Sebenarnya Delotta ingin langsung masuk kamar lalu membenamkan diri di bantal dan berharap bisa langsung tidur nyenyak. Tapi semua rencananya berantakan karena Ricko malah menyuruh Dave mampir. Delotta tidak mungkin meninggalkan keduanya, dan membiarkan mereka ngobrol bebas tanpa dia tahu isi obrolannya. Siapa tahu Dave membocorkan tentang hubungannya dengan Daniel? Menyebalkan. "Oh, jadi kamu satu kantor dengan Otta. Kok Otta nggak pernah cerita, ya?" Ricko melirik Delotta, matanya mencelang seolah info itu penting untuk dia tahu. "Ya, sempat satu tim juga sama Otta sebelum saya pindah ke departemen lain." Sumpah Delotta muak melihat Dave bicara santun seperti itu sama Ricko, sementara lelaki itu pada dirinya tidak ada santun-santunnya. "Kamu nggak berniat ngajak Otta balikan?""Pa," tegur Delotta. "Dave masih ada urusan penting. Jadi—""Ada kok, Om. Saya ada niat balikan sama Otta. Apa Om mengizinkan?"Delotta melotot tak terima. Jika bukan karena ada Ricko dia pasti sudah menc
Tidak ada veil yang menjuntai panjang pada gaun pengantin yang Luna kenakan. Dia hanya mengenakan gaun berwarna peach dengan kerah dada rendah yang dihiasi bunga tiga dimensi di bagian dada dan lengan. Dominasi brokat dengan warna keemasan membuat tampilan Luna saat ini begitu elegan. Rambutnya juga ditata rapi dengan hiasan sejumput bunga baby breath di atas sanggulnya. Simpel tapi terlihat mengesankan. Dia berjalan begitu anggun di sisi Ricko yang tampil begitu gagah menuju pelaminan.Delotta menyadari sekarang bahwa sang papa memang tidak tua-tua amat. Sangat wajar jika masih memimpikan pernikahan. Dia ikut tersenyum lebar melihat Ricko tampak berbinar menggandeng istrinya di pelaminan. Ya, keduanya sudah sah menjadi suami istri setengah jam lalu. Di tengah tamu undangan Ricko mengikrarkan janji suci pernikahan keduanya. Acara dilanjutkan dengan resepsi di satu gedung yang sama. Konsep pernikahan sederhana persis seperti yang Luna inginkan. Ricko jelas menawarkan pernikahan di b
Delotta menatap sebal Daniel yang tengah tertawa bersama Ricko. Entah mereka membicarakan apa. Yang menyebalkan setelah berhasil mengoyak make-up dan sedikit gaunnya, pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Mengingat kejadian di kamar itu membuat Delotta refleks menggigit bibir. Itu bukan pertama kalinya Daniel mengajak bercumbu, tapi tetap saja menyisakan perasaan aneh di hati. Bahkan dia masih bisa merinding saat kejadian itu sudah berlalu. Daniel terus mendesaknya sejauh yang Delotta ingat. Lengannya yang kuat dan kokoh mengurungnya. Delotta tidak menyalahkan. Wajahnya terus maju, bibirnya merampas bibir Delotta. Mencecapnya penuh hasrat seolah lama tidak pernah melakukannya. Mungkin benar, sejak kejadian konyol di rumah Daniel waktu itu, mereka memang belum pernah berdekatan lagi secara intim. Daniel lebih banyak memastikan bahwa semua aman dan baik-baik saja. Lalu benturan pekerjaan yang tiada habisnya membuat keduanya seolah tidak ada waktu untuk sekedar bersama. Apalagi,
Luna menyelinap keluar dari kerumunan banyak tamu setelah sebelumnya dia pamit kepada Ricko. Seharian berdiri dan terus tersenyum menyambut tamu membuat tubuhnya agak pegal. Dia hanya ingin ke toilet sebentar untuk mengeluarkan isi kandung kemihnya yang sudah kencang. Dia menuju ke belakang gedung melalui pintu sebelah kiri, lalu berjalan sedikit sebelum berbelok ke sebuah lorong yang menghubungkan ke arah toilet.Namun, tepat ketika dirinya berbelok sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan terlihat. Luna memekik kaget ketika melihat Delotta tengah berciuman dengan Daniel. Dengan Daniel! Iya, dia tidak salah lihat. Luna menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangan. Pemandangan yang dia lihat cukup membuatnya syok. Begini, dia tahu kalau Delotta dan Daniel dekat. Tapi demi Tuhan, Luna tidak berpikir kalau mereka mungkin memiliki hubungan yang lebih intim daripada hanya sekedar dekat. Tapi pria itu Daniel! Astaga!Otak warasnya langsung berpikir, bagaimana kalau Ricko tahu? Ata
Brengsek! Lagi-lagi dia bersikap kurang ajar. Meski terkejut Delotta tidak diam saja. Dengan cepat kesadarannya pulih dan tangannya mendorong lelaki itu menjauh. Posisinya saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Berat tubuhnya terbebankan sepenuhnya di lengan Dave sehingga dia kesulitan untuk bangun dengan benar. Delotta tidak kehilangan akal, dia menarik jas Dave, menjadikannya sebagai tumpuan agar dia bisa berdiri lagi. Ciuman sialan itu terlepas, dan dia berhasil berdiri dengan wajah merah padam. "Brengsek!" makinya mendorong keras dada Dave. "Kamu pikir kamu itu siapa?!" jeritnya tertahan. Meski emosinya meluap-luap Delotta tak ingin menarik perhatian. Bisa saja ada tamu yang melewati lorong ini. "Pacar kamu. Kita belum sepakat putus dulu itu."Delotta menggeram jengkel. Lagi-lagi Dave mengatakan hal konyol. Dasar tidak tahu malu. "Mimpi aja terus kamu!" ujarnya ketus sebelum beranjak meninggalkan Dave. Namun, baru beberapa langkah dia berbalik lagi. Dave bahkan tersenyum s
"Pa! Nggak bisa gitu dong, Pa.""Apanya yang nggak bisa?""Itu namanya papa nyodorin aku ke mulut buaya.""Otta, Dave nggak seperti itu.""Dari mana Papa tau? Papa nggak mengenal dia dengan baik." Ricko mengembuskan napas panjang beberapa kali. Rasa lelah makin bergelayut. Dia tidak ingin berdebat dengan putrinya, tapi Delotta terus saja melayangkan protes karena keputusannya."Izinkan saya antar jemput Delotta tiap hari, Om. Saya akan menjaga sikap." Ricko teringat permintaan Dave waktu mengunjungi rumah sakit. Dia ingin menolak karena bisa saja putrinya melakukan hal lebih dari sekedar mematahkan hidung. Tapi Dave bersikeras. "Saya ingin hubungan saya dengan Delotta bisa kembali seperti dulu. Saya harap Om mengizinkan," ucap Dave lagi dengan wajah penuh permohonan yang akhirnya membuat Ricko mengangguk setuju. Mungkin juga ini sebagai kompensasi, wujud terima kasihnya karena Dave tidak melaporkan Delotta ke pihak berwajib. Sebab saat Ricko datang, dia melihat dua polisi sedang me
"Kayaknya dia memang punya strategi deketin kamu, ya. Usahanya perlu diacungi jempol." Wajah Delotta makin masam mendengar Daniel mengatakan itu. Dia baru saja menceritakan kejadian pagi ini dan permintaan Ricko sebelum berangkat ke Eropa. "Lakuin sesuatu dong, Om," rajuknya lagi. "Mungkin untuk sementara kamu nurut dulu apa kata papa kamu. Hanya antar-jemput, kan?" "Hm, awalnya antar-jemput, ntar lama-lama minta lain lagi," kesah Delotta sambil memandangi Daniel kesal. Pria yang rahangnya membayang akibat bekas cukur itu terkekeh. "Kalau dia sudah aneh-aneh, aku nggak mungkin diam saja, Sayang," ucapnya tersenyum. Telapak tangannya menyentuh paha Delotta dan mengusapnya naik turun. "Seminggu ini aku di antar-jemput dia memangnya Om nggak masalah?" tanya Delotta seraya memicingkan mata. Dua lengannya yang sedari tadi nyangkut di leher Daniel saling tertaut satu sama lain. "Nggak masalah kalau sekedar itu. Asal dia nggak sembarangan mencium kamu lagi."Delotta tertegun sesaat me
Delotta benci macet, tapi tetap saja traffic jam seperti itu tidak bisa dia hindari. Sudah bukan hal yang 'wow' lagi jika jalanan ibukota macet di saat hari-hari kerja. Jangankan ibukota, kota biasa saja macet. Dan kabar buruknya macet kali ini terasa lebih panjang dan lama lantaran seseorang yang duduk bersisian dengannya.Gadis itu mengembuskan napas beberapa kali. Mungkin jika Daniel yang ada di dekatnya kemacetan ini tidak akan ada artinya. Delotta bisa bicara apa pun atau melakukan sesuatu untuk membunuh bosan bersama pria itu. Namun kenyataannya sore ini dia terjebak bersama Dave. "Mampir ke apartemenku ya," ujar Dave yang langsung mendapat respons dari Delotta. "Apa? Ngapain? Nggak mau. Aku mau pulang ke rumah. Capek." Delotta sudah membayangkan berendam di air hangat dengan busa berlimpah lalu akan meminta Sari untuk memijat kepalanya. "Apartemenku nggak jauh dari sini. Sekalian makan malam. Kalau jalanan nggak terlalu macet baru kamu aku antar pulang," bujuk Dave. Dia men