“Abang tidur di sofa, sini kopernya biar Abang yang rapikan!” ucapku sambil menarik koper itu kamar.
Sementara, Hana mengikuti dari belakang. Ia masih belum menanggapi apa pun. Sepertinya ia, memang benar-benar setuju dengan usulanku.
“Maaf Hana, biasanya Sam enggak seceroboh ini. Kamu pasti marah?”
Sekali lagi Hana hanya menatapku, lantas ia sibuk melepas tas dan jaket yang ia kenakan.
“Demi Allah Hana, aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Aku sudah menegur Sam tadi.”
Hana justru tersenyum.
“Kamu senyum? tapi, kenapa?” imbuhku yang penasaran.
Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti itu sejak kelahiran 2 jagoanku, dua tahun yang lalu.
“Kenapa harus bersumpah?”
“Karena, hanya Allah yang kamu percaya.”
“Apa aku terlihat sedang marah?”
“Kamu diam saja, aku harus mengartikan apa, selain marah?”
Hana tersenyum lagi.
“Aku enggak marah.”
“Berarti kamu senang kita sekamar?”
“Aku enggak senang.”
“Kenapa?”
“Karena, kita datang ke sini untuk berobat. Aku ingin tidur. Ini bantal dan selimutnya.”
“Lalu, kamu?”
“Aku bisa pakai sarungmu, pinjam ya!”
“Jangan konyol, kamu pikir ini Indonesia Hana. Sarung setipis itu mana bisa melindungimu dari dingin. Aku minta resepsionis buat minta selimut satu lagi.”
Tak menunggu lama. Seorang pelayan hotel mengantar selimut. Setelah, sebelumnya aku menghubunginya lewat telepon.
Aku gegas ke dalam untuk tidur, karena telingaku juga sedikit tidak nyaman. Apa lagi tubuhku juga masih terasa sakit akibat pukulan Ayah yang membabi buta. Sepertinya aku memang harus kembali mengasah bela diri. Bukan malah sibuk futsal dan badminton.
Rasanya ringkih sekali, baru beberapa kali pukulan saja sudah membuatku seperti ini.
Namun, rupanya Hana malah meninggalkan selimut itu di sofa. Membiarkan tubuhnya meringkuk kedinginan hanya dengan sarung milikku. Konyol sekali wanita ini.
Aku memakaikan selimut, di tubuh Hana. Meski musim panas, tetap saja di ruang berAC dia akan tetap kedinginan.
Sesuai rencana, esok hari, kami akan ke rumah sakit tempat Hana melakukan operasi.
Pagi-pagi sekali Hana sudah bersiap. Ia bangun bahkan sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Terlihat bagaimana, wanita itu sudah sibuk dengan aktivitasnya memindahkan biji-biji tasbih. Di saat aku masih berusaha untuk membuka mata yang masih menolak untuk diajak melakukan tugasnya.
Ia bahkan tak menyadari jika sejak. Ia mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, aku sudah memperhatikannya. Sampai ketika ia melakukan salam yang terakhir barulah aku ketahuan. Itu semua karena kami saling bertatapan.
Hana sedikit terkejut, tetapi ia masih saja bersikap normal dengan melafalkan doa yang entah.
Aku beranjak bangkit, untuk mandi dan mengambil wudu. Tidak seharusnya aku diam dan menunda salat. Entah, sepertinya berat sekali menjalankan saat tepat waktu.
Setelah selesai sarapan kami langsung menuju rumah sakit untuk check up terlebih dahulu. Karena, bagaimana pun dokter perlu memastikan kondisi Hana. Apa lagi setelah benturan keras di wajahnya. Ia perlu memastikan bagian mana saja yang membutuhkan rekonstruksi.
Cukup lama ia di dalam. Hana bilang tak ingin ditemani, tetapi tentu saja aku memaksa masuk. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya. Terlihat bagaimana dokter itu menerangkan, dibantu guide yang memang sudah disediakan oleh pihak hotel. Dari hasil Ct-Scanlah akhirnya kami tahu. Jika Hana mengalami pergeseran pada tulang pipi juga, ada darah yang menggumpal di dalamnya. Seharusnya Hana, memberi tahuku jika ia mengalami pusing atau mimisan setelah pseteg dari rumah sakit.
Namun, entah alasan apa yang membuatnya memilih diam. Aku ingin menanyakan banyak hal, tetapi kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
“Kamu gugup Hana, tanganmu gemetar?” tanyaku saat kami berada di ruang tunggu. Di mana kami tengah menunggu antrean di bagian administrasi.
“Sedikit.”
“Ada Abang, aku janji akan merawatmu sampai sembuh.”
“Hm.”
“Minum dulu, ya!”
Hana menerima botol itu, lalu tanpa ragu menenggaknya. Namun, karena tangannya gemetar botol itu hampir saja jatuh. Alhasil, sebagian isi membasahi gamis putihnya itu.
Aku refleks menggenggam botol itu, lalu mendekatkan pada mulut Hana. Namun, ia seperti ingin menolak.
“Kamu bisa tersedak!”
Akhirnya ia mau membuka mulut, meski dengan malu-malu.
Setelah mengurus administrasi. Operasinya akan dilakukan lusa. Jadi, kami masih memiliki satu hari sebelum hari menegangkan itu tiba. Bukan hanya Hana, nyatanya aku pun ikut gugup dibuatnya.
Kami lantas kembali ke penginapan. Hana masih diam saja, pikirannya entah melayang ke mana. Ia susah sekali ditebak.
“Aku takut dengan rasa sakit.”
“Kamu ingat saat kejadian kecelakaan sewaktu kecil?”
Hana mengangguk kecil.
Seingatku Hana pernah bercerita jika ia pernah diserempet mobil saat dibangku SMA. Kakinya pernah patah, sehingga perlu dipasang pen. Bahkan, sampai sekarang aku masih bisa melihat bekas luka itu di kakinya.
“Kamu pasti sangat ketakutan, saat Mamah mendorongmu dari tangga.”
“Aku hanya takut jika aku kembali merepotkan banyak orang. Aku takut tidak bisa jalan, sedangkan anak-anak butuh bundanya.”
“Setelah semua ini kamu enggak akan merasa sakit lagi.”
“Hmm, semoga saja. Tapi, mungkin aku akan merepotkanmu selama beberapa hari hmm tidak sepertinya beberapa bulan.”
“Enggak masalah.”
Sungguh itu bukanlah masalah. Justru sebuah keberuntungan bagiku. Bisa terus dekat denganmu.
~
“Ada sesuatu yang ingin kamu kunjungi? Kita punya sehari sebelum operasi.”
“Enggak ada. Aku ke sini untuk berobat bukan wisata.”
“Ayolah, jangan terlalu formal. Kamu suka lihat drama korea ‘kan?”
“Sudah lama, aku berhenti menonton. Enggak punya waktu.”
“Maafkan aku, pasti kamu sangat kerepotan dengan anak-anak kita.”
“Sudah tugasku, begitu ‘kan yang selalu Abang katakan dulu.”
“Aku, egois ya?”
Hana hanya tersenyum saja.
“Mau jujur atau bohong?”
“Aku sudah tahu jawabannya.”
“Sekarang aku tahu, kenapa kita enggak pernah ngobrol setenang ini?”
Hana mengalihkan pandangan sejenak, seperti menantikan hal apa yang ingin kuungkapkan.
“Aku enggak pernah kasih kamu waktu sendiri. Kamu sibuk dengan anak-anak.”
“Akhirnya kamu mengerti, tanpa harus aku jelaskan.”
Entah aku harus mengatakan apa, kesalahanku begitu banyak. Akhirnya perjalanan berakhir dengan keheningan.
Hari itu Sam mengirimku email. Sebenarnya berat meninggalkan kantor saat seperti ini. Jadi, di tempat ini. Aku tak bisa banyak memanfaatkan kesempatan untuk mendekati Hana, karena sibuk dengan pekerjaan.
Esok hari pun sama. Nyatanya aku malah sibuk dengan pekerjaan lagi. Hari itu aku melihat Hana sepanjang hari hanya sibuk dengan ponselnya.
Sesekali juga ia menelepon. Entah apa yang ia bicarakan, tapi mimik wajahnya sangat serius. Aku khawatir jika ia sudah tahu. Berita yang kini menggegerkan publik itu.
Sampai malam, tak seperti biasanya Hana tidur lebih awal. Entah benar tertidur atau pura-pura, untuk menghindar. Namun, aku juga tak bisa mengganggunya. Ia butuh banyak istirahat, mengingat besok operasinya akan segera dimulai.
~
Pagi hari kami sudah bersiap ke rumah sakit. Aku mencoba mengajaknya bicara, sekedar menghilangkan rasa gugupnya. Namun, ia hanya menjawab sekedarnya. Dan memilih melihat indahnya jalanan kota Seoul, di pagi hari.
Operasi Hana berjalan lancar. Namun, sekarang Hana masih dalam perawatan intensif. Ia baru bisa dikunjungi esok hari.
Itu pun dalam keadaan semua wajahnya. Terbalut perban. Ia bahkan belum bisa mengatakan sesuatu. Jangankan bicara membuka mata saja ia kesulitan.
Aku tahu itu pasti sangat sakit, sedangkan Hana paling tidak tahan dengan kekerasan fisik. Ah, kenapa harus Mamah yang melakukannya. Orang yang sulit sekali untuk aku benci.
Hanya doa yang bisa kupanjatkan demi kesembuhan Hana. Yang kupikir dia baik-baik saja nyatanya tidak. Operasi ini tak sesimple dengan apa yang ada di pikiranku.
Saat inilah aku tahu, jika uang bukan segalanya, ia tak bisa membantu apa pun. Kenapa kamu menyembunyikan semua ini dariku, Hana?
Kamu bilang semua baik-baik saja, tapi nyatanya. Dokter bahkan mengatakan. Pantas saja kamu lebih banyak diam, nyatanya kamu bukan tak sanggup melawan, tapi sedang menahan sakit.
Hari terus berlalu, bahkan kini sudah sepekan Hana terbaring di rumah sakit. Ayah tak henti menanyakan kabar putrinya. Namun, aku hanya bisa menunjukkan foto Hana. Pantas ia sampai begitu gugup, nyatanya ada yang ia sembunyikan di dalam diamnya.
“Kuat ya Sayang, jangan tinggalin aku!”
Hana sudah bisa mengedipkan matanya. Aku senang sekali.
Hari demi hari aku melihat perkembangan Hana, di mana ia bengkak di wajah Hana juga berangsur mereda. Hari demi hari kami lewati dengan indah. Kurasa hubungan kami jadi sangat dekat.
Sampai tiba di mana Hana diperbolehkan pulang, kami kembali ke penginapan yang lebih luas. Bukan lagi hotel, kali ini aku menyewa apartemen hanya agar Hana merasa nyaman.
Ada suster yang kupekerjakan untuk merawat Hana. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik. Namun, hingga momen di mana perbannya dilepas. Itu adalah momen yang paling kunantikan.
“Masyaallah, alhamdulillah wajahmu sudah kembali Hana.”
“Alhamdulillah,” ucapnya dengan senyuman yang terkesan dipaksakan. Entah karena tidak puas atau yang lainnya. Saat itu ekspresi Hana cenderung datar. Ia kembali diam, tetapi kali ini terlihat seperti menahan sesuatu yang entah apa. Saat itu kami memutuskan pulang ke Indonesia, lusa.
Karena, dokter masih perlu memastikan kondisi Hana pasca lepas perban. Setalah dirasa baik. Kami langsung terbang menuju tanah air.
Sepanjang jalan, aku bisa melihat Hana terus saja menghindar. Bahkan saat aku menawarkan tangan saat landing. Ia dengan tegas menolaknya.
“Jangan sentuh aku! Sudah kubilang jangan sentuh aku! Apa kamu enggak bisa mendengarnya?”
“Hana kenapa? Aku hanya menyentuhmu sedikit. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita!”
Kali ini ia memilih menghadapi ketakutannya sendirian. Meski aku bisa melihat, ia bermandikan peluh, karena teramat takut.
Ya Allah ada apa lagi kali ini, setelah aku merasa semuanya akan membaik. Kenapa Engkau senang sekali mengujiku?
Perkataan Pak Ramdan seketika membungkam mulut Mamah. Sepasang suami istri itu lantas meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.“Sudah Raka bilang, Mamah salah banget bicara seperti itu di hadapan Hana. Mereka memang miskin, tapi enggak sepatutnya Mamah merendahkan mereka. Orang miskin juga punya harga diri.”“Kamu masih saja dukung mereka, Raka!”“Ya, karena mereka benar.”’“Tapi, aku yang melahirkanmu.”“Bahkan sekarang, aku malu lahir dari perempuan yang enggak tahu caranya menghormati orang lain.”“Raka, kamu tahu perkataanmu sangat menyakitkan.”“Tahu, tapi memang kenyataannya seperti itu ‘kan?”Aku memilih pergi, meninggalkan Mamah sendirian. Niatku hanya untuk meminta maaf pada keluarga Hana. Namun, justru tak disambut dengan baik.Menyadari akan kehadiranku di ruangan itu. Hana, justru memintaku untuk meninggalk
“Secepat itu kamu memutuskan untuk berpisah, Hana? Setelah semua yang kita lalui.” Aku meletakkan lengan Hana di dada. Hanya agar dia yakin, jika keputusannya salah. Kita masih bisa bersama dan akan selamanya begitu. Namun, sekali lagi ia hanya menggeleng pelan. Pelan sekali, tetapi kenapa begitu menyiksa di hatiku. “Hana, please. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kau tahu aku akan belajar jadi suami yang lebih baik lagi?” “Tapi, bagaimana kalau prosesnya gagal? Bukankah, sangat mungkin bagi seseorang untuk gagal? Bukankah kita telah mencobanya selama 3 tahun dan bagaimana hasilnya?” “Aku tahu, semua memang salahku. Sudah kubilang hukum saja aku, tetapi jangan pernah pergi.” Sekuat tenaga Hana berusaha bangun, hanya untuk mengusap wajahku. “Semakin ke sini, aku sadar terlalu banyak perbedaan di antara kita.” “Bukankah semua manusia memang berbeda? Tuhan menciptakan kita berbeda untuk saling melengkapi, kamu
Entah bagaimana bisa aku begitu ceroboh hingga memperdengarkan pesan suara dari Mamah dengan volume yang cukup keras. Bukan hanya Hana, bahkan Pak Ramdan ternyata sudah ada di ambang pintu. Entah apa yang akan mereka pikirkan tentang keluargaku.Tuhan, kenapa aku harus lahir dari Ibu yang tega menghancurkan rumah tangga putranya sendiri?Sekarang bahkan, rumah tangga mereka harus ikut hancur. Apakah ini balasanmu atas perbuatanku yang membiarkan kezaliman ibu, hingga hubungan yang dibangun dengan susah payah malah kandas begitu saja.“Pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang, tapi dua keluarga besar. Saya enggak akan mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Jangan meminta putriku untuk terus menemanimu, jika kamu bahkan enggak sanggup memberikan rasa aman. Uangmu enggak berguna, meski itu berkali-kali lipat dari apa yang kami miliki. Susul ayah dan ibumu, kurasa mereka lebih butuh kamu!”“Saya enggak bisa menceraikan Hana, apa pun it
“Astagfirrullah Hana, maafin Abang. Ini semua salah paham. Abang pikir dia kamu.”Hana sama sekali tak peduli dengan apa yang kuucap. Wanita itu melenggang pergi. Pelan ia menaiki anak tangga, satu persatu dengan berpegangan kuat pada pagar pembatas. Bahkan dari belakang, tampak jika ia masih ketakutan.Aku berusaha menyusul mengabaikan Sawa, yang entah bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini.Sekarang baru terlihat jelas jika, kening Hana bahkan sudah berkeringat.Ia tampak pucat. Aneh sekali padahal hanya menaiki tangga.“Kamu baik-baik aja, biar aku bantu!” ucapku, sambil memeluk pinggangnya yang saat itu bahkan hampir oleng.“Jangan menolak, atau kamu akan jatuh ke bawah!”“Kenapa mendadak peduli? Lepaskan! Aku sudah terbiasa melakukan apa pun sendirian.”“Akan kulepaskan nanti, setelah kita sampai ke atas.”Untung saja saat itu Hana tak b
“Kalian yang melaporkanku?” teriak Mamah dari lantai atas.Membuat Pak Ramdan dan Hana menghentikan langkahnya. Mereka berbalik, lantas tersenyum menatap kami.“Andai saja Hana, tidak menahan saya, sudah saya laporkan Anda ke polisi saat itu juga!”“Jadi maksud Bapak? Bukan kalian yang melaporkannya? Lalu, siapa?”“Mas Adi,” lirih Mamah.Wajahnya tampak shock. Begitu pun aku. Masih tak menyangka jika ayahku yang akhirnya malah melaporkannya ke polisi.“Ini enggak mungkin Raka, dia tega melaporkan Mamah ke polisi. Bagaimana bisa dia melakukan semua ini? Hiks hiks. Raka, kamu harus bantu Mamah!”Mamah menarik bajuku. Wanita itu menangis sejadi-jadinya.Aku mendekap untuk membuatnya sedikit tenang.“Kamu enggak akan ninggalin Mamah ‘kan, Ka?”Aku hanya mengangguk lantas, Sawa yang berada tak jauh mulai mendekat. Tangannya mengusap
Tuhan, beri tahu apa yang tertulis di takdir kami? Yang kulakukan hanya mencintainya.Setelah menyatukan dua takdir, entah bagaimana garis nasib kita terputus? Aku tak pernah membayangkan jika setelah bersatu, kita akan berpisah.~~“Bawa motornya Bon,” ucapku sambil melempar kunci motor pada Bobon.“Siap,” katanya lantas menangkap kunci motor.Bobon adalah asistenku di kantor. Namun, karena kami memang berteman sejak masa kuliah. Ia bahkan tak keberatan jika harus mengerjakan di luar kewajibannya di kantor.Dibukakannya pintu mobil yang sebelumnya kuminta Bobon untuk membawanya ke arah sana. Setelah, memakaikan sabuk pengamanan pada Hana. Lantas, aku mulai mengendarai mobil itu menuju apartemen.Aku sengaja membawanya ke sana, karena tidak ada orang lain yang punya akses ke sana, selain aku.“Maafkan, aku Hana. Aku tidak tahu, harus bagaimana lagi cara mempertahankanmu, agar teta
“Hiks, kumohon jangan lakukan ini!”Hana bahkan mencengkeram kerah bajunya kuat-kuat. Matanya basah, bahkan sekarang ia terpejam. Seolah yang akan kulakukan adalah sebuah kesalahan.Bagaimana bisa hubungan yang dulunya kau sambut dengan penuh suka cinta dan senyuman termanismu kini, malah berganti duka dan ketakutan.Kenapa? Apa aku begitu mengerikan bagimu?“Buka matamu, Hana!”Bukannya membuka mata, ia malah menggeleng pelan.“Kamu akan menyesal, jika melakukannya.”“Aku telah lama menyesal, Hana. Sejak saat aku meninggalkanmu sendirian di rumah. Aku sangat menyesal melihatmu terkapar sepanjang hari. Aku menyesal, karena enggak ada yang bisa kuperbuat. Aku menyesal Hana, karena aku tidak tahu harus ada di pihak siapa. Aku ingin memberikan keadilan padamu, tapi itu artinya aku harus mengorbankan wanita yang melahirkanku.”Argh!Sungguh saat itu, aku menggebra
“Aku akan menceraikannya, setelah ia sembuh.Pak Ramdan masih saja tak percaya dengan apa yang aku katakan.“Mari kita buat perjanjian, hitam di atas putih!”“Baiklah, tunggu biar saya siapkan semuanya.”“Biar saya saja yang menyiapkan perjanjiannya. Ambilkan materainya di laci Ayah, Bu!”Riswan yang saat itu masih berada di ruangan yang sama. Langsung berinisiatif membantu. Ia juga yang menuliskan perjanjian di antara kami.Di mana dalam waktu 3 bulan aku akan melepaskan Hana, atau sampai Hana benar-benar dinyatakan sembuh oleh dokter.Setelah surat itu selesai di ketik kami semua menandatangan semua itu. Termasuk Riswan dan istrinya juga Bu Sundari sebagai saksi.“Aku masih butuh kartu identitas Hana, untuk mengurus paspor dan visanya.”“Akan saya ambilkan,” ucap Pak Ramdan masih dengan wajah bengisnya.Berbeda dengan Bu Sundari yang sejak surat i
“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A
“Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi
“Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden
Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan
“Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad
“Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki
“Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”
“Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea