Bab80
"Lihat tuh, istri kamu! Benar-benar tidak sopan," kata Sutina pada Raka.
"Iya ih, songong banget," timpal Rina.
"Bu, Rina, kalian pulang saja, ya!" pinta Raka.
"Kok kamu gitu sih, Raka. Apa Ibu dan Rina nggak berhak ada di sini? Di rumah anak Ibu sendiri?"
"Bukannya begitu, Bu. Setiap kalian datang, rumah ini seakan hilang ketenangan. Istri Raka itu, butuh ketenangan pasca melahirkan, bukannya di buat stress dengan Ibu terus merepet."
"Astaga, Raka. Perasaan, kamu sekarang ini mulai tidak bisa menjaga perasaan kami lagi."
"Bukan gitu, Bu."
"Alah, nyatanya begitu," sungut Sutina.
Raka menarik napas dalam, dia tahu, tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan Ibunya.
Pak Mamat kembali masuk ke dalam ruang tamu.
"Maaf, Pak. Diluar, ada keluarga Bu Tania," lapor Pak Mamat.
"Kok nggak di bawa masuk?" tanya Raka.
"Beliau tidak ingin masuk."
"Kenapa?"
"Kurang tahu,
Bab81"Tan ....""Kakak jahat ...." Tania berteriak keras. "Laki-laki apa semua sama? Brengsek semacam itu?""Tan, sabar," pinta Karin, menahan bahu Tania yang kini bergetar hebat.Matanya di penuhi dengan amarah."Dan kamu, perempuan tidak tahu malu. Sekarang, kamu tinggalkan Kakakku," teriak Tania dengan emosi, sembari menunjuk-nunjuk ke arah wanita itu.Wanita yang menjadi lara di kehidupan baru Karin dan Hanung."Maaf, pernikahan kami bukan untuk mainan. Biar bagaimana pun juga, aku kini istri Mas Hanung," sahut wanita itu, dia pun mendekat ke arah Hanung berdiri, dan memeluk lengan Hanung.Karin merasa sesak melihat itu semua, dan bergegas membuang pandang."Keterlaluan. Pergilah, Kak! Aku takut, jika aku semakin keterlaluan.""Ada apa ini?" tanya Raka setengah berlari, mendekati mereka."Kamu kenapa, Dek?" tanya Raka lagi, mendekati Tania dan Karin.Tania tidak menjawab, wajahnya basah air mata
Bab82"Ibu, kok datang lagi.""Kenapa, nggak boleh? Apa cuma mereka yang boleh?" tunjuk Sutina.Wanita itu sangat kesal dan murka."Bu ...." Raka mencoba meraih tangan Ibunya, dan membawanya menjauh, dari hadapan keluarga Tania."Apa?" bentak Sutina, yang kini tersulut emosi."Bu, tolong jangan bikin masalah lagi, Raka mohon!" pinta Raka, dengan raut wajah mengiba.Sutina mendengkus. "Sialan. Untung saja Ibu datang, jika tidak, Ibu tidak akan pernah tahu, kelakuan besan yang memalukan," cibir Sutina."Ibu ada masalah apa? Selalu ikut campur masalah kami. Aku lelah, paham nggak sih. Ini rumahku, bukan rumah Ibu. Dengar baik-baik, Ibu itu benalu di rumah ini," teriak Tania.Bukan hanya berteriak, kini wanita satu anak itu, menangis histeris."Aku muak walau hanya mendengar suara wanita ini," tunjuk Tania. Dengan perasaan emosi, yang membuncah dalam dadanya.Tania meraih gelas di atas nakas, dan me
Bab83Sudah nyaris seminggu, Tania tidak bisa di hubungi. Raka merasa tidak kuasa tetap di rumah seorang diri, bermodal nekat, Raka pun melajukan mobilnya, ke kampung halaman istrinya.Bagi Raka, Tania dan anaknya adalah hal penting dalam hidupnya, tidak ada mereka, hidup Raka terasa hampa.Sesampainya di pekarangan rumah, Raka begitu sangat memohon. Agar, Tania tidak mengusirnya.Berkat rasa kasihan, Hanung pun mengizinkan Raka untuk masuk, dan menginap.Raka mencoba berbicara, dari hati ke hati, berdua dengan Tania."Maafkan, Mas. Terlahir menjadi suami yang penuh kekurangan," lirih Raka."Tidak!" sahut Tania datar. "Ibu kamu berhak atas kamu, Mas!" lanjut Tania, tanpa mau menatapku."Maaf, kalau sudah menyangkut Ibu, Mas tidak memiliki kekuatan. Bukan hanya takut menjadi durhaka saja, tapi kelak, kita pun akan menjadi orang tua. Seperti yang pernah orang katakan, bahwa orang semakin tua, dia akan semakin bersikap kekanak-kan
Bab84 - Pov Raka-"Dokter, apakah ini serius?" Syok, dan rasanya jantungku berhenti berdetak, kala menatap wajah kuyu istriku, Tania.Aku sulit mengerti dan rasanya tidak dapat aku terima kenyataan ini. Bagaimana mungkin, Tania yang masih berusia muda, harus menderita penyakit ini.Meskipun terlihat berat, Dokter pun akhirnya mau menjelaskan tentang penyakit yang Tania derita. Ia juga menyarankan, agar Tania jangan sering di tinggal seorang diri.Sebab, akan ada masanya, dimana Tania tidak lagi mampu untuk melakukan pekerjaan kecil seorang diri.Bahkan walau hanya untuk sekedar mengetik dan menerima panggilan telepon.Tania menangis terisak, aku memeluknya, mencoba untuk memenangkannya, meskipun aku sendiri rasanya mau mati mendengar semua ini."Lepas, lepaskan aku." Tania mencoba mendorongku.Namun aku berusaha memeluknya semakin erat."Kita harus berpisah! Aku tidak ingin menjadi beban kamu, mas."&nbs
Bab85 - pov Raka-"Apa? Alzheimer, kamu yakin Raka?" Ayah bertanya dengan nada setengah berteriak."Iya, Yah." Aku menjawab dengan lirih dan suara ini seakan tercekat di tenggorokan. "Penyakit itu perlahan-lahan akan membuat Tania melupakan Raka, Yah. Dan, dia juga akan melupakan kita semua."Tidak tahan lagi, bahkan sebagai laki-laki, aku kehilangan rasa malu. Aku menangis terisak, bercerita pada Ayah, walau hanya melalui sambungan telepon."Ya Allah, astagfirullah, menantuku." Terdengar suara lirih Ayah yang menyayat hati, aku merasa semakin pilu."Sekarang kondisinya bagaimana, Nak?""Terkadang Tania seperti berpikir keras, mungkin ia masih berusaha mengingat semua dengan baik."Tania sudah melupakan hal-hal kecil, meskipun ia akan kembali mengingat sesekali, namun hal itu sukses memacu jantungku setiap saat, takut, takut Tania benar-benar akan melupakan kami, dan ingatan itu selamanya akan m
Bab86 - pov Raka-"Ada apa sih? Kalian ribut-ribut." Terdengar suara berat Ayah dari dalam rumah, ia berjalan menuju ke arah kami, dengan wajah yang terheran-heran.Ibu segera berlari ke arah Ayah, dan mulai playing victim."Anak kamu itu mengamuk, tuh liat tas aku dan Rina!" tunjuk Ibu dengan mengadu. "Raka sudah sangat keterlaluan, Yah. Masa dia memukuli tangan Rina dengan kayu."Ayah menoleh ke arahku dengan raut wajah penuh tanda tanya."Raka, apa yang terjadi?" tanya Ayah."Ibu merusuh ke rumah Raka, semua pekerja ia suruh keluar rumah dengan alasan beli ini itu, termasuk Tania. Hanya ada pengasuh yang masih di rumah. Ibu dan Rina mencuri uang dan juga perhiasan Tania."Ayah yang mendengar hal itu pun terlihat sangat marah dan wajahnya memerah. Ia berjalan cepat ke arahku dan merebut kayu dari genggaman tangan ini.Aku sedikit heran, namun setelah merebut kayu itu, Ayah menoleh ke arah Rina dan Ibu yang ter
Bab87 - pov Raka-Aku beranjak dari dudukku, dan memeluk Tania dari belakangnya. Ada perasaan sesak di dalam dada ini, Tania sukses membuatku ketakutan setiap hari."Tania, sayang. Mas mohon! Jangan begini, Mas tidak mau kehilangan kamu," ungkapku dengan terisak pelan.Aku memeluk tubuhnya dengan erat, seakan diri ini takut, takut akan kehilangan dia, dia yang memberiku cinta dan kasih sayang sedalam ini.Meskipun kutahu, mencintai makhluk hidup secara berlebihan, tidaklah baik. Namun faktanya, aku tidak kuasa menahan diri ini.Dia mentari di rumahku, dihidupku, juga hidup anakku. Bagaimana mungkin aku sanggup tanpa dia kelak? Oh Tuhan, aku tidak kuat, walau hanya membayangkannya.Tania masih muda, mengapa penyakit seperti itu sudah bersarang kepadanya. Apakah ini hukuman untukku? Karena lalai menjadi seorang suami yang baik? Ampuni aku Tuhan.Tubuhku bergetar hebat, membuat Tania berusaha mengurai pelukanku. Ia membalikan
Bab88 - Pov Raka-Aku pun berdiri, mengikuti tarikan tangan Ibu di lenganku.Aku menatap Ibu, yang nampak puas melihatku menurutinya."Yasudah, kalau laki nggak boleh main di dapur! Ibu bantu Tania," pintaku, dengan tatapan tegas."Tania bisa sendiri, masa harus Ibu bantu."Lagi-lagi aku menghela napas berat, dan tetap berusaha tenang. Bang Juna mendekat ke arah aku dan Ibu, yang sedari tadi berdiri di muara dapur."Raka, di panggil Ayah." Bang Juna berkata, sembari meraih gelas minum di dispenser.Sebelum menemui Ayah, aku melihat istriku memilihi sayuran yang berantakan, dan di bantu yang lainnya.Sedangkan Kak Susi, tidak terlihat batang hidungnya.Aku pun bergegas keluar, menemui Ayah di ruang keluarga.Memang sudah menjadi kebiasaan kami, jika sudah berkumpul, ruang keluarga paling rame."Itu istri apa tawanan? Kesana kemari di awasi," ejek Bang Juna.Aku pun tidak perduli, dengan semua