“Aku akan menceraikannya, setelah ia sembuh.
Pak Ramdan masih saja tak percaya dengan apa yang aku katakan.
“Mari kita buat perjanjian, hitam di atas putih!”
“Baiklah, tunggu biar saya siapkan semuanya.”
“Biar saya saja yang menyiapkan perjanjiannya. Ambilkan materainya di laci Ayah, Bu!”
Riswan yang saat itu masih berada di ruangan yang sama. Langsung berinisiatif membantu. Ia juga yang menuliskan perjanjian di antara kami.
Di mana dalam waktu 3 bulan aku akan melepaskan Hana, atau sampai Hana benar-benar dinyatakan sembuh oleh dokter.
Setelah surat itu selesai di ketik kami semua menandatangan semua itu. Termasuk Riswan dan istrinya juga Bu Sundari sebagai saksi.
“Aku masih butuh kartu identitas Hana, untuk mengurus paspor dan visanya.”
“Akan saya ambilkan,” ucap Pak Ramdan masih dengan wajah bengisnya.
Berbeda dengan Bu Sundari yang sejak surat i
Aku tak mampu menggapaimu, meski telah mendapatkanmu.Ketika cinta ada di antara kita, kenapa pemisah masih tetap ada? Aku bisa melihat cinta di matamu, tapi kenapa seolah itu tak tampak.~~Belum juga aku menjawab pertanyaan Mamah. Hana sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruangan ini.“Ayah ....”“Kejar Ka, jangan sia-siakan apa yang sudah Ayah lakukan buat kamu,” bisik Ayah.Ia menepuk pundak, lantas sedikit mendorongku.“Raka, kalau kamu pergi. Kamu bukan lagi anak Mamah.”Langkahku mendadak berat. Aku kembali menengok ke belakang. Menatap wajah Mamah yang sudah basah, tetapi sekali lagi Ayah membantuku.“Jangan berkata sembarangan! Kamu sering kali membuat pilihan yang sulit, kalau ingin semua orang menghormatimu, bukan seperti itu caranya,” ucap Ayah.“Pergilah Ka, biar ini jadi urusan Ayah!”“Raka jangan pergi! Hiks, hiks.
Kau milikku sekarang, tapi esok mungkin tak akan sama lagi. Perlahan jalan kita akan berpisah, kita akan kehilangan satu sama lain. Entah esok kamu masih mencintaiku atau tidak, atau masih mengizinkanku untuk mencintaimu atau tidak. Tapi, aku akan tetap mencintaimu, Hana. Bersama dengan serpihan hatiku yang hancur, aku akan tetap menunggumu untuk kembali membuka pintu hati. ~~ Kami makan dalam diam. Suasana begitu canggung. Sudah lama rasanya, bisa makan berdua dengan Hana seperti ini. Aku sengaja mempercepat makan. “Mau ke mana?” tanya Hana, yang melihatku kembali memaki jaket. “Mau keluar sebentar, tidur duluan aja. Enggak usah nunggu. Hmm, maksudnya aku mungkin pulang arut malam.” “Kenapa?” “Sejak kapan kamu jadi ingin tahu urusanku?” Aku sengaja menaik turunkan kedua alisku, hanya untuk menggodanya. Sampai-sampai, itu membuat Hana menunduk dan terdiam untuk sesaat. “Surat-surat
“Hana, kenapa begini? Harus ada alasan ‘kan?” tanyaku.Setelah kami sampai di bandara bahkan Hana terus saja menghindar. Ia bahkan sengaja mempercepat langkah.“Jangan percepat jalanmu, aku tahu kamu kesakitan. Kenapa sih harus memaksa diri. Kamu bisa bilang kalau ingin jalan duluan!” teriaku masa bodo dengan perhatian orang-orang di bandara. Hana berbalik, tetapi hanya sejenak. Ia kembali meneruskan langkah, meski kali ini lebih pelan.Aku masih mengejarnya, tetapi sedikit memberi jarak. Ingin sekali berada sejajar dengannya. Namun, aku sudah berjanji untuk memperbaiki diri. Mengurangi hal paling dasar, yang membuat Hana membenciku.“Sayang.”Hana bahkan tak bergeming.“Aku tahu kamu mendengarku.”“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi?”“Kenapa berubah secepat ini. Bukankah kita akan merayakan kesembuhanmu ini. Tapi, ada apa dengan sikapmu. Kenapa be
“Aku akan mengantarmu pulang, diam dan tunggu! Jangan bicara apa pun, karena apa yang keluar dari bibirmu menyakitiku!”Kau tahu andai aku bisa menghentikan waktu. Aku ingin melakukannya saat itu juga. Hanya agar aku bisa merasakan sedikit lebih lama, bersamanya. Sayangnya itu mustahil.Aku menghentikan mobil, tepat di depan rumah Hana. Di mana kedua orang tuanya sudah menyambut dengan penuh suka cita. Sampai-sampai air mata keduanya beruraian tak terkendali.Aku berdiri di sini. Namun, seperti tak nampak. Mereka benar-benar mengabaikanku. Jangankan berharap mendapat pelukan hangat, sekedar sapa pun enggan melakukannya.Beginikah rasanya Hana, saat pertama kali aku membawamu bertemu Mamah? Aku masih ingat bagaimana kamu berdiri di ujung ruang keluarga, sambil mengulas senyum getir. Melihat keakraban Mamah menyapa seluruh anggota keluarga. Namun, hanya kamu yang diabaikan.Bodohnya, aku tahu hal itu, tetapi malah membiarkannya.Cu
PoV 3“Bisakah kamu jelaskan saja sekarang! Aku lebih mempercayaimu,” teriak Raka, hanya agar suaranya tak kalah dengan hujan deras yang mengguyur kota siang itu.Saking derasnya sampai-sampai mereka harus menepi pada salah satu paviliun yang berada di taman belakang.Sembari menahan lengan wanita yang membuatnya tersiksa dengan rindu yang tak pernah sudah, ia menariknya mendekat. Tak ingin jika pertemuan ini usai begitu singkat.Sayangnya, Hana masih nyaman dalam diamnya.Ada debar yang tak biasa sesaat setelah keduanya saling menyentuh. Ia menikmati rasa itu, sampai gemuruh halilintar itu meledak dan menggemparkan langit.Namun, sebuah keberuntungan bagi Raka. Ketika ledakan itu, justru membawa wanitanya mendekap.Hana masih ketakutan, hingga tanpa ragu ia menenggelamkan wajah pada dada bidang milik Raka, yang merupakan tempat ternyamannya. Namun, itu dulu. Lambat laun, tempat itu tak lagi nyaman untuk dikunjungi. Waktu
“Aku sibuk, enggak mungkin bisa libur,” ucap Hana.Kali ini ia sudah jauh lebih tenang.“Aku bisa minta Data buat izinin kamu cuti.”“Masalahnya aku sudah izin cuti lusa, untuk sidang kita.”“Kita? Bahkan aku tidak pernah menginginkan perpisahan.”“Sebaiknya Abang pulang, lihat ojek langgananku sudah datang.”Perhatian keduanya mendadak beralih pada seseorang dengan jaket hitam lengkap dengan helm berwarna senada menghampiri mereka.“Malam begini, bisa-bisanya kamu pergi berdua dengan laki-laki asing.”“Mas jangan sembarangan ya, saya ini perempuan,” ucap pengemudi ojek itu.Ia lantas membuka helmnya, demi menunjukkan wajahnya pada Raka. Wanita dengan gaya rambut ponytail itu mengerucutkan bibir. Kemudian, melirik Hana yang hanya tersenyum tipis.“Apa lagi perempuan, akan sangat berbahaya.”“Perempuan engga
“Anggap saja begitu,” ucap Raka.Bibirnya mengulas senyum, meski hatinya tengah menahan getir yang entah. Beruntung saat itu anak-anak menariknya pada hamparan rumput di tanah lapang. Keduanya berlarian ke sana ke mari.Sementara, sepasang suami istri itu duduk dalam hening, memperhatikan mereka dari kejauhan.“Haus enggak?” tanya Raka.“Sedikit,” kata Hana.“Abang belikan minum, ya?”Hana hanya mengangguk, sejujurnya ia tak benar-benar menginginkan air. Hanya hatinya yang butuh ruang kosong. Sejak keduanya berada dalam jarak yang begitu dekat. Sesak seakan memenuhi relung hatinya, tanpa menyisakan sedikit ruang untuk bernafas dengan lega.Ia menatap langit cerah hari itu. Menyilaukan, tetapi cukup bisa diandalkan untuk kembali memupuk asa yang hampir pupus.Tak berselang lama Raka kembali dengan sekantong plastik berisi minuman dan beberapa camilan. Ia memanggil anak-anak mendeka
“Maaf.”Raka terkekeh pelan. Bukan karena ia bahagia tetapi sebaliknya mencoba menepis luka dengan tawa.“Aku memang enggak tahu diri,” ucapnya, sambil melepas lengan Hana.“Aku yang minta maaf, Hana.”“Hm.”Hana langsung keluar. Beralih ke kursi belakang untuk menggendong Rifa. Sedangkan, Rafa digendong Raka.“Loh, cucuk Nenek pada tidur toh?” ucap Bu Sundari saat ketiganya berpapasan.Saat hendak masuk ke kamar kecanggungan kembali terjadi.“Boleh?” tanya Raka.Bukan apa-apa, ia hanya tidak ingin Hana mengecapnya pria yang tak tahu diri.“Masuk aja, Bang!” kata Hana.Raka langsung membaringkan putranya dengan lembut, tak lupa ia mencium keduanya bergantian cukup lama. Sampai tak sadar jika sudut matanya kembali basah.“Besok, Abang bawa kuasa hukum?”“Ya.”“Aku akan
“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A
“Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi
“Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden
Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan
“Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad
“Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki
“Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”
“Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea