“Enggak, hanya saja pasien mungkin akan sedikit kebingungan. Kami justru mengkhawatirkan jika ada efek lain yang ditimbulkan di kemudian hari seperti kejang atau kelemahan otot pada tubuhnya.”
“Hm, tapi dia masih bisa jalan ‘kan?”
“Seharusnya bisa, kita tunggu sampai pasien sadar. Besok siang.”
“Apa perlu operasi, Dok?”
“Tidak perlu, lukanya tidak terlalu parah. Tenanglah, berdoa saja insyaallah semua akan baik-baik saja.”
Dokter itu menepuk bahu, lantas ia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam ruangan Hana.
Barulah kulihat dengan jelas wajah Hana yang terbalur perban. Sebagian juga mengalami pembengkakan akibat benturan keras.
Berulang kata maaf yang terucap pun, tak akan mengembalikan semuanya. Ia sudah terluka begitu parah, karena aku yang terlalu lemah. Padahal, dulu aku yang berjanji akan menjaganya dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Namun, atas nama bakti untuk sekedar membelanya di depan orang tuaku saja aku tak berani melakukannya.
Sepanjang malam, kulewati dengan terus memanjatkan doa keselamatan. Sungguh tak ada lagi yang bisa kulakukan selain meminta pertolongan pada Sang Pemilik Kehidupan. Selama hidup aku bahkan, baru pertama melakukan ibadah begitu khusyuk. Sampai-sampai sejak kedua tangan mengangkat takbir sampai mengucap dua salam untuk terakhir kali, mataku tak berhenti berair.
Meski, dokter bilang lukanya tak terlalu parah. Namun, apa yang lebih parah, jika kemudian ia memilih pergi dariku.
Waktu berlalu, aku bahkan tak mengizinkan Ibu untuk masuk. Entah, aku masih belum bisa memaafkannya. Apa lagi sampai siang Hana masih juga belum sadar.
Siang pun tiba, seharusnya Hana akan sadar sebentar lagi. Namun, mataku sangat mengantuk, semalam suntuk kuhabiskan untuk mendoakan Hana. Saat itu, aku malah tertidur sambil menggenggam lengan kanan Hana. Sampai, kurasakan pergerakan kecil dari lengannya, aku langsung membuka mata.
Cepat aku memanggil dokter, untuk memastikan keadaan Hana.
Sampai aku bisa melihat Dokter itu tersenyum lega. Barulah hatiku merasa lega.
“Semuanya normal.”
~
Setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Hana malah memalingkan pandangannya ke arah yang berlawanan denganku.
“Hana, kamu mengingatku bukan?”
Hana tak menjawab, padahal tadi ia merespons saat Dokter menanyakan sesuatu.
Aku beralih ke sisi kiri Hana hanya agar bisa melihatnya dengan jelas.
“Kamu bisa mengedipkan matamu, jika mengingatku.”
Bukannya mengedipkan mata, Hana malah terus terpejam begitu lama. Ia bahkan, seperti tak mau bicara denganku.
“Kamu marah padaku, Hana?” tanyaku, meski aku tahu dia tidak akan menjawabnya.
“Kamu berhak melakukannya, semua memang salahku yang enggak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan aku.”
Lekas, aku genggam tangannya. Ia tak menolak, saat itu.
“Aku janji ke depannya enggak akan membiarkanmu berada di dekat Mamah. Aku akan menjagamu dengan lebih baik lagi. Aku akan melindungimu, Hana.”
“Jangan diam saja, Hana! Kamu percaya padaku ‘kan, Sayang?”
“Enggak,” lirihnya, bahkan tanpa membuka matanya sedikit pun.
“Sekali saja, kasih aku kesempatan. Kamu enggak ingat anak-anak. Bagaimana nasib mereka jika kita enggak sama-sama lagi?”
“Pergilah!”
“Sayang, tapi kamu janji kita tetap sama-sama. Aku enggak akan melepaskanmu, Hana. Maafkan aku.”
“Pergi! Jangan membuatku semakin membencimu.”
Saat itu aku tak ingin pergi, tetapi demi kebaikan Hana aku juga tak bisa egois. Aku mengerti jika ia memang butuh waktu sendiri.
Namun, baru saja beberapa langkah dari ranjang. Tangis Hana justru terdengar, ia terisak begitu pilu. Aku yang penasaran, kembali membalikkan badan.
Begitu menyesakkan saat menyaksikan Hana mengusap wajahnya yang rusak dengan kedua mata yang basah.
“Jangan menangis, Hana. Aku berjanji akan mengobatinya, kamu tidak perlu khawatir.”
“Kenapa belum pergi? Aku ingin sendiri.”
“Bagaimana aku bisa pergi melihatmu begitu rapuh, izinkan aku menemanimu di sini. Setidaknya aku bisa membantumu jika kamu butuh sesuatu.”
“Enggak perlu, pergilah …, kumohon!”
~
Aku tak bisa lagi mengelak, dengan langkah berat aku meninggalkan ruangan itu. Memilih duduk bersandar di bangku yang berada tepat di samping pintu ruangan Hana.
Pernikahanku tak boleh berakhir dengan cara seperti ini.
Waktu berlalu, Hana masih saja tak mau bicara denganku. Meski, kali ini aku terus berada di sampingnya. Tentu saja, karena aku yang memaksa untuk masuk. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir jika dia ingin minum atau mungkin ingin yang lainnya.
Sampai malam tiba keluarga Hana datang. Mereka tak banyak menanyakan alasan kenapa Hana bisa terbaring di sana. Justru, hanya fokus menanyai kondisi putrinya. Namun, semua keakraban kami tiba-tiba saja terganggu karena kehadiran Mamah.
Saat itu Pak Ramdan memilih pergi ke kantin, menggantikan Bu Sundari, ia pikir akan lebih baik jika bicara pada sesama perempuan.
Sebelumnya dia memang menghubungiku, untuk meminta maaf pada orang tua Hana. Namun yang terjadi, bukan permintaan maaf yang ia lakukan justru sebaliknya.
Begitu melihat penampilan Bu Sundari yang sederhana, ia malah menampilkan wajah yang menyebalkan.
“Andai saja Mbak bisa mendidik Hana dengan lebih baik, seharusnya kejadian seperti ini enggak akan terjadi.”
“Memangnya apa salah anak saya.”
“Putri Ibu itu sangat tidak tahu sopan santun, apa enggak pernah diajarkan sopan santun. Bisa-bisanya dia mengusir suaminya. Seharusnya dia sadar yang beli rumah dan seisinya itu siapa. Kalau bukan karena Raka, mana bisa dia merasakan tinggal di rumah mewah?”
Plak!
Bu Sundari baru saja menampar Mamah. Selama aku mengenalnya, sikapnya begitu lemah lembut. Sungguh, aku sendiri bahkan tak menyangka jika ia akan semarah itu.
“Kenapa Mbak tampar saya, sakit tahu enggak? Kampungan banget sih, sedikit-sedikit pakai kekerasan, kayak orang enggak berpendidikan? Memang enggak bisa dibicarakan baik-baik.”
“Orang seperti kamu, enggak akan bisa diajak bicara baik-baik.”
Mamah masih saja tak mau kalah, meski aku sudah menariknya agar menjauh dari Ibu Sundari. Entah kenapa, tenaganya begitu kuat. Sungguh aku malu sekali dengan perlakuan orang tuaku.
“Kamu kok diam aja, Mamahmu diperlakukan seperti ini!”
“Mah, bahkan yang Mamah lakukan ke Hana jauh lebih kasar. Bisa enggak sih Mamah sadar akan kesalahan yang sudah Mamah perbuat. Ini di luar batas.”
“Jadi kamu bela mereka? aku ini Mamahmu, Raka. Mereka cuma orang asing aku yang melahirkan dan membesarkanmu sampai kamu bisa seperti sekarang.”
“Mah aku berterima kasih, sangat berterima kasih atas semua itu, tapi mereka juga orang tuaku. Tanpa mereka Hana juga enggak akan ada dan anak-anakku juga enggak ada. Tolonglah, jangan membuat permasalahan makin runyam. Mamah ingat ‘kan niat datang ke sini untuk apa? Meminta maaf, kenapa malah membuat keributan?”
Saat itu, Pak Ramdan baru saja datang dari kantin. Terlihat di tangannya ada 3 kotak nasi bungkus. Bahkan, aku bisa melihat ketulusan pria berjanggut panjang itu. Meski, sejak dia datang, terlihat sekali jika ia menahan kecewa padaku, karena tak bisa menjaga putrinya dengan baik. Ia masih saja mengingatku.
“Jadi begini, putri saya diperlakukan selama tinggal di rumahmu, Nak Raka?” sindirnya.
Diletakkannya bungkus nasi itu di bangku yang berjejer di depan koridor rumah sakit.
“Kalau saya tahu dari awal, sudah saya bawa Hana keluar dari rumah itu,” kata Pak Ramdan.
“Ya sudah sana bawa, ingat ya Raka juga masih mampu mencari istri yang lebih baik dari pada Hana putri Anda.”
“Oh ya, yakin ada menantu yang tahan dengan perlakuan ibu mertuanya yang seperti Anda?”
“Apa maksud Anda?”
Mamah lagi-lagi melangkah ke depan. Entah, makhluk apa yang merasuki tubuhnya. Kenapa ia begitu tak tahu malu, bahkan ia tak merasa bersalah sama sekali.
“Mah, sudahlah. Turunkan nada bicara Mamah sedikit, ingat Mah mereka mertuaku. Jangan terus-terusan memperlakukan mereka dengan tidak sopan.”
“Mereka enggak sopan kok! Kamu lihat sendiri, lihat wajah Mamah! Mereka saja berani main tampar!”
“Itu, karena memang Mamah yang tidak tahu diri. Mamah bukannya minta maaf malah menyalahkan Hana, jelas-jelas Mamah yang salah. Mamah yang dorong Hana, jangan Mamah pikir aku tidak tahu. Diamlah! Turunkan gengsi, apa susahnya minta maaf?”
“Senang kalian ‘kan, ingat ya. Sampai kapan pun saya enggak sudi minta maaf. Asal kalian tahu, saya bisa saja laporkan semua ini ke polisi, atas kasus penganiayaan.”
“Silakan dan saya akan melaporkan Anda atas kasus yang sama. Bukankah putra Anda, baru saja bersaksi atas penganiayaan ibunya?” tegas Pak Ramdan.
“Abang tidur di sofa, sini kopernya biar Abang yang rapikan!” ucapku sambil menarik koper itu kamar.Sementara, Hana mengikuti dari belakang. Ia masih belum menanggapi apa pun. Sepertinya ia, memang benar-benar setuju dengan usulanku.“Maaf Hana, biasanya Sam enggak seceroboh ini. Kamu pasti marah?”Sekali lagi Hana hanya menatapku, lantas ia sibuk melepas tas dan jaket yang ia kenakan.“Demi Allah Hana, aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Aku sudah menegur Sam tadi.”Hana justru tersenyum.“Kamu senyum? tapi, kenapa?” imbuhku yang penasaran.Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti itu sejak kelahiran 2 jagoanku, dua tahun yang lalu.“Kenapa harus bersumpah?”“Karena, hanya Allah yang kamu percaya.”“Apa aku terlihat sedang marah?”“Kamu diam saja, aku harus mengartikan apa, selain marah?”
Perkataan Pak Ramdan seketika membungkam mulut Mamah. Sepasang suami istri itu lantas meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.“Sudah Raka bilang, Mamah salah banget bicara seperti itu di hadapan Hana. Mereka memang miskin, tapi enggak sepatutnya Mamah merendahkan mereka. Orang miskin juga punya harga diri.”“Kamu masih saja dukung mereka, Raka!”“Ya, karena mereka benar.”’“Tapi, aku yang melahirkanmu.”“Bahkan sekarang, aku malu lahir dari perempuan yang enggak tahu caranya menghormati orang lain.”“Raka, kamu tahu perkataanmu sangat menyakitkan.”“Tahu, tapi memang kenyataannya seperti itu ‘kan?”Aku memilih pergi, meninggalkan Mamah sendirian. Niatku hanya untuk meminta maaf pada keluarga Hana. Namun, justru tak disambut dengan baik.Menyadari akan kehadiranku di ruangan itu. Hana, justru memintaku untuk meninggalk
“Secepat itu kamu memutuskan untuk berpisah, Hana? Setelah semua yang kita lalui.” Aku meletakkan lengan Hana di dada. Hanya agar dia yakin, jika keputusannya salah. Kita masih bisa bersama dan akan selamanya begitu. Namun, sekali lagi ia hanya menggeleng pelan. Pelan sekali, tetapi kenapa begitu menyiksa di hatiku. “Hana, please. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kau tahu aku akan belajar jadi suami yang lebih baik lagi?” “Tapi, bagaimana kalau prosesnya gagal? Bukankah, sangat mungkin bagi seseorang untuk gagal? Bukankah kita telah mencobanya selama 3 tahun dan bagaimana hasilnya?” “Aku tahu, semua memang salahku. Sudah kubilang hukum saja aku, tetapi jangan pernah pergi.” Sekuat tenaga Hana berusaha bangun, hanya untuk mengusap wajahku. “Semakin ke sini, aku sadar terlalu banyak perbedaan di antara kita.” “Bukankah semua manusia memang berbeda? Tuhan menciptakan kita berbeda untuk saling melengkapi, kamu
Entah bagaimana bisa aku begitu ceroboh hingga memperdengarkan pesan suara dari Mamah dengan volume yang cukup keras. Bukan hanya Hana, bahkan Pak Ramdan ternyata sudah ada di ambang pintu. Entah apa yang akan mereka pikirkan tentang keluargaku.Tuhan, kenapa aku harus lahir dari Ibu yang tega menghancurkan rumah tangga putranya sendiri?Sekarang bahkan, rumah tangga mereka harus ikut hancur. Apakah ini balasanmu atas perbuatanku yang membiarkan kezaliman ibu, hingga hubungan yang dibangun dengan susah payah malah kandas begitu saja.“Pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang, tapi dua keluarga besar. Saya enggak akan mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Jangan meminta putriku untuk terus menemanimu, jika kamu bahkan enggak sanggup memberikan rasa aman. Uangmu enggak berguna, meski itu berkali-kali lipat dari apa yang kami miliki. Susul ayah dan ibumu, kurasa mereka lebih butuh kamu!”“Saya enggak bisa menceraikan Hana, apa pun it
“Astagfirrullah Hana, maafin Abang. Ini semua salah paham. Abang pikir dia kamu.”Hana sama sekali tak peduli dengan apa yang kuucap. Wanita itu melenggang pergi. Pelan ia menaiki anak tangga, satu persatu dengan berpegangan kuat pada pagar pembatas. Bahkan dari belakang, tampak jika ia masih ketakutan.Aku berusaha menyusul mengabaikan Sawa, yang entah bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini.Sekarang baru terlihat jelas jika, kening Hana bahkan sudah berkeringat.Ia tampak pucat. Aneh sekali padahal hanya menaiki tangga.“Kamu baik-baik aja, biar aku bantu!” ucapku, sambil memeluk pinggangnya yang saat itu bahkan hampir oleng.“Jangan menolak, atau kamu akan jatuh ke bawah!”“Kenapa mendadak peduli? Lepaskan! Aku sudah terbiasa melakukan apa pun sendirian.”“Akan kulepaskan nanti, setelah kita sampai ke atas.”Untung saja saat itu Hana tak b
“Kalian yang melaporkanku?” teriak Mamah dari lantai atas.Membuat Pak Ramdan dan Hana menghentikan langkahnya. Mereka berbalik, lantas tersenyum menatap kami.“Andai saja Hana, tidak menahan saya, sudah saya laporkan Anda ke polisi saat itu juga!”“Jadi maksud Bapak? Bukan kalian yang melaporkannya? Lalu, siapa?”“Mas Adi,” lirih Mamah.Wajahnya tampak shock. Begitu pun aku. Masih tak menyangka jika ayahku yang akhirnya malah melaporkannya ke polisi.“Ini enggak mungkin Raka, dia tega melaporkan Mamah ke polisi. Bagaimana bisa dia melakukan semua ini? Hiks hiks. Raka, kamu harus bantu Mamah!”Mamah menarik bajuku. Wanita itu menangis sejadi-jadinya.Aku mendekap untuk membuatnya sedikit tenang.“Kamu enggak akan ninggalin Mamah ‘kan, Ka?”Aku hanya mengangguk lantas, Sawa yang berada tak jauh mulai mendekat. Tangannya mengusap
Tuhan, beri tahu apa yang tertulis di takdir kami? Yang kulakukan hanya mencintainya.Setelah menyatukan dua takdir, entah bagaimana garis nasib kita terputus? Aku tak pernah membayangkan jika setelah bersatu, kita akan berpisah.~~“Bawa motornya Bon,” ucapku sambil melempar kunci motor pada Bobon.“Siap,” katanya lantas menangkap kunci motor.Bobon adalah asistenku di kantor. Namun, karena kami memang berteman sejak masa kuliah. Ia bahkan tak keberatan jika harus mengerjakan di luar kewajibannya di kantor.Dibukakannya pintu mobil yang sebelumnya kuminta Bobon untuk membawanya ke arah sana. Setelah, memakaikan sabuk pengamanan pada Hana. Lantas, aku mulai mengendarai mobil itu menuju apartemen.Aku sengaja membawanya ke sana, karena tidak ada orang lain yang punya akses ke sana, selain aku.“Maafkan, aku Hana. Aku tidak tahu, harus bagaimana lagi cara mempertahankanmu, agar teta
“Hiks, kumohon jangan lakukan ini!”Hana bahkan mencengkeram kerah bajunya kuat-kuat. Matanya basah, bahkan sekarang ia terpejam. Seolah yang akan kulakukan adalah sebuah kesalahan.Bagaimana bisa hubungan yang dulunya kau sambut dengan penuh suka cinta dan senyuman termanismu kini, malah berganti duka dan ketakutan.Kenapa? Apa aku begitu mengerikan bagimu?“Buka matamu, Hana!”Bukannya membuka mata, ia malah menggeleng pelan.“Kamu akan menyesal, jika melakukannya.”“Aku telah lama menyesal, Hana. Sejak saat aku meninggalkanmu sendirian di rumah. Aku sangat menyesal melihatmu terkapar sepanjang hari. Aku menyesal, karena enggak ada yang bisa kuperbuat. Aku menyesal Hana, karena aku tidak tahu harus ada di pihak siapa. Aku ingin memberikan keadilan padamu, tapi itu artinya aku harus mengorbankan wanita yang melahirkanku.”Argh!Sungguh saat itu, aku menggebra
“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A
“Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi
“Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden
Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan
“Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad
“Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki
“Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”
“Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea