Part 2
Laki-laki yang aku duga kuat itu adalah Mas Virzha tak menjawab apa-apa, dan masuk ke ruangan begitu saja. Mungkinkah karena ia masih marah padaku karena kejadian waktu itu.
Hais ... kenapa kudu mikirin mantan? Eh, apa iya yang tadi itu Mas Virzha, lah, kalau bukan.
Aku kembali duduk di bangku tunggu. Mengirim pesan pada temanku Rani, takutnya ia menungguku.
[Ran, masih ngurus KK di kelurahan, nih. Entar kalo aku udah nyampek Taman Bungkul, aku WA lagi, ya?]
Send--centang biru.
[Iyo, santai, wes. Asal bawain aku es kelapa muda, ya, Bil.]
[Elah, Rin-kurin. Udah nggak pake ongkos kirim, dipalak es degan pula.]
[Bonus, Bil-kubil.]
Tak apalah, timbang aku gagal jual novelku, lumayan bisa diuangkan. Toh, ini juga hasil bukti terbit, jadi buku gratisan gitu dari penerbit.
"Mbak," panggil pegawai yang tadi menangani berkasku.
Lantas aku berdiri dan berjalan ke arah meja yang tadi.
"Iya, sudah jadi?" tanyaku.
"Belum, lah, Mbak. Setelah mendapat surat keterangan dari kelurahan, segera ke kecamatan untuk mendapatkan tanda tangan dan stempel, ya, Mbak. Kemudian datang ke Disdukcapil, biasanya pada proses pengurusan ini e-KTP lama akan ditarik demi mencegah adanya identitas dobel," jelas pegawai itu.
"Ribet ya, Mas. Kek makan kuaci pake sumpit. Susah, hehehe ...," sahutku asal.
"Ya namanya ngurus domisili, Mbak. Kan seumur hidup, kecuali nanti Mbak nikah, terus pindah domisili lagi," kata pegawai itu.
"Hehehe ... nikah, ya, hehehe ...," sambutku cengengesan.
"Kenapa? Belum ada calonnya ya, Mbak? Boleh kalo sama saya," goda pegawai keluarahan.
"Sudah ada, sekarang proses, Mas."
"Udah proses pengajuan nikah ya, Mbak?"
"Bukan, proses memperbaiki diri, hihihi ...."
"Si Mbak nih, bisa aja. Buruan nikah, keburu abis stok buku nikahnya," sahut mas-mas pegawai kelurahan itu.
"Tenang, saya sudah nyimpen stok banyak," timpalku.
"Stok apa, buku nikah, Mbak?"
"Bukan, stok sabar ngadepin mulut lemes kek kamu, Mas. Duh, maapkeun kelepasan, Mas," sahutku.
Ia menghempaskan map di meja dengan kencang. Teman perempuan di sebelahnya ikut tertawa cekikikan.
"Makasih," pungkasku lalu mengambil berkas dan berlalu keluar.
Mau mengambil helem dari motorku, tapi mataku menangkap penjual cilok bumbu kacang.
Uwow.
Kuletakkan lagi helem dan mendekat pada kang Cilok.
"Pak Ciloknya marebu, sambelnya banyakin, jan pelit-pelit," ucapku.
"Iya, Mbak."
Lumayan ini bisa mengganjal perut supaya tidak kelaparan sampai pengurusan pindah KK selesai.
Tukang cilok cekatan mengambilkan cilok, lalu disiram dengan bumbu kacang yang aduhai. Sambalnya dibanyakin pula.
Kuambil uang dari tas lalu mengulurkan ke tukang cilok, membayar cilok yang sudah siap--dibungkus dengan plastik.
Sruuuttt
Aku terkejut, ada yang merebut sebungkus cilok milikku.
Sontak aku menoleh.
"Susah banget diingetin, sekarang itu beda, virus lagi santer-santernya, pakai HS dulu aja berat banget," ucapnya datar seraya menyodorkan handsaintizer ke depan wajahku.
"Siang, Pak Lurah," sapa Tukang Cilok.
"Nggih, Pak," sahutnya.
Eh, beneran dia Lurah.
"Mas Virzha kan?" tanyaku lagi tapi tak dijawabnya.
"Bawa HS ke mana-mana, jan sembarangan makan nggak cuci tangan," tegasnya kemudian bungkusan cilok dikembalikan padaku bersamaan dengan handsaintizer ukuran mini.
Lalu ia berbalik badan, hendak pergi.
"Eh, eh, Mas. Jan pergi dulu," kataku sambil menarik tangannya.
Ia menoleh lalu menatap tajam padaku, aku tak bisa melihat wajahnya secara menyeluruh karena masker yang menutupi sebagian wajahnya.
Kini matanya pindah tertuju ke tangannya, aku ikut menatap tanganku yang ternyata sedang memegang tangannya.
Astagfirullah.
Segera kulepaskan.
Kutelisik dengan menatap matanya lebih intens.
"Ngapain liat-liat?" tanyanya membuatku terkesiap.
"Enggak, biasa aja," jawabku santai. Tak dibalasnya lagi kalimatku dan ia berbalik badan menjauhiku. "Masih suka makan wortel mentah, Mas?" tanyaku spontan.
Langkahnya langsung berhenti. Mas Virzha dulu seingetku suka makan wortel mentah dengan alasan supaya matanya sehat dan bisa masuk ke pendidikan militer.
Eh, dia malah jalan, kabur lagi.
"Ini handsaintizernya, Mas, ketinggalan!" seruku, berharap dia berhenti dan membuka maskernya. Aku masih penasaran, apa betul dia Mas Virzha.
"Ambil!" jawabnya lalu ia mendekat ke sebuah mobil dan masuk ke dalamnya. Tak lama kemudian ia memacu mobil itu sampai keluar dari halaman kantor kelurahan ini.
Kulihati handsaintizer di tanganku lalu membuka tutupnya. Setelah memakai cairan penyeteril ini ponsel milikku malah berbunyi. Gagal lagi makan cilok.
Kurogoh ponsel dari tasku, ternyata nama Mama yang tampak di layarnya.
"Assalamualaikum, Bu Parvati, selamat siang dengan Bilqis ada yang bisa saya bantu?"
"Waalaikum salam. Kubanting mau? Buruan pulang, Mama butuh bantuan."
"Ya Alloh, Maaah. Ini badan cuman satu, suruh ke kelurahan, sekarang suruh pulang, masih panjang, Ma, belum ke kecamatan juga. Urusan Bilqis juga belum beres," protesku.
"Gampang besok Mama urusin. Mau kucoret dari KK?"
"Boleh, aku bakalan pindah KK sama Reza Rahardian. Hahaha ...," selorohku.
"Buruan pulang, sekarang!"
"Iya, iya ... tapi Bilqis nganterin buku bentar, kasian Rani udah nungguin, Ma," jelasku.
"Entar nongkrong kalo tujuanmu ke Bungkul."
"Enggaaak. Kan Rina masih jam kerja, kantornya deket Bungkul situ."
"Iya, tapi jan lama-lama. Mama butuh bantuanmu!"
"Iya, beres. Asal ada duit capek aja."
"Beres! Jamin bakalan ilang capekmu," jawab Mama, tapi aku jadi curiga.
"Ada apaan, sih, Ma?" tanyaku.
"Ada pokoknya. Udah, ya. Assalamualaikum!"
Sambungan telepon pun segera ditutup tanpa menunggu jawaban salam dariku. Mama terkadang suka aneh.
Kutemui Rani di depan kantornya lalu memberikan novel pesanannya plus es kelapa muda requestnya dan segera pulang sesuai perintah Ndoro Kanjeng.
Terkadang membuat orang tua bahagia itu tidak perlu muluk-muluk, sekedar menetapi apa yang ia inginkan seperti pulang cepat, membelikan sesuatu apa yang ia butuhkan tanpa minta, aku yakin itu sudah membuatnya senang.
Mamaku adalah keluargaku satu-satunya. Ia yang banting tulang demi membuatku lulus menjadi sarjana.
Aku sayang Mama.
****
"Assalamualaikum, Mama, yuhuuu!" pekikku saat aku sudah berada di ruang tamu. Kuletakkan map berkas mengurus KK dan juga tasku di meja depan kamar.
"Wa alaikum salam. Bil, bantuin mama bikin adonan kue, sambil kamu sambi suwirin ayam buat lemper," jelas Mama tanpa jeda.
"Cie, ada pesenan, ya?" tanyaku.
"Bukan."
"Lha, terus?"
"Udah, cepetan, cuci tangan sama kaki dulu, ganti bajumu. Serem tuh abis dari jalan, jaman pandemi begini banyak virus, Bil."
"Iya, virus-virus cinta," sahutku.
"Ih, dasar bocah bucin."
***
Seusai membersihkan diri dan berganti pakaian andalan saat di rumah--babydoll lengan pendek, sederhana tapi nyaman, gegas aku bantu Mama membuat adonan bolu kukus, semua bahan sudah disiapkan Mama, aku tinggal tuang-tuang saja, menunggu adonan naik, aku pun menyobek kecil-kecil daging ayam untuk isian lemper.
Setelah selesai masih lanjut mengupasi buah untuk es buah.
"Banyak banget, mau ada tamu, Mah?" tanyaku.
"Iya, sahabat Mama. Udah buruan kamu selesaikan. Udah ashar ini," ucap Mama lagi.
*****
Semua persiapan sudah selesai, aku mandi dan bersiap-siap setelah menunaikan salat magrib.
Kali ini kukenakan celana berbahan jin yang tidak terlalu ketat kupadu dengan atasan blus longgar bermotif polkadot warna baby pink, sedangkan kerudung kupilih warna yang hampir sama, pink soft. Agak ribet, ya. Ya begitulah kira-kira.
Lalu kububuhkan bedak tipis-tipis ke wajahku, dan mengulas bibir dengan sentuhan lipstik warna nude pink.
Kemudian kubantu Mama menata hidangan di dapur.
"Eh, anak Mama. Masyallah, cantik banget. Yakin calon kamu bakalan langsung jatuh cinta," ujar Mama.
Tanganku jadi berhenti mengelap piring.
"Maksud Mama?" tanyaku.
-------------
Jangan lupa dibintangin yuuuk. Sehat-sehat yaaa.
Part 3 "Bil, kamu sudah cukup usia, duapuluh lima tahun, usia matang untuk menikah. Mama mau kenalin kamu sama anak temen Mama." "Mama mau jodohin Bilqis? Mah, ini bukan jaman siti nurbaya, sekarang tuh jaman korona. Ngapain sih pake dijodohin segala. Kek nggak laku aja. Lagian Bilqis itu sudah ada Ko Erik, hubungan kami serius, Ma," protesku. "Mana ada serius? Pernahkah Erik menemui Mama? Bicara sama Mama? Hanya sekedar ketemuuu aja, pernah? Enggak, Bil." Aku baru sadar juga jika seharian ini Ko Erik tak menghubungiku sama sekali. "Mama keberatan karena masalah RAS?" tanyaku. "Ya, enggak, lah, Nduk. Mama enggak pernah masalah kan RAS. Tapi keseriusan dalam hubungan itu penting." "Tapi nggak harus dijodohin, Ma." "Kamu nggak akan nyesel, Bil." "Soal menyesal atau enggak itu bukan titik masalahnya, Ma. Tapi soal perasaan. Bilqis sayang sama Ko Erik, kami serius." Aku beralih ke ruang tamu setelah meraih ponsel milikku dari meja. Aku duduk di sofa ruang tamu. Rupanya Mama me
Part 4 Aku mendekat ke Mama, hendak ikut duduk di sampingnya. Belum sampai pantat menyentuh sofa. "Eh, kok ikut duduk, tolong sayang keluarin yang tadi, ya," pinta Mama padaku, kubalas dengan anggukan. "Eh, nggak usah repot-repot, Jeeeng. Oiya ... #&@^÷÷:£,#;#^×£,#;-;'×¥÷^÷ " Sekali lagi mereka mengbrol dengan kecepatan petir. Aku menggaruk kepalaku yang tertutup kerudung lalu masuk ke dapur menyiapkan kudapan. Kuambil piring dan menata kue bolu yang sudah dipotong di atasnya, lanjut lemper kujajar juga di piring yang persegi panjang, lalu beberapa kudapan kering semacam sus kering isi coklat yang dimasukkan ke toples. Di rumah selalu menyetok kue kering, Mama yang buat sendiri untuk dijual lagi. Biasanya aku bagian yang packaging, kalau meracik resep dan lain-lain aku tak sanggup setelaten Mama. Kemudian kubuka kulkas mengambil batu es dan mencampurnya dengan buah yang sudah kutambahi dengan air gula dan susu sebelumnya. Semua sudah siap, tinggal mengambil gelas yang masih
Part 5"Balik dulu, ya, Jeeeng. Assalamualaikum ...," ucap Tante Laila dengan tangan melambai di balik kaca mobilnya yang diturunkan separuh, Tante Laila duduk di belakang jok sopir."Wa alaikum salam. Ati-ati," jawab Mama.Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada Tante Laila. Lalu mataku spontan beralih pada sopir mobil Tante Laila, Mas Virzha maksudnya, ia yang ternyata sedang menatapku.Kubalas dengan serangan tatapan lurus tepat di matanya pula. Eh, malah melengos ngadep ke depan. Dasar, mantan!Mobil pun berlalu, aku dan Mama masuk kembali ke dalam rumah."Gimana, Bil? Guanteng pol kan? Sudah digas aja," ujar Mama sembari meringkas piring-piring bekas kue yang tidak dimakan lalu menumpuk beberapa piring kosong menjadi satu."Biasa aja. Ganteng kan relatif, Ma," ujarku penuh dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan."Hilih! Bantuin bersihin ini, Bil," perintah Mama lagi. Aku mengambili gelas bekas es buah."Ya kan bener. Ganteng itu tergantung sudut pandang
Part 6KlekkkPintu ruangan Ko Erik dibuka."Balik dulu ya, Ko," pamit seseorang yang keluar dari ruangan Ko Erik. "Oke, ati-ati, ya. Nanti kuhubungi ae, kalo ada retur," jawab Ko Erik. Seorang perempuan dengan baju seksi, membawa setumpuk map di tangannya. Rambut bergelombang warna pirang sebahu, bibir bergincu merah menggoda. Kakinya yang jenjang tampak cantik dibalut rok span sepaha.Ia berjalan di depanku lalu tersenyum ramah, kubalas senyum datar. Siapa sih dia?Lalu aku berdiri dan mendekat ke pintu ruangan Ko Erik. Tok tok tok"Masuk!" jawabnya.Aku menghela napas, rasa deg-degan karena lama tak ketemu membuatku gerogi setengah mati.Terakhir aku ketemu kira-kira delapan bulan yang lalu, itu pun aku yang datang ke Jogja karena ada undangan pernikahan Elia, teman kampusku dulu.Kubuka pintu dan masuk. Ko Erik masih sibuk di depan laptopnya, matanya tak beralih sama sekali, terus menatap layarnya."Sore ...," sapaku lalu melepaskan maskerku.Ko Erik tampaknya terkejut dan meng
"Mah, Bilqis berangkat dulu ada janjian sama temen, kebetulan dia pembaca cerita-ceritaku yang tinggal di kota ini, mo beli novelku," ucapku lalu menarik paksa tangan Mama, beliau sedang duduk di dapur sedang menyiapkan bumbu untuk katering. Lalu kucium punggung tangannya. "Haduh, cari kerja yang bener, napa Bil, jan cuma liatin hape, nulis novel. Pendidikan kamu nanti sayang nggak kepake," sahut Mama. "Iya, ini juga sambil usaha nyari kerja, emang susah nyari kerja jaman pandemi gini. Sementara ini mayan lah nulis-nulis cerita di platform biar dapet duit buat jajan." "Jajaaan mulu yang kamu pikirin. Tuh, kamu urus dulu di kelurahan, bukti kita pindah KK ke sini. Udah lengkap berkasnya, tinggal narok di kelurahan aja. Berkasnya di map, Mama tarok di atas meja makan," ujar Mama. "Kelurahan? Besok apa, Ma. Kelurahan ke taman Bungkul tuh nggak searah," jawabku. "Udah jan ngebantah. Pokoknya kamu urus ini ke kelurahan dulu." Pasrah--nurutin titah Mama, entar kalau aku menolak pasti
Part 6KlekkkPintu ruangan Ko Erik dibuka."Balik dulu ya, Ko," pamit seseorang yang keluar dari ruangan Ko Erik. "Oke, ati-ati, ya. Nanti kuhubungi ae, kalo ada retur," jawab Ko Erik. Seorang perempuan dengan baju seksi, membawa setumpuk map di tangannya. Rambut bergelombang warna pirang sebahu, bibir bergincu merah menggoda. Kakinya yang jenjang tampak cantik dibalut rok span sepaha.Ia berjalan di depanku lalu tersenyum ramah, kubalas senyum datar. Siapa sih dia?Lalu aku berdiri dan mendekat ke pintu ruangan Ko Erik. Tok tok tok"Masuk!" jawabnya.Aku menghela napas, rasa deg-degan karena lama tak ketemu membuatku gerogi setengah mati.Terakhir aku ketemu kira-kira delapan bulan yang lalu, itu pun aku yang datang ke Jogja karena ada undangan pernikahan Elia, teman kampusku dulu.Kubuka pintu dan masuk. Ko Erik masih sibuk di depan laptopnya, matanya tak beralih sama sekali, terus menatap layarnya."Sore ...," sapaku lalu melepaskan maskerku.Ko Erik tampaknya terkejut dan meng
Part 5"Balik dulu, ya, Jeeeng. Assalamualaikum ...," ucap Tante Laila dengan tangan melambai di balik kaca mobilnya yang diturunkan separuh, Tante Laila duduk di belakang jok sopir."Wa alaikum salam. Ati-ati," jawab Mama.Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada Tante Laila. Lalu mataku spontan beralih pada sopir mobil Tante Laila, Mas Virzha maksudnya, ia yang ternyata sedang menatapku.Kubalas dengan serangan tatapan lurus tepat di matanya pula. Eh, malah melengos ngadep ke depan. Dasar, mantan!Mobil pun berlalu, aku dan Mama masuk kembali ke dalam rumah."Gimana, Bil? Guanteng pol kan? Sudah digas aja," ujar Mama sembari meringkas piring-piring bekas kue yang tidak dimakan lalu menumpuk beberapa piring kosong menjadi satu."Biasa aja. Ganteng kan relatif, Ma," ujarku penuh dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan."Hilih! Bantuin bersihin ini, Bil," perintah Mama lagi. Aku mengambili gelas bekas es buah."Ya kan bener. Ganteng itu tergantung sudut pandang
Part 4 Aku mendekat ke Mama, hendak ikut duduk di sampingnya. Belum sampai pantat menyentuh sofa. "Eh, kok ikut duduk, tolong sayang keluarin yang tadi, ya," pinta Mama padaku, kubalas dengan anggukan. "Eh, nggak usah repot-repot, Jeeeng. Oiya ... #&@^÷÷:£,#;#^×£,#;-;'×¥÷^÷ " Sekali lagi mereka mengbrol dengan kecepatan petir. Aku menggaruk kepalaku yang tertutup kerudung lalu masuk ke dapur menyiapkan kudapan. Kuambil piring dan menata kue bolu yang sudah dipotong di atasnya, lanjut lemper kujajar juga di piring yang persegi panjang, lalu beberapa kudapan kering semacam sus kering isi coklat yang dimasukkan ke toples. Di rumah selalu menyetok kue kering, Mama yang buat sendiri untuk dijual lagi. Biasanya aku bagian yang packaging, kalau meracik resep dan lain-lain aku tak sanggup setelaten Mama. Kemudian kubuka kulkas mengambil batu es dan mencampurnya dengan buah yang sudah kutambahi dengan air gula dan susu sebelumnya. Semua sudah siap, tinggal mengambil gelas yang masih
Part 3 "Bil, kamu sudah cukup usia, duapuluh lima tahun, usia matang untuk menikah. Mama mau kenalin kamu sama anak temen Mama." "Mama mau jodohin Bilqis? Mah, ini bukan jaman siti nurbaya, sekarang tuh jaman korona. Ngapain sih pake dijodohin segala. Kek nggak laku aja. Lagian Bilqis itu sudah ada Ko Erik, hubungan kami serius, Ma," protesku. "Mana ada serius? Pernahkah Erik menemui Mama? Bicara sama Mama? Hanya sekedar ketemuuu aja, pernah? Enggak, Bil." Aku baru sadar juga jika seharian ini Ko Erik tak menghubungiku sama sekali. "Mama keberatan karena masalah RAS?" tanyaku. "Ya, enggak, lah, Nduk. Mama enggak pernah masalah kan RAS. Tapi keseriusan dalam hubungan itu penting." "Tapi nggak harus dijodohin, Ma." "Kamu nggak akan nyesel, Bil." "Soal menyesal atau enggak itu bukan titik masalahnya, Ma. Tapi soal perasaan. Bilqis sayang sama Ko Erik, kami serius." Aku beralih ke ruang tamu setelah meraih ponsel milikku dari meja. Aku duduk di sofa ruang tamu. Rupanya Mama me
Part 2 Laki-laki yang aku duga kuat itu adalah Mas Virzha tak menjawab apa-apa, dan masuk ke ruangan begitu saja. Mungkinkah karena ia masih marah padaku karena kejadian waktu itu. Hais ... kenapa kudu mikirin mantan? Eh, apa iya yang tadi itu Mas Virzha, lah, kalau bukan. Aku kembali duduk di bangku tunggu. Mengirim pesan pada temanku Rani, takutnya ia menungguku. [Ran, masih ngurus KK di kelurahan, nih. Entar kalo aku udah nyampek Taman Bungkul, aku WA lagi, ya?] Send--centang biru. [Iyo, santai, wes. Asal bawain aku es kelapa muda, ya, Bil.] [Elah, Rin-kurin. Udah nggak pake ongkos kirim, dipalak es degan pula.] [Bonus, Bil-kubil.] Tak apalah, timbang aku gagal jual novelku, lumayan bisa diuangkan. Toh, ini juga hasil bukti terbit, jadi buku gratisan gitu dari penerbit. "Mbak," panggil pegawai yang tadi menangani berkasku. Lantas aku berdiri dan berjalan ke arah meja yang tadi. "Iya, sudah jadi?" tanyaku. "Belum, lah, Mbak. Setelah mendapat surat keterangan dari kelur
"Mah, Bilqis berangkat dulu ada janjian sama temen, kebetulan dia pembaca cerita-ceritaku yang tinggal di kota ini, mo beli novelku," ucapku lalu menarik paksa tangan Mama, beliau sedang duduk di dapur sedang menyiapkan bumbu untuk katering. Lalu kucium punggung tangannya. "Haduh, cari kerja yang bener, napa Bil, jan cuma liatin hape, nulis novel. Pendidikan kamu nanti sayang nggak kepake," sahut Mama. "Iya, ini juga sambil usaha nyari kerja, emang susah nyari kerja jaman pandemi gini. Sementara ini mayan lah nulis-nulis cerita di platform biar dapet duit buat jajan." "Jajaaan mulu yang kamu pikirin. Tuh, kamu urus dulu di kelurahan, bukti kita pindah KK ke sini. Udah lengkap berkasnya, tinggal narok di kelurahan aja. Berkasnya di map, Mama tarok di atas meja makan," ujar Mama. "Kelurahan? Besok apa, Ma. Kelurahan ke taman Bungkul tuh nggak searah," jawabku. "Udah jan ngebantah. Pokoknya kamu urus ini ke kelurahan dulu." Pasrah--nurutin titah Mama, entar kalau aku menolak pasti