"Pa! Nggak bisa gitu dong, Pa.""Apanya yang nggak bisa?""Itu namanya papa nyodorin aku ke mulut buaya.""Otta, Dave nggak seperti itu.""Dari mana Papa tau? Papa nggak mengenal dia dengan baik." Ricko mengembuskan napas panjang beberapa kali. Rasa lelah makin bergelayut. Dia tidak ingin berdebat dengan putrinya, tapi Delotta terus saja melayangkan protes karena keputusannya."Izinkan saya antar jemput Delotta tiap hari, Om. Saya akan menjaga sikap." Ricko teringat permintaan Dave waktu mengunjungi rumah sakit. Dia ingin menolak karena bisa saja putrinya melakukan hal lebih dari sekedar mematahkan hidung. Tapi Dave bersikeras. "Saya ingin hubungan saya dengan Delotta bisa kembali seperti dulu. Saya harap Om mengizinkan," ucap Dave lagi dengan wajah penuh permohonan yang akhirnya membuat Ricko mengangguk setuju. Mungkin juga ini sebagai kompensasi, wujud terima kasihnya karena Dave tidak melaporkan Delotta ke pihak berwajib. Sebab saat Ricko datang, dia melihat dua polisi sedang me
"Kayaknya dia memang punya strategi deketin kamu, ya. Usahanya perlu diacungi jempol." Wajah Delotta makin masam mendengar Daniel mengatakan itu. Dia baru saja menceritakan kejadian pagi ini dan permintaan Ricko sebelum berangkat ke Eropa. "Lakuin sesuatu dong, Om," rajuknya lagi. "Mungkin untuk sementara kamu nurut dulu apa kata papa kamu. Hanya antar-jemput, kan?" "Hm, awalnya antar-jemput, ntar lama-lama minta lain lagi," kesah Delotta sambil memandangi Daniel kesal. Pria yang rahangnya membayang akibat bekas cukur itu terkekeh. "Kalau dia sudah aneh-aneh, aku nggak mungkin diam saja, Sayang," ucapnya tersenyum. Telapak tangannya menyentuh paha Delotta dan mengusapnya naik turun. "Seminggu ini aku di antar-jemput dia memangnya Om nggak masalah?" tanya Delotta seraya memicingkan mata. Dua lengannya yang sedari tadi nyangkut di leher Daniel saling tertaut satu sama lain. "Nggak masalah kalau sekedar itu. Asal dia nggak sembarangan mencium kamu lagi."Delotta tertegun sesaat me
Delotta benci macet, tapi tetap saja traffic jam seperti itu tidak bisa dia hindari. Sudah bukan hal yang 'wow' lagi jika jalanan ibukota macet di saat hari-hari kerja. Jangankan ibukota, kota biasa saja macet. Dan kabar buruknya macet kali ini terasa lebih panjang dan lama lantaran seseorang yang duduk bersisian dengannya.Gadis itu mengembuskan napas beberapa kali. Mungkin jika Daniel yang ada di dekatnya kemacetan ini tidak akan ada artinya. Delotta bisa bicara apa pun atau melakukan sesuatu untuk membunuh bosan bersama pria itu. Namun kenyataannya sore ini dia terjebak bersama Dave. "Mampir ke apartemenku ya," ujar Dave yang langsung mendapat respons dari Delotta. "Apa? Ngapain? Nggak mau. Aku mau pulang ke rumah. Capek." Delotta sudah membayangkan berendam di air hangat dengan busa berlimpah lalu akan meminta Sari untuk memijat kepalanya. "Apartemenku nggak jauh dari sini. Sekalian makan malam. Kalau jalanan nggak terlalu macet baru kamu aku antar pulang," bujuk Dave. Dia men
Dave langsung meloncat turun dari kamar ketika mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Setengah berlari dia menuruni anak tangga. Dan dia terkejut melihat Delotta tengah berjongkong di depan pecahan mug dengan tatapan nanar. "Otta! Kamu baik-baik aja? Apa ada yang luka?" tanya Dave tampak cemas ikut berjongkok, menarik tangan Delotta, dan menelitinya. Delotta menggeleng pelan. "Sori, Dave. Aku udah mecahin mug kamu.""It's ok. Yang penting kamu baik-baik aja. Ayo, bangun. Itu biar aku yang bersihin." Dave menarik pelan gadis itu lalu membimbingnya duduk di sofa. Setelah itu dia sibuk membereskan pecahan mug. Ini hari ketiga Delotta mampir ke apartemen Dave. Awalnya terpaksa, tapi sekarang secara sukarela dia mengangguk ketika Dave mengajaknya mampir ke apartemennya lagi. Dan biasanya selepas makan malam Dave baru mengantar gadis itu pulang. Dave memiliki makan malam sendiri yang tiap hari dikirim oleh ibunya. Dia hanya tinggal memanaskan di microwave. "Lagi mikirin apa? Kam
Delotta baru saja selesai membersihkan diri ketika perhatiannya teralihkan ke jendela kamar yang dia lihat bergerak. Tirainya melambai tertiup angin dan daun jendela itu sedikit terbuka. Kepala Delotta meneleng mengingat apakah dirinya sempat membuka jendela itu sebelum beranjak ke kamar mandi. Tidak mau berpikir macam-macam dia pun bergerak menutup kembali jendela tersebut. Di rumah saat ini hanya ada dirinya dan para asisten yang mungkin sekarang sudah terlelap. Di luar masih ada dua security yang berjaga jadi dia merasa aman. Delotta menarik selimut dan masuk ke dalamnya, lalu menekan sakelar, dan lampu kamar seketika padam kecuali lampu tidur di atas nakas. Dia baru saja memposisikan bantal tidurnya agar bisa merebah dengan nyaman ketika lagi-lagi sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Gadis itu urung merebah dan tiba-tiba perasaan tidak nyaman merayap. Bola matanya bergerak menyapu setiap penjuru kamar, tapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Masa iya di kamar ini a
Ina menyajikan sarapan dengan tatapan yang tak lepas dari gerak-gerik Delotta. Matanya menyipit melihat Delotta begitu tenang menyantap roti bakar isi daging buatannya."Pagi ini muka Non Otta cerah ya. Agak glowing glowing gitu," katanya dengan nada seperti orang sedang menyindir. Mendengar itu Delotta mengangkat alis, tak paham. Dia tidak merespons dan lebih pilih mengunyah roti yang tersisa. "Bukannya Non Otta tiap hari juga glowing, ya?" timpal Bi Sari yang baru datang membawa dua gelas susu. "Loh, Bi? Kok susunya dua?" tanya Delotta heran. "Buat Mas Dave, paling sebentar lagi datang."Sejak antar-jemput Delotta beberapa hari belakangan, Dave sering numpang sarapan di rumah, tapi Delotta tak bisa melarang karena dia sendiri sering menumpang makan malam di apartemen lelaki itu. Jadi impas. "Glowingnya Non Otta kali ini beda." Ina bersuara lagi. "Non Otta yakin nih pagi ini nggak ada yang bikin Non seneng?" Delotta mengernyit makin tak paham apa yang asistennya itu katakan. Di
Delotta tentu berpikir untuk memberi tahu Ricko tentang hubungannya dengan Daniel. Walaupun tidak dalam jangka waktu dekat. Namun, sebelum itu terjadi Ricko—yang dia duga masih berada di Eropa—malah memergokinya bermesraan dengan Daniel. Lalu segalanya berantakan. Wajah Delotta pucat pasi. Dua tangannya mencengkeram erat lengan kemeja Daniel. Ketakutan luar biasa merambat. Dia tidak berharap Ricko tahu semuanya dalam keadaan dirinya berada di pangkuan Daniel.Delotta menelan ludah ketika melihat wajah Ricko yang merah padam sebelum pria itu berbalik dan bergerak ke sofa penerima tamu di balik ruang kerja Daniel. "Om, gimana ini?" tanya Delotta dengan wajah panik yang tidak bisa dia sembunyikan. "Kamu tenang, oke? Semua akan baik-baik saja," ucap Daniel. Tidak seperti Delotta, wajah pria itu tampak tenang meskipun tidak juga terlihat santai. Boow waktu sudah memercikan api, dan sebentar lagi siap meledak.Daniel membenarkan kembali pakaian Delotta. Lalu menurunkan gadis itu dari pa
Mata biru itu menyorot dengan tatapan menyipit. Dua sikunya bertumpu di meja dengan jari jemari yang saling terkait. Daniel berusaha tidak menampakkan kegusarannya di depan Dave."Om, apa yang terjadi? Mereka bilang Om Ricko datang dan menarik paksa Otta keluar dari kantor," tanya Dave dengan ekspresi tak mengerti. Dia agak kesal karena Daniel malah terlihat santai. "Ya. Karena itu Otta harus membayar pinalti kontrak kerjanya," sahut Daniel. Dia mengurai tautan jemarinya dan menjangkau sebuah map. "Nggak ada yang perlu kamu tahu di sini. Kamu bisa kembali bekerja, Dave." Hening. Dave tidak menyahut, tapi dua tangan di sisi tubuhnya mengepal erat. Dia memberi jeda beberapa saat sebelum bersuara kembali. "Aku nggak tau mesti senang atau sedih. Padahal aku sudah memperingatkan Om buat jauhin Otta. Om Ricko nggak akan pernah membiarkan kalian bersama. Tapi Om tetap tidak tahu diri. Kalau sudah begini yang kasihan Otta."Kegiatan membuka lembar di balik map terhenti seketika. Daniel men