‘Astaghfirrullah, maafkan aku Hana. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu bersamanya.’
Aku bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh Mbak Nuri. Wanita itu kebetulan sempat membaca tulisan di belakang mobil ambulans yang tadi menjemput Hana. Tak lupa kuhubungi Ayah, ini sudah tak bisa dibiarkan.
Ya Allah Na, maafkan aku yang tak pernah bisa tegas. Seharusnya kamulah yang aku lindungi. Kumohon selamatkan Hana. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dia. Anak-anak kami, bahkan masih sangat membutuhkannya.
Di rumah sakit nyatanya, Hana masih ditangani di ruang ICU. Keadaannya kritis, mengingat ia terkena benturan di bagian kepala cukup keras.
“Mamah enggak saja, Ka,” katanya sambil berjalan mendekatiku.
Tampak raut wajahnya yang ketakutan. Sungguh aku merasa ia tak benar-benar bersalah karena telah membuat Hana terbaring di rumah sakit.
“Ka, kamu jangan diam aja! kamu marah sama Mamah?”
Sungguh aku sangat marah, hanya saja aku masih menghormati wanita ini. Sayangnya, ia seolah tak mengerti. Bukannya menjauh, malah semakin mendekat, sekarang ia bahkan menggoyang-goyangkan tanganku.
Aku hanya menepis, sungguh aku tak berani membuka mulut saat ini. Aku bukanlah peredam emosi yang baik. Namun, hanya seperti itu saja sudah membuat Mamah menangis. Seolah aku baru saja memukulinya.
“Anak-anak dititipkan ke siapa?”
“Mamah minta Mbak Minah buat bantu jaga mereka. Mereka aman di rumah.”
Saat itu aku memilih menjauh. Hatiku benar-benar gelisah. Seharusnya jika kejadiannya tadi siang. Kenapa sampai sekarang dokter belum juga keluar dari ruangan.
Aku kembali berjalan ke arah pintu berharap bisa melihat keadaan di dalam, nyataya percuma. Tak ada yang bisa kulihat dari luar.
“Ka, semua ini enggak akan terjadi kalau Hana nurut. Dia suka sekali membantah, kamu harus percaya sama Mamah.”
“Udah Mah, Raka enggak mau bicara apa pun. Tolong kasih waktu Raka sendiri.”
Di saat seperti ini hanya ketenangan yang aku butuhkan. Namun, kenapa seorang ibu bahkan tak mengerti. Ia malah mengundang Sawa yang jelas-jelas tak akan ada gunanya.
“Ngapain kamu ke sini?” tanyaku.
“Kamu kok ketus banget. Aku ke sini buat nemenin Tante Naura.”
“Enggak perlu. Dia enggak sakit.”
“Kamu kok ngomongnya begitu, dia itu ibu kamu.”
“Ibu macam apa yang membuat menantunya celaka.”
“Raka, Tante Naura enggak akan setega itu. Aku yakin dia enggak sengaja melakukannya.”
“DIAM!” sentakku.
Seketika membungkam mulut keduanya secara bersamaan.
“Sengaja atau tidak aku tidak peduli, bisakah kalian membangunkan Hana untukku sekarang juga?”
Mereka hanya terdiam. Sungguh aku tak bisa menahan emosi lagi.
“Enggak bisa ‘kan? Jadi sebaiknya kalian pergi dari sini.”
“Raka, kamu usir Mamah?”
“Iya, kenapa?” tegasku dengan sorot mata yang tajam.
Untungnya saat itu ayah tiba tepat waktu, dengan cepat pria itu menarik istrinya untuk menjauh. Begitu pun Sawa yang dipaksa mengikutinya. Meski, gadis itu bersikeras ingin menamaniku.
Entah apa saja yang telah kamu lewati seharian ini, Sayang. Sampai-sampai kau tak mau membuka matamu. Bangunlah, maafkan aku. beri aku kesempatan sekali lagi. Aku janji, ke depannya kejadian seperti ini tidak akan pernah terulang lagi.
Rasanya waktu berputar begitu lambat, di mana detik demi detiknya terasa menyakitkan.
“Nak.”
Tiba-tiba saja kurasakan usapan lembut seseorang di punggungku. Rupanya Ayah.
“Aku gagal menjaganya, Ayah.”
“Ini musibah.”
“Tapi, semua ini harusnya enggak pernah terjadi kalau sejak aku bisa tegas.”
“Kamu sudah menelepon keluarganya?”
“Apa yang harus aku katakan, Ayah.”
“Katakan saja yang sebenarnya.”
“Apa yang akan mereka pikirkan tentang keluarga kita nanti, apa sebaiknya kita tunda dulu.”
“Bagaimana kalau sesuatu yang buruk mungkin terjadi? Boleh jadi, mereka makin membencinya.”
“Apa maksud Ayah, Hana enggak boleh meninggal.”
“Kita semua berharap yang terbaik Raka, tetapi mereka berhak mengetahui kabar putrinya. Aku juga seorang Ayah, aku akan sangat marah jika Hana adalah putriku.”
“Ya Allah, kenapa jadi begini sih.”
“Istighfar!”
Sungguh rasanya pikiranku buntu. Entah apa yang harus aku katakan pada orang tua Hana.
Aku malu.
“Kamu sudah tahu, bagaimana kejadiannya?”
Aku menggeleng.
“Ada CCTV di rumah?”
“Aku akan mengeceknya, Ayah.”
Ayah hanya mengangguk, lantas ia segera mengambil tempat duduk di sampingku. Ia pun ikut penasaran, akan apa yang terjadi sebenarnya. Sungguh yang kulihat barusan, membuatku sangat marah.
Bisa-bisanya Mamah sengaja mendorong Hana. Padahal, ia sudah minta untuk berhenti bahkan sepertinya Hana sudah meminta maaf. Terlihat bagaimana, ia menempatkan tangannya di depan dada. Sayangnya, tubuhnya malah lebih dulu hilang keseimbangan.
“Apa yang harus aku katakan, Ayah?”
Ayah hanya terdiam. Pria itu terlihat shock, sesekali ia bahkan harus mengatur nafas.
“Ayah baik-baik saja.”
Pria itu hanya mengangguk. Namun, setelahnya ia memilih meninggalkanku.
“Ayah yang gagal mendidik seorang istri, Raka.”
“Aku bingung, Yah.”
“Cepat atau lambat mereka harus tahu.”
“Lalu, bagaimana kalau mereka menuntut? Mamah mungkin akan masuk penjara.”
“Biarlah, Ayah sudah lelah memperingatkannya. Biarkan dia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.”
“Ayah permisi dulu.”
“Yah, jangan melakukan sesuatu yang hanya merugikan diri sendiri.”
“Tenanglah.”
Pria itu beranjak pergi. Seiring dengan sosoknya yang menghilang di balik persimpangan, aku mulai mengumpulkan keberanian menelepon keluarga Hana. Setelah, cukup lama berbasi-basi menanyakan kabar.
Aku malah terdiam, karena bingung. Entah, harus menjelaskan dari mana.
“Ada apa Nak, Hana baik-baik aja ‘kan? Kok tumben, tiba-tiba telepon malam-malam.”
“Bu, maafkan Raka. Ini semua salah Raka, enggak bisa menjaga Hana dengan baik.”
“Memangnya Hana kenapa? Nak Raka jangan bikin Ibu panik, jelaskan pelan-pelan ada apa sebenarnya?”
“Hana kecelakaan Bu, sekarang di rumah sakit.”
Brak!
Entah apa yang terjadi di sana. Selain teriakan orang-orang yang memanggil nama mertua perempuanku. Dari sana juga aku tahu jika, ibu tak sadarkan diri.
Ya Allah, aku bahkan belum menjelaskan semuanya. Bagaimana jika dia tahu, kalau yang membuat putrinya celaka adalah Mamah. Belum lagi menghadapi Ayah Hana yang keras.
Entah, apa yang akan dia lakukan jika tahu yang sebenarnya. Aku hanya takut, jika ia malah memisahkan Hana dariku. Sungguh aku sangat mencintai Hana. Tak pernah terbayangkan bagaimana melewati hari tanpa dia di sisiku.
Aku memutuskan untuk menutup telepon, karena sepertinya orang-orang di sana juga sibuk mengurus ibu yang jatuh pingsan.
Tak lama setelah itu, dokter juga baru saja keluar dari ruangan ICU.
Aku langsung memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.
“Wajahnya rusak, sedikit beruntuk tidak ada pecahan guci yang mengenai mata. Hanya saja di bagian, pipi sebelah kanan. Ada robekan cukup dalam.”
“Bisa sembuh ‘kan?”
“Bisa, hanya saja butuh waktu yang lama.”
“Lakukan yang terbaik Dok, kalau diperlukan operasi plastik pun saya siap.”
“Bukan hanya itu saja, ada benturan keras di kepalanya. Pasien mengalami geger otak ringan.”
“Ge-geger otak ringan? di-dia enggak akan lupa ingatan ‘kan?”
“Enggak, hanya saja pasien mungkin akan sedikit kebingungan. Kami justru mengkhawatirkan jika ada efek lain yang ditimbulkan di kemudian hari seperti kejang atau kelemahan otot pada tubuhnya.”“Hm, tapi dia masih bisa jalan ‘kan?”“Seharusnya bisa, kita tunggu sampai pasien sadar. Besok siang.”“Apa perlu operasi, Dok?”“Tidak perlu, lukanya tidak terlalu parah. Tenanglah, berdoa saja insyaallah semua akan baik-baik saja.”Dokter itu menepuk bahu, lantas ia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam ruangan Hana.Barulah kulihat dengan jelas wajah Hana yang terbalur perban. Sebagian juga mengalami pembengkakan akibat benturan keras.Berulang kata maaf yang terucap pun, tak akan mengembalikan semuanya. Ia sudah terluka begitu parah, karena aku yang terlalu lemah. Padahal, dulu aku yang berjanji akan menjaganya dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Namun, atas nama bakti untuk sekedar membelanya di depan orang tuaku saja aku tak berani melakukannya.Sepanjang malam, kulewati dengan terus
“Abang tidur di sofa, sini kopernya biar Abang yang rapikan!” ucapku sambil menarik koper itu kamar.Sementara, Hana mengikuti dari belakang. Ia masih belum menanggapi apa pun. Sepertinya ia, memang benar-benar setuju dengan usulanku.“Maaf Hana, biasanya Sam enggak seceroboh ini. Kamu pasti marah?”Sekali lagi Hana hanya menatapku, lantas ia sibuk melepas tas dan jaket yang ia kenakan.“Demi Allah Hana, aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Aku sudah menegur Sam tadi.”Hana justru tersenyum.“Kamu senyum? tapi, kenapa?” imbuhku yang penasaran.Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti itu sejak kelahiran 2 jagoanku, dua tahun yang lalu.“Kenapa harus bersumpah?”“Karena, hanya Allah yang kamu percaya.”“Apa aku terlihat sedang marah?”“Kamu diam saja, aku harus mengartikan apa, selain marah?”
Perkataan Pak Ramdan seketika membungkam mulut Mamah. Sepasang suami istri itu lantas meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.“Sudah Raka bilang, Mamah salah banget bicara seperti itu di hadapan Hana. Mereka memang miskin, tapi enggak sepatutnya Mamah merendahkan mereka. Orang miskin juga punya harga diri.”“Kamu masih saja dukung mereka, Raka!”“Ya, karena mereka benar.”’“Tapi, aku yang melahirkanmu.”“Bahkan sekarang, aku malu lahir dari perempuan yang enggak tahu caranya menghormati orang lain.”“Raka, kamu tahu perkataanmu sangat menyakitkan.”“Tahu, tapi memang kenyataannya seperti itu ‘kan?”Aku memilih pergi, meninggalkan Mamah sendirian. Niatku hanya untuk meminta maaf pada keluarga Hana. Namun, justru tak disambut dengan baik.Menyadari akan kehadiranku di ruangan itu. Hana, justru memintaku untuk meninggalk
“Secepat itu kamu memutuskan untuk berpisah, Hana? Setelah semua yang kita lalui.” Aku meletakkan lengan Hana di dada. Hanya agar dia yakin, jika keputusannya salah. Kita masih bisa bersama dan akan selamanya begitu. Namun, sekali lagi ia hanya menggeleng pelan. Pelan sekali, tetapi kenapa begitu menyiksa di hatiku. “Hana, please. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kau tahu aku akan belajar jadi suami yang lebih baik lagi?” “Tapi, bagaimana kalau prosesnya gagal? Bukankah, sangat mungkin bagi seseorang untuk gagal? Bukankah kita telah mencobanya selama 3 tahun dan bagaimana hasilnya?” “Aku tahu, semua memang salahku. Sudah kubilang hukum saja aku, tetapi jangan pernah pergi.” Sekuat tenaga Hana berusaha bangun, hanya untuk mengusap wajahku. “Semakin ke sini, aku sadar terlalu banyak perbedaan di antara kita.” “Bukankah semua manusia memang berbeda? Tuhan menciptakan kita berbeda untuk saling melengkapi, kamu
Entah bagaimana bisa aku begitu ceroboh hingga memperdengarkan pesan suara dari Mamah dengan volume yang cukup keras. Bukan hanya Hana, bahkan Pak Ramdan ternyata sudah ada di ambang pintu. Entah apa yang akan mereka pikirkan tentang keluargaku.Tuhan, kenapa aku harus lahir dari Ibu yang tega menghancurkan rumah tangga putranya sendiri?Sekarang bahkan, rumah tangga mereka harus ikut hancur. Apakah ini balasanmu atas perbuatanku yang membiarkan kezaliman ibu, hingga hubungan yang dibangun dengan susah payah malah kandas begitu saja.“Pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang, tapi dua keluarga besar. Saya enggak akan mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Jangan meminta putriku untuk terus menemanimu, jika kamu bahkan enggak sanggup memberikan rasa aman. Uangmu enggak berguna, meski itu berkali-kali lipat dari apa yang kami miliki. Susul ayah dan ibumu, kurasa mereka lebih butuh kamu!”“Saya enggak bisa menceraikan Hana, apa pun it
“Astagfirrullah Hana, maafin Abang. Ini semua salah paham. Abang pikir dia kamu.”Hana sama sekali tak peduli dengan apa yang kuucap. Wanita itu melenggang pergi. Pelan ia menaiki anak tangga, satu persatu dengan berpegangan kuat pada pagar pembatas. Bahkan dari belakang, tampak jika ia masih ketakutan.Aku berusaha menyusul mengabaikan Sawa, yang entah bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini.Sekarang baru terlihat jelas jika, kening Hana bahkan sudah berkeringat.Ia tampak pucat. Aneh sekali padahal hanya menaiki tangga.“Kamu baik-baik aja, biar aku bantu!” ucapku, sambil memeluk pinggangnya yang saat itu bahkan hampir oleng.“Jangan menolak, atau kamu akan jatuh ke bawah!”“Kenapa mendadak peduli? Lepaskan! Aku sudah terbiasa melakukan apa pun sendirian.”“Akan kulepaskan nanti, setelah kita sampai ke atas.”Untung saja saat itu Hana tak b
“Kalian yang melaporkanku?” teriak Mamah dari lantai atas.Membuat Pak Ramdan dan Hana menghentikan langkahnya. Mereka berbalik, lantas tersenyum menatap kami.“Andai saja Hana, tidak menahan saya, sudah saya laporkan Anda ke polisi saat itu juga!”“Jadi maksud Bapak? Bukan kalian yang melaporkannya? Lalu, siapa?”“Mas Adi,” lirih Mamah.Wajahnya tampak shock. Begitu pun aku. Masih tak menyangka jika ayahku yang akhirnya malah melaporkannya ke polisi.“Ini enggak mungkin Raka, dia tega melaporkan Mamah ke polisi. Bagaimana bisa dia melakukan semua ini? Hiks hiks. Raka, kamu harus bantu Mamah!”Mamah menarik bajuku. Wanita itu menangis sejadi-jadinya.Aku mendekap untuk membuatnya sedikit tenang.“Kamu enggak akan ninggalin Mamah ‘kan, Ka?”Aku hanya mengangguk lantas, Sawa yang berada tak jauh mulai mendekat. Tangannya mengusap
Tuhan, beri tahu apa yang tertulis di takdir kami? Yang kulakukan hanya mencintainya.Setelah menyatukan dua takdir, entah bagaimana garis nasib kita terputus? Aku tak pernah membayangkan jika setelah bersatu, kita akan berpisah.~~“Bawa motornya Bon,” ucapku sambil melempar kunci motor pada Bobon.“Siap,” katanya lantas menangkap kunci motor.Bobon adalah asistenku di kantor. Namun, karena kami memang berteman sejak masa kuliah. Ia bahkan tak keberatan jika harus mengerjakan di luar kewajibannya di kantor.Dibukakannya pintu mobil yang sebelumnya kuminta Bobon untuk membawanya ke arah sana. Setelah, memakaikan sabuk pengamanan pada Hana. Lantas, aku mulai mengendarai mobil itu menuju apartemen.Aku sengaja membawanya ke sana, karena tidak ada orang lain yang punya akses ke sana, selain aku.“Maafkan, aku Hana. Aku tidak tahu, harus bagaimana lagi cara mempertahankanmu, agar teta
“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A
“Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi
“Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden
Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan
“Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad
“Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki
“Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”
“Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea