Ibu suri, Nyoya besar, Ibu bos, bunda mulia, dan masih banyak sebutan yang disematkan anak-anak Jagland untuk ibunya. Cantik, tegas, dominan, dan suka mengatur. Meski usianya saat ini sudah masuk pertengahan 70, Margaretha masih terlihat bugar dan siap menjelajah rumah anak-anaknya. Daniel menggigit bibir bingung. Pekerjaan tak membuatnya berhenti memikirkan sang ibu yang kata Prisca akan datang siang ini. Prisca bahkan sudah ada di rumah Marlin, kakak pertama Jagland bersaudara. Dia bilang akan menjemput bersama kakaknya itu ke bandara. Daniel menyahut tanpa menoleh ketika pintu ruangan diketuk. Sandra masuk seraya tersenyum. Membawa setumpuk dokumen yang memerlukan tanda tangan Daniel. "Saya sudah menyiapkan untuk meeting hari ini, Pak. Sudah reservasi tempat juga. Pak Daniel bisa memeriksa ini sebentar sebelum kita berangkat," ucap Sandra lalu meletakkan dokumen itu ke meja. Pintu ruangan diketuk lagi. Namun Daniel bergeming dan lebih memilih menarik dokumen yang barusan Sandra
Delotta menunduk dalam. Tangannya meremas-remas ujung kaus. Bibirnya terus dia gigit lantaran malu dan panik masih berkumpul di kepala. Meski di sebelahnya Daniel terus menenangkan, tapi tidak membuat gadis itu berhenti merasa gelisah. Bagaimana bisa tenang? Dia yang hanya mengenakan busana minim bahan alias bikini tiba-tiba nongol di tengah orang-orang yang berkumpul di halaman belakang. Tidak ada kekonyolan yang lebih memalukan dari itu. Parahnya, di sana ada nenek tua—sori—maksudnya ibunya Daniel juga. Daniel menoleh dan tersenyum lembut. Dia yang duduk di samping Delotta meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. Mata biru itu seolah mengatakan semua baik-baik saja. Sekarang ini keduanya sedang berhadapan dengan Margaretha dan lainnya. Setelah kejadian konyol itu tidak mungkin wanita itu melepas Delotta dan Daniel begitu saja. Acara istirahatnya gagal total. Margaretha perlu tahu siapa gadis yang tiba-tiba muncul di rumah anaknya nyaris bugil. "Jadi? Siapa gadis itu? Apa dia
Sebenarnya Delotta ingin langsung masuk kamar lalu membenamkan diri di bantal dan berharap bisa langsung tidur nyenyak. Tapi semua rencananya berantakan karena Ricko malah menyuruh Dave mampir. Delotta tidak mungkin meninggalkan keduanya, dan membiarkan mereka ngobrol bebas tanpa dia tahu isi obrolannya. Siapa tahu Dave membocorkan tentang hubungannya dengan Daniel? Menyebalkan. "Oh, jadi kamu satu kantor dengan Otta. Kok Otta nggak pernah cerita, ya?" Ricko melirik Delotta, matanya mencelang seolah info itu penting untuk dia tahu. "Ya, sempat satu tim juga sama Otta sebelum saya pindah ke departemen lain." Sumpah Delotta muak melihat Dave bicara santun seperti itu sama Ricko, sementara lelaki itu pada dirinya tidak ada santun-santunnya. "Kamu nggak berniat ngajak Otta balikan?""Pa," tegur Delotta. "Dave masih ada urusan penting. Jadi—""Ada kok, Om. Saya ada niat balikan sama Otta. Apa Om mengizinkan?"Delotta melotot tak terima. Jika bukan karena ada Ricko dia pasti sudah menc
Tidak ada veil yang menjuntai panjang pada gaun pengantin yang Luna kenakan. Dia hanya mengenakan gaun berwarna peach dengan kerah dada rendah yang dihiasi bunga tiga dimensi di bagian dada dan lengan. Dominasi brokat dengan warna keemasan membuat tampilan Luna saat ini begitu elegan. Rambutnya juga ditata rapi dengan hiasan sejumput bunga baby breath di atas sanggulnya. Simpel tapi terlihat mengesankan. Dia berjalan begitu anggun di sisi Ricko yang tampil begitu gagah menuju pelaminan.Delotta menyadari sekarang bahwa sang papa memang tidak tua-tua amat. Sangat wajar jika masih memimpikan pernikahan. Dia ikut tersenyum lebar melihat Ricko tampak berbinar menggandeng istrinya di pelaminan. Ya, keduanya sudah sah menjadi suami istri setengah jam lalu. Di tengah tamu undangan Ricko mengikrarkan janji suci pernikahan keduanya. Acara dilanjutkan dengan resepsi di satu gedung yang sama. Konsep pernikahan sederhana persis seperti yang Luna inginkan. Ricko jelas menawarkan pernikahan di b
Delotta menatap sebal Daniel yang tengah tertawa bersama Ricko. Entah mereka membicarakan apa. Yang menyebalkan setelah berhasil mengoyak make-up dan sedikit gaunnya, pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Mengingat kejadian di kamar itu membuat Delotta refleks menggigit bibir. Itu bukan pertama kalinya Daniel mengajak bercumbu, tapi tetap saja menyisakan perasaan aneh di hati. Bahkan dia masih bisa merinding saat kejadian itu sudah berlalu. Daniel terus mendesaknya sejauh yang Delotta ingat. Lengannya yang kuat dan kokoh mengurungnya. Delotta tidak menyalahkan. Wajahnya terus maju, bibirnya merampas bibir Delotta. Mencecapnya penuh hasrat seolah lama tidak pernah melakukannya. Mungkin benar, sejak kejadian konyol di rumah Daniel waktu itu, mereka memang belum pernah berdekatan lagi secara intim. Daniel lebih banyak memastikan bahwa semua aman dan baik-baik saja. Lalu benturan pekerjaan yang tiada habisnya membuat keduanya seolah tidak ada waktu untuk sekedar bersama. Apalagi,
Luna menyelinap keluar dari kerumunan banyak tamu setelah sebelumnya dia pamit kepada Ricko. Seharian berdiri dan terus tersenyum menyambut tamu membuat tubuhnya agak pegal. Dia hanya ingin ke toilet sebentar untuk mengeluarkan isi kandung kemihnya yang sudah kencang. Dia menuju ke belakang gedung melalui pintu sebelah kiri, lalu berjalan sedikit sebelum berbelok ke sebuah lorong yang menghubungkan ke arah toilet.Namun, tepat ketika dirinya berbelok sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan terlihat. Luna memekik kaget ketika melihat Delotta tengah berciuman dengan Daniel. Dengan Daniel! Iya, dia tidak salah lihat. Luna menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangan. Pemandangan yang dia lihat cukup membuatnya syok. Begini, dia tahu kalau Delotta dan Daniel dekat. Tapi demi Tuhan, Luna tidak berpikir kalau mereka mungkin memiliki hubungan yang lebih intim daripada hanya sekedar dekat. Tapi pria itu Daniel! Astaga!Otak warasnya langsung berpikir, bagaimana kalau Ricko tahu? Ata
Brengsek! Lagi-lagi dia bersikap kurang ajar. Meski terkejut Delotta tidak diam saja. Dengan cepat kesadarannya pulih dan tangannya mendorong lelaki itu menjauh. Posisinya saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Berat tubuhnya terbebankan sepenuhnya di lengan Dave sehingga dia kesulitan untuk bangun dengan benar. Delotta tidak kehilangan akal, dia menarik jas Dave, menjadikannya sebagai tumpuan agar dia bisa berdiri lagi. Ciuman sialan itu terlepas, dan dia berhasil berdiri dengan wajah merah padam. "Brengsek!" makinya mendorong keras dada Dave. "Kamu pikir kamu itu siapa?!" jeritnya tertahan. Meski emosinya meluap-luap Delotta tak ingin menarik perhatian. Bisa saja ada tamu yang melewati lorong ini. "Pacar kamu. Kita belum sepakat putus dulu itu."Delotta menggeram jengkel. Lagi-lagi Dave mengatakan hal konyol. Dasar tidak tahu malu. "Mimpi aja terus kamu!" ujarnya ketus sebelum beranjak meninggalkan Dave. Namun, baru beberapa langkah dia berbalik lagi. Dave bahkan tersenyum s
"Pa! Nggak bisa gitu dong, Pa.""Apanya yang nggak bisa?""Itu namanya papa nyodorin aku ke mulut buaya.""Otta, Dave nggak seperti itu.""Dari mana Papa tau? Papa nggak mengenal dia dengan baik." Ricko mengembuskan napas panjang beberapa kali. Rasa lelah makin bergelayut. Dia tidak ingin berdebat dengan putrinya, tapi Delotta terus saja melayangkan protes karena keputusannya."Izinkan saya antar jemput Delotta tiap hari, Om. Saya akan menjaga sikap." Ricko teringat permintaan Dave waktu mengunjungi rumah sakit. Dia ingin menolak karena bisa saja putrinya melakukan hal lebih dari sekedar mematahkan hidung. Tapi Dave bersikeras. "Saya ingin hubungan saya dengan Delotta bisa kembali seperti dulu. Saya harap Om mengizinkan," ucap Dave lagi dengan wajah penuh permohonan yang akhirnya membuat Ricko mengangguk setuju. Mungkin juga ini sebagai kompensasi, wujud terima kasihnya karena Dave tidak melaporkan Delotta ke pihak berwajib. Sebab saat Ricko datang, dia melihat dua polisi sedang me