanya seminggu sekali. Sempat terlintas untuk mengakhiri semuanya tapi bagaimana dengan Rafa? Haruskah kukorbankan dia demi egoku juga masa mudaku yang indah?

Sejak siang aku sudah ke luar, hingga pukul 3 dini hari aku masih betah berada di luar. Tadinya berniat untuk berbaikan dengan Hana, tetapi hampir 2 jam membujuknya di depan pintu. Dia masih saja menulikan diri, bukankah itu melukai harga diriku sebagai seorang laki-laki, sekaligus Imam keluarga yang harusnya dihormati? 

Dia ingin aku bagaimana lagi? Hari ini aku bermalam di rumah orang tuaku. Masa bodo tentang Hana yang akan mengamuk atau melempar barang.

Oh wanita, kenapa cepat sekali berubah? Dulu dia lembut dan penyayang, tetapi setelah menikah tak ubahnya seperti singa yang siap menerkam mangsanya kapan saja dan kau tahu siapa mangsanya? Siapa lagi kalau bukan aku, orang yang akan selalu disalahkan saat dia menghadapi situasi sulit apa pun. 

“Kenapa lagi, ribut?” tanya Mamah.

“Biasalah,” jawabku sekenanya.

“Kalau nyari istri itu makanya yang ngerti agama biar enggak terlalu banyak nutut. Cantik doang buat apa, kamu yang susah kan sekarang, dikit-dikit pulang. Apa perlu mamah tegur dia?”

“Apa sih Dek, kamu anak udah nikah. Biarin ajalah, enggak usah ikut campur!” sambar Ayah yang tiba-tiba saja datang dari arah ruang kerja. 

Mungkin terganggu dengan suara Mamah yang bising.

“Apa sih? Mamah enggak suka anak kita diperlakukan kayak gini. Masa diusir-usir? Memangnya dia siapa? Orang rumah juga Raka yang beli, jangan seenaknya lah."

“Sudah ngomongnya?" sambar Ayah dari arah belakang.

“Papah nih, belain aja terus menantunya.”

“Lah memang anak kita yang salah. Kamu udah nikah. Tanggung jawab kamu sebagai suami sekaligus ayah, seharusnya kelakuan kamu juga berubah. Jangan kayak anak-anak yang ada masalah dikit ngadu sama orang tua. Rubah pikiran kamu, sekarang kamu ke sini, memang selesai masalah kamu?”

“Aku cuma mau nenangin diri, Yah.”

“Kamu yang tenang, tapi rumah ini yang jadi panas. Sekarang pulang, temui istrimu! Selesaikan masalah kalian baik-baik.”

“Ayah usir Raka?” Mamah kembali bicara 

“Kenapa? Ini hakku menentukan siapa yang tinggal di sini.”

“Kamu itu keterlaluan, Yah,” ucap Mamah.

Lantas, ia pergi ke kamar, meninggalkan kami berdua di ruang tamu. 

Seperti biasa, Ayah akan menceramahiku tentang bagaimana seharusnya pernikahan berjalan. Menyalahkan kalau semua itu salahku. Berbeda dengan Mamah, yang cenderung berada di pihakku. Ayahku justru terang-terangan mengusir.

“Jangan pernah datang, kalau cuma bikin keributan! Belajar tanggung jawab, sama apa yang udah kamu pilih! Pulang, kasihan istrimu ngurus Kembar sendirian! Kalau kamu terus begini, jangan menyesal kalau suatu hari ada laki-laki lain yang lebih menarik hati istri kamu!”

“Ayah kok ngomongnya begitu?”

“Ya kamu pikir sendiri, wanita mana yang tahan punya suami yang ngaduan kayak kamu? Sudah sana pulang!”

Tanpa menunggu jawabanku, Ayah sudah lebih dahulu melangkah pergi. Aku tak bisa tetap tinggal. Mau tak mau aku harus pergi.

Kasihan juga kalau dia kutinggalkan sendiri, pasti akan sangat merepotkan sekali mengurus Rafa dan Rifa sendirian.

Hari masih siang, tetapi rumah dalam keadaan sepi. Sudah satu jam aku duduk d depan televisi, tetapi mereka tak kunjung datang. Hingga aku tanpa sadar tertidur di sofa. Aku terbangun karena harum masakan, dari mana lagi kalau bukan dari dapur kami? Aku bangkit dari sofa lalu berjalan menuju dapur, menghampiri Hana yang tengah berkutat dengan alat-alat dapurnya.

“Sayang," sapaku.

“Hmm.”

Meski ragu, tetapi aku berupaya memegang ke dua pundaknya. Kini aku memaksanya untuk berhadapan denganku.

“Maaf soal kemarin.”

Tak ada kata yang terucap, sejenak kami larut dalam diam, dengan kedua mata saling menatap 

“Iya." 

 Hanya itu? Bukankah biasanya dia akan berbicara mengalahkan kecepatan kereta api? Paling tidak dia akan memasang wajah juteknya yang menyebalkan, lalu ada apa dengan hari ini? 

“Kamu marah?”

 “Bukankah aku enggak bisa menyimpan kemarahan? Sudahlah lupakan soal kemarin!”

 Bagaimana bisa, ini bukan Hana yang kukenal? Benar katanya, dia selalu tak bisa menahan amarah barang sebentar. Aku ragu, kalau dia sudah benar-benar memaafkanku.

Ah, sudahlah bukankah ini lebih baik. 

Aku kembali ke rutinitas di akhir pekan, menghabiskan waktu dengan bermain game. Saat sore hari setelah asar, aku akan keluar untuk futsal.

Hari ini kebetulan teman-teman sedang ada acara kami membatalkan futsal. Itu tak masalah, aku masih punya kegiatan lain. Aku akan pergi ke lapangan badminton.

Kebetulan Hana sedang berada di luar halaman sambil mengawasi Rafa dan Rifa yang tengah mencabuti beberapa tanaman kecil yang susah payah Hana tanam. Sekalian saja aku pamit.

“Aku mau badminton bentar.”

“Hmm.”

Hanya itu? Bukankah biasanya dia akan bersih keras menahan agar aku tak pergi?

Aku baru saja ingin mengulurkan tangan padanya, seperti kebiasaan kami ketika hendak bepergian, Hana akan mencium punggung tanganku dengan takzim. Namun, kali ini dia malah berlari mengejar Si Kembar. Memang waktu itu mereka akan mengambil kesempatan untuk berlari mendekati pagar, tetapi bukankah mereka juga tak mungkin bisa membuka pintu.

Bisa kulihat dengan jelas pagarnya masih tergembok. Aku merasa dia hanya sedang menghindar dariku agar tak bersalaman.

Sudahlah, mungkin aku yang terlalu banyak berpikir. Bukankah ini yang kumau. Hana tak lagi cerewet seperti dulu, tetapi kenapa rasanya ada yang berbeda?

“Sayang, Papih berangkat." 

Aku mengusap kepala ke dua anakku bergantian.

“Ga Oyeh!” sahut Si Kembar kompak, sembari menggoyang-goyangkan lengannya.

Mereka baru saja menolakku.

Anak-anak itu gegas beringsut mundur. Begitu pun Hana yang mengikutinya dari belakang. Sekilas aku menengok saat mereka telah sampai di ambang pintu. Si kecil Rifa entah apa yang dia minta pada Bundanya. Begitu Hana mengusap kepalanya, dia langsung mencium kedua pipi Hana. Lalu, diikuti Rafa yang juga mengulangnya.

Kenapa anak-anak itu begitu akrab dengan Hana, sedang aku tidak 

Hari berlalu, sejak pertengkaran waktu itu Hana tak lagi memprotes apa pun yang kulakukan. Dunia terasa damai karenanya tapi kenapa justru hatiku merasa sepi.

Kenapa aku merasa akhir-akhir ini Hana terlihat sibuk? Hampir setiap hari dia mengikuti perkumpulan pengajian di kompleksku. 

Aku bahkan baru tahu setelah hampir 3 tahun tinggal di sini ternyata banyak kegiatan. Mulai dari senam, pengajian, sampai hanya makan-makan di rumah tetangga. Aku bisa tahu, karena Hana selalu meminta izinku lebih dahulu.

Hari ini dia balik dengan wajah semringah. Aku hafal betul wajah seperti itu, sudah lama aku tak melihat wajahnya bersemu merah. Siapa yang dia temui di jalan tadi?

Tanpa menyapaku lebih dahulu, Hana langsung masuk ke kamar mandi, menyuruh anak-anak cuci kaki lalu mereka naik ke atas. Sekarang aku ada di rumah tapi kehadiranku benar-benar tak dianggap.

Aku sungguh penasaran siapa yang membuat Hana terlihat begitu bersinar hari ini?

“Hana, Abang mau ngomong.”

“Ya tinggal ngomong!” jawabnya tanpa melihat ke arahku.

“Berdua."

“Mereka enggak akan ngerti apa yang mau kita bicarakan. Bicara aja!” jawabnya dengan ekspresi wajah datar yang menyebalkan.

Ini bukan Hanaku yang dulu. Dia begitu ekspresif saat aku dekati, tapi akhir-akhir ini dia tak pernah bersemangat lagi. 

“Kamu tadi di jalan ketemu siapa?”

Hana langsung melihat ke arahku. Wajahnya menampilkan ekspresi keterkejutan.

“Kenapa? Benarkan, tebakanku?”

Jangan-jangan benar kata Ayah kalau di luar sana ada yang telah menarik perhatiannya.

“Kamu abis ketemuan ‘kan?”

“Kenapa diam? Jawab Hana! Murahan banget sih jadi perempuan, meskipun kamu masih muda kamu enggak nyadar udah punya anak dua? Siapa juga yang mau sama kamu?” 

Hana masih diam saja, meski aku terus saja mendesak untuk mengaku.

“Kenapa, kamu malu untuk mengakuinya? Jangan jadi lupa diri Hana! Aku akui kamu memang cantik, tetapi itu dulu. Jauh berbeda dengan sekarang, berhenti berpikir untuk bisa menggoda laki-laki lain dengan parasmu! Kamu enggak ngerasa itu murahan?”

Hana langsung menatap tajam ke arahku, seketika dia bangkit dari tempatnya berdiri dan itu membuatku ikut bangkit juga. Saat itu posisi kami duduk, memang saling berhadapan.

“Apa kamu bilang?” lirihnya dengan mata memerah.

Aku tahu dia akan menangis sebentar lagi. Kamu pikir itu akan membuatku kasihan, kamu jelas telah berkhianat.

“Murahan,” tegasku.

Hana menyunggingkan bibirnya. 

“Murahan?” lirihnya.

“MURAHAN KAMU BILANG?”

BRAK! PRAY!

Piring dalam genggaman Hana seketika terlempar. Pecahannya berserakan di lantai begitu pun dengan isinya. Tak hanya itu Hana juga memecahkan vas bunga di nakas hingga hancur berkeping-keping.

Setelahnya dia pergi meninggalkanku. Tentunya, dengan dua balita yang menangis karena terkejut melihat aksi bundanya di luar kendali.

Aku harus bagaimana menenangkan mereka? apa lagi kulihat Hana pergi dengan scootermatic miliknya. Tak main-main dia bahkan membawa tas. Apakah mau pergi lama?

Ah, sudahlah akan lebih baik untuk menangkan Rafa dan Rifa lebih dahulu.

“Sayang tenang, ya! Papih ambilkan susu, tapi enggak boleh turun dulu, oke?”

Cepat aku mengambil susu kotak, untuk sesaat mereka tenang, aku bisa bergegas membersihkan pecahan piring yang berserakan. Namun, begitu susunya habis, mereka menangis lagi. 

Kali ini terus bahkan mereka terus saja memanggil Bunda. Aku mengajak mereka menonton kartun, tetapi lagi-lagi hanya bertahan setengah jam. Mereka sudah kembali memanggil Bundanya. 

Tuhan rasanya kepalaku mau pecah. Aku harus bagaimana?

Related chapters

  • Petaka Menikah Muda   Maafkan Aku, Hana

    “Bisa diam enggak, Papih pusing!” Aku mulai hilang kendali. Kedua balita itu justru menangis semakin kencang, seolah aku tengah memukulnya.“Bunda, Bunda!”Anak kecil itu terus saja berteriak hingga urat-urat di lehernya mulai menegang. Setiap kali aku bersuara, semua malah bertambah kacau. Sekarang mereka mulai batuk-batuk dan ini yang paling membuatku tak tahan, muntahan mereka bercecer di mana-mana. Kenapa mengurus bocah susah sekali? Aku mencoba menimang mereka bergantian, tetapi tetap saja anak-anakku tak mudah ditaklukkan. Aku pasrah. Akhirnya hanya bisa duduk di lantai persis di antara kedua anakku.“Diamlah Nak, Papih harus bagaimana?”Ah percuma saja, mereka tak akan mengerti, meski aku memohon sekali pun. Entah berapa kali dia melempar botol susu yang kusuguhkan, hingga salah satunya menjadi pecah.Ini sudah tak terkendali. Aku harus meminta bantuan seseorang untuk mengurus mereka. Mamahku pasti tak akan keberatan untuk datang ke sini. Benar saja, tak menunggu lama, Mamah

    Last Updated : 2022-09-11
  • Petaka Menikah Muda   Bukan Menantu Impian

    Pelan Hana membuka pintu itu. kau tahu dia bahkan mengubah ekspresi wajahnya. Seolah semua baik-baik saja.“Maaf Mah, kami memang ada masalah sedikit.”“Ya, jangan kayak gini. Kamu tanpa Raka juga bukan siapa. Saya aja orang tuanya tidak pernah memperlakukan Raka seperti itu. Berani-beraninya kamu menyuruh anak saya tidur di luar.”Hana melirikku sekilas.Aku tak menyangka jika semuanya akan menjadi serumit ini.“Maaf Mah, lain kali Hana tidak akan melakukannya lagi.” Aku bisa melihat Hana menahan ludahnya. Matanya bahkan mendadak memerah. Hanya butuh satu kedipan lagi untuk membuatnya berair.“Saya akan tinggal di sini sekarang. Awas ya kamu, berani kurang ajar sama Raka. Enggak sadar diri memang kamu ya, yang belikan rumah ini siapa? Kalau bukan Raka, kamu juga masih tinggal di gubuk. Kampungan!”Mamah pergi begitu saja meninggalkan Hana yang diam seribu bahasa. Tatapannya bahkan menjadi kosong seketika.“Na,” lirihku.Sambil berusaha menarik lengannya sayangnya Hana malah lebih dul

    Last Updated : 2022-09-11
  • Petaka Menikah Muda   Suami yang Gagal

    ‘Astaghfirrullah, maafkan aku Hana. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu bersamanya.’Aku bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh Mbak Nuri. Wanita itu kebetulan sempat membaca tulisan di belakang mobil ambulans yang tadi menjemput Hana. Tak lupa kuhubungi Ayah, ini sudah tak bisa dibiarkan.Ya Allah Na, maafkan aku yang tak pernah bisa tegas. Seharusnya kamulah yang aku lindungi. Kumohon selamatkan Hana. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dia. Anak-anak kami, bahkan masih sangat membutuhkannya.Di rumah sakit nyatanya, Hana masih ditangani di ruang ICU. Keadaannya kritis, mengingat ia terkena benturan di bagian kepala cukup keras.“Mamah enggak saja, Ka,” katanya sambil berjalan mendekatiku.Tampak raut wajahnya yang ketakutan. Sungguh aku merasa ia tak benar-benar bersalah karena telah membuat Hana terbaring di rumah sakit.“Ka, kamu jangan diam aja! kamu marah sama Mamah?”Sungguh aku sangat marah, hanya saja aku masih menghormati wanita ini. Sayangnya, ia seola

    Last Updated : 2022-09-11
  • Petaka Menikah Muda   Pergilah!

    “Enggak, hanya saja pasien mungkin akan sedikit kebingungan. Kami justru mengkhawatirkan jika ada efek lain yang ditimbulkan di kemudian hari seperti kejang atau kelemahan otot pada tubuhnya.”“Hm, tapi dia masih bisa jalan ‘kan?”“Seharusnya bisa, kita tunggu sampai pasien sadar. Besok siang.”“Apa perlu operasi, Dok?”“Tidak perlu, lukanya tidak terlalu parah. Tenanglah, berdoa saja insyaallah semua akan baik-baik saja.”Dokter itu menepuk bahu, lantas ia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam ruangan Hana.Barulah kulihat dengan jelas wajah Hana yang terbalur perban. Sebagian juga mengalami pembengkakan akibat benturan keras.Berulang kata maaf yang terucap pun, tak akan mengembalikan semuanya. Ia sudah terluka begitu parah, karena aku yang terlalu lemah. Padahal, dulu aku yang berjanji akan menjaganya dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Namun, atas nama bakti untuk sekedar membelanya di depan orang tuaku saja aku tak berani melakukannya.Sepanjang malam, kulewati dengan terus

    Last Updated : 2022-10-25
  • Petaka Menikah Muda   Jangan Sentuh Aku!

    “Abang tidur di sofa, sini kopernya biar Abang yang rapikan!” ucapku sambil menarik koper itu kamar.Sementara, Hana mengikuti dari belakang. Ia masih belum menanggapi apa pun. Sepertinya ia, memang benar-benar setuju dengan usulanku.“Maaf Hana, biasanya Sam enggak seceroboh ini. Kamu pasti marah?”Sekali lagi Hana hanya menatapku, lantas ia sibuk melepas tas dan jaket yang ia kenakan.“Demi Allah Hana, aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Aku sudah menegur Sam tadi.”Hana justru tersenyum.“Kamu senyum? tapi, kenapa?” imbuhku yang penasaran.Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti itu sejak kelahiran 2 jagoanku, dua tahun yang lalu.“Kenapa harus bersumpah?”“Karena, hanya Allah yang kamu percaya.”“Apa aku terlihat sedang marah?”“Kamu diam saja, aku harus mengartikan apa, selain marah?”

    Last Updated : 2022-10-25
  • Petaka Menikah Muda   Mari Saling Melupa!

    Perkataan Pak Ramdan seketika membungkam mulut Mamah. Sepasang suami istri itu lantas meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.“Sudah Raka bilang, Mamah salah banget bicara seperti itu di hadapan Hana. Mereka memang miskin, tapi enggak sepatutnya Mamah merendahkan mereka. Orang miskin juga punya harga diri.”“Kamu masih saja dukung mereka, Raka!”“Ya, karena mereka benar.”’“Tapi, aku yang melahirkanmu.”“Bahkan sekarang, aku malu lahir dari perempuan yang enggak tahu caranya menghormati orang lain.”“Raka, kamu tahu perkataanmu sangat menyakitkan.”“Tahu, tapi memang kenyataannya seperti itu ‘kan?”Aku memilih pergi, meninggalkan Mamah sendirian. Niatku hanya untuk meminta maaf pada keluarga Hana. Namun, justru tak disambut dengan baik.Menyadari akan kehadiranku di ruangan itu. Hana, justru memintaku untuk meninggalk

    Last Updated : 2022-10-25
  • Petaka Menikah Muda   Berhenti Mencintai

    “Secepat itu kamu memutuskan untuk berpisah, Hana? Setelah semua yang kita lalui.” Aku meletakkan lengan Hana di dada. Hanya agar dia yakin, jika keputusannya salah. Kita masih bisa bersama dan akan selamanya begitu. Namun, sekali lagi ia hanya menggeleng pelan. Pelan sekali, tetapi kenapa begitu menyiksa di hatiku. “Hana, please. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kau tahu aku akan belajar jadi suami yang lebih baik lagi?” “Tapi, bagaimana kalau prosesnya gagal? Bukankah, sangat mungkin bagi seseorang untuk gagal? Bukankah kita telah mencobanya selama 3 tahun dan bagaimana hasilnya?” “Aku tahu, semua memang salahku. Sudah kubilang hukum saja aku, tetapi jangan pernah pergi.” Sekuat tenaga Hana berusaha bangun, hanya untuk mengusap wajahku. “Semakin ke sini, aku sadar terlalu banyak perbedaan di antara kita.” “Bukankah semua manusia memang berbeda? Tuhan menciptakan kita berbeda untuk saling melengkapi, kamu

    Last Updated : 2022-10-26
  • Petaka Menikah Muda   Apa itu Cinta?

    Entah bagaimana bisa aku begitu ceroboh hingga memperdengarkan pesan suara dari Mamah dengan volume yang cukup keras. Bukan hanya Hana, bahkan Pak Ramdan ternyata sudah ada di ambang pintu. Entah apa yang akan mereka pikirkan tentang keluargaku.Tuhan, kenapa aku harus lahir dari Ibu yang tega menghancurkan rumah tangga putranya sendiri?Sekarang bahkan, rumah tangga mereka harus ikut hancur. Apakah ini balasanmu atas perbuatanku yang membiarkan kezaliman ibu, hingga hubungan yang dibangun dengan susah payah malah kandas begitu saja.“Pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang, tapi dua keluarga besar. Saya enggak akan mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Jangan meminta putriku untuk terus menemanimu, jika kamu bahkan enggak sanggup memberikan rasa aman. Uangmu enggak berguna, meski itu berkali-kali lipat dari apa yang kami miliki. Susul ayah dan ibumu, kurasa mereka lebih butuh kamu!”“Saya enggak bisa menceraikan Hana, apa pun it

    Last Updated : 2022-10-26

Latest chapter

  • Petaka Menikah Muda   Hari Kelahiran

    “Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A

  • Petaka Menikah Muda   Bagaimana Kabarmu?

    “Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi

  • Petaka Menikah Muda   Bukan Orang Tua yang Baik

    “Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden

  • Petaka Menikah Muda   Benci Kebaikanmu

    Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan

  • Petaka Menikah Muda   Temu yang Dingin

    “Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad

  • Petaka Menikah Muda   Pulang

    “Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki

  • Petaka Menikah Muda   Terlalu Memalukan

    “Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”

  • Petaka Menikah Muda   Kenyataan Pahit

    “Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,

  • Petaka Menikah Muda   Surat Cinta

    “Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea

DMCA.com Protection Status