Pelan Hana membuka pintu itu. kau tahu dia bahkan mengubah ekspresi wajahnya. Seolah semua baik-baik saja.
“Maaf Mah, kami memang ada masalah sedikit.”
“Ya, jangan kayak gini. Kamu tanpa Raka juga bukan siapa. Saya aja orang tuanya tidak pernah memperlakukan Raka seperti itu. Berani-beraninya kamu menyuruh anak saya tidur di luar.”
Hana melirikku sekilas.
Aku tak menyangka jika semuanya akan menjadi serumit ini.
“Maaf Mah, lain kali Hana tidak akan melakukannya lagi.” Aku bisa melihat Hana menahan ludahnya. Matanya bahkan mendadak memerah. Hanya butuh satu kedipan lagi untuk membuatnya berair.
“Saya akan tinggal di sini sekarang. Awas ya kamu, berani kurang ajar sama Raka. Enggak sadar diri memang kamu ya, yang belikan rumah ini siapa? Kalau bukan Raka, kamu juga masih tinggal di gubuk. Kampungan!”
Mamah pergi begitu saja meninggalkan Hana yang diam seribu bahasa. Tatapannya bahkan menjadi kosong seketika.
“Na,” lirihku.
Sambil berusaha menarik lengannya sayangnya Hana malah lebih dulu berlalu ke kamar. Ia meringkuk di ranjang, menghadap pada Kembar yang tidur di sebelah kanan.
“Na, Mamah akan tinggal di sini.”
Dia tak menjawab, meski aku tahu dia masih terjaga.
“Aku enggak bisa mencegah dia untuk tinggal.”
“Jangan diam saja Na, jawablah.”
“Terserah,” jawab Hana.
Satu kata yang tak bisa merepsentasi keinginannya.
“Aku akan membujuknya lagi besok pagi.”
“Tidurlah, aku enggak ingin bicara apa pun.”
“Tapi, aku tidak bisa melihatmu begini.”
Hana berbalik.
“Lalu, kenapa kamu diam saja saat Mamah menghinaku?”
“Dia orang tuaku Hana, aku tidak mungkin melawannya.”
“Dan mereka yang tinggal di kampung yang orang tuamu sebut gubuk itu, juga orang tuaku. Apa kamu pikir aku terima begitu saja, saat kebanggaanku diinjak-injak orang lain?”
“Hana maafkan aku, kamu boleh minta apa pun asalkan jangan memintaku melakukan hal itu.”
Hana tersenyum tipis.
“Aku mengerti sekarang, wajar kan orang kaya menghina yang miskin.”
Hana kembali berbalik. Sungguh perkataannya membuatku tak bisa berkata-kata lagi.
Ini bukan kali pertama Mamah mengatakan kalimat yang menyakitkan untuk Hana. Hana yang berasal dari desa di kaki gunung di mana ia yag memang terbiasa hidup sederhana. Malah berjodoh denganku, yang sejak kecil terbiasa tinggal di kota dengan segala fasilitas yang berbanding terbalik dengan Hana.
Ibuku sangat menentang pernikahanku. Berbeda dengan Ayah yang menyukai Hana. Siapa yang tak suka, kepribadian Hana yang baik, membuat Ayah setuju menjadikan ia menantu satu-satunya di keluarga kami.
Sekeras apa pun Mamah menolak perjodohan kami, tetap saja ia akan kalah, karena di keluarga ini semua tunduk pada aturan Ayah.
Andai Ayah tahu, aku pernah melakukan dosa besar pada Hana di masa lalu. Entah apa yang akan ia lakukan padaku.
Aku tak sengaja melecehkan Hana saat mabuk. Sungguh aku menyesali perbuatan itu. Namun, aku tak memungkiri jika aku malah mengambil keuntungan dari kesalahan itu.
Semua berawal saat pesta ulang tahun teman kami.
Naas, teman-temanku justru kompak mengerjaiku yang saat itu tengah patah hati, karena Sawa kekasihku memilih kuliah ke luar negeri. Ia dengan tega memutuskanku, demi mengejar impiannya menjadi model.
Hal itulah membuat mereka mengambil kesempatan memberikan minuman haram itu. Hingga membuat aku hilang kendali, yang membuat situasi semakin kacau adalah mereka juga mencampurkan obat yang entah apa hingga membuatku pada akhirnya berani melakukan hal yang tak senonoh pada wanita yang seharusnya kujaga.
Saat itu, meski postur tubuh Hana hampir sama denganku, tetap saja tenaganya tak cukup kuat untuk melawan pria sepertiku. Benar-benar teman yang menyesatkan. Dalam posisi yang mabuk, mereka malah mengunci kami dalam kamar.
Aku masih mengingat kejadian itu meski samar, seperti ketika Hana berteriak minta agar aku berhenti menarik pakaiannya. Sayangnya, aku tak menghiraukannya. Saat itu, aku ingat Hana sudah menangis. Aku bahkan menamparnya, karena ia terus berontak.
Meski kami tak sempat melakukan hubungan layaknya suami istri, tetapi kejadian itu sangat membuat Hana malu. Ia bahkan memutuskan untuk berhenti kuliah, karena tak kuat menahan malu.
Aku merasa sangat bersalah karenanya. Seharusnya aku tak mengatainya murahan. Padahal aku sendiri, yang membuatnya murahan.
Susah payah aku membujuk Hana untuk menikah. Jujur saja meski awalnya aku tak memiliki perasaan dengan Hana. Melihat kepribadiannya yang teguh, membuatku jatuh cinta.
1 tahun aku rela bolak-balik ke kampung Hana yang jauh, hanya untuk membuat gadis itu luluh. Sampai akhirnya, kami memutuskan menikah, setelah perjuangan meyakinkan keluarga Hana.
Kini, 3 tahun lamanya kami menikah, tetapi sikap Mamah masih saja sama. Ia tetap saja memiliki keinginan agar aku kelak menikah dengan Sawa. Entah bagaimana caranya. Lagi pula, tak mungkin juga ia mau menjadi istri kedua.
Sudah terlalu lama ia pergi, meski ia masih saja bersikap manis, nyatanya keadaan sekarang sudah tak lagi sama.
~
Waktu berlalu, seperti biasa Hana sudah bangun sejak subuh. Ia akan masak dan menyiapkan kebutuhan kami semua.
Sayangnya, tetap saja ada saja yang memancing keributan di pagi hari.
“Makanan apa ini! Yang benar saja, kamu kasih saya makanan kampung.”
“Mah ini enak kok.”
“Kamu doyan makanan begini!” tanya Mamah sambil mencela lauk yang tersaji di meja.
Belum juga aku menjawabnya. Mamah malah buru-buru berjalan ke kamar. Lantas, ia keluar lagi dengan ponsel dalam genggamannya.
“Lebih baik go food, bisa sakit perutku makan makanan kampung. Lagian kok kamu bisa-bisanya mau makanan begini.”
“Hanya ini saja yang bisa Hana masak, kalau Mamah tidak suka. Nanti Hana, buatkan makanan yang lain. Mamah mau makan apa?” kata Hana begitu lembut.
Kau tahu bahkan, aku saja anaknya belum tentu bisa sesabar itu jika di hina. Masalahnya masakan Hana sangat lezat. Hanya saja ini terlalu berat jika disajikan di pagi hari.
Sepertinya niat Hana yang ingin menjamu Mamah dengan masakan opor ayam, dan rendang daging dianggap sebuah kesalahan.
Namun, andai saja Mamah mau mencicipinya. Bahkan, aku yang tak biasa makan berat di pagi hari saja. Tak bisa menolak pesona rendang dan opor buatan Hana.
“Sudahlah. Memang ya, kalau punya menantu kampung sampai kapan pun bisanya ya begitu-begitu saja.”
“Astaghfirrullahaladzim,” lirih Hana yang nyaris tak terdengar.
Mamah berlalu ke halaman depan. Entah dengan siapa ia bicara, yang jelas aku bisa melihatnya begitu bersemangat.
“Hana, kalau ada apa-apa telepon. Abang berangkat dulu.”
“Apa yang biasa Mamah makan?” tanya Hana yang justru masih saja peduli pada orang tuaku.
Setelah hinaan demi hinaan meluncur begitu saja, seolah itu bukanlah kesalahan. Bagaimana aku tidak jatuh cinta dengannya, bahkan ia masih saja memuliakan orang yang kerap menghinanya.
“Ia suka makananmu, Hana. Hanya saja, mungkin ini terlalu pagi untuk makanan seperti ini. Enggak perlu masak lagi, aku yakin dia begitu hanya untuk membuatmu tak nyaman. Kamu bisa menyiapkan roti dengan telur setengah matang, itu saja cukup, untuk pagi ini.”
“Baiklah.”
~
Hari ini aku sibuk sekali. Hanya demi bisa pulang lebih cepat, entah kenapa firasatku merasa tak enak. Aku khawatir jika Mamah melakukan sesuatu yang menyusahkan Hana.
Sampai di rumah, keadaan benar-benar sepi. Entah ke mana mereka semua. Sudah mau masuk waktu magrib pun tidak ada di rumah. Bahkan, aku sudah menghubungi keduanya berkali-kali sayangnya tak ada yang mengangkat. Hari itu aku berencana untuk keluar rumah. mungkin saja ada tetangga yang tahu mereka pergi ke mana.
“Mas Raka.”
“Iya. Maaf Mbak, tahu istri saya pergi ke mana enggak?”
Tiba-tiba saja Mbak Nuri memanggilku, kebetulan ia juga hendak pergi. Dia adalah tetangga yang tinggal persis di sampingku.
“Mas itu tadi Mbak Hananya di bawa ke rumah sakit. Memangnya Mas enggak tahu?”
“Kok bisa? Dia enggak lagi sakit kok.”
“Mas tapi, maaf sejak pagi di rumah memang ribut terus,” ucap Mbak Nuri dengan raut wajah yang sungkan.
“Maksudnya bagaimana, kalau Mbak tahu sesuatu enggak apa-apa bilang aja.”
“Tadi saya denger Mbak Hana teriak kenceng banget, terus enggak kayak suara benda jatuh yang keras banget. Saya sama tetangga pada kumpul di sini, tapi gak di bukain pintu sama ibu-ibu itu. Tapi, enggak lama malah ada ambulans. Ya Allah Mas, Mbak Hananya itu wajahnya berdarah banyak banget.”
‘Astaghfirrullah, maafkan aku Hana. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu bersamanya.’Aku bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh Mbak Nuri. Wanita itu kebetulan sempat membaca tulisan di belakang mobil ambulans yang tadi menjemput Hana. Tak lupa kuhubungi Ayah, ini sudah tak bisa dibiarkan.Ya Allah Na, maafkan aku yang tak pernah bisa tegas. Seharusnya kamulah yang aku lindungi. Kumohon selamatkan Hana. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dia. Anak-anak kami, bahkan masih sangat membutuhkannya.Di rumah sakit nyatanya, Hana masih ditangani di ruang ICU. Keadaannya kritis, mengingat ia terkena benturan di bagian kepala cukup keras.“Mamah enggak saja, Ka,” katanya sambil berjalan mendekatiku.Tampak raut wajahnya yang ketakutan. Sungguh aku merasa ia tak benar-benar bersalah karena telah membuat Hana terbaring di rumah sakit.“Ka, kamu jangan diam aja! kamu marah sama Mamah?”Sungguh aku sangat marah, hanya saja aku masih menghormati wanita ini. Sayangnya, ia seola
“Enggak, hanya saja pasien mungkin akan sedikit kebingungan. Kami justru mengkhawatirkan jika ada efek lain yang ditimbulkan di kemudian hari seperti kejang atau kelemahan otot pada tubuhnya.”“Hm, tapi dia masih bisa jalan ‘kan?”“Seharusnya bisa, kita tunggu sampai pasien sadar. Besok siang.”“Apa perlu operasi, Dok?”“Tidak perlu, lukanya tidak terlalu parah. Tenanglah, berdoa saja insyaallah semua akan baik-baik saja.”Dokter itu menepuk bahu, lantas ia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam ruangan Hana.Barulah kulihat dengan jelas wajah Hana yang terbalur perban. Sebagian juga mengalami pembengkakan akibat benturan keras.Berulang kata maaf yang terucap pun, tak akan mengembalikan semuanya. Ia sudah terluka begitu parah, karena aku yang terlalu lemah. Padahal, dulu aku yang berjanji akan menjaganya dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Namun, atas nama bakti untuk sekedar membelanya di depan orang tuaku saja aku tak berani melakukannya.Sepanjang malam, kulewati dengan terus
“Abang tidur di sofa, sini kopernya biar Abang yang rapikan!” ucapku sambil menarik koper itu kamar.Sementara, Hana mengikuti dari belakang. Ia masih belum menanggapi apa pun. Sepertinya ia, memang benar-benar setuju dengan usulanku.“Maaf Hana, biasanya Sam enggak seceroboh ini. Kamu pasti marah?”Sekali lagi Hana hanya menatapku, lantas ia sibuk melepas tas dan jaket yang ia kenakan.“Demi Allah Hana, aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Aku sudah menegur Sam tadi.”Hana justru tersenyum.“Kamu senyum? tapi, kenapa?” imbuhku yang penasaran.Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti itu sejak kelahiran 2 jagoanku, dua tahun yang lalu.“Kenapa harus bersumpah?”“Karena, hanya Allah yang kamu percaya.”“Apa aku terlihat sedang marah?”“Kamu diam saja, aku harus mengartikan apa, selain marah?”
Perkataan Pak Ramdan seketika membungkam mulut Mamah. Sepasang suami istri itu lantas meninggalkan kami yang masih mematung di tempat.“Sudah Raka bilang, Mamah salah banget bicara seperti itu di hadapan Hana. Mereka memang miskin, tapi enggak sepatutnya Mamah merendahkan mereka. Orang miskin juga punya harga diri.”“Kamu masih saja dukung mereka, Raka!”“Ya, karena mereka benar.”’“Tapi, aku yang melahirkanmu.”“Bahkan sekarang, aku malu lahir dari perempuan yang enggak tahu caranya menghormati orang lain.”“Raka, kamu tahu perkataanmu sangat menyakitkan.”“Tahu, tapi memang kenyataannya seperti itu ‘kan?”Aku memilih pergi, meninggalkan Mamah sendirian. Niatku hanya untuk meminta maaf pada keluarga Hana. Namun, justru tak disambut dengan baik.Menyadari akan kehadiranku di ruangan itu. Hana, justru memintaku untuk meninggalk
“Secepat itu kamu memutuskan untuk berpisah, Hana? Setelah semua yang kita lalui.” Aku meletakkan lengan Hana di dada. Hanya agar dia yakin, jika keputusannya salah. Kita masih bisa bersama dan akan selamanya begitu. Namun, sekali lagi ia hanya menggeleng pelan. Pelan sekali, tetapi kenapa begitu menyiksa di hatiku. “Hana, please. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kau tahu aku akan belajar jadi suami yang lebih baik lagi?” “Tapi, bagaimana kalau prosesnya gagal? Bukankah, sangat mungkin bagi seseorang untuk gagal? Bukankah kita telah mencobanya selama 3 tahun dan bagaimana hasilnya?” “Aku tahu, semua memang salahku. Sudah kubilang hukum saja aku, tetapi jangan pernah pergi.” Sekuat tenaga Hana berusaha bangun, hanya untuk mengusap wajahku. “Semakin ke sini, aku sadar terlalu banyak perbedaan di antara kita.” “Bukankah semua manusia memang berbeda? Tuhan menciptakan kita berbeda untuk saling melengkapi, kamu
Entah bagaimana bisa aku begitu ceroboh hingga memperdengarkan pesan suara dari Mamah dengan volume yang cukup keras. Bukan hanya Hana, bahkan Pak Ramdan ternyata sudah ada di ambang pintu. Entah apa yang akan mereka pikirkan tentang keluargaku.Tuhan, kenapa aku harus lahir dari Ibu yang tega menghancurkan rumah tangga putranya sendiri?Sekarang bahkan, rumah tangga mereka harus ikut hancur. Apakah ini balasanmu atas perbuatanku yang membiarkan kezaliman ibu, hingga hubungan yang dibangun dengan susah payah malah kandas begitu saja.“Pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang, tapi dua keluarga besar. Saya enggak akan mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Jangan meminta putriku untuk terus menemanimu, jika kamu bahkan enggak sanggup memberikan rasa aman. Uangmu enggak berguna, meski itu berkali-kali lipat dari apa yang kami miliki. Susul ayah dan ibumu, kurasa mereka lebih butuh kamu!”“Saya enggak bisa menceraikan Hana, apa pun it
“Astagfirrullah Hana, maafin Abang. Ini semua salah paham. Abang pikir dia kamu.”Hana sama sekali tak peduli dengan apa yang kuucap. Wanita itu melenggang pergi. Pelan ia menaiki anak tangga, satu persatu dengan berpegangan kuat pada pagar pembatas. Bahkan dari belakang, tampak jika ia masih ketakutan.Aku berusaha menyusul mengabaikan Sawa, yang entah bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini.Sekarang baru terlihat jelas jika, kening Hana bahkan sudah berkeringat.Ia tampak pucat. Aneh sekali padahal hanya menaiki tangga.“Kamu baik-baik aja, biar aku bantu!” ucapku, sambil memeluk pinggangnya yang saat itu bahkan hampir oleng.“Jangan menolak, atau kamu akan jatuh ke bawah!”“Kenapa mendadak peduli? Lepaskan! Aku sudah terbiasa melakukan apa pun sendirian.”“Akan kulepaskan nanti, setelah kita sampai ke atas.”Untung saja saat itu Hana tak b
“Kalian yang melaporkanku?” teriak Mamah dari lantai atas.Membuat Pak Ramdan dan Hana menghentikan langkahnya. Mereka berbalik, lantas tersenyum menatap kami.“Andai saja Hana, tidak menahan saya, sudah saya laporkan Anda ke polisi saat itu juga!”“Jadi maksud Bapak? Bukan kalian yang melaporkannya? Lalu, siapa?”“Mas Adi,” lirih Mamah.Wajahnya tampak shock. Begitu pun aku. Masih tak menyangka jika ayahku yang akhirnya malah melaporkannya ke polisi.“Ini enggak mungkin Raka, dia tega melaporkan Mamah ke polisi. Bagaimana bisa dia melakukan semua ini? Hiks hiks. Raka, kamu harus bantu Mamah!”Mamah menarik bajuku. Wanita itu menangis sejadi-jadinya.Aku mendekap untuk membuatnya sedikit tenang.“Kamu enggak akan ninggalin Mamah ‘kan, Ka?”Aku hanya mengangguk lantas, Sawa yang berada tak jauh mulai mendekat. Tangannya mengusap
“Mamah kok pergi?” tanya Raka, kala melihat Sina keluar dari halaman belakang.“Kalian sengaja melakukan ini?” tanya Sina menatap Raka yang masih bingung.“Maaf kalau itu bikin Mamah tersinggung.”“Mamah permisi Raka, salam buat Hana. Maaf, karena Mamah enggak bisa di sini sampai selesai acara.”Sina meninggalkan tempat itu dibantu Suster Nara. Ia merasa seperti dipermainkan. Kondisinya memang menyedihkan, tetapi ia tak suka dikasihani. Ia masih mampu membiayai hidupnya sendiri. Bahkan, jika ia harus menjual rumah untuk perawatannya, ia akan melakukan hal itu. Dari pada menikah dengan pria hanya karena rasa iba.~“Enggak apa Yah, baru sekali ‘kan. Aku bahkan harus mengalami berkali-kali penolakan dulu, baru kami bersatu.”“Seharusnya Ayah enggak terlalu gegabah.”“Tindakan Ayah udah benar kok, bukankah semuanya membuahkan hasil?”A
“Ibu pasti bisa, pelan-pelan saja. kalau, begitu saya memaafkan Ibu dan akan selalu berdoa semoga Ibu bisa segera sembuh.”“Aamiin. Kamu perempuan yang baik dan lembut. Sama seperti Hana. Entah kenapa dia sangat tidak beruntung memiliki mertua sepertiku.”Suster Nara hanya diam saja. Ia memang lebih suka mendengarkan dari pada harus mengutarakan pendapatnya.Waktu berlalu, kesehatan Sina semakin membaik. Di mana ia sudah sembuh dari inkontinensia. Ia juga sudah mampu, mendorong kursi rodanya sendiri.“Assalamualaikum, Omah!” teriak Rafa dari arah luar.Tak menunggu lama. Rifa menyusulnya dari arah belakang.Hubungan ketiganya mulai membaik akhir-akhir ini. Hana rutin mengajak mereka mengunjungi Omahnya. Ia pikir, tak baik jika trauma berkepanjangan ini terus berlanjut. Hidup dalam rasa damai, nyatanya jauh lebih menenangkan.Kandungan Hana kini menginjak usia 7 bulan. Perutnya semakin membesar, jadi
“Hana! Sayang kamu di mana? Sayang!”Dari arah luar teriakan Raka menggema. Hana hanya tertawa, mendengar pria itu mengeraskan suaranya seolah tempat ini hutan belantara.“Dia pasti mengkhawatirkanmu,” ucap Sina, kala Hana membantunya memasangkan pakaiannya kembali.Namun, Hana justru cuek.“Sebentar lagi selesai, biarkan saja, Mah!”Kali ini Hana kembali fokus memakaikan celana pada mertuanya. Meski, canggung pada awalnya, tetapi Hana yang meyakinkannya berkali-kali membuat Sina pasrah. Ia tak menyangka jika perlakuan gadis itu benar-benar bisa diandalkan. Gerakannya lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak merasa sakit sama sekali, saat Hana membantunya membersihkan kotoran yang menjijikkan itu.“Dia sangat menyayangimu, ya?”Pertanyaan dari Sina sontak saja membuat Hana terdiam. Ia tak terbiasa dengan nada bicara Sina yang terlalu melembut. Sehingga, entah kenapa rasanya tak percaya menden
Raka tersenyum nakal.“Semua kucing jantan sama saja.”“Aku bukan kucing jantan, Hana.”“Lalu?”“Kamu tahu, sangat menyebalkan mendengarmu mengatakan itu.”Akhirnya senyum Hanamerekah kembali. Senyum yang Raka rindukan.~Setelah berpamitan dengan Bapak dan Ibu. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumha besar yang dulu ditinggalkan begitu saja.Bangunan itu tampak terawat. Ada Daniah di sana, juga 2 orang petugas keamanan yang senantiasa menjaga rumah itu.“Akhirnya Ibu balik lagi ke sini. Saya sudah terlalu lama sendirian. Rumah ini sepi banget, setelah ditinggal Ibu dan anak-anak,” ucap Daniah kala membantu Hana merapikan beberapa barang bawaannya.Sementara, Raka sibuk mengajak main anak-anak di ruang tamu.“Bapak jarang pulang?”“Hampir enggak pernah, paling ke rumah buat ambil baju ganti. Atau terkadan
“Ke dokter mana? Kamu bisa kasih tahu alamatnya?”“Kenapa enggak telepon aja sih? Lagian kalau saya kasih tahu, memang Mas hafal daerah sini?”Raka hanya bisa menahan kesal. Kenapa wanita ini terlalu bertele-tele? Padahal, hatinya sudah diselimuti perasaan khawatir yang teramat sangat.“Makasih buat informasinya, saya akan menelepon Hana.”“Oh, oke. Saya juga lagi buru-buru. Permisi, ya. Tolong teman saya jangan di sia-siakan!”“Oh, tentu. Terima kasih sudah menemani Hana selama di sini.”Wanita itu tampak acuh. Namun, tatapan tajamnya menyiratkan kebencian yang nyata.Pria itu masih mencoba berbagai cara untuk menghubungi Hana, dengan segala akses yang tidak memungkinkan. Entah kenapa, setiap hari ia merasa wanita itu semakin memberi jarak. Tak ada lagi kata rindu yang terucap di bibirnya, seolah ia memang berhenti merindukannya.Hampir 10 menit berlalu. Namun, tak ad
“Mah, tenang! Aku enggak pergi selamanya. Aku cuma mau nengok anak-anak. Mereka kangen Ayahnya.”“PERGI!”Suara Sina yang semakin meninggi, memancing perhatian beberapa perawat yang kebetulan melintas di depan ruangan. Mereka lantas masuk, mencoba memeriksa apa yang terjadi.Merasa kondisi mulai tidak kondusif. Ketiga perawat itu, meminta Raka meninggalkan ruangan. Sementara, salah satu dari mereka menuju ke ruangan yang lain. Dan kembali, tak lama kemudian, dengan perlengkapan medis.Namun, Raka hanya bisa pasrah, saat perawat itu melarangnya masuk ke dalam. Ia menunggu dalam gelisah, sampai teriakan Sina tak terdengar barulah ia bisa bernafas lega.“Lain kali tolong pasiennya jangan dibikin stress! Enggak bagus juga buat kesehatan.”Seiring dengan kepergian perawat. Raka memberanikan diri untuk masuk. Jam makan siang sudah berlalu sejak tadi, tetapi ia masih tertinggal di tempat ini.Piki
“Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”
“Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea