Part 6
Klekkk
Pintu ruangan Ko Erik dibuka.
"Balik dulu ya, Ko," pamit seseorang yang keluar dari ruangan Ko Erik.
"Oke, ati-ati, ya. Nanti kuhubungi ae, kalo ada retur," jawab Ko Erik.
Seorang perempuan dengan baju seksi, membawa setumpuk map di tangannya. Rambut bergelombang warna pirang sebahu, bibir bergincu merah menggoda. Kakinya yang jenjang tampak cantik dibalut rok span sepaha.
Ia berjalan di depanku lalu tersenyum ramah, kubalas senyum datar. Siapa sih dia?
Lalu aku berdiri dan mendekat ke pintu ruangan Ko Erik.
Tok tok tok
"Masuk!" jawabnya.
Aku menghela napas, rasa deg-degan karena lama tak ketemu membuatku gerogi setengah mati.
Terakhir aku ketemu kira-kira delapan bulan yang lalu, itu pun aku yang datang ke Jogja karena ada undangan pernikahan Elia, teman kampusku dulu.
Kubuka pintu dan masuk. Ko Erik masih sibuk di depan laptopnya, matanya tak beralih sama sekali, terus menatap layarnya.
"Sore ...," sapaku lalu melepaskan maskerku.
Ko Erik tampaknya terkejut dan mengalihkan pandangannya padaku.
"Bie? Kamu?" Ko Erik berdiri dan berjalan mendekat padaku. Kini kami berdiri dengan jarak beberapa senti saja.
Ia tarik diriku dalam pelukannya.
"Aku kangen kamu, Bie," ucap Ko Erik. Kubalas mengusap punggungnya.
"Kangen tapi nggak mau nyamperin. Kangen kok ngilang. Udah kek buronan polisi aja kamu," jawabku.
"Koko sibuk, Sayang." Tanpa melepas pelukannya Ko Erik mencium pipiku.
Kuurai paksa pelukannya.
"Siapa perempuan tadi? Akrab banget, minta sumbangan?"
"Hahaha ... bukan, Sayang, dia kepala marketing produk elektronik merek lokal. Kapan berangkat? Kok, nggak ngabarin?"
"Pagi tadi, buat kejutan."
"Capek ya, perjalanan panjang?" Kedua pipiku dibingkai dengan telapak tangan Ko Erik.
"Ko ... ini kesempatan, ajak aku ke orang tua koko sekarang. Aku ingin jelas soal status hubungan kita," ucapku tanpa basa-basi, tangan Ko Erik gegas ia turunkan.
"Enggak. Enggak, sekarang, Bie, lagi pula status kita jelas berpacaran, apalagi? Tunggu aja sampai waktu yang tepat untuk ketemu keluargaku."
"Nunggu apa? Nunggu sampai badanku terasa lemes, bibir pecah-pecah, tenggorokan sakit, kepala pusing karena keracunan janji manis?" sahutku.
"Ya enggak gitu. Sini," ajak Ko Erik, menggiringku untuk duduk di sofa depan meja kerjanya.
Kulepas tas ranselku dan duduk di sofa itu, begitu pun Ko Erik yang ikut duduk di sampingku dan menggengam tanganku.
"Aku harus menjelaskan sama orang tuaku pelan-pelan."
"Sudah dicoba?" tanyaku.
"Sudah."
"Apa?"
"Ya ada, Bie."
"Ko, aku nggak main-main, kalo kamu main-main jan pake rasa. Bakalan bikin sakit nantinya."
Kedua tanganku didekatkan ke dadanya. Matanya menatap lekat padaku.
"Bie, bisa nggak sekali aja, kita nggak bahas perbedaan yang jadi jurang hubungan kita. Aku kangen sama kamu," ujar Ko Erik.
"Kalo nggak mau ada jurang, yang diuruk pake usaha, kamu kenalin aku ke orang tua kamu, jelasin perbedaan ini bukan pemisah, kita ngomong sama mereka."
"Bie ... plisss." Kepala Ko Erik semakin mendekat. Napasnya terasa hangat mendera pori-pori wajahku.
Tangan kanan Ko Erik pindah ke belakang kepalaku. Di usapnya kepalaku yang terbungkus rapat dengan kerudung.
"Koko mau ngapain?"
"Enggak, aku kangen. Kita jalanin aja, dulu."
"Ko ...."
"Bie ...."
Cup!
Seketika wajahku memanas, ketika bibirnya menyentuh bibirku. Aku ingin menghindar, tapi kepalaku ditahan oleh Ko Erik.
Aku memejam, toh, sebenarnya aku juga rindu. Kucengkram kemeja Ko Erik pada bagian pinggangnya.
Klekkk
"Erikkk!"
Gelapagapan aku dan Ko Erik dibuatnya, kami yang semula bertautan bibir auto menarik diri--menjauh.
Seorang perempuan berkulit putih, dengan mata sipit, pipinya yang merona menambah ayunya meskipun kuyakini usianya tak lagi muda.
"Mamah?" ucap Ko Erik.
"Ini, toko, kalian pakai apa ini, ha?" Aku berdiri begitupun dengan Ko Erik. "Eiy, kamu, Mbak. Ngapain kamu di sini? Ini tempat usaha, kalian buat begituan? Astaga ...," sambungnya sambil menggeleng-geleng.
Aku malu setengah mati, pasti Mama Ko Erik berpikiran yang tidak-tidak tentang aku.
"Sa-saya ... sebenarnya--"
"Kalian pacaran?" tanya Mama Ko Erik dengan berkacak pinggang.
"Belum, Ma. Kami memang dekat, aku bisa jelaskan. Kami ingin--"
"Koh!" potongku. Tak percaya rasanya, kenapa Ko Erik harus berbohong dan menutupi hubungan ini lagi.
"Bentar, Bie," ucap Ko Erik lalu mendekat ke Mamanya, mengajak Mamanya untuk menjauh dariku menuju ke ujung ruangan ini.
"Siapa dia? Jelasin sama Mama, atau papa kamu tau dan semua jadi runyam. Siapa dia?" tanya Mama Ko Erik.
"Kami ingin menjalin hubungan lebih serius, Ma."
"Erik, kamu tau kepercayaan kita apa? Kepercayaan dia apa? Keturunan kita apa? Keturunan dia apa?"
"Kenapa jadi nyinggung RAS, sih, Ma?" sanggah Ko Erik.
"Bukan masalah RAS, tapi keluarga besar kita? Mana mungkin Akong, A-mah, Kong-kong, Pho-pho, Shu-shu, setuju. Kamu siap menghadapi mereka semua?"
"Tapi sekarang sudah banyak yang menikah campuran RAS, nggak papa, Mah," ucap Ko Erik.
"Itu keluarga lain, bukan keluarga kita. Selesaikan hubunganmu sekarang, sebelum yang lain tau, Erik. Terlalu sulit menyatukan perbedaan kita."
Lalu Mama Ko Erik mendekat padaku.
"Mbak, tolong. Jangan membentuk hubungan dengan Erik yang pada akhirnya menjadi duri. Saya rasa Mbak juga paham. Biarkan Erik bahagia tanpa kamu, oke," tegas Mama Ko Erik lalu keluar dari ruangan.
Aku terdiam saling bersitatap dengan lelaki di depanku itu, ia sama membekunya denganku.
Aku berjalan keluar dari ruangan ini, berharap Ko Erik mencegahku. Meskipun nyatanya sampai keluar dari toko ini tak ada suara Ko Erik yang menyebut namaku.
"Mah, Bilqis berangkat dulu ada janjian sama temen, kebetulan dia pembaca cerita-ceritaku yang tinggal di kota ini, mo beli novelku," ucapku lalu menarik paksa tangan Mama, beliau sedang duduk di dapur sedang menyiapkan bumbu untuk katering. Lalu kucium punggung tangannya. "Haduh, cari kerja yang bener, napa Bil, jan cuma liatin hape, nulis novel. Pendidikan kamu nanti sayang nggak kepake," sahut Mama. "Iya, ini juga sambil usaha nyari kerja, emang susah nyari kerja jaman pandemi gini. Sementara ini mayan lah nulis-nulis cerita di platform biar dapet duit buat jajan." "Jajaaan mulu yang kamu pikirin. Tuh, kamu urus dulu di kelurahan, bukti kita pindah KK ke sini. Udah lengkap berkasnya, tinggal narok di kelurahan aja. Berkasnya di map, Mama tarok di atas meja makan," ujar Mama. "Kelurahan? Besok apa, Ma. Kelurahan ke taman Bungkul tuh nggak searah," jawabku. "Udah jan ngebantah. Pokoknya kamu urus ini ke kelurahan dulu." Pasrah--nurutin titah Mama, entar kalau aku menolak pasti
Part 2 Laki-laki yang aku duga kuat itu adalah Mas Virzha tak menjawab apa-apa, dan masuk ke ruangan begitu saja. Mungkinkah karena ia masih marah padaku karena kejadian waktu itu. Hais ... kenapa kudu mikirin mantan? Eh, apa iya yang tadi itu Mas Virzha, lah, kalau bukan. Aku kembali duduk di bangku tunggu. Mengirim pesan pada temanku Rani, takutnya ia menungguku. [Ran, masih ngurus KK di kelurahan, nih. Entar kalo aku udah nyampek Taman Bungkul, aku WA lagi, ya?] Send--centang biru. [Iyo, santai, wes. Asal bawain aku es kelapa muda, ya, Bil.] [Elah, Rin-kurin. Udah nggak pake ongkos kirim, dipalak es degan pula.] [Bonus, Bil-kubil.] Tak apalah, timbang aku gagal jual novelku, lumayan bisa diuangkan. Toh, ini juga hasil bukti terbit, jadi buku gratisan gitu dari penerbit. "Mbak," panggil pegawai yang tadi menangani berkasku. Lantas aku berdiri dan berjalan ke arah meja yang tadi. "Iya, sudah jadi?" tanyaku. "Belum, lah, Mbak. Setelah mendapat surat keterangan dari kelur
Part 3 "Bil, kamu sudah cukup usia, duapuluh lima tahun, usia matang untuk menikah. Mama mau kenalin kamu sama anak temen Mama." "Mama mau jodohin Bilqis? Mah, ini bukan jaman siti nurbaya, sekarang tuh jaman korona. Ngapain sih pake dijodohin segala. Kek nggak laku aja. Lagian Bilqis itu sudah ada Ko Erik, hubungan kami serius, Ma," protesku. "Mana ada serius? Pernahkah Erik menemui Mama? Bicara sama Mama? Hanya sekedar ketemuuu aja, pernah? Enggak, Bil." Aku baru sadar juga jika seharian ini Ko Erik tak menghubungiku sama sekali. "Mama keberatan karena masalah RAS?" tanyaku. "Ya, enggak, lah, Nduk. Mama enggak pernah masalah kan RAS. Tapi keseriusan dalam hubungan itu penting." "Tapi nggak harus dijodohin, Ma." "Kamu nggak akan nyesel, Bil." "Soal menyesal atau enggak itu bukan titik masalahnya, Ma. Tapi soal perasaan. Bilqis sayang sama Ko Erik, kami serius." Aku beralih ke ruang tamu setelah meraih ponsel milikku dari meja. Aku duduk di sofa ruang tamu. Rupanya Mama me
Part 4 Aku mendekat ke Mama, hendak ikut duduk di sampingnya. Belum sampai pantat menyentuh sofa. "Eh, kok ikut duduk, tolong sayang keluarin yang tadi, ya," pinta Mama padaku, kubalas dengan anggukan. "Eh, nggak usah repot-repot, Jeeeng. Oiya ... #&@^÷÷:£,#;#^×£,#;-;'×¥÷^÷ " Sekali lagi mereka mengbrol dengan kecepatan petir. Aku menggaruk kepalaku yang tertutup kerudung lalu masuk ke dapur menyiapkan kudapan. Kuambil piring dan menata kue bolu yang sudah dipotong di atasnya, lanjut lemper kujajar juga di piring yang persegi panjang, lalu beberapa kudapan kering semacam sus kering isi coklat yang dimasukkan ke toples. Di rumah selalu menyetok kue kering, Mama yang buat sendiri untuk dijual lagi. Biasanya aku bagian yang packaging, kalau meracik resep dan lain-lain aku tak sanggup setelaten Mama. Kemudian kubuka kulkas mengambil batu es dan mencampurnya dengan buah yang sudah kutambahi dengan air gula dan susu sebelumnya. Semua sudah siap, tinggal mengambil gelas yang masih
Part 5"Balik dulu, ya, Jeeeng. Assalamualaikum ...," ucap Tante Laila dengan tangan melambai di balik kaca mobilnya yang diturunkan separuh, Tante Laila duduk di belakang jok sopir."Wa alaikum salam. Ati-ati," jawab Mama.Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada Tante Laila. Lalu mataku spontan beralih pada sopir mobil Tante Laila, Mas Virzha maksudnya, ia yang ternyata sedang menatapku.Kubalas dengan serangan tatapan lurus tepat di matanya pula. Eh, malah melengos ngadep ke depan. Dasar, mantan!Mobil pun berlalu, aku dan Mama masuk kembali ke dalam rumah."Gimana, Bil? Guanteng pol kan? Sudah digas aja," ujar Mama sembari meringkas piring-piring bekas kue yang tidak dimakan lalu menumpuk beberapa piring kosong menjadi satu."Biasa aja. Ganteng kan relatif, Ma," ujarku penuh dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan."Hilih! Bantuin bersihin ini, Bil," perintah Mama lagi. Aku mengambili gelas bekas es buah."Ya kan bener. Ganteng itu tergantung sudut pandang