Luna melihat Sari membawa kembali nampan yang isinya utuh dari kamar Delotta. Ini sudah ketiga kalinya sejak pagi. Aksi mogok makan Delotta membuatnya khawatir dan iba. Apalagi sejak kemarin gadis itu terus mendekam di kamar. Tidak berniat keluar sejak Ricko memutuskan membatasi pergerakan Delotta. Bagi Luna itu terlalu berlebihan, tapi siapa yang bisa membantah keputusan Ricko? Parahnya, suaminya itu bahkan menyewa beberapa bodyguard untuk menjaga Delotta. "Aku lebih tahu anakku," ucap Ricko ketika Luna protes soal bodyguard di rumahnya itu. "Kamu seperti nggak percaya kalau kami bisa menjaga Otta." "Bukan begitu, Sayang. Otta itu pintar, apalagi kamu orangnya nggak tegaan. Dirayu dikit pasti luluh." "Nggak masuk akal." Dan Luna tidak ingin berkomentar lagi. Tapi aksi mogok makan yang Delotta lakukan membuatnya cukup cemas. Dia memutuskan berbelanja aneka camilan lantaran Delotta kembali menolak makanan yang Sari bawa. "Otta lagi apa, Bi?" tanya Luna saat Bi Sari dengan muka l
Delotta hendak membawa Daniel masuk ke rumah. Namun enam bodyguard itu menghalangi. Mereka bersikeras tidak memperbolehkan Daniel masuk untuk sekedar mengobati luka. "Maaf ini perintah Tuan Ricko, Nona," ucap salah satu bodyguard itu. "Whatever, tapi dia terluka gara-gara kalian!" Delotta memelotot jengkel sambil mencengkeram erat lengan Daniel. "Biarkan dia masuk. Setidaknya agar diberi obat lebih dulu," sela Luna yang sebenarnya tidak ingin ada keributan lagi di rumah ini. "Maaf, Nyonya. Tidak bisa." Alis Delotta menukik tajam kepada bodyguard menyebalkan itu. Dia beringsut ke depan mereka. "Kalau kalian tidak mengizinkan Om Daniel masuk, akan aku pastikan kalian kehilangan pekerjaan," ucapnya dengan nada berapi-api. Namun, keenam bodyguard itu bergeming, membuat Delotta makin jengkel. "Ayo , Om kita lewat pintu samping aja." Baru saja Delotta memapah Daniel menuju ke sayap kiri rumahnya, dua bodyguard dengan sigap menghalangi langkah mereka. Daniel menghela napas panjang lal
"Bantu gue, Ty." Sudah hampir dua Minggu Delotta tidak keluar rumah. Selama itu pula dia tidak pernah bertemu Daniel. Ricko tidak main-main menentang hubungan mereka. Delotta kesusahan bernapas menjalani hukuman dari sang papa. Sore ini untuk pertama kalinya dia diperbolehkan menerima tamu setelah dua kali percobaan sebelumnya Tya gagal menemuinya."Gue susah payah loh ke sini. Jangan sampai gara-gara keinginan lo yang nggak masuk akal gue jadi dilarang ketemu lo juga." Tya mendelik seraya berbisik. Ujung matanya melirik ke arah pintu yang setengah terbuka. Di luar ada bodyguard yang berjaga. Delotta benar-benar seperti tawanan. "Tapi gue kangen banget sama dia," rengek Delotta menggoyang-goyang lengan Tya. "Lo bisa vicol dia pake smartphone gue." Tya mengerang. "Lo serius nggak ada laptop atau tablet gitu di tempat ini.""Kalau ada nggak mungkin gue minta tolong sama lo.""Buset, bokap lo bener-bener ya. Gue curiga habis ini lo bakal dikawinin sama jodoh pilihan dia.""No!" Delott
Konyol! Delotta hampir saja membanting sendok yang dia genggam. Hanya saja dia masih ingat sopan santun di depan para tamu. Dia berusaha sekuat hati agar tidak meledakan emosi di depan mereka. Senyum Ricko di ujung meja makan membuat Delotta muak. Dia tidak pernah merasa semuak ini sebelumnya. Namun, semua kelembutan dan kebaikan sang papa mendadak raib karena keputusan sepihak yang diambil pria itu. Tawa renyah lima pasang mata di meja makan membuat telinga Delotta pengang. Mereka tampak bahagia, tidak seperti Delotta yang memasang wajah kaku sepanjang makan malam berlangsung. "Biar semua acara tunangan kami yang mengurus. Kalau Anda nggak keberatan Pak Ricko," ucap pria yang duduk di samping kiri Ricko. Regio Mahendra, pria yang memiliki rambut dominan putih itu tersenyum. Di sebelahnya duduk wanita cantik dengan penampilan elegan ciri khas ibu-ibu sosialita. Dia Marlin Jagland, wanita yang lebih banyak diam di sisi suaminya. Dan di samping wanita itu tampak Dave yang sejak tadi
Melalui Ina Delotta bisa berkomunikasi lagi dengan Daniel. Ketika Ina meminjamkan ponsel androidnya untuk melakukan panggilan video dengan Daniel, apa yang asisten rumah tangga itu katakan ternyata benar. Daniel sangat berantakan, tapi sangat berlebihan kalau Ina bilang pria itu mirip Hagrid. Brewok dan jenggotnya memang panjang, tapi tidak sepanjang facial hair milik penjaga Hogwarts. "Hi, Baby," sapa Daniel tersenyum, meski begitu mata birunya tampak kuyu. Ada lingkaran hitam samar di bawah kelopak matanya. Dalam kondisi seperti itu, dia seperti sedang menunjukkan usia yang sebenarnya. "Om, apa kabar?" tanya Delotta terdengar sedih begitu melihat penampilan lelaki itu. Kalau bisa, dia ingin melompat ke tempat Daniel dan merapikan pria itu agar kembali tampan. "Nggak ada yang lebih baik dari malam ini, Baby. Aku benar-benar merindukan kamu." Walaupun sedih, semu di pipi Delotta memendar mendengar kata rindu itu. "Sama, Om. Tapi segalanya makin kacau." "Kita bertemu malam ini ya
"Aku deg-degan." Delotta terkekeh canggung. Di depannya Daniel hanya tersenyum menatap gadis itu. "Kamu sudah siap?" tanya pria itu menunjukkan sederet alat yang sudah dia siapkan. "Jadi, aku harus pakai yang mana?" Daniel mengambil satu alat itu dan mengangsurkannya kepada Delotta. "Pakai ini, tapi pelan-pelan ya, itu tajam."Dengan senyum dikulum Delotta membolak-balik alat itu. "Minimal paling lecet sih, Om." Pelototan Daniel membuat dia tertawa."Kamu harus hati-hati," ucap Daniel lebih tegas. Lantas mendudukkan tubuh Delotta di atas wastafel. "C'mon do it." Delotta mulai menyalakan alat cukur elektrik itu lalu mengarahkannya dengan pelan ke facial hair Daniel yang sudah tertutup krim cukur. Dengan hati-hati dia menggerakkan alat itu. Perlahan dan penuh perasaan. Di depannya Daniel terus menatap gadis itu tanpa berkedip. Memperhatikan wajah serius Delotta yang tampak berkonsentrasi penuh. Lalu setelah beberapa menit lamanya ...."Wow, bersih langsung," ucap Delotta merasa ta
Delotta melepas sendok dan mendorong piring pancake itu menjauh. Dua buah Crombolini masih utuh. Meski tampilannya menggiurkan Delotta sudah tidak berselera lagi. "Buat apa Om membawaku ke sini kalau ujung-ujungnya mau ngucapin salam perpisahan?" "It's not true.""Not true? Om udah rencanain ini kan? Dari awal Om memang nggak pernah menginginkan aku. Tidak hanya kali ini, Om selalu melihat hubungan kita ini semu. Nggak heran kalau aku nggak pernah ada dalam masa depan Om," tandas Delotta dengan tatapan menghunus. Daniel menggeleng pelan, wajahnya tampak pias. "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. I want you so much.""Om tau nggak, dua hari lagi acara itu digelar. Dan Om mau memulangkan aku?" Delotta tertawa miris. "Aku pikir cinta Om begitu besar, ternyata..." Dia menggeleng lemah. "Sejak awal memang aku yang mencintai sendirian di sini," lanjutnya lemah. Daniel mencoba meraih tangan Delotta. Namun gadis itu segera menepisnya. "Please, listen me. Maksud aku bukan gitu, Otta. Ak
Sudut mata Delotta berair menahan perih. Air itu lantas meleleh melewati pelipisnya saat Daniel mendorong keras di bawah sana. Kuku-kukunya menancap ke punggung Daniel, saat pria itu mengentak cukup dalam. Ini mengejutkan bagi Delotta. Dia seperti terkena godaman palu besar di kepala. Nyerinya sampai ke tulang-tulang saat dirinya dipaksa menerima milik Daniel. Ralat, bukan dipaksa, tapi dengan rela hati dia menyerahkan semua. Sebenarnya Delotta paham resiko sakit yang bakal dia lalui, tapi itu hanya proses. Untuk seterusnya tidak akan ada lagi rasa sakit. Itu yang sering Tya dengungkan. Wajah Daniel berubah panik saat melihat air mata gadis itu jatuh. "I hurt you?" tanya Daniel seraya mengusap bulir air yang meleleh dari sudut mata Delotta.Delotta menggeleng. Napasnya masih tercekat, dia harus menyesuaikan keberadaan Daniel di dalamnya. Tidak mudah, tapi dia yakin bisa melewati ini. Paham yang gadisnya rasakan, Daniel memberikan sentuhan-sentuhan lembut untuk membuat Delotta rile