Petaka Mendua
Part31°pov Aisya°"Assalamualaikum," ucapku, pada mas Yusuf yang masih tidur.Mas Yusuf tidak menyahut, hingga berulang kali aku bisikkan, barulah ia menyahut pelan."Walaikumsalam," jawabnya dengan mata yang masih terpejam."Mas, ayo bangun," bisikku lembut. "Aisya lapar!" kataku lagi.Mas Yusuf menggeliat, kemudian ia mengucek-ngucek matanya berulang."Hmmm ..., Kamu nggak bikin sarapan? Dek."Aisya mendengus. "Tadi ke mang Diman, malah di hina Bu Daung, juga si Dinda, mas.""Di hina bagaimana?" tanya mas Yusuf, kemudian ia duduk di sampingku."Pelakor, itulah nama yang kini melekat, untukku." Aku berkata lirih, seraya menyeka pelan air mataku.Mas Yusuf memelukku erat, kemudian ia mencium puncuk kepalaku."Bagus, enak sekali siang-siang mesra-mesraan!" teriak Dinda, yang berdiri diambang pintu kamar kami, seraya menyenderkPetaka MenduaPart32°Pov Aisya.°Mas Yusuf dan Dinda keluar dari kamar."Mas, ceraikan wanita itu," rengek Dinda, mas Yusuf hanya terdiam, ia kemudian menghempaskan diri diatas sofa. Aku masuk ke dalam kamar, kubanting kasar pintu.Apa yang tidak mungkin berubah dalam dunia ini, tidak ada bukan? Begitu juga dengan hati manusia. Seperti dia yang dulunya begitu menginginkanku, kini dia begitu menyia-nyiakan perasaanku.Jika saja hati ini buatan Negeri tirai bambu, mungkin sudah lama eror, bahkan terancam mati total.Hanya saja, Allah begitu hebat, menciptakan hati ini begitu kuat.Kuakui, salahku memang, yang begitu berharap kepada manusia. Kutatap langit-langit kamar, inikah akhirnya? Akhir dari rumah tangga, yang begitu kekeuh aku lindungi.Rasanya hati ini remuk, bukan hanya tentang dia yang sudah mendua, namun dia yang juga sudah mulai tidak perduli lagi.Kuraih foto pe
Petaka MenduaPart33°pov Aisya°Pak Kardi datang dengan mobil Pick-up miliknya, ia kemudian mendongakkan kepalanya di balik pintu mobil."Angkat ke belakang! Segera kita bawa si Yusuf." Pak Kardi berteriak.Warga lainnya pun mengikuti titahnya, mengangkat mas Yusuf. Aku dan Ummi pun duduk di samping Pak Kardi yang mengemudi. Mobil melaju menuju rumah sakit di kota, sebab melihat kondisi mas Yusuf yang terlihat begitu mengenaskan.Hatiku perih, melihat ia tergeletak seperti itu, tentu saja membuatku bersedih hati. Namun apa daya? Ini takdirnya."Pak, apakah Bapak tadi ada di tempat kejadian?" tanyaku."Ada Neng! Bapak yang lihat kejadian tabrak lari itu," jawabnya pelan."Wanita, yang bersama mas Yusuf, kemana ya? Pak." Aku penasaran, dengan keberadaan Dinda, yang tiba-tiba menghilang."Maaf atuh, Neng. Bapak lihat, si Yusuf dan teman wanitanya, terlihat bertengkar d
Petaka MenduaPart34"Begitulah, nasib orang seenaknya. Harusnya berpikir dua kali, untuk menikah lagi. Jika lebih banyak mudaratnya, untuk apa?" tukas Ibu."Bu Hanum, tolonglah, jangan jadi duri dalam hubungan anak kita," sergah Ummi."Duri? Aku?" tanya Ibu, dengan mengernyit. "Bukankah Bu Hajah, lebih tepatnya, menyandang gelar itu.""Sudah! Cukup, Bu. Tidak usah berdebat lagi, sebaik-baiknya manusia, ialah dia, yang menghindari debat." Aku berkata dengan terisak."Aisya, akan ikut pulang Ibu. Ummi, terimakasih, tumpangannya selama ini." Aku menjabat tangan Ummi.Ummi menatap nanar ke arahku. Dengan tatapan mengiba, namun aku berusaha kuat, dengan semua keputusanku."Sya ..., Menantu terbaik ummi, tega kah kamu? Meninggalkan kami," lirihnya.Aku tak bergeming. Kulanjutkan langkah, masuk ke dalam kamar. Kubawa tas hitam, yang berisi semua pakaianku.
Petaka MenduaPart35Suasana lamaran yang semula ramai mendadak terfokus kepada Bu Romlah. Ia memang terkenal usil, dan suka mempermalukan orang lain.Bu Romlah, malam ini, ia sukses mempermalukan Aisya. Selain karma, sangsi sosial juga tidak kalah hebatnya. Bahkan, Aisya yang sudah menuai hasil dari masa lalunya, pun. Masih saja di permalukan.Namun, ada hal yang membuat, malam acara lamaran ini menjadi unik. Bu Daung, Emak-emak yang terkenal garang dan juga julidnya luar biasa. Membela Aisya dan mempermalukan kembali si Romlah, yang bisa di kata, kawan terbaik untuk bergosip."Bu Daung, kok belain pelakor? Sih." Kini, Bu Rahma, tetangga samping tokoku, mulai bertanya dengan heran."Tolong ya! Hargai acara saya, masa acara suci ini, harus di kotori dengan perkataan sampah!" ucapnya dingin.Seketika, Bu Rahma dan kawan-kawan langsung terdiam, melihat ekspresi wajah Bu Daung, yang tidak bersahabat.
Petaka MenduaPart36"Tolong ...." Bu Romlah berlari keluar dari rumahnya dengan panik.Tidak ada seorang pun yang memperdulikan teriakan minta tolongnya, semua memekik histeris, melihat tubuh Arman yang hancur lebur."Semua gara-gara mulut sampah wanita itu!" teriak sepupunya Arman, dialah orang pertama yang terpancing dengan sindiran Romlah, hingga lamaran yang semula penuh senyuman, berakhir duka dalam.Tunjukan tangan sepupunya itu, membuat semua pasang mata mengarah kepada Bu Romlah."Memang apa yang dia katakan?" tanya Bu Daung."Mulut sampah wanita itu, meracuni pikiran kami," teriak sepupunya Arman, wanita itu menarik laju napasnya. Menatap Bu Romlah dengan emosi.Bu Romlah menciut, mendapat tatapan kebencian dari keluarga Arman. Para warga pun enggan membantu memadamkan api, yang menyulut rumah bu Romlah.Semua orang hanya sibuk mengumpulkan jenazah Arman, yang hancur berserak
Petaka MenduaPart37"Apa? Jangan-jangan apa?" Aku bertanya dengan wajah bingung."Hamil?" tembaknya."Mana mungkin, Bun. Kan Karin lagi datang bulan!" jawabku lesu. Mendadak wajah mertua langsung murung, membuatku merasa bersalah."Yasudah, kamu istirahat saja! Rin. Mana tau, kamu lagi kurang sehat," ucap Ibu mertua.Aku pun mengangguk. "Rin, disana kamar Alif, dulu. Kamu istirahat saja, disana."Ibu mertua, menunjuk sebuah kamar, yang katanya kamar mas Alif."Karin istirahat, bentar ya! Bun."Meskipun gurat kecewa masih terlihat, Ibu mertua tetap berusaha ramah dan tersenyum.Rasanya, aku mendadak di buat tidak nyaman, namun apa boleh buat, Allah belum memberikan anugerah terindah nya itu kepada kami saat ini.Kurebahkan diri di atas kasur, sambil menatap langit-langit kamar, yang dulunya menjadi tempat istirahatnya mas Alif.Entah berapa lama aku tertidur,
Petaka MenduaPart38"Ummi." Aku menatap lekat wajah tuanya. Kemudian mobil ambulan datang, dan berhenti tepat di depan rumah mas Yusuf.Aku memandang bingung, begitu pula dengan mas Alif."Ummi, ada apa? Kenapa ada mobil ambulan?" tanyaku, mulai merasa ada yang tidak beres."Yusuf ..., Yusuf meninggal." Ummi berkata dengan pilu.Aku syok, lututku rasanya hilang pijakan. Mas Yusuf, Ayah dari anakku itu, meninggal. Sulit aku percaya, namun, para lelaki berbaju dinas putih itu keluar.Mereka ada tiga orang, menuruni brankar, dan membawa tubuh yang terbujur kaku itu, menuju ke arah rumah.Abah sudah membukakan pintu, tubuh yang berada di atas berankar itu pun di turunkan, dan di letakkan di atas kasur.Tidak ada satupun warga, yang mengetahu duka ini."Ummi, kenapa mendadak?" tanyaku. Emilia sudah berada di gendongan mas Alif."Dua hari yang lalu, s
Petaka MenduaPart39Ibu semakin emosi, melihat Ibu mang Tohar itu pingsan. Ia pun berlari ke arah dapur, dan kembali membawa se-ember air penuh.Tanpa memperdulikan kami semua, Ibu langsung menyiramkan seisi air itu, ke wajah Ibu Mang Tohar.Kami semua terlonjak, melihat aksi heroik Ibu, yang secara tiba-tiba."Uhukk ..., Uhuk ...." Ibu mang Tohar terbatuk, entah tadi ia berpura-pura, atau memang itu pingsan sungguhan. Yang jelas, kini wanita paru baya itu, sudah kembali sadar, dari pingsannya."Sialan, berani sekali kamu menyiramkan air ke wajahku! Bedebah!" bentak Ibu mang Tohar, dengan wajah memerah, penuh emosi bergejolak.Ibuku mendengus, ia merasa puas, telah melakukan hal yang tepat."Kalau aku diam dan menunggu, itu sama saja aku mendukungmu!" ucap Ibu, dingin."Cuih ...." Ibu mang Tohar meludah ke lantai, menatap sengit wajah Ibu."Cukup! Sekarang kalia