"Mah, Bilqis berangkat dulu ada janjian sama temen, kebetulan dia pembaca cerita-ceritaku yang tinggal di kota ini, mo beli novelku," ucapku lalu menarik paksa tangan Mama, beliau sedang duduk di dapur sedang menyiapkan bumbu untuk katering. Lalu kucium punggung tangannya.
"Haduh, cari kerja yang bener, napa Bil, jan cuma liatin hape, nulis novel. Pendidikan kamu nanti sayang nggak kepake," sahut Mama.
"Iya, ini juga sambil usaha nyari kerja, emang susah nyari kerja jaman pandemi gini. Sementara ini mayan lah nulis-nulis cerita di platform biar dapet duit buat jajan."
"Jajaaan mulu yang kamu pikirin. Tuh, kamu urus dulu di kelurahan, bukti kita pindah KK ke sini. Udah lengkap berkasnya, tinggal narok di kelurahan aja. Berkasnya di map, Mama tarok di atas meja makan," ujar Mama.
"Kelurahan? Besok apa, Ma. Kelurahan ke taman Bungkul tuh nggak searah," jawabku.
"Udah jan ngebantah. Pokoknya kamu urus ini ke kelurahan dulu."
Pasrah--nurutin titah Mama, entar kalau aku menolak pasti dikiranya aku anak durhaka. Iya kalau dikutuk jadi batu, kalau dikutuk jadi jomblo?
Kuambil map plastik besar berkancing dari atas meja.
"Bilqis berangkat. Miiikuuum!"
"Salam model apaan, mikum-mikum. Enggak ada artinya itu. Yang bener assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, gitu ...," tandas Mama.
"Walaikum salam, Mama," jawabku cengengesan.
"Bocah! Diajarin orang tua cengengesan," gerutu Mama lalu melempariku bawang putih yang sedang ia kupas. Sedikit memiringkan badanku untuk berkelit agar tak kena lemparan bawang.
"Hahaha ... nggak kena! Bilqis berangkat, yak!"
Mama masih menggerutu tak jelas. Kutinggalkan Mama untuk keluar menuju motor yang aku parkir di carport.
Kunyalakan mesin supaya panas, sementara itu aku membuka pagar.
Setelah itu aku naik ke atas motor dan melaju motorku pelan keluar dari pagar.
Ada beberapa tetangga yang lewat, kusenyumi saja mereka, agar aku terkesan ramah, baik hati tidak sombong dan selalu mengamalkan pancasila dan sepuluh dasa dharma pramuka.
Maklum saja, aku masih baru di kampung ini. Rumah lama dijual untuk menutupi hutang biaya kuliahku juga biaya Bapak sakit yang sekarang sudah meninggal. Lalu sebagaian sisanya kami belikan rumah yang sekarang aku tempati bersama Mama. Meskipun tak sebesar rumah dulu, yang penting nyaman dan Mama nggak kepikiran terus soal hutang.
****
Surabaya ... jangankan siang, masih jam sembilan pagi matahari sudah begitu terik dan menyengat.
Kubetulkan letak maskerku yang agak melorot sambil terus konsentrasi ke jalan, jaman pandemi begini semua makin susah. Bahkan aku baru saja dirumahkan karena pengurangan pegawai di perusahaan.
Aku mengambil jalur putar balik lalu mengambil arah kiri dan aku pun sampai di kantor kelurahan.
Aku menyerahkan amplop tadi pada pegawai kelurahan yang duduk di balik meja setinggi dada orang dewasa pada bagian depan kantor kelurahan.
"Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya cek dulu, nanti kalau ada yang kurang, segera dilengkapi," jelas Mas-mas pegawai kelurahan.
Aku mengangguk dan berdiri di dekat meja.
Sambil menunggu, kulepas sebentar maskerku dan mengambil botol minum yang biasa aku bawa ke mana-mana.
Beberapa tegukan, lumayan membuat basah tenggorokan. Panas banget, Gusti.
Kukibas-kibaskan tangan ke dekat wajahku, agar mengurangi rasa gerah, sambil tengok kanan-kiri memerhatikan ke sekitarku.
Mungkin karena masih pagi kantor kelurahan masih belum seberapa ramai.
"Hei, kamu!" Suara bariton itu membuatku kaget. Beberapa staf kelurahan lantas berdiri dan memberi salam padanya. Mungkin dia lurahnya.
Laki-laki berperawakan tinggi, berseragam PDH warna kakhi lengan pendek, dengan tatanan rambut rapi. Ia memakai masker N-95 lengkap dengan kaca mata hitam. Aku masih melongo melihatnya dengan setengah mendongak karena badannya yang lebih tinggi dari pada aku.
"Kenapa melongo?" tanyanya membuatku tersadar dan menggeleng-geleng pelan mengembalikan ingatanku. Kulihat staf lainnya sudah kembali bekerja.
"Kamu nggak tau ini jaman pandemi. Virus di mana-mana. Kenapa itu masker pindah ke dagu?"
"Abis minum Om, eh, Pak." Dia om-om apa bapak-bapak sih? Tapi jidatnya mulus, glowing amat, ya.
"Mana? Nggak ada! Push up kamu!" perintahnya dengan nada datar.
Kampret! Aku disuruh push-up?
"Enggak!" tolakku.
"Push up, hukuman karena kamu sudah tidak memakai masker!" perintahnya.
"Tapi saya minum. Gimana caranya kalo nggak dibuka."
Lalu ia membuka kacamatanya.
"Ikut saya!" pintanya.
"Ih, enggak. Emang aku cewek apapun."
Terdengar cekikikan dari belakangku, aku menoleh ternyata beberapa staf menahan tawa.
Ah, sial!
"Cepat push up di sana. Kamu sudah melanggar tidak mengenakan masker saat melakukan kegiatan di luar!" perintahnya lagi.
Hiiihhhg! Ngeselin banget. Sepertinya aku dikerjain ini. Mana kelurahan sudah mulai ramai.
Lalu laki-laki berseragam PDH itu mendekat ke meja pegawai kelurahan.
"Ngurus apa, Mbak ini?" tanyanya pelan pada pegawai kelurahan. Aku masih bisa mendengar karena sedikit kumiringkan kepala dan telingaku hampir menempel punggungnya, tapi tak sampai menyentuh, aku menguping dengan konsentrasi penuh.
"Ngurus pindah KK, Pak," jawab pegawai perempuan.
Oh, ternyata bapak-bapak.
Lalu ia melihat berkasku, menarik kertas Kartu Keluarga. Ia baca dengan seksama lalu ia letakkan kembali.
Srettt
Brukkk
Aku terhuyung, hampir jatuh, untung aku bisa seimbangkan tubuhku. Namun, ternyata aku tak jatuh karena tanganku ditahan oleh bapak lurah ini. Eh, dia lurah apa bukan, sih?
Gegas ia melepas pegangan tangannya dan aku pun begitu. Duh.
"Kira-kira, donk kalo muter badan. Badan situ gede, badanku kecil. Muter sembarangan," keluhku sambil menggosok-gosok lenganku.
"Makanya kebiasaan nguping jangan dipelihara, kebiasaan. Itu masker masih belum dipakai kan? Push up kamu!" perintahnya lagi.
Matanya menatap tajam di kedua netraku, sampai bikin salting sampai salto. Eh.
Mmm ... sepertinya aku pernah melihat tatapan mata itu, tapi aku lupa.
Aku menyerah dan melimpir ke pinggir ruangan untuk push-up. Ia masih menungguiku. Aduh, malunya aku.
"Push up 5 kali!"
"Tapi, Pak," sanggahku.
"6 kali."
"Saya--"
"7 kali."
Huft!
Kulakukan saja dari pada bertambah terus hukumannya.
"Bukannya biasa ikut pertandingan pencak silat? Mudahkan cuma push up gitu aja," ujarnya.
Dia tahu aku suka menguping, dia tahu aku ikut kejuaraan pencak silat. Siapa, sih?
Cepat kulakukan push-up sampai tujuh kali dan bangun kembali.
"Bapak penggemar saya, ya? Suka baca novel saya?" tanyaku percaya diri. Enggak papa percaya diri sedikit, sedikit berlebihan maksudnya, hihihi .... Dari pada enggak punya jati diri, yekan?
Dia malah nunjuk bibirku. Apa maksudnya?
"Apaan?" tanyaku.
Ia melihat ke sekitar lalu menunjuk bibirku lagi.
"Jan ngadi-ngadi, bapak minta cium?" tanyaku.
Ia sedikit menunduk lali berbisik, "ada sayur hijau nempel di gigi kamu."
Nyesss.
Kugigit bibirku menahan malu. Wajahku terasa hangat. Astaga!
Aku berbalik badan, mengambil tisu dari tasku dan segera aku bersihkan, dan sungguhan, ada sisa bayam sarapanku tadi pagi.
Aku berbalik badan lagi, ternyata dia masih menunggu.
"Pake maskernya," ujarnya sambil mengamatiku, serius aku penasaran, kubalas dengan menatap matanya, seperti pernah tahu, tapi siapa?
"Siapa, sih?" tanyaku pada akhirnya.
"Pake maskernya, Ayam," ujarnya lalu ia menarik masker hingga menutup sampai hidungku.
Ayam?
Dia manggil aku ayam? Kubetulkan maskerku agar lebih nyaman.
"Pake handsanitizer, kamu abis pegang lantai. Masih suka jorok kan makan tanpa cuci tangan?" tanyanya lagi lalu berbalik menuju ke pintu sebuah ruangan.
Aku ingat siapa yang biasa memanggilku 'Ayam', karena aku fobia dengan Ayam tapi suka makan di mekdi.
"Mas Virzha?" tanyaku.
Langkahnya berhenti. Ia menoleh dan menatapku sekilas.
Mas Virzha mantanku, kami putus karena sebuah kesalahpahaman akibat kebodohanku. Sekarang dia jadi lurah tempatku tinggal?
-----------
Hai teman-teman, salam kenal. Yuk, subscribe dan bintangnya. Makasih, sehat selalu.
Part 2 Laki-laki yang aku duga kuat itu adalah Mas Virzha tak menjawab apa-apa, dan masuk ke ruangan begitu saja. Mungkinkah karena ia masih marah padaku karena kejadian waktu itu. Hais ... kenapa kudu mikirin mantan? Eh, apa iya yang tadi itu Mas Virzha, lah, kalau bukan. Aku kembali duduk di bangku tunggu. Mengirim pesan pada temanku Rani, takutnya ia menungguku. [Ran, masih ngurus KK di kelurahan, nih. Entar kalo aku udah nyampek Taman Bungkul, aku WA lagi, ya?] Send--centang biru. [Iyo, santai, wes. Asal bawain aku es kelapa muda, ya, Bil.] [Elah, Rin-kurin. Udah nggak pake ongkos kirim, dipalak es degan pula.] [Bonus, Bil-kubil.] Tak apalah, timbang aku gagal jual novelku, lumayan bisa diuangkan. Toh, ini juga hasil bukti terbit, jadi buku gratisan gitu dari penerbit. "Mbak," panggil pegawai yang tadi menangani berkasku. Lantas aku berdiri dan berjalan ke arah meja yang tadi. "Iya, sudah jadi?" tanyaku. "Belum, lah, Mbak. Setelah mendapat surat keterangan dari kelur
Part 3 "Bil, kamu sudah cukup usia, duapuluh lima tahun, usia matang untuk menikah. Mama mau kenalin kamu sama anak temen Mama." "Mama mau jodohin Bilqis? Mah, ini bukan jaman siti nurbaya, sekarang tuh jaman korona. Ngapain sih pake dijodohin segala. Kek nggak laku aja. Lagian Bilqis itu sudah ada Ko Erik, hubungan kami serius, Ma," protesku. "Mana ada serius? Pernahkah Erik menemui Mama? Bicara sama Mama? Hanya sekedar ketemuuu aja, pernah? Enggak, Bil." Aku baru sadar juga jika seharian ini Ko Erik tak menghubungiku sama sekali. "Mama keberatan karena masalah RAS?" tanyaku. "Ya, enggak, lah, Nduk. Mama enggak pernah masalah kan RAS. Tapi keseriusan dalam hubungan itu penting." "Tapi nggak harus dijodohin, Ma." "Kamu nggak akan nyesel, Bil." "Soal menyesal atau enggak itu bukan titik masalahnya, Ma. Tapi soal perasaan. Bilqis sayang sama Ko Erik, kami serius." Aku beralih ke ruang tamu setelah meraih ponsel milikku dari meja. Aku duduk di sofa ruang tamu. Rupanya Mama me
Part 4 Aku mendekat ke Mama, hendak ikut duduk di sampingnya. Belum sampai pantat menyentuh sofa. "Eh, kok ikut duduk, tolong sayang keluarin yang tadi, ya," pinta Mama padaku, kubalas dengan anggukan. "Eh, nggak usah repot-repot, Jeeeng. Oiya ... #&@^÷÷:£,#;#^×£,#;-;'×¥÷^÷ " Sekali lagi mereka mengbrol dengan kecepatan petir. Aku menggaruk kepalaku yang tertutup kerudung lalu masuk ke dapur menyiapkan kudapan. Kuambil piring dan menata kue bolu yang sudah dipotong di atasnya, lanjut lemper kujajar juga di piring yang persegi panjang, lalu beberapa kudapan kering semacam sus kering isi coklat yang dimasukkan ke toples. Di rumah selalu menyetok kue kering, Mama yang buat sendiri untuk dijual lagi. Biasanya aku bagian yang packaging, kalau meracik resep dan lain-lain aku tak sanggup setelaten Mama. Kemudian kubuka kulkas mengambil batu es dan mencampurnya dengan buah yang sudah kutambahi dengan air gula dan susu sebelumnya. Semua sudah siap, tinggal mengambil gelas yang masih
Part 5"Balik dulu, ya, Jeeeng. Assalamualaikum ...," ucap Tante Laila dengan tangan melambai di balik kaca mobilnya yang diturunkan separuh, Tante Laila duduk di belakang jok sopir."Wa alaikum salam. Ati-ati," jawab Mama.Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada Tante Laila. Lalu mataku spontan beralih pada sopir mobil Tante Laila, Mas Virzha maksudnya, ia yang ternyata sedang menatapku.Kubalas dengan serangan tatapan lurus tepat di matanya pula. Eh, malah melengos ngadep ke depan. Dasar, mantan!Mobil pun berlalu, aku dan Mama masuk kembali ke dalam rumah."Gimana, Bil? Guanteng pol kan? Sudah digas aja," ujar Mama sembari meringkas piring-piring bekas kue yang tidak dimakan lalu menumpuk beberapa piring kosong menjadi satu."Biasa aja. Ganteng kan relatif, Ma," ujarku penuh dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan."Hilih! Bantuin bersihin ini, Bil," perintah Mama lagi. Aku mengambili gelas bekas es buah."Ya kan bener. Ganteng itu tergantung sudut pandang
Part 6KlekkkPintu ruangan Ko Erik dibuka."Balik dulu ya, Ko," pamit seseorang yang keluar dari ruangan Ko Erik. "Oke, ati-ati, ya. Nanti kuhubungi ae, kalo ada retur," jawab Ko Erik. Seorang perempuan dengan baju seksi, membawa setumpuk map di tangannya. Rambut bergelombang warna pirang sebahu, bibir bergincu merah menggoda. Kakinya yang jenjang tampak cantik dibalut rok span sepaha.Ia berjalan di depanku lalu tersenyum ramah, kubalas senyum datar. Siapa sih dia?Lalu aku berdiri dan mendekat ke pintu ruangan Ko Erik. Tok tok tok"Masuk!" jawabnya.Aku menghela napas, rasa deg-degan karena lama tak ketemu membuatku gerogi setengah mati.Terakhir aku ketemu kira-kira delapan bulan yang lalu, itu pun aku yang datang ke Jogja karena ada undangan pernikahan Elia, teman kampusku dulu.Kubuka pintu dan masuk. Ko Erik masih sibuk di depan laptopnya, matanya tak beralih sama sekali, terus menatap layarnya."Sore ...," sapaku lalu melepaskan maskerku.Ko Erik tampaknya terkejut dan meng